Anda di halaman 1dari 19

“KEBIJAKAN KESEHATAN PEMERINTAH TENTANG PENYAKIT TIDAK

MENULAR , DIABETES MILETUS , STROKE , HIPERTENSI ,ZOONOSIS ,


MALARIA ”

A. Kebijakan Penyakit Diabetes Miletus (DM)


1. Untuk mencapai tujuan dari pengendalian DM dan PM , perlu di tetapkan kebijakan
teknis sebagai berikut :
a. menetapkan standar , norma , pedoman , criteria kesehatan dan prosedur kerja
dengan mengacu pada pedoman dan peraturan yang berlaku
b. menyelenggarakan pengendalian DM dan PM melalui pencegahan dan
penanggulangan factor risiko , penemuan dan tatalaksana kasus secara tepat ,
survelanss epidemiologi dan komunikasi , informasi dan edukasi (KIE) DM dan
PM
c. Mengembangkan dan meningkatkan survelans epidemiologi di sarana pelayanan
kesehatan sebagai bahan informasi dan perencanaan program pengendalian DM
dan PM
d. meningkatkan kemampuan petugas dan masyarakat serta mengupayakan
ketersediaan sarana dan prasarana dalam pengendalian DM dan PM
e. meningkatkan jejaring kerja lintas program , lintas sector , dan stake holder
terkait baik di pusat maupun provinsi , dan kabupaten atau kota
f. menumbuh kembangkan potensi masyarakat kearah kemandirian melalui
pendekatan kelembagaan di tingkat desa atau kelurahan
g. meningkatkan peran pemerintah provinsi , kabupaten , kota dan masyarakat dalam
perencana , pelaksaan dan evaluasi upaya pengandalian DM dan PM.
2. Strategi
Untuk mencapai kenerhasilan program secara efektif dan efisien , perlu
dikembangkan strategi pelaksanaan kegiantan yaitu :
a. Pengendalian DM dan PM berdasarkan fakta ( evidence – based ) dan skala
prioritas
b. Melaksanakan sosialisasi dan advokasi pada pemerintah , pihak legistratif dab
stake holder serta pemerintah daerah .
c. Melakukan pembinaan dan monitoring serta evaluasi program pengendalian DM
dan PM
d. Intensifikasi upaya pencegahan dan penanggulangan factor resiko , survelans
epideomologi , penemuan dan tatalaksana kasus serta KIE DM dan PM .
e. Meningkatkan kemitraan melalui jejaring kerja baik nasional , regional maupun
internasional
f. Memanfaatkan ilmu pengentahuan dan teknologi serta hasil-hasil penelitian atau
kajian yang mendukung dalam upaya peningkatan program pengendalian DM dan
PM
g. Pemberdayaan masyarakat melalui pembekuan berbagai kelompok masyarakat di
desa atau kelurahan seperti posyandu , poslansia , dll.
h. Meningkatkan peran dan fungsi sesuai dengan kewenangan daerah serta
memanfaatkan sumber daya pusat melalui sitem penganggaran (dana
dekonsentrasi dan perbantuan ).
3. Identifikasi kebijakan dan strategi untuk pelaksaan kegiantan
Pelaksanaam kegiatan pengendalian DM dan PM perlu memperhatikan kebijakan
pusat dan daerah agar kegiatan yang dilaksanakan dapat sinkron atau sesui dengan
kebutuhan dan berkelnjutan .
Misalnya kebijakan pembangunan daerah dalam meningkatkan indeks
pembanggunan manusia (PM) . pengendalian DM dan PM perlu di integrasikan
dengan kebijakan pemda lainnya . khususnya dalam rangka peningkatan IPM antara
lain indeks pendidikan , indeks daya beli, dan usia harapan hidup . informasi besaran
masalah DM dan PM serta dampak komplikasi yang di timbulkan seperti , impotensi ,
gagal ginjal , kebutaan , jantung , kecacatan dan kematian , serta beban pembiayaan
yang di kaitkan dengan indeks pembangunan manusia . hal ini akan lebih mendorong
perhatian para pengambil keputusan dalam memprioritaskan kegiatan pengendalian
DM dan PM .
B. Kebijakan pemerintah penyakit tidak menular stroke
Kementerian Kesehatan mengajak seluruh masyarakat untuk dapat menjadi agen
perubahan dalam perilaku hidup sehat, khususnya dalam pencegahan dan pengendalian
faktor risiko stroke, sehingga masyarakat Indonesia yang sehat dan berkualitas dapat
diwujudkan.
Stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi saraf yang diakibatkan oleh penyakit
pembuluh darah otak, bukan oleh sebab yang lain (WHO). Gangguan fungsi syaraf pada
stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf
tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara
tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan
lain-lain. Stroke merupakan penyebab disabilitas nomor satu dan penyebab kematian
nomor dua di dunia setelah penyakit jantung iskemik baik di negara maju maupun
berkembang.
Stroke dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang akan menurunkan
status kesehatan dan kualitas hidup penderita stroke, di samping itu akan menambah
beban biaya kesehatan yang ditanggung keluarga dan negara.

1. Fakta Stroke secara global


Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan sekitar
31% dari 56,5 juta orang atau 17,7 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat
penyakit jantung dan pembuluh darah. Dari seluruh kematian akibat penyakit
kardiovaskuler, sebesar 7,4 juta disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner, dan 6,7
juta disebabkan oleh stroke.

2. Stroke secara Nasional


Prevalensi stroke nasional berdasarkan Riskesdas 2013 sebesar 12,1‰,
tertinggi di provinsi Sulawesi Selatan (17,9‰) dan terendah provinsi Papua Barat,
Lampung, dan Jambi (5,3‰). Adapun prevalensi stroke adalah sebagai berikut:
Berdasarkan kelompok umur : >75 tahun sebesar 67,0‰; 65-74 tahun sebesar
46,1‰; 55-64 tahun sebesar 33,0‰; 45-54 tahun sebesar 16,7‰; 35-44 tahun
sebesar 6,4‰; 25-34 tahun sebesar 3,9‰; dan 15-24 tahun sebesar 2,6‰.
Berdasarkan status ekonomi : tingkat bawah sebesar 13,1‰; menengah bawah
sebesar 12,6‰; menengah sebesar 12,0‰; menengah atas sebesar 11,8‰; dan
teratas sebesar 11,2‰.
Berdasarkan tempat tinggal : perdesaan sebesar 11,4‰, dan perkotaan sebesar
12,7‰
Berdasarkan tingkat pendidikan : tidak sekolah sebesar 32,8‰; tidak tamat SD sebesar
21,0‰; tamat SD sebesar 13,2‰; tamat SMP sebesar 7,2‰; tamat SMA sebesar 6,9‰;
dan tamat D1,D3, dan Perguruan Tinggi sebesar 9,8‰. Berdasarkan jenis kelamin :
Laki-laki sebesar 12,0‰, dan perempuan sebesar 12,1‰.
Sample Registration System (SRS) Indonesia tahun 2014 menunjukkan stroke
merupakan penyebab kematian utama, yaitu sebesar 21,1% dari seluruh penyebab
kematian untuk semua kelompok umur.

3. pembiayaan JKN untuk stroke tahun 2016


Data Badan Penyelenggara Kesehatan (BPJS) tahun 2015 menyatakan bahwa
stroke menghabiskan biaya pelayanan kesehatan sebesar Rp1,15 triliun dan
meningkat menjadi Rp 1,27 triliun pada tahun 2016. Hal ini berarti terjadi
peningkatan pembiayaan sebesar 10,4% untuk stroke dalam kurun waktu 1 tahun.

4. Cegah Stroke dengan perilaku CERDIK


Stroke dapat dicegah dengan pengendalian perilaku yang berisiko seperti
penggunaan tembakau, diet yang tidak sehat dan obesitas, kurang aktivitas fisik serta
penggunaan alkhohol. Menurut data Riskesdas, faktor risiko perilaku utama yang
menjadi tantangan dalam upaya pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia
adalah : Sekitar 93,5% penduduk berusia >10 tahun kurang konsumsi buah dan
sayur. Sekitar 36,3% penduduk berusia >15 tahun merokok, perempuan berusia > 10
tahun yang merokok sekitar 1,9%. Sekitar 26,1% penduduk kurang melakukan
aktivitas fisik. Sekitar 4,6% penduduk berusia >10 tahun minum minuman
beralkhohol.
Faktor perilaku tersebut di atas, merupakan penyebab terjadinya faktor risiko
fisiologis atau faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia ,
obesitas, dan lain-lain yang dapat menyebabkan terjadinya stroke.

Untuk mencegah terkena penyakit tidak menular seperti stroke maka


dianjurkan untuk setiap individu meningkatkan gaya hidup sehat dengan perilaku
“CERDIK”, yaitu , Cek Kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin
aktifitas fisik, Diet sehat dan seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres.

Cerdik adalah slogan yang berisi pesan yang mudah diingat agar masyarakat
memahami dan mampraktikan gaya hidup sehat untuk mencegah terkena penyakit
tidak menular. Cerdik menjadi slogan utama dalam upaya kesehatan berbasis
masyarakat yang dikembangkan oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tidak Menular dalam wadah Posbindu PTM yang dibina oleh 4.820
puskesmas di seluruh Indonesia untuk menggerakkan masyarakat melakukan deteksi
dini dan memonitoring faktor risiko PTM.

5. Segera ke RS
Konsep utama dalam penanganan stroke adalah memberikan pengobatan yang
spesifik dalam waktu sesegera mungkin sejak serangan terjadi. Masalah yang muncul
adalah tidak dikenalinya gejala awal serangan stroke oleh masyarakat. Alat penilaian
sederhana untuk stroke adalah “SEGERA KE RS”, yaitu:
a. Senyum tidak simetris ,
b. Gerak separuh anggota tubuh melemah tiba-tiba,
c. BicaRa pelo atau tiba-tiba tidak dapat bicara atau tidak mengerti kata-kata/bicara,
d. Kebas atau baal,
e. Rabun,
f. Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba dan gangguan fungsi keseimbangan.

Jangan menganggap remeh bila merasakan gejala atau tanda tanda terserang
stroke seperti diatas, jangan tunggu sampai menjadi parah segera berobat ke Rumah
Sakit. Anjuran ini juga untuk keluarga atau teman yang kebetulan menjumpai
saudaranya/temannya menunjukan gejala dan tanda tersebut segera dibawa ke
Rumah Sakit untuk mendapatkan penanganan secepat mungkin, karena ada periode
emas penanganan stroke agar penderita tertolong dan mengurangi risiko kematian
atau kecacatan menetap/permanen.

6. Periode Emas Penanganan Stroke

Periode emas adalah waktu yang sangat bergharga untuk peanganan Stroke,
yaitu kurang dari 4,5 jam sejak pertama kali muncul gejala dan tanda sampai
dilakukan penanganan stroke di Rumah Sakit. Sehingga penderita harus sudah tiba di
Rumah Sakit kurang dari 2 jam. Proses pemeriksaan sampai pengobatan
membutuhkan waktu maksimal 2,5 jam. Bila terlambat penanganannya atau sudah
lebih dari 4,5 jam maka Stroke akan menjadi parah bahan berisiko kematian atau
kecacatan permanen

7. Germas untuk cegah Stroke

Dalam pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular termasuk


stroke, pemerintah fokus pada upaya promotif dan preventif dengan tidak
meninggalkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Di antaranya dengan:
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) sesuai dengan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2017, yang tahun ini difokuskan pada kegiatan deteksi dini,
peningkatan aktivitas fisik serta konsumsi buah dan sayur.
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, sejalan dengan agenda
ke-5 Nawacita yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang dimulai
dari keluarga, di antaranya penderita hipertensi berobat teratur dan tidak ada anggota
keluarga yang merokok.

8. Kerja Bersama Atasi Stroke


Gerakan pencegahan stroke tidak hanya di gaungkan oleh Kementerian
Kesehatan RI. Perhimpunan Dokter Spesialis Indonesia (PERDOSSI) bekerja sama
dengan Boehringer Ingelheim juga telah meluncurkan ANGELS Initiative pada April
2017. ANGELS Initiative merupakan inisiatif dan komitmen Boehringer Ingelheim
dalam meningkatkan pelayanan rumah sakit khususnya dalam penanganan stroke
secara terpadu untuk mengurangi angka kejadian stroke. Adapun upaya penanganan
stroke dilakukan dengan meningkatkan tindakan preventif, diagnosis dan terapi
untuk stroke akut. Untuk menekan prevalensi stroke, ANGELS Initiative bekerja
sama dengan para ahli pembimbing stroke spesialis seluruh dunia dalam mengadakan
dan atau meningkatkan kualitas Stroke Center melalui program pelatihan
penanganan stroke, penyediaan perlengkapan pelatihan, penunjangan proses optimasi
di rumah sakit, dan penyediaan sarana sebagai wadah komunikasi dan akses
bimbingan dari stroke spesialis. (nt/ editor anitasari)

C. kebijakan pemerintah terhadap penyakit hipertensi


Pemerintah melakukan kebijakan terhadap penyakit hipertensi dengan cara kerja
sama dengan PT Askes membuat Program Pengelolaan Program Pengelolaan Hipertensi,
hingga kini sebanyak 574 orang yang terkena penyakit kencing manis dan 464 hipertensi
yang sudah tergabung dalam komunitas terapi kencing manis dan hipertensi .
Angka di atas hanyalah puncak gunung es yang sepintas baru terlihat oleh pihak
yang paling dirugikan yakni perusahaan asuransi. Yang pasti, resiko paling akbar di dunia
atau terutama di negara berkembang pada dua dekade yang akan datang adalah epidemik
hipertensi. Mengapa? Karena hanya smart governments dengan iklim regulasi yang sehat
yang mampu secara dini mendeteksi dan mengelola resiko-resiko ini. Hipertensi yang
jarang menampakkan gejala pada fase awal sehingga pemerintah yang berfokus pada
‘musuh’ yang personal sering gagal memahami ancaman-ancaman yang laten namun
masif dan berbahaya. Artikel ini berfokus pada pengelolaan resiko sodium/natrium atas
hipertensi.
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa hipertensi atau tekanan
darah tinggi menjadi penyebab kematian 12,8% dari total penyebab kematian di seluruh
dunia. Pada tahun 2008, jumlah orang dewasa (diatas 25 tahun) yang menderita hipertensi
sebanyak 40%. 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi. Hipertensi menjadi isu
kesehatan dunia karena kontribusinya yang tinggi pada penyakit seperti penyakit jantung,
stroke, dan gagal ginjal. Di Indonesia, data ini masih bersifat anekdotal namun secara
umum terkesan naiknya jumlah kasus hipertensi, sedangkan di daerah tersedia sedikit
tenaga kuratif spesialis.
Jelas bahwa selain faktor penuaan, ada faktor kuat yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah, yaitu faktor perilaku seperti makanan yang tidak sehat,
konsumsi alkohol berlebihan, kurangnya aktivitas fisik, berat badan berlebih, merokok,
dan stres yang tidak terkontrol. Konsumsi makanan yang tidak sehat seperti konsumsi
makanan dengan kadar garam atau kadar natrium (sodium) melebihi jumlah yang
dianjurkan setiap hari, yakni 2000mg. Natrium berkaitan erat dengan peningkatan
tekanan darah dalam tubuh.
Makanan instan adalah contoh dari sumber makanan dengan kadar natrium yang
sangat tinggi. Jika masyarakat cermat mengamati tabel Nutrition Fact pada kemasan
makanan instan yang dikonsumsi, maka akan ditemukan natrium atau sodium disana.
Contohnya mie instan. Makanan yang ‘enak’, instan, mudah ditemukan, dan tentu saja
murah ini perlu dicermati. 1 bungkus mie instan mengandung 600-1500mg natrium,
sedangkan batas maksimal masukan natrium sehari adalah 2000mg.
Jika ada seseorang mengkonsumsi 2 bungkus mie instan untuk 1 kali waktu
makan dalam sehari (total natrium 2 bungkus mie = 2000-3000mg), maka Natrium yang
dikonsumsi sudah mencapai angka maksimal bahkan lebih. Ini belum ditambah dengan 2
waktu makan lainnya yang tentu saja menggunakan garam dalam proses memasak.
Belum lagi memasukkan faktor MSG yang mana di pedalaman lazim kami temukan
anak-anak sering mengkonsumsi MSG secara langsung sebagai cemilan.
Dalam skenario terburuk, rata-rata perilaku makan yang beresiko di atas dapat
mengkonsumsi hingga 4000-5000 mg natrium sehari. Dan ini akan semakin berbahaya
jika para orang tua membiarkan anaknya, sejak kecil mengkonsumsi makanan instan
berlebihan. Artinya setiap orang bisa terpapar selama belasan hingga puluhan tahun pada
sodium yang berlebihan, sehingga (lepas dari argumentasi soal ketahanan genetis) dengan
sangat gampang mengalami peningkatan tekanan darah ketika menginjak 30an. Beberapa
negara, seperti Finlandia, USA, dan Portugal telah mulai memperhatikan hipertensi,
menyadari hipertensi sebagai ancaman pembangunan, sehingga memprioritaskannya
dalam kebijakan yang disiplin. Pengurangan konsumsi garam/natrium merupakan salah
satu program yang paling sederhana dan cost-effective, meskipun perlu didukung
kebijakan lainnya untuk menurunkan tekanan darah seseorang. Finlandia memberikan
contoh nyata keberhasilannya menurunkan tekanan darah melalui program pengurangan
konsumsi garam yang melibatkan kampanye berbagai media, kerja sama industri
makanan, dan peraturan labeling pada makanan. Hal ini telah dilakukan Finlandia sejak
akhir 1970an, dan memberikan dampak penurunan tekanan darah secara signifikan, dan
penurunan kematian akibat sakit jantung dan stroke. Tidak hanya di Finlandia, negara-
negara maju lainnya tak ketinggalan beberapa negara berkembang telah membuat
program pengurangan konsumsi garam pada skala nasional.
Contoh kebijakan lainnya adalah penyediaan sarana untuk diagnosis dan
pengobatan hipertensi secara luas. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa
pemerintah peduli akan kesehatan masyarakat terkait hipertensi, dan juga peduli akan
masa depan negaranya. Intervensi yang bersifat kuratif seperti pengobatan dan
penanganan komplikasi yang disebabkan karena hipertensi seperti operasi bypass jantung
atau dialisis akan sangat mahal. Komplikasi tersebut biasanya membutuhkan pengobatan
jangka panjang, sehingga dapat menggiring keluarga pada kemiskinan. Bukan hanya pada
level individu dan keluarga, pemerintah juga menggelontorkan dana besar untuk sarana
kesehatan bagi penanganan komplikasi hipertensi.
Tujuan yang sesungguhnya dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk
mencegah dan mengontrol hipertensi. World Health Organization (WHO) menyatakan
setiap orang dewasa harus mengetahui tekanan darahnya. Seseorang dengan tekanan
darah normal harus mempertahankan dan mencegah (prevensi) peningkatan tekanan
darah, sedangkan orang dengan hipertensi harus ditangani dan dikontrol secara rutin
sehingga tidak mengarah pada komplikasi. Semakin cepat terdeteksi, penanganan
hipertensi akan semakin mudah dan murah.
Jika untuk mencapai suatu kerja sama yang berkelanjutan antara pemerintah
dengan industri makanan dalam mengurangi kadar natrium memakan waktu yang lama
(sedangkan hipertensi tidak dapat menunggu), maka yang paling sederhana adalah
kesadaran individual. Masyarakat dapat mengurangi konsumsi natrium secara terukur.
Diperlukan kampanye pembatasan makanan instan, makanan kaleng, makanan yang
diproses. Tidak hanya pengurangan konsumsi natrium, beberapa hal yang perlu
diperhatikan individu adalah kontrol berat badan pada batas normal, konsumsi alkohol
tidak berlebihan, tidak merokok, dan kurangi konsumsi makanan berlemak.

Di tingkat ilmu pengetahuan, pemerintah perlu menginvestasi pada preventive


cardiology secara lebih sistematis. Diperlukan pemberian informasi terkait hipertensi
kepada masyarakat melalui berbagai media demi membangun kesadaran individu dalam
mencegah dan mengontrol hipertensi. Pemeriksaan tekanan darah rutin juga diharapkan
menjadi hak setiap orang sampai ke pelosok desa. Dengan inisiatif pemerintah,
diharapkan tiap warga di awal usia 20an rutin mengontrol tekanan darahnya, dan terpapar
informasi seperti menurunkan penggunaan garam dan pola hidup yang mendukung.
Negara akan diuntungkan dari segi kualitas hidup manusia secara umum sehingga
meningkatkan produktivitas kerja, penurunan angka kematian akibat komplikasi
hipertensi, serta berkurangnya beban negara untuk pengobatan penyakit jangka panjang
akibat hipertensi.

D. Kebijakan Pemerintah Penyakit Zoonosis


1. Menimbang :
a. bahwa sebagai penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-
2019, perlu disusun Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit tahun 2015-2019 yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;
b. Bahwa Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan tahun 2015-2019 sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan nomor
HK.02.03/d1/2088/2015 perlu disesuaikan dengan Keputusan Menteri Kesehatan
nomor HK.01.07/MENKES/422/2017 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2015-2019 (revisi – 1)

2. Mengingat :

a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003.
Nomor 47, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor. 4287);
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587 pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438)
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2010010Tentang
Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
f. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan
(Lembaran-Negara Nomor 59 Tahun 2015);
g. Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
h. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 20152019;
i. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan;
j. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 375/Menkes/SK/V/2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025;
k. Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/422/2017 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 (revisi – 1);
l. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2348/Menkes/Per/XI/2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 356/Menkes/Per/IV/2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan;
m. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2349/Menkes/Per/XI/2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit;
Memutuskan

a. Menetapkan : Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit


Tentang Rencana Aksi Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015-
2019 Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian
b. Kesatu : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-2019
merupakan Dokumen perencanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
selama lima tahun yang berisikan upaya yang akan dilakukan Ditjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit untuk mencapai target indikator program dan kegiatan yang telah
ditetapkan dalam kurun waktu 5 tahun (2015-2019).
c. Kedua : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-2019
tercamtum dalam Lampiran I dengan disertai Matrik Rencana Kinerja dan Pendanaan
sebagaimana Lampiran II.
d. Ketiga : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-2019
digunakan sebagai salah satu pedoman bagi seluruh Satuan Kerja pelaksana program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dalam menyusun Rencana Aksi Kegiatan
e. Keempat : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-
2019 digunakan sebagai salah satu pedoman penilaian laporan Akuntabilitas Kinerja
Satuan Kerja di lingkungan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
f. Kelima : Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini berlaku, Keputusan Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan nomor HK.02.03/d1/2088/2015
tentang Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun
2015-2019 dinayatakan tidak berlaku.
g. Keenam: Keputusan Direktur Jenderal ini mulai pada tanggal ditetapkan

1. Arah Kebijakan dan strategi

Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2015-2019


merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan
(RPJPK) 2005-2025, yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam
lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya di seluruh wilayah Republik lndonesia.

Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya
Umur Harapan Hidup, menurunnya Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka
Kematian Ibu, menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita.

2 . Pengendalian penyakit zoonosis


Zoonosis adalah penyakit dan infeksi yang ditularkan secara alami di antara
hewan vertebrata dan manusia (WHO). Dalam rangka akselerasi pengendalian
zoonosis telah dibentuk Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis melalui PERPRES
No.30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis.

Rabies adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat akut pada manusia dan
hewan berdarah panas yang disebabkan oleh lyssa virus, dan menyebabkan kematian
pada hampir semua penderita rabies baik manusia maupun hewan. Pada manusia,
rabies menyebabkan kematian jika sudah terjadi gejala klinis. Selama 2009 – 2013
terjadi
2. Rencana Aksi Program P 2P 2015 - 2019 (revisi)
lebih dari 361.935 kasus gigitan hewan penular rabies, sekitar 299.209 orang
(82,67 %) diberikan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan 841 orang meninggal akibat
rabies (lyssa). Di Indonesia rabies terjadi di 265 Kabupaten/Kota (sebagai data dasar
sasaran). Sebanyak 25 provinsi telah tertular rabies dan hanya 9 provinsi masih bebas
historis dan telah dibebaskan dari rabies (Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung,
DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat).
Eliminasi rabies di ASEAN telah menjadi komitmen bersama yakni ASEAN
Bebas Rabies 2020. Indonesia sebagai salah satu Negara ASEAN juga mempunyai
komitmen guna mencapai tujuan lndonesia Bebas Rabies 2020.
Flu Burung/Avian Influenza adalah suatu penyakit menular pada unggas yang
disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan subtipe H5N1. Di Indonesia kasus
tersebut pertama kali terjadi pada manusia pada tahun 2005 sampai 2014. Pada kurun
waktu tersebut telah dilaporkan 197 kasus konfirmasi dengan 165 kematian dan
tersebar sporadis di 15 provinsi.
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dari
genus leptospira yang patogen dan dapat menyerang manusia dan hewan. Tikus
dicurigai sebagai sumber utama infeksi pada manusia di Indonesia. Pada tahun 2014
dilaporkan kasus Leptospirosis nasional 524 kasus dengan 62 kematian (CFR
11,83%).
Penyakit antraks adalah termasuk salah satu zoonosis yang disebabkan oleh
bacillus anthracis, dapat menyerang manusia melalui 3 cara yaitu melalui kulit yang
lecet, abrasi atau luka, dapat melalui pernafasan (inhalasi) dan melalui mulut karena
makan bahan makanan yang tercemar kuman antraks misalnya daging yang
terinfeksi yang dimasak kurang sempurna. Spora antraks ini dapat digunakan sebagai
senjata bioterorisme.
Pes (Plague) disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang terdapat pada
binatang pengerat/rodensia seperti tikus/anjing dan dapat menular antar binatang
pengerat melalui gigitan pinjal dan ke manusia melalui gigitan pinjal. Fokus Pes di
Indonesia adalah Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur).

E. Kebijakan Pemerintah Penyakit malaria


1. Menimbang :
c. bahwa sebagai penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-
2019, perlu disusun Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit tahun 2015-2019 yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;
d. Bahwa Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan tahun 2015-2019 sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan nomor
HK.02.03/d1/2088/2015 perlu disesuaikan dengan Keputusan Menteri Kesehatan
nomor HK.01.07/MENKES/422/2017 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2015-2019 (revisi – 1)

2. Mengingat :

n. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003.
Nomor 47, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor. 4287);
o. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587 pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
p. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438)
q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
r. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2010010Tentang
Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
s. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan
(Lembaran-Negara Nomor 59 Tahun 2015);
t. Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
u. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 20152019;
v. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan;
w. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 375/Menkes/SK/V/2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025;
x. Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/422/2017 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 (revisi – 1);
y. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2348/Menkes/Per/XI/2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 356/Menkes/Per/IV/2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan;
z. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2349/Menkes/Per/XI/2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Bidang Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit;

Memutuskan

h. Menetapkan : Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit


Tentang Rencana Aksi Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015-
2019 Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian
i. Kesatu : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-2019
merupakan Dokumen perencanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
selama lima tahun yang berisikan upaya yang akan dilakukan Ditjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit untuk mencapai target indikator program dan kegiatan yang telah
ditetapkan dalam kurun waktu 5 tahun (2015-2019).
j. Kedua : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-2019
tercamtum dalam Lampiran I dengan disertai Matrik Rencana Kinerja dan Pendanaan
sebagaimana Lampiran II.
k. Ketiga : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-2019
digunakan sebagai salah satu pedoman bagi seluruh Satuan Kerja pelaksana program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dalam menyusun Rencana Aksi Kegiatan
l. Keempat : Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015-
2019 digunakan sebagai salah satu pedoman penilaian laporan Akuntabilitas Kinerja
Satuan Kerja di lingkungan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
m. Kelima : Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini berlaku, Keputusan Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan nomor HK.02.03/d1/2088/2015
tentang Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun
2015-2019 dinayatakan tidak berlaku.
n. Keenam: Keputusan Direktur Jenderal ini mulai pada tanggal ditetapkan
1. Pengendalian malaria

Pengendalian penyakit malaria yang merupakan komitmen global telah


menunjukkan pencapaian program yang cukup baik. Annual Parasite Incidence (API)
yang menjadi indikator keberhasilan upaya penanggulangan malaria cenderung
menurun dari tahun ke tahun. Secara nasional kasus malaria selama tahun 1990-2015
cenderung menurun. API pada tahun 1990 sebesar 4,69 per 1000 penduduk turun
menjadi 1,85% pada awal tahun 2009. Pada tahun 2011 angka tersebut turun lagi
menjadi 1,75%, menurun lagi menjadi 1,69% pada tahun 2012, dan terus menurun
menjadi 1,38% pada tahun 2013, mendekati target 1% pada tahun 2014. Pada tahun
2015 target API malaria mencapai target < 1 yaitu 0,85 per 1.00 penduduk.

Walaupun secara nasional kasus malaria telah mengalami penurunan namun


masih terjadi disparitas kejadian malaria di daerah terutama di 5 Provinsi wilayah
Timur Indonesia yaitu di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggra Timur, Maluku dan
Maluku Utara. Berbeda dengan Indikator RPJMN 2010-2014 yang berupa pencapaian
API di bawah 1 per 1000 penduduk, maka pada RPJMN 2015-2019 indikator berupa
jumlah kumulatif kabupaten/ kota mencapai eliminasi malaria. Pada tahun 2014
terdapat 212 kabupaten/kota yang telah mencapai status eliminasi , sehingga masih
terdapat 88 kabupaten/ Kota yang harus mencapai status eliminasi sebagaimana
ditetapkan dalam target RPJMN yaitu 300 Kabupaten/ Kota mencapai eliminasi
Malaria pada tahun 2019.

Untuk mencapai target tersebut, pada tahun 2014-2015 dilakukan upaya


pencegahan berupa pembagian kelambu secara masal (total coverage). Sehingga
diharapkan kasus malaria menurun pada 5 tahun mendatang dan target kab/kota
eliminasi malaria dapat tercapai.

2. Arah Kebijakan dan strategi

Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2015-2019


merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan
(RPJPK) 2005-2025, yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam
lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya di seluruh wilayah Republik lndonesia.

Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya
Umur Harapan Hidup, menurunnya Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka
Kematian Ibu, menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan, maka strategi


pembangunan kesehatan 2005- 2025 adalah: 1) pembangunan nasional berwawasan
kesehatan; 2) pemberdayaan masyarakat dan daerah; 3)pengembangan upaya dan
pembiayaan kesehatan; 4) pengembangan dan dan pemberdayaan sumber daya
manusia kesehatan; dan 5) penanggulangan keadaan darurat kesehatan.

Dalam RPJMN 2015-2019, sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatkan


derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan
pemeratan pelayanan kesehatan.

3. Lingkungan Strategis Regional


Saat mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara efektif
pada tanggal 1 Januari 2016. Pemberlakukan ASEAN Community yang mencakup
total populasi lebih dari 560 juta jiwa, akan memberikan peluang (akses pasar)
sekaligus tantangan tersendiri bagi Indonesia. Implementasi ASEAN Economic
Community, yang mencakup liberalisasi perdagangan barang dan jasa serta investasi
sektor kesehatan. Perlu dilakukan upaya meningkatkan daya saing (competitiveness)
dari fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan dalam negeri. Pembenahan fasilitas-
fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, baik dari segi sumber daya manusia,
peralatan, sarana dan prasarananya, maupun dari segi manajemennya perlu
digalakkan. Akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dan
lain-lain) harus dilakukan secara serius, terencana, dan dalam tempo yang tidak
terlalu lama.

Hal ini berkaitan dengan perjanjian pengakuan bersama (Mutual Recognition


Agreement - MRA) tentang jenis-jenis profesi yang menjadi cakupan dari mobilitas.
Dalam MRA tersebut, selain insinyur, akuntan, dan lain-lain, juga tercakup tenaga
medis/dokter, dokter gigi, dan perawat. Tidak tertutup kemungkinan di masa
mendatang, akan dicakupi pula jenis-jenis tenaga kesehatan lain. Betapa pun, daya
saing tenaga kesehatan dalam negeri juga harus ditingkatkan. Institusi-institusi
pendidikan tenaga kesehatan harus ditingkatkan kualitasnya melalui pembenahan dan
akreditasi.

Terdapat dua tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu: 1)


meningkatnya status kesehatan masyarakat dan; 2) meningkatnya daya tanggap
(responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di
bidang kesehatan.

Rencana Aksi Program P 2P 2015 - 2019 (revisi)

Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua kontinum siklus


kehidupan (life cycle), yaitu bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, kelompok usia kerja,
maternal, dan kelompok lansia.
Tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak (impact atau outcome). Dalam
peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang akan dicapai adalah:

a. Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010), 346
menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
b. Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.
c. Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,
serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
d. Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.

Anda mungkin juga menyukai