Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DISLOKASI HIP

OLEH: RETNO UTAMI, S.Kep


NIM 102311101045

A. Konsep Teori Tentang Penyakit (Pengertian, Etiologi, Patofisiologi,


Tanda dan Gejala, Kemungkinan Komplikasi Yang Muncul,
Pemeriksaan Khusus dan Penunjang, Terapi Yang Dilakukan)
1. Pengertian
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk
sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi).
Atau dislokasi adalah suatu keadaan keluarnya (bercerainya) kepala sendi
dari mangkuknya. Dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang
membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang di dekat sendi
atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari
mangkuk sendi).
Dislokasi hip adalah suatu keadaan lepasnya sendi pinggul oleh
berbagai keadaan seperti trauma (paling sering akibat kecelakaan
kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi), kelainan kongenital,
arthritis piogenik, dan ketidakseimbangan otot-otot pinggul.
Dislokasi panggul lebih jarang dijumpai daripada dislokasi bahu atau
siku. Mekanisme terjadinya dislokasi yaitu saat kaput yang terletak di
belakang asetabulum, kemudian segera berpindah ke dorsum illium.
Biasanya juga mengalami cedera serius misalnya trauma benturan depan
mobil akibat tabrakan mobil frontal. Penderita mungkin mengalami syok
berat dan tidak dapat berdiri. Tungkainya terletak dalam posisi tinggi yang
sesuai dengan paha difleksikan, dan dirotasikan ke interna. Tungkai pada
sisi yang cedera lebih pendek daripada sisi yang normal. Lututnya
bersandar pada paha yang berlawanan dan trokantor mayor dan pantat
menonjol secara abnormal. Dislokasi hip joint adalah suatu
kejadian/peristiwa menyakitkan di mana komponen peluru/bola/caput

1
humeri tulang paha keluar dari tempatnya/acetabulum. Sehingga penderita
mengalami rasa nyeri, karena caput humeri bergerak/bekerja bukan pada
tempatnya lagi.
2. Etiologi
Dislokasi pinggul hampir selalu disebabkan oleh trauma berenergi
tinggi. Adanya cedera dislokasi menandakan bahwa ada gaya yang
mencapai 90 pound atau bahkan lebih pada mekanisme traumatik atau
adanya patologi yang mendasari yang menyebabkan ketidakstabilan sendi.
Penumpang yang tidak menggunkan sabuk pengaman lebih memiliki
resiko mengalaminya. Mekanisme klasik untuk dislokasi posterior adalah
pada cedera dashboard, yaitu terjadi gaya yang menekan kepala femur
melewati posterior acetabular rim saat lutut yang terfleksi dan pinggul
terhantam dashboard pada kecelakaan. Selain oleh dashboard, dikatakan
juga bahwa cedera ini bisa terjadi saat mekanisme mengerem. Dislokasi
anterior dihasilkan dari rotasi eksternal dan abduksi panggul. Pada
pediatrik, dislokasi sendi mungkin terjadi pada gaya yang lebih kecil dan
ada yang terjadi sesudah manuver senam dan jatuh dari posisi berdiri.
Pasien yang lebih tua atau pada penderita Sindrom Ehlers Danlos atau
down juga bias mengalami dislokasi panggul dengan gaya traumatik yang
lebih kecil.
3. Klasifikasi
a. Dislokasi panggul posterior
Dislokasi posterior hip joint biasa disebabkan oleh trauma. Ini
terjadi pada axis longitudinal pada femur saat femur dalam keadaan
fleksi 90 derajat dan sedikit adduksi. Pemeriksaan pada penderita
dislokasi posterior hip joint akan menunjukkan tanda yang abnormal.
Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan sedikit fleksi,
internal rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena
kaput femur terkunci pada bagian posterior asetabulum. Salah satu
bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan sensorik dan
motorik extremitas bawah dari bagian bawah hingga ke panggul yang
mengalami dislokasi, karena kurangnya kepekaan saraf pada panggul

2
merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim pada kasus
dislokasi hip joint. Dislokasi panggul posterior biasa disebabkan oleh
trauma. Terdapat klasifikasi menurut Thompson Epstein (1973) yang
penting untuk rencana pengobatan:
Tipe I : Dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang
kecil.
Tipe II : Dislokasi dengan fragmen tulang yang besar pada bagian
posterior asetabulum.
Tipe III : Dislokasi dengan fraktur bibir asetabulum yang komunitif.
Tipe IV : Dislokasi dengan fraktur dasar asetabulum.
Tipe V : Dislokasi dengan fraktur kaput femur.
b. Dislokasi panggul anterior
Pada cedera ini pederita biasanya terjatuh dari suatu tempat tinggi
dan menggeserkan kaput femur di depan asetabulum. Pemeriksaan
dislokasi anterior, kaki dibaringkan eksorotasi dan seringkali agak
fleksi. Dalam posisi adduksi tapi tidak dalam posisi menyilang.
Penderita tidak dapat bergerak fleksi secara aktif ketika dalam keadaan
dislokasi. Kaput femur jelas berada di depan triangle femur.
c. Dislokasi panggul central / obturator
Dislokasi obturator ini sangat jarang ditemukan. Dislokasi
obturator disebabkan karena gerakan abduksi yang berlebih (hiper-
abduksi) dari panggul yang normal yang disebabkan karena trokantor
mayor bergerak berlawanan dengan pelvis untuk mengungkit kaput
femur keluar dari asetabulum.
4. Patofisiologi
Pada dislokasi kongenital terdapat ketidakstabilan pinggul pada bayi
dan anak dengan kondisi pinggul yang stabil dan fleksi sebagian. Ada
banyak faktor yang memungkinkan kodisi dilokasi kongenital, meliputi
faktos genetik, hormonal, malposisi intrauterin dan faktor pasca kelahiran
dari pertolongan persalinan. Pada osteomielitis akut yang menginvasi
metafsis,intrakapsular sendi pinggul juga ikut mengalami infeksi.
Selajutnya, kaput dan kepala femur mengalami kerusakan dan mengalami

3
perubahan letak akibat lepasnya kepala femur dari mangkuk asetambulum.
Klien yang pernah mengalami paralisis serebral,poliomielitis dan
mielomeningokel akan menimbulkan suatu kondisi paralisis yang
menyebabkan ketidakseimbangan otot sehingga terjadi abduksi pinggul.
Pada kondisi selanjutnya, tronkanter mayor gagal berkembang, leher
femur bengkok dan keluar dari pinggul dan terjadi dislokasi/sublukasi
pinggul. Perubahan letak sendi pinggul dapat menyebabkan kompresi saraf
skiatika sehingga klien akan mengeluh nyeri,ketidakmampuan
menggerakan sendi pinggul yang menyebabkan klien tidak dapat
melakukan mobilisasi pinggul dan klien mempunyai risiko trauma.
Intervensi reduksi tertutup denhan pemasangan traksi memberikan
implikasi keperawatan untuk menurunkan risiko tinggi trauma dan reduksi
terbuka akan menimbulkan dampak keruskan jaringan lunak yang
menyebabkan nyerih luka pasca beda sehingga menimbulkan risiko tinggi
infeksi
5. Tanda dan gejala
a. Dislokasi posterior
 Nyeri di panggul, bokong, dan tungkai bawah bagian posterior
 Hilangnya sensasi di tungkai bawah dan kaki
 Hilangnya kemampuan dorsoflexi atau pantarflexi
 Hilangnya deep tendon reflex di pergelangan kaki
 Hematoma local
 Sendi panggul dalam posisi fleksi, adduksi dan internal rotasi
 Tungkai tampak lebih pendek
 Teraba caput femur pada panggul
b. Dislokasi anterior
 Paresis di ekstremitas bawah
 Rasa nyeri tumpul di ekstremitas bawah
 Reflek patella melemah atau hilang
 Ekstremitas bawah tampak pucat dan dingin
 Parestesia di ekstremitas bawah
 Sendi panggul dalam posisi eksorotasi, ekstensi dan abduksi

4
 Tak ada pemendekan tungkai
 Benjolan di depan daerah inguinal dimana kaput femur dapat
diraba dengan mudah
 Sendi panggul sulit digerakkan
c. Dislokasi panggul central / obturator
 Terdapat luka lecet atau memar pada paha, namun kaki terletak
pada posisi normal.
 Trochanter dan daerah panggul terasa nyeri.
 Gerakan minimal masih dapat di lakukan
 Posisi panggul tampak normal, hanya sedikit lecet di bagian lateral
 Gerakan sendi panggul terbatas
6. Komplikasi
a. Komplikasi dini
 Kelumpuhan N. ischiadikus. Biasa terjadi pada dislokasi posterior
karena internal rotasi yang hebat atau tekanan langsung oleh
fragmen fraktur acetabulum.
 Kerusakan pembuluh darah (A.Glutea superior). Biasanya terjadi
pada dislokasi anterior
 Kerusakan kaput femur
b. Komplikasi lanjut
 Nekrosis avaskular
 Miositis ossifikans
 Rekurent dislokasi
 Osteoarthritis
7. Pemeriksaan penunjang
a. Dislokasi posterior
Salah satu bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan
sensorik dan motorik extremitas bawah dari bagian bawah hingga ke
panggul yang mengalami dislokasi, karena kurangnya kepekaan saraf
pada panggul merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim
pada kasus dislokasi panggul. Pemeriksaan penunjang dengan
pembuatan X – ray foto, umumnya dengan proyeksi AP.

5
b. Dislokasi anterior
Pada foto anteroposterior, dislokasi biasanya jelas, tetapi kadang-
kadang caput hampir berada di depan posisi normalnya sehingga jika
meragukan dapat dilakukan foto lateral.

c. Dislokasi panggul central / obturator


Pada foto anteroposterior, caput femoris tampak bergeser ke
medial dan lantai acetabulum mengalami fraktur.

6
8. Terapi
a. Dislokasi posterior
Terapi untuk mengembalikan keadaan ini ada dua cara :
 Metode Allis : penderita dalam posisi terlentang di lantai, pembantu
menahan panggul dan menekannya. Ahli bedah melakukan fleksi
pada lutut sebesar 900 dan tungkai diadduksi ringan dan rotasi
medial. Lengan bawah ditempatkan dibawah lutut dan dilakukan
traksi vertikal dan kaput femur diangkat dari bagian posterior
asetabulum. Panggul dan lutut diekstensikan secara hati-hati. Syarat
terpenting dalam melakukan reposisi adalah sesegera mungkin dan
dilakukan dengan pembiusan umum disertai relaksasi yang cukup.
Pada tipe II setelah reposisi maka fragmen yang besar difiksasi
dengan screw secara operasi. Pada tipe III biasanya dilakukan
reduksi tertutup dan apabila ada fragmen yang terjebak dalam
asetabulum dikeluarkan melalui tindakan operasi. Tipe IV dan V
juga dilakukan reduksi secara tertutup dan apabila bagian fragmen
yang lepas tidak tereposisi maka harus direposisi dengan operasi.
Pasca reposisi dilakukan traksi kulit selama 4-6 minggu, setelah itu
tidak menginjakkan kaki dengan jalan mempergunakan tongkat
selama 3 bulan.
 The Bigelow Maneuver : Tempatkan penderita di lantai (telentang).
Amati (dislokasi) secara cermat dan suruh seorang asisten
mendorongnya ke anterosuperior pada SIAS. Fleksikan lutut
penderita dan panggulnya, dan rotasikan tungkainya pada posisi
netral. Tarik tungkainya ke atas secara terus-menerus dengan
lembut. Saat masih dilakukan traksi (penarikan) sesuai arah femur,
rendahkan tungkainya ke lantai. Reduksi biasanya jelas dirasakan
tetapi perlu didukung dengan sinar-X. Jika metode tersebut gagal
mereduksi dislokasi, minta asisten meneruskan penekanan secara
kuat pada SIAS. Dengan lutut sebagian difleksikan, tarik tungkai
sesuai dengan deformitas. Fleksikan panggul perlahan hingga 90o
dan rotasikan secara lembut ke internal dan eksternal untuk

7
melepaskan kaput dari struktur-struktur yang menahannya.
Kembalikan kaput pada tempatnya dengan rotasi interna dan
eksterna lebih lanjut, atau rotasi eksterna dan ekstensi. Bila masih
terpengaruh anestesi, periksa lutut, apakah terdapat rupture
ligamentum cruciatum posterior.
b. Dislokasi anterior
Terapi dilakukan dengan membaringkan penderita di lantai, dan
lakukan anestasi seperti pada penanganan dislokasi panggul posterior.
Dengan melakukan pengamatan secara cermat, suruh seorang asisten
menarik pelvisnya dengan kuat sepanjang manuver pada SIAS. Pegang
tungkai penderita dan bengkokkan panggul dan lutut sampai 90o.
Rotasikan tungkainya ke posisi netral. Hal ini akan mengubah dislokasi
panggul anterior menjadi posterior. Tarik tungkai penderita terus
menerus ke atas agar dapat mengangkat kaput femur ke dalam
asetabulum.
Jika panggul tidak dapat direduksi, turukan tungkainya ke lantai
ketika sedang mempertahankan reduksi. Jika panggul masih tidak dapat
direduksi, maka gunakan traksi sesuai dengan arah deformitas (fleksi
dan adduksi). Saat mempertahankan traksi, angkat tungkainya pada
posisi vertikal agar dapat membawa kaput femur pada tepi anterior
asetabulum. Sekarang, dengan masih mempertahankan traksi, rotasikan
tungkai ke internal dan turunkan pahanya menjadi posisi yang
diekstensikan. Jika panggul masih tidak dapat direduksikan, suruh
seorang asisten terus memegang pelvis dengan kuat. Suruh asisten
kedua berdiri di depannya dan menarik dengan kuat sesuai dengan arah
femur. Abduksikan panggul yang normal dan letakkan tumit anda tanpa
sepatu pada tempat kaput femur yang anda pikirkan. Kemudian tekan
ke arah posterolateral hingga kaput masuk ke dalam socket dengan
bunyi debam. Jika gagal, rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka.
Setelah dilakukan reduksi diperlukan perawatan lebih lanjut,
pertahankan penderita di tempat tidur hingga ia dapat mengontrol
panggulnya kembali. Kemudian biarkan ia berdiri dan menahan beban

8
berat. Amati kaput femur terhadap nekrosis aseptik, sama seperti
dislokasi panggul posterior.
c. Dislokasi panggul
Terapi pada dislokasi obturator, yang terjadi akibat sobeknya
capsul inferior, adalah sangat memungkinkan untuk mengubah dislokasi
ini menjadi dislokasi panggul anterior maupun posterior, dan kemudian
dapat direduksi dengan cara yang tepat. Bagaimanapun juga traksi
abduksi pada tungkai dengan traksi yang berlawanan dengan pelvis
sangat diperlukan. Berikan tekanan kuat, lalu letakkan pada sisi medial
kaput femur dengan melakukan sedikit gerakan internal dan eksternal
rotasi. Adduksikan ke posisi normal. Selama kaput femur yang
mengalami dislokasi tidak bergerak ke arah yang dapat mengganggu
suplay darah, penderita dapat mulai berjalan dengan tongkat ketiak
tanpa beban pada tungkainya setelah beristirahat di tempat tidur selama
beberapa hari. Penderita harus berjalan dengan tongkat ketiak selama 6
minggu dan melakukan pemeriksaan dengan sinar-X dengan interval 2
sampai 3 bulan untuk tahun pertama dan 6 bulan untuk tahun kedua.
Kemungkinan terjadi avascular necrosis sangat kecil karena arah
dislokasi ini.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
disklokasi yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit.

9
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi,
serta penyakit yang pernah diderita klien sebelumnya yang dapat
memperparah keadaan klien dan menghambat proses
penyembuhan.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada penderita Dislokasi pemeriksan fisik yang diutamakan
adalah nyeri, deformitas, fungsiolesa. Misalnya : pinggul tidak dapat
digerakkan secara bebas lagi pada dislokasi pinggul.
Seperti halnya korban trauma besar, penilaian jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi sangat penting primer. Selama survei
sekunder, pemeriksaan dari korset panggul dan pinggul adalah wajib.
Pemeriksaan harus terdiri dari inspeksi, palpasi, aktif / pasif rentang
gerak, dan pemeriksaan neurovaskular.
 Inspeksi: Dalam prakteknya, ini penampilan dapat diubah dengan
adanya dislokasi atau fraktur-kelainan tulang lainnya Posterior: hip
adalah tertekuk, terputar ke dalam , dan adduksi. Anterior: hip
tertekuk minimal, terputar ke luar dan abduksi
 Palpasi: Meraba panggul dan ekstremitas bawah untuk cacat
tulang-langkah kotor atau off. Dalam sebuah dislokasi hip anterior,
kadang-kadang pada femoralis teraba hematoma. Hal ini
menunjukkan cedera vaskular.
 Range of motion: Pasien dengan dislokasi hip memiliki jangkauan
sangat terbatas gerak. Mengevaluasi apa pasien dapat dilakukan
dengan nyaman. Jangan paksa melakukan berbagai gerakan pada
pasien yang tidak bisa mentolerir manipulasi normal,. Rentang
nyeri gerak hampir tidak termasuk dislokasi hip.
 Look : Terlihat adanya deformitas pada panggul. Bayi yang
mengalami dislokasi kongenital tidak mampu melakukan abduksi
secar sempurna pada sisi dislokasi. Pada anak yang mulai berjalan
di dapatkan deformitas perubahan gaya berjalan atau berdiri.
Kadang di dapatkan dislokasi unilateral atau bilateral. Pada

10
dislokasi anterior di dapatkan posisi sendi panggul terlihat
flexsi,paha abduksi dan mengalami rotasi exstrnal. Pada dislokasi
posterior terlihat deformitas pada sendi panggul yang mengalami
abduksi rotasi internal, fleksi pada pinggul dan lutut, disertai lutut
yang beristirahat di atas sisi paha yang berlawanan.
 Feel : Didapatkan adanya nyeri tekan pada panggul.
 Move : Hambatan dalam menggerakan femur secara abduksi,
rotasi, dan hambatan dalam beraktifitas jalan atau berdiri
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri
saat mobilisasi
c. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan deformitas dan perubahan
bentuk tubuh
3. Intervensi
Diagnosis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
keperawatan
Nyeri akut NOC: Pain level Pain control Pain management
Comfort level 1. Lakukan pengkajian
KH: Mampu mengontrol nyeri nyeri secara
(tahu penyebab, mampu komprehensif (lokasi,
menggunakan teknik non karakteristik, durasi,
farmakologi untuk mengurangi frekuensi,, kualitas,
nyeri, mencari bantuan) presipitasi)
Melaporkan bahwa nyeri 2. Observasi reaksi
berkurang menggunakan nonverbal dari
manajemen nyeri ketidaknyamanan
Mampu mengenali nyeri 3. Gunakan teknik
(skala, intensitas, frekuensi, komunikasi terapeutik
tanda nyeri) dalam asuhan

11
Menyatakan rasa nyaman keperawatan
setelah nyeri berkurang 4. Evaluasi pengalaman
nyeri masa lampau
5. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
(ruang, cahaya,
kebisingan, suhu)
6. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
7. Ajarkan teknik non
farmakologi
8. Barikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
9. Kaji keefektifan kontrol
nyeri
Analgetic administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi tentang
pemberian obat
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgetik yang
diperlukan atau
kombinasi dari lebih
dari satu analgetik
5. Tentukan tipe
anaelgetik dari berat
ringan nyeri
6. Tentukan pilihan, rute,

12
dan dosis optimal
analgetik
7. Menotir TTV
8. Evaluasi efektivitas
analgetik
Hambatan NOC Exercise therapy:
mobilitas fisik Joint movement : Active ambulation
Mobility level Self care : ADLs 1. Monitoring vital sign
Transfer performance KH: sebeleum/sesudah
Klien meningkat dalam latihan dan lihat respon
aktivitas fisik Mengerti tujuan pasien saat latihan
dari peningkatan mobilitas 2. Konsultasikan dengan
Memverbalisasikan perasaan terapi fisik tentang
dalam meningkatkan kekuatan rencana ambulasi sesuai
dan kemampuan berpindah dengan kebutuhan
Memperagakan penggunaan 3. Bantu klien untuk
alat bantu untuk mobilisasi menggunakan tongkat
saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs

13
8. Berikan alat bantu jika
klien memerlukan
9. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
Ansietas NOC: Anxiety reduction
Anxiety self control Anxiety 1. Gunakan pendekatan
level Coping yang menenangkan
KH: Klien mampu 2. Jelaskan semua
mengidentifikasi dan prosedur dnegan jelas
mengungkapkan gejala cemas kepada pasien
Mengidentifikasi, 3. Pahami perspektif
mengungkapkan dan pasien terhadap situasi
menunjukkan teknik stress
mengontrol cemas TTV dalam 4. Dorong keluarga untuk
batas normal Postur tubuh, menemani klien
ekspresi wajah, bahasa tubuh 5. Dorong klien
dan tingkat aktivitas mengungkapkan
menunjukkan berkurangnya perasaan, ketakutan,
kecemasa persepsi
6. Lakukan back-neck rub
7. Berikan obat untuk
mengurangi kecemasan
Gangguan citra NOC Body image enhancement
1. Kaji secara verbal dan
tubuh Body image Self esteem KH:
non verbal respon klien
Body image positif
terhadap tubuhnya
Mampu mengidentifikasi
2. Monitor frekuensi
kekuatan personal
mengkritik dirinya
Mendeskripsikan secara faktual
3. Jelaskan tentang
perubahan fungsi tubuh
pengobatan, perawatan,
Mempertahankan interaksi

14
sosial kemajuan dan
prognosis penyakit
4. Dorong klien
mengungkapkan
perasaannya
5. Identifikasi arti

4. Evaluasi
S : Data subjektif berisi data dari pasien melalui anamnesis (wawancara)
yang merupakan ungkapan langsung
O : Data objektif data yang dari hasil observasi melalui pemeriksaan
fisik
A : Analisis dan interpretasi berdasarkan data yang terkumpul kemudian
dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diaognosis
atau masalah potensial, serta perlu tidaknya dilakukan tindakan
segera.
P : perencanaan merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan
termasuk asuhan mandiri, serta konseling untuk tindak lanjut.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ajunadi, Purnawan dkk. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius:


Jakarta.
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Julia kneale&Petterdavis .2011.Keperawatan ortopedik&trauma.jakarta:EGC
Lukman. 2009. Asuhan Keperawatan Kepada Klien dengan Gangguan
Sistem
Musculoskeletal. Jakarta: Salemba Medika
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 3. Jakarta: EGC.

16

Anda mungkin juga menyukai