TIPE II
Diseminarkan Oleh :
DIMAS DANY SAPUTRA
410015042
2. Tipe Seminar : II
3. Identitas Mahasiswa
a. Nama Lengkap : Dimas Dany Saputra
b. JenisKelamin : Laki-laki
c. NIM : 410015042
d. Perguruan Tinggi : Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
Pengusul
Mengetahui, Menyetujui,
KetuaJurusan Teknik Geologi Dosenpembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan seminar
tipe II ini dengan baik. Penyusunan seminar tipe II ini sebagai salah satu syarat
untuk Tugas Akhir di Semester VII di Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi
Teknologi Nasional Yogyakarta.
1. Bapak Ignatius Adi Prabowo, ST., M.Si selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi
STTNAS Yogyakarta.
2. Bapak Ir. Sukartono, M.T. selaku Dosen Pembimbing Seminar.
3. Orang tua, keluarga, serta orang-orang terdekat saya yang selalu memberikan
dorongan dan bantuan baik secara material maupun moril.
4. Rekan-rekan mahasiswa/mahasiswi Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 6
a. Fisiografi .......................................................................................................... 7
BAB IV ................................................................................................................. 22
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Citra Desa Ngablak Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati (Google
Earth, 2015) ........................................................................................................... 3
Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Timur (van Bemmelen, 1949). ........................ 10
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
di areal bekas aktifitas penambangan di Desa Ngablak Kecamatan Cluwak
Kabupaten Pati.
1. Mengetahui kondisi geologi dan persebaran litologi yang terdapat pada lokasi
penelitian.
2. Mengetahui kondisi geologi teknik pada lokasi penelitian.
3. Mengetahui nilai faktor keamanan dan kestabilan lereng pada areal bekas
tambang pada lokasi penelitian.
1. kondisi fisik batuan serta uji sifat fisik tanah permukaan pada lokasi
penelitian.
2. Melakukan interpretasi dari data-data yang didapatkan dari kegiatan
penelitian di lapangan serta data-data sekunder dengan hasil berupa peta
geologi dan peta geologi teknik Desa Ngablak Kecamatan Cluwak Kabupaten
Pati, serta kondisi kestabilan lereng di lahan bekas penambangan pada lokasi
penelitian.
2
1.4. Lokasi Penelitian
Gambar 1.1 Peta Citra Desa Ngablak Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati (Google
Earth, 2015)
3
1.5. Metode penelitian
4
1.6. Personalia Peneliti
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Kestabilan lereng
Kestabilan lereng tergantung pada gaya penggerak dan gaya penahan yang
bekerja pada bidang gelincir tersebut. Gaya penahan (resisting force) adalah gaya
yang menahan agar tidak terjadi longsoran, sedangkan gaya penggerak (driving
force) adalah gaya yang menyebabkan terjadinya longsoran. Perbandingan
antara gaya-gaya penahan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah inilah
yang disebut dengan Faktor Keamanan (FK) lereng penambangan. Secara
sistematis faktor keamanan suatu lereng dapat ditulis dengan rumus sebagai
berikut: Dengan ketentuan, jika:
FK > 1,0: Lereng dalam kondisi stabil.
FK < 1,0: Lereng tidak stabil.
FK = 1,0: Lereng dalam kondisi kritis.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat kestabilan lereng
penambangan maka hasil analisa dengan FK = 1,00 belum dapat menjamin
bahwa lereng tersebut dalam keadaan stabil. Hal ini disebabkan karena ada
beberapa faktor yang perlu diperhitungkan dalam analisa faktor keamanan lereng
6
penambangan seperti kekurangan dalam pengujian contoh di laboratorium, contoh
batuan yang diambil belum mewakili keadaan sebenarnya di lapangan, tinggi muka
air tanah pada lereng tersebut dsb.
Dengan demikian, diperlukan suatu nilai faktor keamanan minimum dengan
suatu nilai tertentu yang disarankan sebagai batas faktor keamanan terendah yang
masih aman sehingga lereng dapat dinyatakan stabil atau tidak. Sehingga pada
penelitian ini, faktor keamanan minimum yang digunakan adalah FK ≥ (sama
dengan atau lebih besar) dari 1.25, sesuai prosedur dari (Bowles, 2000),
Dengan ketentuan:
FK ≥ 1,25 : Lereng Aman.
FK =1,07 – 1.25 : Lereng Tidak Aman.
FK < 1,07 : Lereng kritis.
b. Rocscience Slide
a. Fisiografi
7
Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan
Gunungapi Kuarter.
2. Zona Solo
3. Zona Kendeng
8
Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang
mulai dari Semarang yang kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung
Jawa Timur di bagian utara. Antiklinorium ini merupakan perpanjangan ke
arah timur dari Pegunungan Serayu Utara di Jawa Tengah. Smyth dkk.
(2005) menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah
barat-timur. Zona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan volkanik,
batupasir, batulempung, dan napal.
4. Zona Randublatung
5. Zona Rembang
9
Zona Solo. Gunungapi yang tidak menempati Zona Solo adalah
Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini sebagai
Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen
Akhir.
b. Stratigrafi Regional
10
mengandung urut-urutan endapan-endapan Kenozoikum yang tebal dan tak
terputus hingga Pleistosen (Gambar 2.2).
1. Formasi Kujung
11
napal, lempung napalan, berwarna abu-abu, dengan sisipan batugamping
bioklasttik dan mengandung foraminifera besar. Batas bawahnya tidak
diketahui karena tidak tersingkap, akan tetapi data sumur Ngimbang-1
menunjukkan adanya kedudukan selaras antara Formasi Kujung dan
Formasi Ngimbang yang terletak di bawahnya. Penyebarannya terbatas di
sekitar Tuban. Di lokasi tipenya, ketebalan mencapai 680 meter.
Berdasarkan kehadiran foraminifera plankton dan foraminifera besarnya,
umur Formasi Kujung adalah Oligosen atas dan diendapkan pada
lingkungan laut terbuka pada zona batial atas.
2. Formasi Prupuh
3. Formasi Tuban
12
Formasi Paciran. Di Jawa Timur utara formasi ini mempunyai penyebaran
terbatas dan hanya tersingkap di Tinggian Tuban saja. Tapi ke arah timur
endapan Formasi Tuban dijumpai di Dataran Madura, sedangkan di lepas
pantai hanya dijumpai pada sumur–sumur pemboran. Tebal di lokasi tipe
mencapai 665 meter. Formasi Tuban berumur N5–N.6 (Miosen Awal)
berdasarkan hadirnya Globigerinoides primordius, serta diendapkan pada
paparan zona sublitoral luar dengan kedalaman 50-150 meter.
4. Formasi Tawun
5. Formasi Bulu
13
sepanjang Gunung Gendruwo. Ciri litologi pada stratotipenya terdiri dari
batugamping pasiran yang berlapis, berbentuk plat (tebal 10 cm–33 cm) dan
sisipan napal di bagian tengah. Hubungan stratigrafi Formasi Bulu dengan
Formasi Tawun di bawahnya adalah selaras (Pringgoprawiro, 1982), seperti
yang dapat diamati sepanjang Sungai Kemadu dan Sungai Besek, Bulu.
Formasi Wonocolo yang diendapkan di atasnya juga mempunyai hubungan
yang selaras. Penyebarannya cukup luas di Mandala Rembang mulai dari
daerah Todanan di bagian barat hingga Madura di bagian timur. Endapan
Formasi Bulu juga ditemukan pada sumur–sumur pemboran lepas pantai.
Pada lokasi tipe tebalnya sampai 248 meter, sedangkan di daerah lain
ketebalannya berkisar antara 55 meter hingga 200 meter. Umur formasi ini
ialah Miosen Tengah, zona N14–N15 atau Tf bawah berdasarkan atas
kandungan foraminiferanya, sedangkan lingkungan pengendapannya adalah
zona litoral sampai zona sublitoral pinggir berdasarkan kandungan biotanya.
6. Formasi Wonocolo
7. Formasi Ledok
14
kalkarenit dengan napal dan batupasir. Glaukonit yang berlimpah ditemukan
di bagian atas formasi. Setempat kalkarenit dan napal pasiran
memperlihatkan struktur silang siur. Hubungan stratigrafi dengan Formasi
Wonocolo di bawahnya dan Formasi Mundu di atasnya adalah selaras pada
lokasi tipenya. Formasi Ledok memiliki persebaran yang terbatas di
Mandala Rembang. Di bagian barat endapannya ditemukan di daerah
Todanan, akan tetapi ke arah timur tidak ditemukan di daerah Tinggian
Tuban. Ketebalan terukur pada lokasi tipe sekitar 190 meter, sedangkan di
daerah lain ketebalannya berkisar antara 82 hingga 220 meter. Berdasarkan
kehadiran Globorotalia plesiotumida, umur Formasi Ledok adalah Miosen
Akhir atau zona N17. Lingkungan pengendapannya adalah sublitoral
pinggir berdasarkan rasio plangton/bentos yang berkisar 27% sampai 30%.
8. Formasi Mundu
9. Formasi Paciran
15
Formasi ini terdiri dari batugamping terumbu yang masif, seringkali
memperlihatkan gejala karst. Formasi Paciran diendapkan tidak selaras di
atas Formasi Mundu dan mempunyai hubungan yang menjemari dengan
Formasi Lidah. Endapan formasi ini banyak ditemukan di Tinggian Tuban
dan di Pulau Madura dengan ketebalan berkisar antara
105 meter hingga 150 meter. Umurnya diketahui berkisar antara Pliosen dan
Pleistosen. Lingkungan pengendapannya adalah di laut dangkal, jernih,
hangat, dekat pantai, zona litoral–sublitoral pinggir.
terdiri dari batulempung yang monoton, berwarna biru tua, plastis, dan berlapis
buruk. Formasi ini selaras diendapkan di atas Formasi Sonde. Penyebarannya
sempit yaitu hanya di depresi Randublatung (Mandala Rembang), mulai dari Pati
hingga Surabaya. Ketebalan formasi berkisar antara 130 meter hingga 575 meter.
Umurnya berkisar antara pliosen hingga pleistosen berdasarkan atas foraminifera
plankton.
16
dengan sisipan-sisipan lapisan batubara dan gipsum, yaitu Formasi
Ngrayong. Formasi Ngrayong diendapkan secara selaras dan kadang-
kadang menjari dengan Formasi Tawun. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan fluvial (non-marine), daerah pasang surut sampai dengan neritik
tengah. Batupasir mendominasi formasi ini dengan sisipan-sisipan
batulempung dan batugamping, serta kadang-kadang dijumpai lapisan
batubara tipis atau batulempung karbonan (Kadar dan Sudijono, 1994).
Hampir 50% kuarsa pada batupasir Formasi Ngrayong berasal dari batuan
metamorf, kemungkinan dari Busur Karimunjawa dan Busur Bawean
(Smyth dkk., 2003). Datun (1982) menyatakan bahwa arah sedimentasi pada
saat pembentukan batupasir Formasi Ngrayong pada kala Miosen Tengah
adalah dari utara ke selatan. Pada kala tersebut, sebagian basement yang
terdiri dari gneis, sekis, dan granit muncul di atas permukaan laut sebagai
daratan.
17
sisipan batugamping yang berumur Miosen Akhir. Ketidakselarasan disini
ditandai dengan hilangnya Zona
N.15 dan bagian bawah Zona N.16 karena proses erosi atau ketiadaan
pengendapan (hiatus) (Kadar dan Sudijono, 1994). Formasi Mundu
kemudian diendapkan secara selaras diatas Formasi Ledok pada kala
Miosen Akhir sampai Pliosen pada fasa transgresi. Formasi ini diendapkan
pada lingkungan laut dalam, batial sampai abisal. Maksimum transgresi
berlangsung pada interval N.19-N.20, yang juga sebagai interval genang-
laut terbesar selama Tersier di Cekungan Jawa Timur Utara (Djuhaeni dan
Nugroho, 2002).
18
satuan yang lebih tua. Endapan termuda adalah Aluvium yang terdiri dari
endapan sungai dan endapan pantai. Endapan pantai menempati daerah
pantai.
c. Struktur Regional
19
Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32
juta tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola
kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan di daerah
Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam
dan menerus sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola yang
berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan
kembali Pola Meratus.
20
BAB III
JADWAL PELAKSANAAN
Persiapan
Konsultasi
Penyusunan
Proposal
Penyusunan Draft
Seminar
Revisi dan
Penjilidan
21
BAB IV
PERKIRAAN BIAYA
1. Proposal
2. Print draft
3. Fotokopi draft
4. Penjilidan draft
5. Ujian
Adapun uraian rincian perkiraan biaya dapat dilihat pada Tabel 4.1
22
DAFTAR PUSTAKA
Kusuma, R.I., Mina, E., & Ihsan, I. (2016) Tinjauan Sifat Fisis dan Mekanis Tanah.
Jurnal Fondasi Volume 5 No. 2
Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia. Martinus Nyhof: The
Haque.
Sutarso, B. & Suyitno, P. (1976) The Diapiric Structure and its relations to the
occurrence of hydrocarbon in Northeast Java Basin. Presentasi Paper Pertemuan Ke
5 IAGI. 46 Halaman.
23