Di Magelang terdapat sebuah bukit yang berada di tengah-tengah kota. Bukit itu sangat
terkenal karena menjadi salah satu tempaan para taruna AKABRI. Bahkan bukit itu menjadi
salah satu ciri khas kota itu. Namanya bukit Tidar, atau lebih dikenal sebagai Gunung Tidar.
Konon Gunung Tidar merupakan pusat atau titik tengah Pulau Jawa.
Pengenalan
Syahdan, dahulu kala Tanah Jawa ini masih berupa hutan belantara yang tiada
seorangpun berani tinggal di sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini dahulu masih dikuasai
berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah
oleng oleh ombak laut yang besar. Maka melihat itu para dewata segera mencari cara untuk
mengatasinya.
Munculnya masalah
Maka berkumpullah para dewa untuk membahas persoalan Tanah Jawa yang tidak
pernah tenang oleh hantaman ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan
pulau ini. Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat. Namun,
tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para dewa dan bala tentara
hanya menempati wilayah barat. Agar seimbang, sebagian dikirim ke timur. Namun usaha ini
tetap gagal.
Melihat kenyataan itu maka para dewa sibuk mencari jalan pemecahan. Setelah
beberapa waktu berembug, maka didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para
dewa harus menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan ditancapkan di pusat Tanah
Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan Pulau Jawa seimbang. Paku raksasa yang
ditancapkan itu konon dipercaya sebagian masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah
paku raksasa itu ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak.
Menuju konflik
Alkisah, datanglah seorang manusia yang terkenal berani untuk mencoba membuka
wilayah Tidar untuk ditinggali. Ksatria berani ini berasal dari tanah jauh. Konon ia berasal
dari negeri Turki, bernama Syekh Bakir dan ditemani Syekh Jangkung. Kedua syekh ini
disertai juga oleh tujuh pasang manusia, dengan harapan dapat mengembangkan masyarakat
yang kelak mendiami wilayah itu.
Ketegangan
Mendengar kabar itu, Kiai Semar murka. Diseranglah mereka oleh anak buah Kiai
Semar, dan tiada seorangpun yang selamat kecuali Syekh Bakir yang sakti, soleh, dan sabar.
Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, ia bertemu dengan Kiai Semar.
“Hei, Ki Sanak, berani benar kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa permisi. Siapakah
engkau dan apa maumu berada di wilayah ini,” kata Kiai Semar.
“Duh penguasa wilayah Tidar, ketahuilah olehmu bahwa namaku Syekh Bakir, asalku dari
negeri Turki nun jauh di sana. Adapun kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku
akan tinggal di sini bersama saudara dan sahabatku,” jawab Syekh Bakir dengan tenang.
“Adakah kau tahu bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaanku? Siapapun tak boleh tinggal
di sini. Jika tiada peduli, maka akau akan mnegutus anak buahku untuk menumpas kalian
tanpa sisa.”
“Hai engkau yang mengaku sebagai penguasa Gunung Tidar, tidakkah kau tahu bahwa tiada
yang dapat melebihi kekuasaan Allah? Allah menciptakan manusia untuk menjaga dan
memelihara alam semesta ini, bukan untuk menguasainya secara semena-mena,” kata Syekh
Bakir.
“Hei manusia, sebelum kemarahanku memuncak, tinggalkan tempat ini! Ketahuilah bahwa
tempat ini sudah menjadi milikku, dan jangan mencoba merampasnya.” Syekh Bakir terdiam.
Mendengar ancaman Kiai Semar, ia lalu mengalah. Tetapi bukan berarti ia menyerah
kalah. Tetapi sebaliknya Syekh Bakir hendak menyiapkan diri lebih baik untuk mengalahkan
Kiai Semar dan bala tentaranya.
Sesampai di negeri Turki, ia mengambil sebuah tombak sakti yang bernama Kiai
Panjang. Selain itu, iapun menyiapkan lebih banyak lagi manusia yang akan diajak serta
untuk membuka tempat tinggal baru di Tidar.
Sesampai kembali di Tidar, berpasang-pasang manusia yang diajak serta oleh Syekh
Bakir tinggal lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal dengan
nama Desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna “turunan”. Ada yang mengatakan arti
dari turunan itu adalah keturunan, tetapi ada yang menganggapnya sebagai daerah pertama
kali sahabat-sahabat Syekh Bakir diturunkan dan tinggal di tempat itu untuk sementara
waktu.
Penyelesaian
Setelah itu Syekh Bakir berangkat sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk bersemadi.
Tombak pusaka sakti Syekh Bakir ditancapkan tepat di Puncak Tidar sebagai penolak bala.
Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai Semar dan
wadyabalanya.
Merekapun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar. Kiai Semar dan
sebagian tentaranya melarikan diri ke timur dan konon hingga sekarang menempati daerah
Gunung Merapi yang masih dipercaya sebagian masyarakat sebagai wilayah yang angker.
Bahkan sebagian lagi anak buah Kiai Semar ada yang melarikan diri ke alas Roban, bahkan
ke Gunung Srandil. Tombak itu sekarang masih dijaga oleh masyarakat dan dimakamkan di
puncak Gunung Tidar dengan nama Makam Tombak Kiai Panjang.
Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin
dan makhluk halus. Syekh Bakirpun akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya untuk
membuka tempat tinggal baru di Gunung Tidar dan sekitarnya.
KARAKTERISTIK TEKS HIKAYAT GUNUNG TIDAR DAN TOMBAK KIAI
PANJANG
Di Pusat Kota Magelang terdapat sebuah bukit gagah nan megah. Konon katanya,
bukit tersebut merupakan inti dari segala kehidupan di Pulau Jawa. Bukit tersebut biasa
disebut Bukit Tidar atau lebih akrab disapa Gunung Tidar. Dahulunya, Gunung Tidar adalah
rumah yang nyaman bagi puluhan ribu makhlus halus. Hingga sampailah pada suatu kisah...
Di sudut Kota Turki, aku menunggu sahabat-sahabatku sebanyak 8 orang yang salah
satunya bernama Syekh Jangkung. Aku dan sahabatku berencana untuk berkelana ke salah
satu daerah di Nusantara yang bernama Gunung Tidar. Dimana katanya daerah tersebut
merupakan kerajaan makhlus halus yang sangat besar.
Kapal yang akan aku tumpangi mulai bersandar. “Ayo, segera menuju ke kapal. Kita
akan segera berangkat!” kataku. “Iya Syekh Bakir, Apa semua barang sudah siap?” ucap
Syeikh Jangkung. “Semua sudah siap,” jawab nahkoda kapal.
Kapal pun berlayar menuju tengah samudera. Di tengah samudera, kapalku
terombang-ambing bagaikan bunga kapas yang terjatuh. “Segera bersiap sahabatku, kapal
kita akan segera sampai di tempat tujuan,” ucapku.
Kapal pun berlabuh. Aku dan 8 orang sahabatku mencoba menuruni kapal dengan
berhat-hati. Tiba-tiba, salah satu sahabatku tergelincir dan tercebur. Ia lantas berteriak
“sahabatku, tolong diriku. Diriku terlahap ombak,”. Sontak aku dan sahabatku yang lain
tertawa terbahak-bahak.
Setelah insiden tersebut, aku dan 8 orang sahabatku melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki. 6 jam kemudian, aku dan 8 orang sahabatku tiba di pintu gerbang Gunung
Tidar. Aku melihat di sekelilingku, pohon-pohon menjulang tinggi. Di dekat pintu gerbang
terdapat 2 pohon beringin besar dengan akar-akar menjuntai hingga menyentuh tanah. Semak
belukar yang nampak tak terawat disertai suara serangga hutan yang saling bersahutan
menyambut kedatangan kami yang bertujuan untuk mengusir seluruh makhluk halus yang
ada di hutan ini.
Aku dan 8 orang sahabatku melanjutkan perjalanan lebih dalam lagi. Di tengah
perjalanan, kami dikejutkan oleh datangnya angin kencang disertai gemuruh hebat. “Selamat
datang di hutanku yang sangat kecil ini. Perkenalkan namaku Kiai Semar. Akulah sang
penguasa disini. Siapa engkau? Berani-beraninya datang kesini. Apa maksud dan
tujuanmu?,” ucapnya.
“Perkenalkan namaku Syekh Bakir, asalku dari negeri Turki yang jauh di sana.
Adapun kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku akan tinggal di sini bersama
sahabatku,” ucapku. “Pergi kau darisini! sebelum kemarahanku memuncak, tinggalkan
tempat ini! Ketahuilah bahwa tempat ini sudah menjadi milikku, dan jangan mencoba
merampasnya,” bentak Kiai Semar.
Tanpa banyak berpikir akhirnya Kiai Semar dan pasukan makhlus halusnya
menyerang aku dan 8 sahabatku. Aku dan 8 sahabatku yang belum siap langsung terluka
parah. Hingga 8 orang sahabatku meninggal dunia. Aku mengepalkan tanganku hingga buku-
buku jariku memutih. Aku berteriak dengan lantang “Kau yang melukai sahabatku! Kau yang
membunuh sahabatku! Kau yang akan kuhabisi setelah ini! Tunggulah kehadiranku!”
Akupun kembali ke Turki dengan nafsu ingin menghabisi Kiai Semar. Di Turki, aku
mempersiapkan segalanya dengan lebih baik lagi. Setiap hari aku bersemedi. Hingga pada
suatu hari aku mendapatkan suatu tombak sakti bernama Tombak Kiai Panjang.
Satu tahun kemudian, aku pun kembali ke Gunung Tidar dengan persiapan yang lebih
matang. Beribu-ribu sahabatku ikut dalam perjalananku kali ini. Tak lupa, Tombak Kiai
Panjangku yang sakti kubawa.
Sesampainya di depan gerbang Gunung Tidar, aku berteriak “Hei Kiai Semar, keluar
kau! Aku kembali!”. Kiai Semar yang terusik oleh teriakanku terbangun dari pertapaannya
dengan membawa ribuan makhluk halus.
“Berani-beraninya kau datang kembali! Tidak usah banyak cakap kita tunjukkan saja
siapa yang lebih hebat disini,” ucap Kiai Semar.
Pertarungan yang sengit pun berlangsung. Sampai akhirnya kedua kubu kehabisan
energi dan pasukan. Akupun teringat akan tombak sakti ku. Tanpa pikir panjang kuambil
Tombak Kiai Panjang ku dan kutancapkan tombak itu tepat di puncak Gunung Tidar.
Kiai Semar dan pasukan makhlus halusnya merasakan panas yang luar biasa rasanya.
Mereka pun lari tunggang langgang menjauhi Gunung Tidar. Beberapa pasukan berlari dan
mendiami Gunung Merapi.
Aku dan ribuan sahabatku tersenyum lega. Akhirnya kami berhasil mendiami Gunung
Tidar. Kami pun hidup dengan bahagia.
Gaya bahasa :
Majas Personifikasi
Majas Hiperbola
Majas Perumpamaan
Majas Simbolik
Majas Litotes
Majas Repetisi