Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR Juli 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

UNSTABLE ANGINA PECTORIS

DISUSUN OLEH :
Fidesha Nurganiah Siregar
C111 11 170

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. dr. Abdul Hakim Alkatiri, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Fidesha Nurganiah Siregar


NIM : C11111170
Judul Laporan Kasus : Unstable Angina Pectoris

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan


Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2018

Supervisor Pembimbing,

Dr. dr. Abdul Hakim Alkatiri, Sp.JP, FIHA

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. KM
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : Jalan Pare-Pare 111 BPS n0. 292
Tanggal Masuk : 27-06-2018
No RM : 203152

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan nyeri dada dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan
memberat sejak 5 jam yang lalu, dialami secara tiba-tiba saat istirahat. Nyeri dada
dirasakan seperti tertekan dengan durasi lebih dari 20 menit dan tembus ke
belakang. Keluhan disertai dengan keringat dingin, mual, dan sesak napas. Riwayat
pingsan ada, 1 hari yang lalu.
Batuk (-) Demam (-), Muntah (-). Buang air besar dan buang air kecil normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya ada, sejak satu bulan yang lalu
sebelum masuk rumah sakit.
 Riwayat penyakit jantung koroner ada, sejak 2012
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat dislipidemia disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung tidak ada

3
III. FAKTOR RISIKO
a. Tidak dapat dimodifikasi:
- usia (59 tahun)
- Riwayat penyakit jantung koroner
b. Dapat dimodifikasi:
- Hipertensi
- Hiperkolesterolemia

IV. PEMERIKSAAN FISIS

 Status generalis
Sakit sedang / gizi baik / compos mentis
BB : 50 kg

TB : 155 cm

IMT : 20,81 (Normal)

 Tanda vital
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 68 x kali per menit, reguler
Pernapasan : 20 kali per menit
Suhu : 36.7° C
 Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R + 2 cm H2O
 Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 6 kanan
Auskultasi : BP: vesikular, bunyi tambahan: ronchi -/-,wheezing -/-

4
 Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS 4 garis parasternalis kanan,
dan batas jantung kiri di ICS 5 linea midaksilaris kiri.
Auskultasi : BJ: S I/II murni, regular, dan murmur tidak ada.
 Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : Timpani (+)
 Pemeriksaan Ekstremitas
Pretibial Edema (-)
Dorsal Pedis Edema (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Laboratorium Darah Rutin, Koagulasi, Kimia Darah, Imunoserologi (27/6/2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

WBC 9,5 [10^3/mm3] 4.0 - 10.0


RBC 4.68 [10^6/mm3] 4.50 - 6.50
HGB 13.9 g/d 14.0 – 18.0
HCT 40% 40.0 – 54.0
MCV 85 fL 80.0 – 97.0
MCH 30 pg 26.5 – 33.5
PLT 273 [10^3/mm3] 150 - 400
PT 10,3 detik 10 – 14
INR 0.97 -
APTT 22.1 detik 22.0 – 30.0

5
GDS 110 140
Ureum 24 mg/dl 10 – 50
Creatinine 0.70 mg/dl < 1.1

SGOT 27 U/L < 38

SGPT 31 U/L < 41

CK 27,01 U/L < 167 U/L

CK-MB 16,8 U/L < 25

Troponin I <0.01 ng/ml < 0.01

Natrium 141 mmol/l 136 – 145

Kalium 4.2 mmol/l 3.5 – 5.1

Klorida 108 mmol/l 97 – 111

Laboratorium Kimia Darah (28-06-2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

GDP 96 mg/dL 110


GD2PP 126 mg/dL <200
HbA1c 4,2 % 4-6

Kolesterol Total 231 mg/dL 200


Kolesterol HDL 54 mg/dL >65
Kolesterol LDL 97 mg/dL <130
Trigliserida 126 mg/dL 200

6
b. EKG (17/3/2018)

Interpretasi
 Ritme : sinus ritme

 Denyut Jantung : 70 kali per menit

 Regularitas : ireguler

 Axis : Left Axis Deviation

 Gelombang P : Tinggi dan lebar 0,08 detik, tidak ada pada junction beat

 PR interval : berubah-ubah, 0,16-0,25 detik

 QRS Kompleks : Interval QRS 0,06 detik, tidak selalu diawali gelombang

P dan terdapat pause yang diikuti oleh junctional beats

 Segmen ST : normal

 Gelombang T : T inverted pada sadapan V1, V2, V3

7
 Kesimpulan : Irama sinus ritme, denyut jantung 70 kali/menit iregular,

left axis deviation, junctional disritmia, Junctional escape beats, Long QTc

interval, Old Miocard Infark inferior wall, anteroseptal wall ischemia.

c. Foto Thorax (27/6/2018)


Hasil Pemeriksaan
 Corakan bronchovascular kedua paru normal
 Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru
 Cor: membesar, aorta: normal
 Tulang-tulang intak
 Jaringan lunak sekitar kesan baik
Kesan :
 Cardiomegaly
c. Echocardiograph (04/07/2018)
Kesan :
 Fungsi sistolik ventrikel kiri baik, EF 58,6 % (BIPLANE)
 Dilatasi atrium kanan
 Mitral regurgitasi ringan
 Aorta regurgitasi sedang
 Trikuspid regurgitasi sedang
 Low probability of pulmonal hypertension

VI. DIAGNOSIS
1. Unstable Angina Pectoris
2. Hipertensi Grade I

VII. TERAPI
 NaCl 0,9% (500 ml/24 hours/intravena)
 Oksigen 4 Liter/minute via nasal canul
 Antiplatelet agent : Aspilet 80mg/24 hours/ oral
 Antiplatelet agent : Clopidogrel 75mg/24 hours/oral
 Anticoagulant : Fondaparinux (Arixtra 2,5 mg/24 hours/Subcutan)

8
 Nitrat : nitroglycerin 10 mcg/menit/syringe pump
 Statin : Atorvastatin 40mg/24 hours/oral
 ACE-I : Captopril 12,5 mg/8 hours/oral

VIII. RESUME
Pasien perempuan 59 tahun masuk IGD PJT dengan keluhan Typical Angina
Pectoris pada dada dirasakan sejak 2 hari yang lalu, dan memberat sejak 5 jam yang lalu
sebelum masuk rumah sakit, dirasakan saat istirahat. Keringat dingin ada, mual ada,
sesak napas ada. Riwayat pingsan ada, 1 hari yang lalu. Riwayat keluhan yang sama
ada satu bulan yang lalu, riwayat penyakit jantung koroner ada sejak tahun 2012,
riwayat hipertensi, diabetes mellitus tidak ada, dan dislipidesmia disangkal. Riwayat
keluarga dengan penyakit jantung tidak ada.
Dari pemeriksaan fisis : sakit sedang, gizi baik, compos mentis. Tanda vital :
Tekanan darah tinggi yaitu : 150/90 mmHg, Pernapasan : 20x/menit, Nadi 68x/menit,
Suhu : 36,7°C. Anemis, Ikterus tidak ada. Pemeriksaan kepala dalam batas normal, JVP
R+2 cmH2O. Ronki dan wheezing tidak ada, BJ I/II murni regular, Peristaltik kesan
normal, Organomegali tidak ada, Edema tidak ada.
Pemeriksaan Laboratorium : enzim jantung dalam batas normal dan
kolesterol total yang meingkat (231 mg/dl) . Pemeriksaan EKG : Irama sinus ritme,
denyut jantung 78 kali/menit iregular, left axis deviation, junctional disritmia, junctional
escape beats, long QTc interval, Old Miocard Infark inferior wall, anteroseptal wall
ischemia . Pemeriksaan foto thorax kesan Cardiomegaly. Pemeriksaan echocardiograph
: Fungsi sistolik ventrikel kiri baik, EF 58,6 %(BIPLANE), dilatasi atrium kanan, mitral
regurgitasi ringan, aorta regurgitasi sedang, low probability of pulmonal hypertension.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I. Pendahuluan

Nyeri dada adalah gejala non-Spesifik yang dapat ditimbulkan oleh penyebab
jantung atau non-Jantung. Istilah angina biasanya diperuntukkan untuk sindrom nyeri
yang timbul dari dugaan adanya iskemia miokard.
Istilah awal angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu dan
dimaksudkan untuk menandakan keadaan sedang antara infark miokard dan tingkat
angina stabil yang lebih kronis. Istilah lama, angina preinfark, menyatakan tujuan klinis
berupa intervensi untuk mengecilkan resiko infark miokard atau kematian. Pasien
dengan kondisi ini juga telah dikelompokkan menurut kondisi mereka, hasil tes
diagnostik, atau pengobatan dari waktu ke waktu; kategori-kategorinya termasuk angina
onset baru, angina terakselerasi, angina istirahat (angina rest), angina postinfark awal,
dan angina postrevaskularisasi awal.
Meskipun definisi dan etiologi angina tidak stabil bisa luas, interaksi keterkaitan
antara plak aterosklerotik terganggu (disrupted atherosclerotic plaque) dan trombi
berlapisan hadir dalam banyak kasus angina tidak stabil, dengan defisit hemodinamik
konsekuen atau mikroembolisasi. Ini berbeda dari angina stabil, di mana penyebab khas
yang mendasari adalah stenosis koroner tetap (fixed) dengan aliran darah terganggu dan
lambat, pertumbuhan plak progresif yang memungkinkan untuk berkembangnya
sesekali aliran kolateral.
Penyebab lain angina, seperti kardiomiopati obstruktif hipertrofik (HOCM) atau
penyakit mikrovaskuler (sindrom X), menyebabkan iskemia melalui mekanisme yang
berbeda dan dianggap entitas yang terpisah.(1)

II. Definisi

Angina pektoris atau angina adalah gejala dari nyeri dada atau tekanan yang
terjadi saat jantung tidak menerima cukup darah dan oksigen untuk memenuhi
kebutuhannya. Secara umum, angina hasil dari plak yang terbuat dari lemak kolesterol
atau bangunan lainnya di arteri koroner. Akumulasi plak ini dikenal sebagai penyakit
arteri koroner (CAD). Ketika plak menumpuk di dalam arteri yang cukup koroner

10
seseorang, darah mengalir melewati plak berkurang, merampas otot jantung nutrisi yang
dibutuhkan dan oksigen. Akibatnya, gejala angina dapat terjadi. Angina adalah lebih
mungkin terjadi ketika jantung bekerja lebih keras dan membutuhkan aliran darah
tambahan, seperti selama aktivitas fisik atau stres emosional (American College of
Cardiology Foundation).(1)
Angina tidak stabil atau Unstable Angina Pectoris (UAP) merupakan tipe dari
sindroma koroner akut yang disebabkan oleh obstruksi koroner parsial yang
menyebabkan ketidaseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen sel miokard tidak
seimbang. Angina tidak stabil memberikan gambaran klinis dan patofisiologi yang
mirip dengan Non-ST-segment elevation Miocard Infarct (NSTEMI), sehingga
penatalakasanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis UAP ditegakkan jika pasien
dengan manifestasi klinis Typical Angina disertasi gambaran depresi segmen ST dan
atau T inversi pada EKG, dan tidak ada peningkatan biomarker jantung (14).

III. Faktor Risiko


Tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
Kerentanan terhadap aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya
usia. Namun demikian jarang timbul penyakit serius sebelum umur 40 tahun,
sedangkan mulai usia 40-60 tahun insiden miokard infark meningkat 5 kali lipat.
Hal ini terkait dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang semakin
besar, terkait dengan deposit lemak serta elastisistas pembuluh darah yang
makin menurun seiring dengan bertambahnya umur.(11)

b. Jenis kelamin
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki kecenderungan 5-6 kali dibanding
perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Namun, setelah wanita
menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan asumsi faktor esterogen
pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan menurunkan kadar LDL-C,
meningkatkan HDL-C serta trigliserida. Disparitas ini akan berkurang seiring
dengan pertambahan usia, dengan wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu
wanita cenderung lebih mendapati PJK yang lebih kompleks karena
pertambahan umur yang lebih tua disertai lebih banyak faktor komorbiditas (11).

11
c. Genetik
Terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria brakhialis,
pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media(11).

Dapat dimodifikasi
a. Merokok
Perokok memiliki efek yang luas dan signifikasn sebagai faktor risiko dimana
ahli bedah umum menyatakan “penyebab penyakit dan kematian yang paling
dapat dicegah di United stases”. Perokok meningkatkan risiko penyakit jantung
koroner untuk dirinya sendiri. Ketika ia berinteraksi dengan faktor-faktor lain,
secara besar juga meningkatkan risiko. Merokok meningkatkan tekanan darah,
menurunkan toleransi latihan dan meningkatkan tendensi darah untuk
menggumpal. Merokok juga menyebabkan peningkatan risiko dari kejadian
berulang penyakit jantung koroner setelah operasi bypass. Perokok merupakan
faktor risiko yang sangat penting pada laki-laki dan perempuan. Menghasilkan
risiko relative lebih besar pada orang yang dibawah umur 50 dibanding diatas 50
tahun. Perempuan yang merokok dan menggunakan kontrasepsi oral memiliki
faktor risiko akan penyakit jantung koroner dan stroke dibandingkan perempuan
yang tidak merokok namun menggunakan kontrasepsi oral. Merokok juga
menurunkan HDL, sehingga pada pasien yang memiliki riwayat keluarga
penyakit jantung terlihat memiliki risiko lebih tinggi (12).
b. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia memungkinan timbulnya
aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi sel otot polos pembuluh darah
arteri koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadaar
LDL-C dan kadar HDL-C yang rendah (12).

c. Dislipidemia
Dislipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl dan tinggi apabila
mencapai >160 mg/dldan kadar HDL-C rendah (<40 mg/dl. Risiko aterogenik
yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat teroksidasi dan menimbulkan
deposisi di sirkulasi pembuluh darah. Sedangkan kadar kolesterol HDL yang

12
rendah dapat meningkatkan resiko karena faktor protektif dari HDL yang rendah
seiring dengan kadarnya yang kurang (12).
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko utama pada penyakit kardiovaskuler dan telah
menunjukkan asosiasi yang sangat kuat dengan resistensi insulin. Penurunan
berat badan dapat memperbaiki risiko kardiovaskuler, menurunkan konsentrasi
insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin. Obesitas dan resistensi insulin
juga memiliki hubungan dengan faktor risiko lainnya, termasuk tekanan darah
tinggi (12).
e. Hipertensi
Tekanan darah yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama, dapat merusak
pembuluh darah dan kolestrol LDL mulai berakumulasi dalam tunika intima
dalam dinding arteri. Hal ini menyebabkan beban kerja dari sistem sirkulasi
meningkat dan efisiensinya menurun (12).
Pada pasien hipertensi dengan hiperaktif saraf simpatik akan mempercepat
proses aterosklerosis dengan memperburuk resistensi insulin, melalui
vasokonstriksi simpatis pada ekstraksi glukosa dalam sel otot skelet, resistensi
insulin melalui beta-adenoreseptor, dan vascular rarefaction akibat semakin
kecilnya lumen vaskuler akibat hipertrofi vascular. Hiperaktivitas simpatetik
sendiri juga berkontribusi pada angka kejadian kematian tiba-tiba, spasme
koroner, dan thrombosis koroner. Salah satu faktor utama yang menyebabkan
terbentuknya aterosklerosis pada pasien hipertensi juga adanya stress mekanik.
Stres mekanik ini terdiri dari tiga dimensi gaya : shear stress, tekanan
transmural, dan wall stress. Shear stress memiliki peranan dalam aktivasi
angiotensin II pada pasien hipertensi sejak cultured sel endotel terpapar dengan
shear stress akan memiliki ekspresi gen ACE lebih tinggi. Tekanan transmural
membuat “total tekanan” pada sel endotel in vitro dan sel vaskuler, yang
menyebabkan produksi dan pertumbuhan dari sel-sel halus, yang dapat
menyebabkan peningkatan pelepasan faktor stimulasi dari DNA dan sintesis
protein, peregangan sel otot polos akan meningkatkan aktivitas ACE dan
pertumbuhan sel, yang pada akhirnya menyebabkan hipertrofi sel (13).

13
f. Kurangnya aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang kurang adalah salah satu faktor yang dapat diubah dari
faktor risiko mayor dalam terjadinya resistensi insulin dan penyakit jantung.
Latihan dan menurnkan berat badan dapat mencegah atau menunda onset dari
diabetes mellitus tipe 2, menurunkan tekanan darah, dan membantu menurunkan
risiko serangan jantung dan stroke. Untuk kesehatan jantung, American Heart
Association merekomendasikan :

 Paling tidak aktivitas aerobic dengan inensitas sedang selama 30 menit,


paling kurang 5 hari dalam seminggu. Sehingga total perminggunya 150
menit atau

 Paling tidak 25 menit aktivitas aerobic kuat selama 3 hari dalam


seminggu. Sehingga total perminggunya 75 menit atau kombinasi
dengan intensitas sedang-kuat aktivitas aerobic dan aktivitas penguatan
otot dengan intensitas sedang hingga berat selama 2 hari per minggu
untuk menambah kebugaran (12).

IV. Klasifikasi

Angina diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu angina stabil dan angina tidak
stabil. Angina stabil merupakan hasil dari akumulasi bertahap dari plak di arteri
koroner. Karena hal ini meningkatkan akumulasi, gejala angina mulai terjadi dalam pola
yang diprediksi selama atau setelah latihan fisik atau stres emosional. Pola terprediksi
dapat bertahan selama beberapa minggu, bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Jenis-jenis
kegiatan yang dapat menyebabkan angina stabil termasuk berjalan ke atas bukit atau
tangga, melakukan pekerjaan rumah tangga, mengalami stres emosional yang parah atau
kecemasan, berhubungan seks, paparan suhu dingin, atau konsumsi makanan berat.
Meskipun gejala cukup mengganggu, penderita biasanya tidak menunjukkan bahwa
serangan jantung sudah dekat.
Angina tidak stabil hasil dari pecahnya plak secara tiba-tiba, yang menyebabkan
akumulasi cepat trombosit di situs pecah dan peningkatan mendadak dalam obstruksi
aliran darah di arteri koroner. Akibatnya, gejala angina tidak stabil terjadi tiba-tiba,
sering kali dalam cara yang tak terduga atau tidak terduga. Gejala-gejala mungkin baru,

14
lama, lebih berat, atau terjadi dengan tenaga sedikit atau tidak ada. Angina tidak stabil
juga mungkin kurang responsif terhadap obat nitrogliserin dari angina stabil. Angina
tidak stabil adalah keadaan darurat medis. Dicentang, akumulasi trombosit dan
obstruksi aliran darah dapat mengakibatkan serangan jantung. Ini risiko serangan
jantung tetap bahkan jika gejala angina tidak stabil mengurangi atau menghilang. Jadi,
jika terjadi angina tidak stabil, mencari perhatian medis segera sangat penting.
Angina Mikrovaskular atau Angina Sindrom X ditandai dengan nyeri dada yang
menyerupai angina, namun penyebabnya berbeda. Penyebab angina mikrovaskular
masih belum diketahui secara pasti, namun tampaknya merupakan akibat dari buruknya
fungsi pembuluh darah yang menyempit pada jantung, lengan, dan kaki. Karena angina
mikrovaskular tidak ditandai dengan penyumbatan arteri, membuatnya lebih sulit untuk
dikenali dan didiagnosa, namun prognosisnya sangat baik.(1)

i. Klasifikasi Braunwald
Klasifikasi Braunwald secara konseptual berguna karena faktor-faktornya
pada gambaran klinis (baru atau progresif vs angina istirahat), konteks (infark
primer, sekunder, atau pasca-miokard), dan intensitas terapi antianginal.(1)

Tabel 1. Klasifikasi Braunwald Angina Tidak Stabil


Karakteristik Kategori Detail
Keparahan I Gejala pada saat
beraktifitas
II Gejala subakut pada saat
istirahat (2-30 hari
sebelumnya)
III Gejala akut pada saat
istirahat (dalam waktu 48
jam sebelumnya)
Faktor-faktor yang A Sekunder
mempercepat secara B Primer
klinis C Post-infark

15
Terapi selama gejala 1 Tanpa pengobatan
berlangsung 2 Terapi angina biasa
3 Terapi maksimal

ii. Klasifikasi Canadian Cardiovascular Society


Sistem penilaian Canadian Cardiovascular Society pada angina yang terkait
usaha yang berhubungan dengan angina adalah banyak digunakan karena
merupakan klasifikasi sederhana dan praktis yang sering digunakan untuk
menggambarkan keparahan gejala. Sistem penilaiannya adalah sebagai berikut:
Grade I-Angina dengan pengerahan tenaga yang berat, cepat, atau
berkepanjangan (aktivitas fisik biasa seperti naik tangga tidak memprovokasi
angina).
Grade II-Sedikit terbatasnya aktivitas biasa (Angina terjadi dengan post-
prandial, berjalan menanjak, atau cepat; ketika berjalan lebih dari 2 blok dari
permukaan tanah atau berjalan menaiki lebih dari 1 tangga; selama stres emosional,
atau pada jam-jam awal setelah bangun tidur).
Grade III-Ditandai dengan keterbatasan aktivitas biasa (Angina terjadi
dengan berjalan 1-2blok atau mendaki tangga pada kecepatan yang normal).
Grade IV-Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik apapun tanpa
rasa tidak nyaman(nyeri saat istirahat terjadi).(1)

V. Etiologi

Faktor-faktor yang terlibat dalam etiologi angina tidak stabil adalah sebagai
berikut: ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai, gangguan plak dan ruptur, trombosis,
vasokonstriksi, dan aliran siklis. Iskemia miokard angina tidak stabil, seperti semua
iskemia jaringan, akibat dari kebutuhan yang berlebihan atau tidak memadainya suplai
oksigen, glukosa, dan asam lemak bebas.Kebutuhan oksigen miokard meningkat dapat
disebabkan oleh hal berikut: demam, takiaritmia (misalnya fibrilasi atrium, atau
berdebar), hipertensi malignansi, tirotoksikosis, pheokromositoma, penggunaan kokain,
pemakaian amfetamin, stenosis aorta, stenosis aorta supravalvular, kardiomiopati
obstruktif, aortovenous shunts, output tinggi, kegagalan kongestif. Penurunan suplai

16
oksigen dapat disebabkan oleh hal berikut: anemia, hipoksemia, polisitemia, dan
hipotensi.
Penyebab di atas harus diselidiki karena sebagiannya adalah reversibel.
Misalnya, anemia akibat perdarahan gastrointestinal kronis tidak jarang pada pasien usia
lanjut. Hal ini dapat hidup berdampingan dengan penyakit arteri koroner. Namun,
pasien tidak dapat mengambil manfaat atau mungkin dirugikan oleh pengobatan seperti
antikoagulan dan obat antiplatelet. Penghindaran atau pengobatan penyakit yang
mendasarinya adalah yang terpenting.
Akumulasi makrofag sarat lemak dan sel otot polos, yang disebut sel busa,
terjadi dalam masa plak aterosklerotik. The low-density lipoprotein cholesterol (LDL-C)
yang teroksidasi dalam sel busa merupakan sitotoksik, prokoagulan, dan kemotaksis.
Ketika plak aterosklerotik berkembang, produksi protease makrofag dan elastasis
neutrofilpada plak dapat menyebabkan penipisan selubung fibromuskular yang
melingkupi inti lipid. Peningkatan ketidakstabilan plak ditambah dengan aliran darah
bergeser dan stres dinding sekeliling menyebabkan plak robek atau pecah, terutama di
penghubung selubung fibromuskular dan dinding pembuluh darah.
Kebanyakan pasien dengan sindrom koroner akut telah mengurangi transien
berulang suplai darah koroner karena vasokonstriksi dan pembentukan trombus di
lokasi ruptur plak aterosklerosis. Peristiwa ini terjadi karena agregasi trombosit episodik
dan interaksi yang kompleks antara dinding pembuluh darah, leukosit, trombosit, dan
lipoprotein aterogenik.
Paparan komponen subendothelial memprovokasi adhesi trombosit dan aktivasi.
Kemudian agregat dalam menanggapi kolagen dinding pembuluh terkena atau agregat
lokal (misalnya, tromboksan, adenosin difosfat) platelet. Trombosit juga melepaskan zat
yang mempromosikan vasokonstriksi dan produksi trombin. Dalam cara reciprocating,
trombin merupakan agonis kuat untuk aktivasi platelet lebih lanjut, dan menstabilkan
trombi dengan mengkonversi fibrinogen fibrin.
Para trombus nonocclusive dari angina tidak stabil bisa menjadi transiently atau
terus-menerus oklusif. Tergantung pada durasi oklusi, adanya pembuluh kolateral, dan
daerah miokardium perfusi, angina tidak stabil berulang, NQMI, atau Q-gelombang
dapat mengakibatkan infark.

17
Vasospasme, diprovokasi oleh baik ergonovine atau asetilkolin, merupakan
temuan umum pada pasien dengan sindrom koroner akut, khususnya pada pasien
Taiwan dan Jepang. Meskipun berkorelasi dengan nyeri dada, apakah ini
hiperreaktivitas koroner menyebabkan sindrom koroner akut atau hanya merupakan
temuan terkait tidak diketahui.
Sindrom koroner akut mungkin melibatkan gumpalan dalam fluks (yaitu,
membentuk dan memperbesar, chipping-off dan embolizing). Ini pembentukan bekuan
dinamis dan / atau lisis, dari waktu ke waktu, dalam hubungannya dengan vasoreactivity
koroner dan perlawanan di tempat tidur mikrovaskuler, menyebabkan intermiten dan
alternating (atau siklus) oklusi dan aliran.(2)

VI. Patofisiologi

Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak
menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard. Beberapa
keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun bersamasama yaitu :
1. Faktor di luar jantung. Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan
cadangan aliran koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia,
tirotoksikosis dan pemakaian obatobatan simpatomimetik dapat meningkatkan
kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara kebutuhan
dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik seperti anemi
dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2 ke miokard.

2. Sklerotik arteri coroner. Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan


cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik
yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat
penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai dengan
gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal yang disebabkan
oleh gangguan aliran koroner sementara akibat sumbatan maupun spasme
pembuluh darah.

3. Agregasi trombosit. Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan


stasis aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang

18
akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah terjadinya
vasokonstriksi pembuluh darah.

Gambar 1. Patogenesis Atheroskelorosis

4. Trombosis arteri coroner. Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah
yang sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas
menjadi mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal.
Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.

5. Pendarahan plak atheroma. Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh


darah kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang
menyebabkan penyempitan arteri koroner.

6. Spasme arteri coroner. Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya


aliran koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyebab
ATS. Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis
pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan kerusakan
arteri, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan trombus pembuluh
darah.

19
Gambar 2. Proses Rupturnya Plak Atheroma
Beberapa faktor risiko yang ada hubungannya dengan proses aterosklerosis antara
lain adalah :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah : Umur, jenis kelamin dan riwayat
penyakit dalam keluarga.

2. Faktor risiko yang dapat diubah : Merokok, hiperlipidemi, hipertensi, obesitas


dan DM.(3)

VII. Diagnosis
i. Riwayat
Pasien dengan angina tidak stabil mewakili populasi heterogen. Oleh karena
itu, dokter harus memperoleh riwayat terfokus gejala pasien dan faktor-faktor risiko
koroner dan segera meninjau EKG untuk mengembangkan stratifikasi risiko awal.
(Lihat Prognosis.)

20
Awalnya mendapatkan sejarah untuk menentukan apakah bukti angina
hadir, dan kemudian bertujuan untuk mengidentifikasi apakah stabil atau tidak
stabil.
ii. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaanfisik biasanyatidak sensitifatauspesifik untukangina tidak
stabilsebagai sejarahatau tesdiagnostik.Sebuahpemeriksaan fisikbiasa-biasa
sajatidak jarang. Lakukanpenilaiancepattanda-tanda vitalpasien', dan melakukan
pemeriksaanjantung. Diagnosis tertentuyang haruseksplisit dipertimbangkanadalah
sebagai berikut:
 Diseksi aorta
 Bocoratau pecahaneurismatoraks
 Perikarditisdengantamponade
 Emboliparu
 Pneumotoraks
Angina tidak stabil berbeda dari angina stabil dalam ketidaknyamanan
biasanya lebih intens dan mudah terprovokasi, dan ST-segmen depresi atau elevasi
pada EKG dapat terjadi. Jika tidak, manifestasi dari angina tidak stabil adalah mirip
dengan kondisi lain dari iskemia miokard, seperti angina stabil kronis dan infark
miokard.
Angina dapat mengambil banyak bentuk, dan penyelidikan harus diarahkan
tidak hanya memicu nyeri dada tetapi juga rasa tidak nyaman dan frekuensi, lokasi,
pola radiasi, dan mempercepat dan mengurangi faktor. Nyeri iskemik dapat
bermanifestasi sebagai berat, sesak, sakit, kepenuhan, atau pembakaran dada,
epigastrium, dan / atau lengan atau lengan (biasanya sebelah kiri). Sensasi ini
biasanya melibatkan kurang rahang bawah, leher, atau bahu. Gejala yang terkait
penting dapat dispnea, kelelahan umum, diaforesis, mual dan muntah, gejala seperti
flu, dan, kurang umum, ringan atau sakit perut.(4)
iii. Trombolisis pada Skor Risiko Myocardial Infarction
Skor TIMI Risiko untuk angina tidak stabil / NSTEMI saat ini instrumen-
terbaik divalidasi prognostik yang cukup sederhana untuk digunakan dalam suasana
gawat darurat. Gradien dari infark miokard, iskemia berulang parah, atau kematian
agak proporsional dengan Skor Risiko TIMI (lihat grafik di bawah), meskipun

21
prognosis yang buruk tampaknya dikurangi dengan menggunakan strategi
antitrombotik baru.
Trombolisis di Myocardial Infarction (TIMI) Risiko Skor, meskipun
prognosis yang buruk tampaknya dikurangi dengan menggunakan strategi
antitrombotik baru.
Titik belok untuk infark miokard atau kematian dimulai pada Skor Risiko
TIMI 3. Oleh karena itu, pasien dengan skor3-7 harus dipertimbangkan untuk
penggunaan intravena glikoprotein IIb/IIIa agen, heparin(berat molekul rendah
atauterpecah), dan kateterisasi jantung dini (lihat Pengobatan dan Manajemen).
Kehadiran salah satu variabel-variabel berikut merupakan 1 poin, dengan
jumlah yang merupakan skor risiko pasien pada skala 0-7:
 Berusia 65 tahun atau lebih
 Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
 Dikenal stenosis koroner 50% atau lebih
 Peningkatan jantung penanda serum
Setidaknya 3 faktor risiko untuk penyakit arteri koroner (termasuk
diabetes melitus, perokok aktif, riwayat keluarga penyakit arteri koroner,
hipertensi, dan hiperkolesterolemia). Pada gejala angina (2 atau lebih peristiwa
angina dalam 24 jam terakhir).
Deviasi ST pada EKG Varian (Prinzmetal) angina ditandai dengan
transien ST-segmen elevasi dan dapat melibatkan beberapa wilayah arteri
koroner. Pasien biasanya menanggapi nitrogliserin dan dosis tinggi, dan kadang-
kadang bahkan ganda, kalsium channel blocker terapi.(5)
iv. Studi Darah Lainnya
Penghitungan CBC membantu dalam menyingkirkan anemia sebagai
penyebab sekunder dari sindrom koroner akut. Leukositosis memiliki nilai
prognostik dalam pengaturan infark miokard akut.
Tutup pemantauan tingkat potasium dan magnesium sangat penting pada
pasien dengan sindrom koroner akut karena tingkat rendah mungkin
mempengaruhi mereka untuk aritmia ventrikel. Rutin pengukuran kadar kalium
serum dan koreksi yang cepat direkomendasikan.

22
Tingkat kreatinin juga diperlukan, terutama jika dianggap kateterisasi
jantung. Penggunaan N-asetilsistein dan hidrasi yang cukup dapat membantu
mencegah bahan kontras nefropati. Interleukin 6 adalah penentu utama dari
protein fase-akut reaktan dalam hati, dan amiloid Sebuah serum merupakan
reaktan fase akut. Ketinggian salah satu dari ini dapat prediksi dalam
menentukan peningkatan risiko hasil yang merugikan pada pasien dengan angina
tidak stabil.(5)
v. Elektrokardiografi
Baris pertama penilaian pada setiap pasien dengan angina tidak stabil
dicurigai adalah EKG 12-lead, yang harus diperoleh dalam waktu 10 menit dari
kedatangan pasien ke gawat darurat. Akurasi diagnostik EKG ditingkatkan jika
menelusuri sebelum tersedia untuk perbandingan.
Tertinggi berisiko temuan EKG (ST-segmen elevasi atau baru kiri-blok
cabang berkas) memerlukan triase untuk terapi revaskularisasi segera. Gelombang
T yang memuncak juga bisa menandakan infark miokard awal.
Tingkat berikutnya pasien berisiko tinggi termasuk orang-orang dengan
depresi ST lebih besar dari 1 mm pada EKG. Sekitar 50% dari pasien dengan
temuan ini telah nekrosis miokard subendocardial. Kehadiran ST-segmen depresi
menandakan relatif tinggi di rumah sakit, 30-hari, dan 1-tahun tingkat kematian
terlepas dari tingkat biomarker jantung.
Baru atau reversibel ST-segmen deviasi 0,5 mm atau lebih dari awal telah
dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi (15,8% vs 8,2%) dari 1-tahun kematian
atau infark miokard dalam penelitian TIMI-III EKG Registry Tambahan.(5)
Berikut perbedaan tampilan EKG infark miokardium pada UAP/NSTEMI
dan STEMI:

Gambar 3. Kelainan EKG pada UAP dan NSTEMI

23
vi. Radiografi Dada
Lakukan radiografi dada untuk mengevaluasi pasien untuk tanda-tanda
gagal jantung kongestif dan untuk penyebab lain dari gejala dada seperti
pneumotoraks, infeksi paru atau massa, hipertensi pulmonal, dan pelebaran
mediastinum.(5,6)
vii. Ekokardiografi
Jika tersedia secara cepat, ekokardiografi dapat memberikan evaluasi cepat
fungsi ventrikel kiri untuk prognosis (yang buruk ketika fraksi ejeksi ventrikel kiri
adalah <40%) atau untuk diagnosis, seperti ketika baru segmental dinding gerakan
kelainan yang terdeteksi (misalnya, sakit dada pasca infark atau post-
revascularization di mana dasar fungsi ventrikel kiri yang diketahui). Namun, perlu
diingat bahwa infark kecil mungkin tidak terwujud pada echocardiogram
tersebut.(5,6)

viii. Magnetic Resonance Imaging


MRI mapan dan mampu mendeteksi sesedikit parut 1%, yang merupakan
faktor prognostik yang kuat [10, 11]. MRI juga mapan untuk deteksi dan
karakterisasi komplikasi infark miokard. MRI mungkin menemukan kelainan
gerakan dinding dan infark terjawab oleh ekokardiografi karena resolusi yang lebih
tinggi dan cakupan penuh dari MRI, ekokardiografi drop out dari paru-paru atau
tulang rusuk, dan ketergantungan sudut echocardiography, yang mungkin
kehilangan daerah yang terkena, seperti puncak nyata.(5,6,7,8)

ix. Latihan Pengujian (Tread Mill)


Pengujian latihan tidak biasanya dilakukan pada fase akut angina tidak
stabil atau pada subyek dengan angina istirahat terakhir. Namun, subyek dalam
aktivitas penyakit yang menjadi dikendalikan setelah beberapa hari terapi medis
dapat dengan aman menjalani tes stres sebelum dikeluarkan dari rumah sakit.
Bila mungkin, pengujian predischarge adalah khusus untuk minggu
pengujian untuk bulan berikutnya debit karena tidak ada nilai prognostik yang
hilang dengan pengujian awal dan karena proporsi yang relatif tinggi Adverse
Cardiac Events terjadi lebih awal daripada kemudian.(7)

24
x. Enzim Marker
Enzim LDH, CPK dan CK-MB Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK
dapat normal atau meningkat tetapi tidak melebihi nilai 50% di atas normal. CK-
MB merupakan enzim yang paling sensitif untuk nekrosis otot miokard, tetapi
dapat terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar
enzim secara serial untuk menyingkirkan adanya IMA. (7)

VIII. Penanganan

Tindakan Umum Dan Langkah Awal


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan
diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang
dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus
diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<95% atau yang mengalami distres respirasi. Suplemen oksigen dapat diberikan
pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan
saturasi O2 arteri.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A).
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMIyang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan
dosispemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapireperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP
yang dianjurkan adalah clopidogrel)

25
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikanpada pasien yang tidak responsif
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.Dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. (15)
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah, dapat diberikan pada
Kemungkinan / Definitif SKA sesegera mungkin / di layanan primer sebelum dirujuk.

Terapi lainnya
Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekatbeta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkanturunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya

26
tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikuler yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan
kasus,preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapatindikasi kontra.
Penyekat beta oral hendaknya diberikandalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga
diindikasikanuntuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada
indikasi kontra. Pemberian penyekat beta pada pasien denganriwayat pengobatan
penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk
klasifikasi Kilip ≥III. Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek klinik
dapat dilihat pada tabel 12.

b. Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efeklain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normalmaupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam faseakut dari
episode angina.

2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya


mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra.

27
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, atau hipertensi
dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena
tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas
seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).

4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infarkventrikel kanan.

5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam48 jam. Waktu yang
tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.
(PERKI, 2015)

c. Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyaiefek


vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atauAV Node.
Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SANode dan AV
Nodeyang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. SemuaCCB tersebut di atas
mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Olehkarena itu CCB, terutama
golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihanuntuk mengatasi angina vasospastik.
Studi menggunakan CCB pada UAP danNSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang
seimbang dengan penyekatbeta dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien
yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI
denganindikasi kontra terhadap penyekat beta.

28
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
terapi penyekat beta.
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release)
tidakdirekomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.

Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontradengan dosis
loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategipengobatan yang diberikan.
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih.
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikanbersama
DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambatreseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko
seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun,serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid.
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak
kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadianiskemik
sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180
mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang
strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan)
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mgsetiap hari.

29
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300mg diikuti
dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang
dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisamendapatkan ticagrelor.
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa
risiko perdarahan yang meningkat.
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang
perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 harisetelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secaraklinis memungkinkan, kecuali
bila terdapat risiko kejadian iskemik yangtinggi.
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2
selektif dan NSAID non-selektif ).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa
memperdulikanjenis stent.(15)

Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi anti platelet secepat
mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yangmendapatkan
terapi antiplatelet.
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan daniskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko
yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara
subkutan 4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka
yang mendapatkan penghambat reseptor GP IIb/IIIa) perlu diberikan saat IKP.

30
4. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
5. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat
molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparintidak tersedia.
6. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
7. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.

Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya
dimulai sebelum pasien keluar rumahsakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL <100 mg/dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL
mungkinuntuk dicapai. (15)

IX. Prognosis
Pertanda klinis (Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti
usia lanjut, adanya diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis
pasien dapat diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya
gejala saat istirahat memberikan prognosis yang buruk. Selain itu, nyeri yang
berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung
juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan diagnosis dan
penanganan segera).(9,10)

31
DAFTAR PUSTAKA

1. LieK.LbeckerA.E:ClaasificationofAnginainwhatisAngina?AB.HasaleSweden,
1983.

2. Stone GW, Maehara A, Lansky AJ, de Bruyne B, Cristea E, Mintz GS, et al. A
prospective natural-history study of coronary atherosclerosis. N Engl J Med. Jan
20 2011;364(3):226-35.
3. JacksonG.:Ischeheart
diseaseclinical&managementincardiovascularupdate,updatePublications,
England, 1984.

4. Ong P, Athanasiadis A, Hill S, Vogelsberg H, Voehringer M, Sechtem U.


Coronary artery spasm as a frequent cause of acute coronary syndrome: The
CASPAR (Coronary Artery Spasm in Patients With Acute Coronary Syndrome)
Study. J Am Coll Cardiol. Aug 12 2008;52(7):523-7.
5. Scirica BM, Moliterno DJ, Every NR, Anderson HV, Aguirre FV, Granger CB,
et al. Differences between men and women in the management of unstable
angina pectoris (The GUARANTEE Registry). The GUARANTEE
Investigators. Am J Cardiol. Nov 15 1999;84(10):1145-50.
6. GRACE, Global Registry of Acute Coronary Events. Available at
http://www.outcomes-umassmed.org/grace/. Accessed November 14, 2011.
7. Lupón J, Valle V, Marrugat J, Elosua R, Serés L, Pavesi M, et al. Six-month
outcome in unstable angina patients without previous myocardial infarction
according to the use of tertiary cardiologic resources. RESCATE Investigators.
Recursos Empleados en el Síndrome Coronario Agudo y Tiempos de Espera. J
Am Coll Cardiol. Dec 1999;34(7):1947-53.
8. Kwong RY, Sattar H, Wu H, et al. Incidence and prognostic implication of
unrecognized myocardial scar characterized by cardiac magnetic resonance in
diabetic patients without clinical evidence of myocardial infarction.
Circulation. Sep 2 2008;118(10):1011-20.
9. [Guideline] Wright RS, Anderson JL, Adams CD, Bridges CR, Casey DE Jr,
Ettinger SM, et al. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guidelines for the

32
Management of Patients With Unstable Angina/Non-ST-Elevation Myocardial
Infarction (Updating the 2007 Guideline): A Report of the American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Circulation. Mar 28 2011;
10. Yetty
H.S:AnginaPektorisTakStabil:Prognosis,InsideninfarkdanTingkatKemaian,
Fakultas pascasarjana, UI, 1989.

11. Price, E et al. 2012. Characteritics and Outcome in Acute Coronary Syndrome
Patients with and without Established Modifiable Cardiovascular Risk Factors :
Insight from the Nationwide AMIS Plus Registry 1997-2010. Cardiology; 121 :
228-236.
12. American Heart Association. 2015. Acute Coronary Syndrome (last reviewed
July 2015).
13. Picariello, C et al. 2011. The Impact of Hypertension on Patients with Acute
Coronary Syndromes. Hindawi International Journal Hypertension : 563657.
PMCID : PMC3124673
14. Lilly LS. 2011. Pathophysiology of Heart Disease 5th ed. Baltimore: Lippincott
Williams Wilkins
15. Indonesia PDSK. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 2015;3.

33

Anda mungkin juga menyukai