Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

“Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan”

Dosen Pembimbing : Chau Kim Jiu, PhD

Disusun oleh :

Nava Febrianty S171260040

Febrian Suprianda S171260037

Evatur Rahmi S171260031

Rafiqah S171260036

Kurniati Siska S171260046

M. Riduan S171260026

PRODI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN

MUHAMMADIYAH PONTIANAK

2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kita curahkan kepada allah swt, karena atas
limpahan karunianya tugas makalah tentang Asuhan Keperawatan pada Lansia
dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan ini dapat selesai. Shalawat serta
salam semoga tercurahkan kepada rasulullah muhammad saw. Banyak kesulitan
dan hambatan yang kami hadapi dalam membuat makalah tentang Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan tapi
dengan semangat kegigihan serta arahan dan bimbingan dari dosen pembibing
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas makalah tetang Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan dengan
baik, oleh karena itu kami berterimakasih kepada berbagai yang telah bekerja
sama.

Kami menyimpulkan bahwa makalah Asuhan Keperawatan pada Lansia


dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan cukup kini belum sempurna oleh
karena itu kami menerima saran dan kritik guna kesempurnaan makalah Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan.

Pontianak, 16 November 2019

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Tujuan .......................................................................................................... 3

BAB II ..................................................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4

A. Definisi ......................................................................................................... 4

B. Etiologi ......................................................................................................... 6

C. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus ..................................................... 8

D. Patofisiologi ............................................................................................... 11

E. Tanda dan Gejala........................................................................................ 12

F. Pemeriksaan penunjang.............................................................................. 12

G. Asuhan Keperawatan ................................................................................. 15

BAB III ................................................................................................................. 24

PENUTUP ............................................................................................................. 24

A. KESIMPULAN .......................................................................................... 24

B. SARAN ...................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan


kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan
proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan
umumnya dialami pada semua makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem.
Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam
parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya


daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar
tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai
penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah
mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan
terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem
pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan

1
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi
merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka
masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada


organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel
serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami
yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi
pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations),
ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan
dialami bersamaan dengan proses kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun


mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera,
menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun
tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka
masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering


ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

2
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang
dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa,
malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter,
dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan,
sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak


yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan
dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang
tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada


lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada
lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor
pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada
lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin
pada lanjut usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut
usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada
lanjut usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia
urin pada lanjut usia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat


sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra
eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit
sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin
merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap
untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat
berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran,
dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak


yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan
dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang
tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006

1. inkontinensia dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami


pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan


seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam
sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh
tidak dapat menahan kencing segera setelah

4
timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.

1. inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami


pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
1. inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya
urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker,
2007).
1. inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan


oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan

5
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau
spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur

1. inkontinensia keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran


fungsional urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai
dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

B. Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi


dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani

6
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat,
atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi
karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit


yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi
jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu
diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa,
agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga
terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas
dan operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan


melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat

7
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun
ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor
risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan
dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul
(Darmojo, 2009).

C. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus

a. Usia

Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena
sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia
lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya
terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal
tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga
pada manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada
eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter sehingga terjadi
inkontinensia (Asmadi, 2008).

b. Diet

Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya


jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi
karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang
banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan
menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu.

8
Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar
terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ
pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).

c. Cairan

Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal


untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan
lebih pekat(Asmadi, 2008).

d. Latihan fisik

Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus


otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat
penting bagi miksi (Asmadi, 2008).

e. Stres psikologi

Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan


mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).

f. Temperatur

Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh


karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh
akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi
dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat
memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan
penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).

9
g. Nyeri

Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).

h. Sosiokultural

Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di


masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka
sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang
digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006).

i. Status volume

Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam


keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan
produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat
glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).

j. Penyakit

Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih,
dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya
diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik
yang mengubah fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi
degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap
akhir (Potter & Perry,2006).

k. Prosedur bedah

Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum


menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa

10
praoperasi, yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres
juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran
urine dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter &
Perry,2006).

l. Obat-obatan

Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik


(atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat
beta adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).

D. Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang
berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi
mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).

Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih


melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung
kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis


yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis
kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan,
akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat
kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami
inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi
antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan
kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

11
E. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:

a. Ketidaknyamanan daerah pubis


b. Distensi vesika urinaria
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
1. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
2. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
3. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

F. Pemeriksaan penunjang

a. Urinalisis

Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.

b. Uroflowmeter

Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi


pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.

c. Cysometry

Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan


mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal,
dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas. Urografi ekskretori
bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.

d. Urografi ekskretorik

12
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.

e. Kateterisasi residu pascakemih

Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan


jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai
berikut :

1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin
yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak
tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.

2. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya


inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :

a) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu


berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari.
b) Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.

13
c) Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
d) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
e) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).
3. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:

a) antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine


b) Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
c) Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia
tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).

14
G. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas klien

Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada


lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi
tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang meliputi gangguan yang berhubungan
dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi
inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan,
usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan
dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin
berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
b) Riwayat kesehatan masa lalu tanyakan pada klien apakah klien
pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan
catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera
genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
c) Riwayat kesehatan keluarga tanyakan apakah ada anggota keluarga
lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada
riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal
bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
b) Pemeriksaan Sistem
 B1 (breathing)

15
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.

 B2 (blood)

Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah.

 B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh.

 B4 (bladder)

Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat


karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung
kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing
dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah
klien terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.

 B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan


abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.

 B6 (bone)

16
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.

4. Data penunjang
a) Urinalisis
b) Hematuria.
c) Poliuria
d) Bakteriuria.
5. Pemeriksaan Radiografi
a) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan
ureter.
b) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
a) Steril.
b) Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
c) Organisme.
b. Diagnosa

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai


berikut:

1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan


struktur dasar penyokongnya.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

17
5. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik
berhubungan dengan deficit pengetahuan tentang penyebab inkontinen,
penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan
gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.
c. Rencana Asuhan keperawatan
1. Diagnosa I: Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot
pelvis

Tujuan : Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan


inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebab.

Intervensi :

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih


sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program
yang direncanakan.
3. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat
kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih
dulu.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat
masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan
7. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian
obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.

18
2. Diagnosa 2 Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia,
imobilitas dalam waktu yang lama.
Tujuan : Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan,
urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya
bakteri.
Intervensi :

1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika


pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2) Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x
sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu
akan tidur) dan setelah buang air besar.

R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung


kemih dan naik ke saluran perkemihan.

1) Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak


langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan
tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal,
pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen
urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
2) Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.

3. Diagnosa 3 : Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan


dengan irigasi konstan oleh urine
Tujuan :

19
a. Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
b. Kulit periostomal tetap utuh.
c. Suhu 37° C.
d. Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi : Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.

R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil


yang diharapkan.

1. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.


Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan
kulit dan peningkatan resiko infeksi.

4. Diagnosa 4 : Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan


yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau
takut bau urine
Intervensi :
1) Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi
urinaria, diskusikan pada saat pertama.

R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang


terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh;
inkontinensia tak sembuh, infeksi)

20
2) Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui
kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena
kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang
dapat terjadi setelah pulang.

R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu


pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak
biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu /
membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat
menerimanya secara efektif.

3) Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,


manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.

R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut


dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap
kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan
orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang /
kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker.

4) Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk


memandang dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk
memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb.

R: Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu


berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar
(dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam
penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat
bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara nyata
menunjukkan peristaltic normal.

5) Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya


melalui partisipasi dalam perawatan diri.

21
R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.

6) Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan,


menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan
menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.

R: Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan


menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada
situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga),
bukan pada pemberi asuhan.

7) Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.

R: Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien


dapat mengatasinya, meningkatkan harga diri.

8) Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif
cara pemuasan seksual.

R: Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam hubungan


seksual setelah pembedahan, biasanya karena pengabaian, kurang
pengetahuan. Pembedahan yang mengangkat kandung kemih dan
prostat (diangkat dengan kandung kemih) dapat mengganggu syaraf
parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik terbaru ada
yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini.

5. Diagnosa 5 : Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program


terapeutik yang berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang
penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan
kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe
komonitas

Tujuan :

22
1) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, pemeriksaan
diagnostik, dan macam terapeutik.
2) Keluhan berkurang tentang cemas atau gugup.
3) Ekspresi wajah rileks.

Intervensi :

1) Berikan kesempatan kepada klien dan orang terdekat untuk


mengekspresikan perasaan dan harapannya. Perbaiki konsep yang
salah.
R: Kemapuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila
lingkungan nyaman dan mendukung diberikan.
2) Berikan informasi tentang:

 Sifat penyakit.
 Deskripsi singkat tentang tidur.
 Pemeriksaan setelah perawatan.

Bila informasi harus diberikan selama episode nyeri, pertahankan


intruksi dan penjelasan singkat dan sederhana. Berikan informasi
lebih detail bila nyeri terkontrol.

R: Pengetahuan apa yang akan dirasakan membantu mengurangi


ansietas, nyeri mempengaruhi prose belajar.

23
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi


dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

B. SARAN

24
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi.


Jakarta : Salemba Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan


proses pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lok
asi=lokal pada tanggal 15 Mei 2021

25

Anda mungkin juga menyukai