Disusun oleh :
Rafiqah S171260036
M. Riduan S171260026
MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kita curahkan kepada allah swt, karena atas
limpahan karunianya tugas makalah tentang Asuhan Keperawatan pada Lansia
dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan ini dapat selesai. Shalawat serta
salam semoga tercurahkan kepada rasulullah muhammad saw. Banyak kesulitan
dan hambatan yang kami hadapi dalam membuat makalah tentang Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan tapi
dengan semangat kegigihan serta arahan dan bimbingan dari dosen pembibing
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas makalah tetang Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan pada Sistem Perkemihan dengan
baik, oleh karena itu kami berterimakasih kepada berbagai yang telah bekerja
sama.
Kelompok 3
ii
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
B. Tujuan .......................................................................................................... 3
BAB II ..................................................................................................................... 4
A. Definisi ......................................................................................................... 4
B. Etiologi ......................................................................................................... 6
D. Patofisiologi ............................................................................................... 11
F. Pemeriksaan penunjang.............................................................................. 12
PENUTUP ............................................................................................................. 24
A. KESIMPULAN .......................................................................................... 24
B. SARAN ...................................................................................................... 24
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem.
Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam
parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
1
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi
merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka
masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
2
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang
dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa,
malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter,
dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan,
sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).
B. Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
4
timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
5
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau
spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
B. Etiologi
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
6
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat,
atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi
karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
7
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun
ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor
risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan
dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul
(Darmojo, 2009).
a. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena
sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia
lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya
terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal
tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga
pada manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada
eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter sehingga terjadi
inkontinensia (Asmadi, 2008).
b. Diet
8
Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar
terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ
pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).
c. Cairan
d. Latihan fisik
e. Stres psikologi
f. Temperatur
9
g. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).
h. Sosiokultural
i. Status volume
j. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih,
dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya
diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik
yang mengubah fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi
degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap
akhir (Potter & Perry,2006).
k. Prosedur bedah
10
praoperasi, yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres
juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran
urine dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter &
Perry,2006).
l. Obat-obatan
D. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang
berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi
mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
11
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
F. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmeter
c. Cysometry
d. Urografi ekskretorik
12
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin
yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak
tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.
13
c) Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
d) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
e) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).
3. Terapi farmakologi
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia
tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).
14
G. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas klien
2. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang meliputi gangguan yang berhubungan
dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi
inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan,
usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan
dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin
berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
b) Riwayat kesehatan masa lalu tanyakan pada klien apakah klien
pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan
catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera
genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
c) Riwayat kesehatan keluarga tanyakan apakah ada anggota keluarga
lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada
riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal
bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
b) Pemeriksaan Sistem
B1 (breathing)
15
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
B2 (blood)
B3 (brain)
B4 (bladder)
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
B5 (bowel)
B6 (bone)
16
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
4. Data penunjang
a) Urinalisis
b) Hematuria.
c) Poliuria
d) Bakteriuria.
5. Pemeriksaan Radiografi
a) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan
ureter.
b) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
a) Steril.
b) Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
c) Organisme.
b. Diagnosa
17
5. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik
berhubungan dengan deficit pengetahuan tentang penyebab inkontinen,
penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan
gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.
c. Rencana Asuhan keperawatan
1. Diagnosa I: Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot
pelvis
Intervensi :
18
2. Diagnosa 2 Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia,
imobilitas dalam waktu yang lama.
Tujuan : Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan,
urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya
bakteri.
Intervensi :
19
a. Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
b. Kulit periostomal tetap utuh.
c. Suhu 37° C.
d. Urine jernih dengan sedimen minimal.
20
2) Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui
kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena
kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang
dapat terjadi setelah pulang.
21
R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.
8) Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif
cara pemuasan seksual.
Tujuan :
22
1) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, pemeriksaan
diagnostik, dan macam terapeutik.
2) Keluhan berkurang tentang cemas atau gugup.
3) Ekspresi wajah rileks.
Intervensi :
Sifat penyakit.
Deskripsi singkat tentang tidur.
Pemeriksaan setelah perawatan.
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25