Anda di halaman 1dari 29

USULAN SEMINAR GEOLOGI

TIPE II

ANALISA PENINGKATAN FAKTOR KEAMANAN LERENG PADA


AREAL BEKAS TAMBANG PASIR DAN BATU DI DESA NGABLAK,
KECAMATAN CLUWAK, KABUPATEN PATI
Promine Journal, juni 2017, vol. 5 (1), page 10-19
Oleh :
Rinal Khaidar Ali, Najib, Ahmad Nasrudin

Diseminarkan Oleh :
DIMAS DANY SAPUTRA
410015042

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk kurikulum semester VII di


Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL
SEMINAR GEOLOGI
1. a. Judul Makalah : Analisis Peningkatan Faktor Keamanan Lereng Pada Areal Bekas

Tambang Pasir Dan Batu di Desa Ngablak, Kecamatan Cluwak,


Kabupaten Pati
b. Nama Pengarang : Rinal Khaidar Ali, Najib, Ahmad Nasrudin

2. Tipe Seminar : II

3. Identitas Mahasiswa
a. Nama Lengkap : Dimas Dany Saputra
b. JenisKelamin : Laki-laki
c. NIM : 410015042
d. Perguruan Tinggi : Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

e. Program Studi : Teknik Geologi


f. DosenPembimbing : Ir. Sukartono, M.T.

4. Lokasi : Desa Ngablak, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati

5. Jangka Waktu : 2 bulan


Seminar

6. Biaya Seminar : Rp. 588.900,00


Yogyakarta, 23 Oktober 2018

Pengusul

Dimas Dany Saputra


No. Mhs .410015042

Mengetahui, Menyetujui,
KetuaJurusan Teknik Geologi Dosenpembimbing

Ignatius Adi Prabowo, ST., M.Si Ir. Sukartono, M.T.


NIK.1973 0251 NIK. 1973 0034

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan seminar
tipe II ini dengan baik. Penyusunan seminar tipe II ini sebagai salah satu syarat
untuk Tugas Akhir di Semester VII di Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi
Teknologi Nasional Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Ignatius Adi Prabowo, ST., M.Si selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi
STTNAS Yogyakarta.
2. Bapak Ir. Sukartono, M.T. selaku Dosen Pembimbing Seminar.
3. Orang tua, keluarga, serta orang-orang terdekat saya yang selalu memberikan
dorongan dan bantuan baik secara material maupun moril.
4. Rekan-rekan mahasiswa/mahasiswi Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta.

Dalam penyusunan seminar tipe II ini, penulis sangat mengharapkan kritik


dan saran dari rekan – rekan dan semua pihak. Semoga kritik dan saran tersebut
dapat memberikan motivasi pada penulis untuk lebih baik lagi ke depannya.
Semoga seminar tipe II ini bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 10 Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v

DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi

BAB I ...................................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2. Maksud dan Tujuan ...................................................................................... 2

1.3. Perumusan Masalah ......................................................................................... 2

1.4. Lokasi Penelitian .............................................................................................. 3

1.5. Metode penelitian ............................................................................................. 4

1.6. Personalia Peneliti ............................................................................................ 5

BAB II ..................................................................................................................... 6

2.1. Tinjauan umum ................................................................................................ 6

2.2. Geologi Regional ............................................................................................. 7

a. Fisiografi .......................................................................................................... 7

b. Stratigrafi Regional ........................................................................................ 10

c. Struktur Regional ........................................................................................... 19

BAB III ................................................................................................................. 21

BAB IV ................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Citra Desa Ngablak Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati (Google
Earth, 2015) ........................................................................................................... 3

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Timur (van Bemmelen, 1949). ........................ 10

v
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1. Jadwal pelaksanaan Seminar Geologi..................................................21


Tabel 4. 1. Perkiraan biaya pelaksanaan Seminar Geologi ................................... 22

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kegiatan penambangan di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, merupakan


kegiatan yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomis yang cukup menjanjikan.
Hal ini yang menyebabkan kegiatan penambangan menjadi semakin marak akhir-
akhir ini, khususnya pertambangan rakyat yang mementingkan hasil dan kurang
memperhatikan faktor-faktor lingkungan. Di wilayah Propinsi Jawa Tengah
mempunyai potensi bahan galian mineral yang tersebar di beberapa tempat.
Keberadaan potensi tersebut memicu adanya kegiatan pertambangan yang di
lakukan guna memenuhi kebutuhan manusia baik untuk kebutuhan pribadi maupun
pembangunan berskala nasional. Secara keseluruhan terdapat 74 IUP (ijin Usaha
Pertambangan) dengan luas areal 5.859 ha, total volume bahan tambang tertambang
mencapai 5.121.780 m3 /tahun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2.376 orang.
Tentu saja dampak dari kegiatan tersebut akan mengakibatkan dan menyisakan
lahan bekas penambangan yang rusak serta berpotensi menimbulkan degradasi
terhadap lingkungan (Dinas ESDM Jateng, 2014).

Terdapatnya kegiatan penambangan tanpa izin serta kurangnya perhatian


terhadap pengelolaan pasca penambangan, akan menyebabkan kerusakan lahan
bekas tambang. Kerusakan lahan bekas tambang mempengaruhi kelestarian fungsi
lingkungan, sehingga berdampak pada meningkatnya suhu lokal, terganggunya
tatanan hidrologis, menurunnya fungsi tanah sebagai media tanam dan bencana
(erosi, gerakan tanah, banjir lumpur), fenomena tersebut juga terkait dengan
terjadinya penurunan aspek sosial-ekonomi penduduk. Keberadaan/lokasi
kerusakan lahan bekas penambangan yang tidak memperhatikan pengelolaan pasca
tambang menyebar di hampir semua Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
Salah satu lokasi yang mengalami dampak negatif dari aktifitas penambangan yaitu

1
di areal bekas aktifitas penambangan di Desa Ngablak Kecamatan Cluwak
Kabupaten Pati.

Perlu dilakukan upaya untuk mencegah atau meminimalisir potensi bahaya


yang dapat ditimbulkan seperti gerakan tanah ataupun tanah longsor pada areal
bekas tambang. Untuk itu diperlukan penelitian lapangan mengenai kondisi lahan
bekas penambangan serta tingkat kestabilan lereng dan keamanannya sebagai acuan
didalam menyusun rencana penataan lahan bekas penambangan yang berwawasan
lingkungan.

1.2. Maksud dan Tujuan

1. Mengetahui kondisi geologi dan persebaran litologi yang terdapat pada lokasi
penelitian.
2. Mengetahui kondisi geologi teknik pada lokasi penelitian.
3. Mengetahui nilai faktor keamanan dan kestabilan lereng pada areal bekas
tambang pada lokasi penelitian.

1.3. Perumusan Masalah

Aktifitas penambangan yang terjadi di Desa Ngablak, Kecamatan Cluwak,


Kabupaten Pati menyebabkan suatu lereng yang rawan terjadinya gerakan tanah
(longsor). Fungsi dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan meningkatkan
nilai faktor keamanan lereng/tebing. Permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian ini, yaitu:

1. kondisi fisik batuan serta uji sifat fisik tanah permukaan pada lokasi
penelitian.
2. Melakukan interpretasi dari data-data yang didapatkan dari kegiatan
penelitian di lapangan serta data-data sekunder dengan hasil berupa peta
geologi dan peta geologi teknik Desa Ngablak Kecamatan Cluwak Kabupaten
Pati, serta kondisi kestabilan lereng di lahan bekas penambangan pada lokasi
penelitian.

2
1.4. Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian (studi lapangan) dilasanakan di Desa Ngablak


Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati. Adapun lokasi penelitian dapat ditempuh
kurang lebih 4-5 jam dari kota yogyakarta, Jawa Tengah dengan menggunakan
kendaraan bermotor. Rincian perjalanan yang ditempuh yaitu jarak dari kota
Semarang ke kota Pati kurang lebih 160 km dapat ditempuh selama 4 jam
perjalanan, selanjutnya perjalanan dari kota Pati ke lokasi penelitian yang berada
di Desa Cluwak berjarak kurang lebih 30 km dapat ditempuh selama 1 jam
menggunakan kendaraan bermotor.

Lokasi Penelitian berada di wilayah Desa Ngablak Kecamatan Cluwak


Kabupaten Pati. Desa Ngablak mempunyai batas wilayah berupa:

a. Batas sebelah utara yaitu Desa Gesengan dan Desa Gerit

b. Batas sebelah timur yaitu wilayah Kecamatan Tayu

c. Batas sebelah selatan yaitu wilayah Kecamatan Gunung Wungkal

d. Batas sebelah barat yaitu Desa Ngawen dan Desa Bleber

Adapun lokasi areal bekas kegiatan penambangan yang menjadi pokok


penelitian, tepatnya berada pada titik koordinat X (497689) dan Y (9276961) UTM
49s. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada kenampakan Gambar 1.1 dan
gambar 1.2.

Gambar 1.1 Peta Citra Desa Ngablak Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati (Google
Earth, 2015)

3
1.5. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis


kuantitatif dan kualitiatif. Alur metode penelitian secara lengkap dapat dilihat
pada gambar 2. Tahap awal dimulai dengan dilakukannya studi literatur mengenai
aspek-aspek yang dibutuhkan untuk mengetahui nilai faktor keamanan terhadap
metode yang akan dilakukan untuk memperkuat tebing pada areal bekas
tambang. Selanjutnya dilakukan studi tentang keadaan geologi regional daerah
penelitian dan pengumpulan data sekunder yang dibutuhkan seperti:
1. Peta Rupabumi Indonesia.
2. Peta geologi regional daerah penelitian.
3. Peta administrasi daerah penelitian.
Untuk mendapatkan informasi awal mengenai daerah penelitian dalam
melakukan survei dan penyelidikan lapangan. Tahap selanjutnya yang dilakukan
yaitu penyelidikan lapangan untuk pengambilan data primer. Metode yang
dilakukan yaitu pemetaan geologi teknik di wilayah Desa Ngablak serta uji sondir
dan pengambilan undisturbed sample pada areal lahan bekas tambang. Pemetaan
geologi teknik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi fisik batuan
serta persebarannya pada lokasi penelitian. Pengambilan undisturbed sample
bertujuan untuk mengetahui sifat mekanika tanah lokasi penelitian.
Setelah dilakukan penyelidikan lapangan serta uji laboratorium mekanika
tanah dari undisturbed sample, maka di dapatkan data geologi teknik, data hasil
uji sondir dan data mekanika tanah. Tahap selanjutnya yaitu mengolah dan
menginterpretasi data-data tersebut dengan menggunakan perangkat lunak Slide
6.0. Data geologi fisik diolah dan diinterpretasi sehingga mendapatkan hasil peta
geologi teknik. Dari semua aspek data-data yang diperoleh dapat di
interpretasikan dan didapatkan perencanaan yang tepat untuk penanggulangan
lereng.

4
1.6. Personalia Peneliti

a. Nama Peneliti : Dimas Dany Saputra


b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIM : 410015042
d. Perguruan Tinggi : STTNAS Yogyakarta
e. Program Studi : Teknik Geologi
f. Dosen Pembimbing : Ir. Sukartono, M.T.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan umum

a. Kestabilan lereng

Dalam menentukan kestabilan lereng, dikenal istilah Faktor Keamanan


(Safety Factor), yang merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang menahan,
terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut. Bila Faktor Keamanan
lebih tinggi dari satu, umumnya lereng tersebut dianggap stabil. Kemantapan
suatu lereng dinyatakan dengan “Faktor Keamanan (FK)”, yang merupakan
perbandingan antara besarnya gaya penahan dengan gaya penggerak longsoran.

Faktor Keamanan Lereng Minimum, Longsoran suatu lereng penambangan


umumnya terjadi melalui suatu bidang tertentu yang disebut dengan bidang
gelincir (slip surface).

Kestabilan lereng tergantung pada gaya penggerak dan gaya penahan yang
bekerja pada bidang gelincir tersebut. Gaya penahan (resisting force) adalah gaya
yang menahan agar tidak terjadi longsoran, sedangkan gaya penggerak (driving
force) adalah gaya yang menyebabkan terjadinya longsoran. Perbandingan
antara gaya-gaya penahan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah inilah
yang disebut dengan Faktor Keamanan (FK) lereng penambangan. Secara
sistematis faktor keamanan suatu lereng dapat ditulis dengan rumus sebagai
berikut: Dengan ketentuan, jika:
FK > 1,0: Lereng dalam kondisi stabil.
FK < 1,0: Lereng tidak stabil.
FK = 1,0: Lereng dalam kondisi kritis.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat kestabilan lereng
penambangan maka hasil analisa dengan FK = 1,00 belum dapat menjamin
bahwa lereng tersebut dalam keadaan stabil. Hal ini disebabkan karena ada
beberapa faktor yang perlu diperhitungkan dalam analisa faktor keamanan lereng

6
penambangan seperti kekurangan dalam pengujian contoh di laboratorium, contoh
batuan yang diambil belum mewakili keadaan sebenarnya di lapangan, tinggi muka
air tanah pada lereng tersebut dsb.
Dengan demikian, diperlukan suatu nilai faktor keamanan minimum dengan
suatu nilai tertentu yang disarankan sebagai batas faktor keamanan terendah yang
masih aman sehingga lereng dapat dinyatakan stabil atau tidak. Sehingga pada
penelitian ini, faktor keamanan minimum yang digunakan adalah FK ≥ (sama
dengan atau lebih besar) dari 1.25, sesuai prosedur dari (Bowles, 2000),
Dengan ketentuan:
FK ≥ 1,25 : Lereng Aman.
FK =1,07 – 1.25 : Lereng Tidak Aman.
FK < 1,07 : Lereng kritis.

b. Rocscience Slide

Rocsience Slide adalah salah satu perangkat lunak geoteknik yang


mempunyai spesialisasi sebagai software perhitungan kestabilan lereng.Pada
dasarnya Rocscience Slide adalah salah satu program di dalam paket
perhitungan geoteknik Rocscience yang terdiri dari Swedge, Roclab, Phase2,
RocPlane, Unwedge, dan RocData
Secara umum langkah analisis kestabilan lereng dengan Rocscience Slide
adalah pemodelan, identifikasi metode dan parameter perhitungan, identifikasi
material, penentuan bidang gelincir, running/kalkulasi, dan interpretasi nilai FoS
dengan software komplemen Slide bernama Slide Interpret. Rocscience Slide
banyak digunakan di industri khususnya pertambangan dan konstruksi khususnya
tanggul, bendungan, dan lereng pada sisi jalan.

2.2. Geologi Regional

a. Fisiografi

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa bagian timur dan Madura


menjadi tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-
turut: Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng,

7
Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan
Gunungapi Kuarter.

1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur

Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur


volkanik Eosen-Miosen yang terdiri dari endapan silisiklastik,
volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan kemiringan lapisan
yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona ini tidak menerus,
yaitu terdiri dari paling tidak tiga bagian yang terisolasi (van Bemmelen,
1949). Zona Pegunungan Selatan Jawa Bagian Timur memanjang sepanjang
pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta sampai ujung
paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya mempunyai topografi
yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai gejala
karst.

2. Zona Solo

Pada Zona Solo, formasi berumur tersier ditutupi oleh beberapa


gunungapi kwarter. Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:
 Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan
jalur depresi yang sempit di antara pegunungan selatan dan gunungapi
muda, serta ditutupi oleh endapan aluvial.
 Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh
deretan gunungapi vulkanik muda dan dataran–dataran antar pegunungan.
Gunungapi tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud,
Pegunungan Tengger dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa.
Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya adalah Dataran Madiun,
Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini pada
umumnya dibentuk oleh endapan lahar.
 Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan
depresi yang berbatasan dengan Subzona Solo di bagian selatan dan
Pegunungan Kendeng di bagian utara. Subzona ini pada umumnya dibentuk
oleh endapan aluvial dan endapan gunungapi yang kecil.

3. Zona Kendeng

8
Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang
mulai dari Semarang yang kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung
Jawa Timur di bagian utara. Antiklinorium ini merupakan perpanjangan ke
arah timur dari Pegunungan Serayu Utara di Jawa Tengah. Smyth dkk.
(2005) menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah
barat-timur. Zona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan volkanik,
batupasir, batulempung, dan napal.

4. Zona Randublatung

Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang


mulai dari Semarang di sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur.
Zona ini berbatasan dengan Zona Kendeng di bagian selatan dan Zona
Rembang di bagian utara.

5. Zona Rembang

Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang


dengan arah barat-timur, mulai dari sebelah timur Semarang sampai Pulau
Madura dan Kangean. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km. Zona ini
merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier akhir (Pringgoprawiro,
1983). Zona ini terdiri dari sikuen Eosen- Pliosen berupa sedimen klastik
laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian
(Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah ENE-WSW
(Smyth dkk., 2005).

6. Dataran Aluvial Jawa Utara

Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian


barat dan bagian timur. Di bagian barat mulai dari Semarang ke timur
sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona Rembang di bagian timur.
Di bagian timur mulai dari Surabaya ke arah barat laut, di sebelah barat
berbatasan dengan Zona Randublatung, di sebelah utara dan selatan
berbatasan dengan Zona Rembang.

Gunung Api Kuarter

Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang

9
Zona Solo. Gunungapi yang tidak menempati Zona Solo adalah
Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini sebagai
Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen
Akhir.

Berdasarkan pembagian zona fisiografi tersebut, daerah penelitian


termasuk ke dalam Zona Rembang, yang terdiri dari pegunungan lipatan
berbentuk antiklinorium yang memanjang pada arah barat–timur.
Pegunungan lipatan ini memanjang mulai dari utara Purwodadi melalui
Blora, Jatirogo, Tuban, dan berakhir di P. Madura (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Timur (van Bemmelen, 1949).

b. Stratigrafi Regional

Mandala pengendapan rembang masuk ke dalam Zona Fisiografi


Rembang dari van Bemmelen (1949). Tidak seperti sedimen-sedimen pada
Zona Kendeng, Mandala Rembang tidak mengandung unsur volkanik serta
merupakan endapan khas paparan (Pringgoprawiro, 1983). Paparan ini
memiliki kemiringan landai ke arah selatan dan diisi oleh endapan relatif
tipis (ketebalan rata-rata kurang dari 1850 m). Mandala Rembang

10
mengandung urut-urutan endapan-endapan Kenozoikum yang tebal dan tak
terputus hingga Pleistosen (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Kolom Stratigrafi Umum Mandala Rembang (Pringgoprawiro,


1983).

Berikut ini adalah beberapa formasi yang diendapkan pada Mandala


Rembang menurut Pringgoprawiro (1985):

1. Formasi Kujung

Penamaan formasi pertama kali digunakan oleh Trooster (1937;


dalam Pringgoprawiro, 1982). Lokasi tipenya ada di sekitar Desa Kujung,
sepanjang Sungai Secang, Tuban. Litologi khas untuk formasi ini ialah

11
napal, lempung napalan, berwarna abu-abu, dengan sisipan batugamping
bioklasttik dan mengandung foraminifera besar. Batas bawahnya tidak
diketahui karena tidak tersingkap, akan tetapi data sumur Ngimbang-1
menunjukkan adanya kedudukan selaras antara Formasi Kujung dan
Formasi Ngimbang yang terletak di bawahnya. Penyebarannya terbatas di
sekitar Tuban. Di lokasi tipenya, ketebalan mencapai 680 meter.
Berdasarkan kehadiran foraminifera plankton dan foraminifera besarnya,
umur Formasi Kujung adalah Oligosen atas dan diendapkan pada
lingkungan laut terbuka pada zona batial atas.

2. Formasi Prupuh

Penamaan formasi pertama kali diusulkan oleh Pringgoprawiro


(1982). Lokasi tipenya ada di sekitar Desa Prupuh, 5 km arah barat laut dari
Desa Panceng, Paciran, dengan ciri–ciri litologi terdiri dari perselingan
antara batugamping bioklastik yang kaya akan foraminifera dengan
batugamping kapuran yang kompak dan getas. Formasi Prupuh diendapkan
selaras di atas Formasi Kujung dan terletak selaras di bawah Formasi Tuban.
Menempati jalur sempit dan memanjang pada tinggian Tuban, mulai dari
Panceng di timur hingga Palang, Tuban di sebelah barat. Tebal terukur di
lokasi tipe ialah 76 meter. Formasi Tuban juga tersebar ke arah lepas pantai
dan dijumpai di sumur–sumur pemboran lepas pantai. Umurnya adalah
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal bagian bawah atau zona N3–N5 dan
lingkungan pengendapannya adalah zona neritik luar berdasarkan
foraminifera yang ada.

3. Formasi Tuban

Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Pringgoprawiro


(1983), dan nama diambil dari tinggian Tuban. Tipe lokasinya adalah Desa
Drajat, Paciran, Tuban, tersingkap baik di sepanjang Kali Suwuk, Desa
Drajat. Ciri litologinya adalah endapan lempung yang monoton dengan
sisipan batugamping. Formasi Tuban diendapkan secara selaras di atas
Formasi Prupuh sedangkan bagian atasnya ditutupi secara tidak selaras oleh

12
Formasi Paciran. Di Jawa Timur utara formasi ini mempunyai penyebaran
terbatas dan hanya tersingkap di Tinggian Tuban saja. Tapi ke arah timur
endapan Formasi Tuban dijumpai di Dataran Madura, sedangkan di lepas
pantai hanya dijumpai pada sumur–sumur pemboran. Tebal di lokasi tipe
mencapai 665 meter. Formasi Tuban berumur N5–N.6 (Miosen Awal)
berdasarkan hadirnya Globigerinoides primordius, serta diendapkan pada
paparan zona sublitoral luar dengan kedalaman 50-150 meter.

4. Formasi Tawun

Penamaannya pertama kali digunakan oleh Brouwer (1957;


dalam Pringgoprawiro, 1982). Stratotipenya adalah sumur pemboran BPM
Tawun-5. Formasi ini terdiri atas batulempung bersisipan batugamping dan
batupasir. Bagian bawah formasi ini didominasi oleh batulempung hitam-
kelabu yang bergradasi hingga batulanau pasiran berwarna kelabu. Bagian
atas dari formasi ini ditandai oleh akumulasi batugamping bioklastik yang
ketebalannya mencapai 100 meter di beberapa tempat. Hubungan stratigrafi
dengan Formasi Tuban di bawahnya dan Formasi Bulu di atasnya adalah
selaras. Penyebaran Formasi ini cukup luas di Mandala Rembang Barat dan
di Pulau Madura. Dijumpai pula pada sumur pemboran lepas pantai Jawa
Timur Utara dan Madura. Tebal Formasi ini di sumur Tawun-5 adalah 1500
meter. Di permukaan tebalnya sekitar 730 meter seperti pada penampang
Sumberan–Brangkal. Analisa mikropaleontologi yang dilakukan
menunjukkan umur Miosen Awal teratas hingga Miosen Tengah, zona N8–
N12 ditentukan dengan menggunakan foraminifera plangton, sedangkan
menggunakan foraminifera besar didapatkan umur Te-5. Lingkungan
pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal pada zona sublitoral
pinggir.

5. Formasi Bulu

Penamaannya diusulkan oleh Pringgoprawiro (1983) sebagai


pengganti nama “Platen Komplex” oleh Trooster (1937; dalam
Pringgoprawiro, 1982). Tipe lokasinya adalah di Desa Bulu, Rembang, yaitu

13
sepanjang Gunung Gendruwo. Ciri litologi pada stratotipenya terdiri dari
batugamping pasiran yang berlapis, berbentuk plat (tebal 10 cm–33 cm) dan
sisipan napal di bagian tengah. Hubungan stratigrafi Formasi Bulu dengan
Formasi Tawun di bawahnya adalah selaras (Pringgoprawiro, 1982), seperti
yang dapat diamati sepanjang Sungai Kemadu dan Sungai Besek, Bulu.
Formasi Wonocolo yang diendapkan di atasnya juga mempunyai hubungan
yang selaras. Penyebarannya cukup luas di Mandala Rembang mulai dari
daerah Todanan di bagian barat hingga Madura di bagian timur. Endapan
Formasi Bulu juga ditemukan pada sumur–sumur pemboran lepas pantai.
Pada lokasi tipe tebalnya sampai 248 meter, sedangkan di daerah lain
ketebalannya berkisar antara 55 meter hingga 200 meter. Umur formasi ini
ialah Miosen Tengah, zona N14–N15 atau Tf bawah berdasarkan atas
kandungan foraminiferanya, sedangkan lingkungan pengendapannya adalah
zona litoral sampai zona sublitoral pinggir berdasarkan kandungan biotanya.

6. Formasi Wonocolo

Penamaannya pertama kali oleh Trooster (1937; dalam


Pringgoprawiro, 1982), dengan lokasi tipe di sekitar Desa Wonocolo, 20
kilometer arah timur laut dari Cepu. Ciri litologinya terdiri dari perulangan
antara napal, napal lempungan hingga napal pasiran dengan perselingan
kalkarenit. Napalnya kaya akan foraminifera plangton. Formasi ini terletak
secara selaras dengan Formasi Ledok pada stratotipenya. Formasi
Wonocolo mempunyai penyebaran yang luas di Mandala Rembang dengan
arah barat–timur, mulai dari Todanan sampai tinggian Tuban. Di daerah
Rembang tebalnya sekitar 100 meter. Di daerah Manjung bahkan dapat
mencapai 600 meter. Umurnya adalah bagian bawah dari Miosen Akhir dan
diendapkan pada lingkungan laut terbuka pada zona bathyal atas.

7. Formasi Ledok

Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Trooster (1937)


dengan lokasi tipe di Antiklin Ledok, yaitu berjarak 10 km Utara Cepu. Pada
lokasi tipenya, ciri litologinya adalah perulangan antara napal pasiran,

14
kalkarenit dengan napal dan batupasir. Glaukonit yang berlimpah ditemukan
di bagian atas formasi. Setempat kalkarenit dan napal pasiran
memperlihatkan struktur silang siur. Hubungan stratigrafi dengan Formasi
Wonocolo di bawahnya dan Formasi Mundu di atasnya adalah selaras pada
lokasi tipenya. Formasi Ledok memiliki persebaran yang terbatas di
Mandala Rembang. Di bagian barat endapannya ditemukan di daerah
Todanan, akan tetapi ke arah timur tidak ditemukan di daerah Tinggian
Tuban. Ketebalan terukur pada lokasi tipe sekitar 190 meter, sedangkan di
daerah lain ketebalannya berkisar antara 82 hingga 220 meter. Berdasarkan
kehadiran Globorotalia plesiotumida, umur Formasi Ledok adalah Miosen
Akhir atau zona N17. Lingkungan pengendapannya adalah sublitoral
pinggir berdasarkan rasio plangton/bentos yang berkisar 27% sampai 30%.

8. Formasi Mundu

Penamaannya pertama kali digunakan oleh Klein (1918), berasal


dari nama Desa Mundu. Lokasi tipe Formasi Mundu berada di Sungai Kalen,
Desa Mundu, 10 km arah barat dari Cepu, Sedangkan stratotipenya ialah
lintasan sepanjang 1,5 km pada sayap Utara Antiklin Kedinding, 3 km arah
barat Desa Mundu. Ciri litologinya ialah Napal kehijuan yang masif. Bagian
atasnya ditempati oleh batugamping pasiran. Formasi Mundu diendapkan
selaras di atas Formasi Ledok dan dengan Formasi Lidah di atasnya.
Penyebarannya sempit di kawasan Mandala Rembang, yaitu di sekitar
Todanan dan Tinggian Tuban. Ketebalan rata–rata Formasi Mundu adalah
255 meter hingga 342 meter. Umurnya adalah Miosen Akhir hingga pliosen
atau zona N.18–N.20 dari analisa foraminifera plangtonnya. Lingkungan
pengendapannya adalah lingkungan laut terbuka dengan kedalaman antara
700 meter hingga 1000 meter. Semakin ke atas kedalamannya berkurang
hingga laut dangkal pada zona sublitoral pinggir.

9. Formasi Paciran

Penamaannya diambil dari Kota Paciran (Pringgoprawiro, 1983),


Tuban. Stratotipenya adalah batugamping terumbu di sekitar Bukit Piramid.

15
Formasi ini terdiri dari batugamping terumbu yang masif, seringkali
memperlihatkan gejala karst. Formasi Paciran diendapkan tidak selaras di
atas Formasi Mundu dan mempunyai hubungan yang menjemari dengan
Formasi Lidah. Endapan formasi ini banyak ditemukan di Tinggian Tuban
dan di Pulau Madura dengan ketebalan berkisar antara
105 meter hingga 150 meter. Umurnya diketahui berkisar antara Pliosen dan
Pleistosen. Lingkungan pengendapannya adalah di laut dangkal, jernih,
hangat, dekat pantai, zona litoral–sublitoral pinggir.

10. Formasi Lidah

Penamaan Lidah Formation pertama kali digunakan Brouwer


(1957), sedangkan van Bemmelen (1949) menyebutnya Blue Clays.
Stratotipe hipo Formasi Lidah berada di Banyuurip, Kawengan, Cepu
(Pringgoprawiro, 1983). Ciri litologi

terdiri dari batulempung yang monoton, berwarna biru tua, plastis, dan berlapis
buruk. Formasi ini selaras diendapkan di atas Formasi Sonde. Penyebarannya
sempit yaitu hanya di depresi Randublatung (Mandala Rembang), mulai dari Pati
hingga Surabaya. Ketebalan formasi berkisar antara 130 meter hingga 575 meter.
Umurnya berkisar antara pliosen hingga pleistosen berdasarkan atas foraminifera
plankton.

Sejak Oligosen Akhir terjadi fasa transgresi. Fasa transgresi ini


berlangsung sejak N.4 sampai N.10 yang kemudian mencapai puncaknya
selama interval N.8-
N.10 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002). Pada kala akhir Miosen Awal, Formasi
Tawun mulai diendapkan.

Pada kala Miosen Tengah, terjadi fasa regresi disebabkan karena


adanya suatu pengangkatan yang meliputi daerah yang luas di Indonesia
(Umbgrove, 1949 dalam Pringgoprawiro, 1983). Pengangkatan ini
menyebabkan terjadinya pembentukan sedimen berupa batupasir kuarsa

16
dengan sisipan-sisipan lapisan batubara dan gipsum, yaitu Formasi
Ngrayong. Formasi Ngrayong diendapkan secara selaras dan kadang-
kadang menjari dengan Formasi Tawun. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan fluvial (non-marine), daerah pasang surut sampai dengan neritik
tengah. Batupasir mendominasi formasi ini dengan sisipan-sisipan
batulempung dan batugamping, serta kadang-kadang dijumpai lapisan
batubara tipis atau batulempung karbonan (Kadar dan Sudijono, 1994).
Hampir 50% kuarsa pada batupasir Formasi Ngrayong berasal dari batuan
metamorf, kemungkinan dari Busur Karimunjawa dan Busur Bawean
(Smyth dkk., 2003). Datun (1982) menyatakan bahwa arah sedimentasi pada
saat pembentukan batupasir Formasi Ngrayong pada kala Miosen Tengah
adalah dari utara ke selatan. Pada kala tersebut, sebagian basement yang
terdiri dari gneis, sekis, dan granit muncul di atas permukaan laut sebagai
daratan.

Fasa transgresi terjadi pada akhir Miosen Tengah sehingga daerah


Rembang tenggelam lagi di bawah permukaan (Pringgoprawiro, 1983).
Proses pengendapan berlangsung pada lingkungan laut dangkal neritik tepi
sampai neritik tengah yang ditandai dengan diendapkannya Formasi Bulu
dan Formasi Wonocolo. Formasi Bulu diendapkan secara selaras di atas
Formasi Ngrayong, terdiri atas batugamping, kadang-kadang berlapis dan
pasiran, sering membentuk pelat-pelat (platy) atau berlapis tipis, dengan
sisipan napal dan batupasir. Formasi Bulu ditindih secara selaras oleh
atau menjari dengan Formasi Wonocolo. Formasi Wonocolo dicirikan oleh
batulempung gampingan dengan sisipan batugamping dan lapisan-lapisan
tipis batupasir glaukonit di lapisan bagian bawah (Kadar dan Sudijono,
1994). Fasa transgresi mencapai maksimumnya pada N.15/N.16 dan
kemudian diikuti fasa regresi pada interval N.16 - N.17 (Djuhaeni dan
Nugroho, 2002).

Pada kala Miosen Akhir,diendapkan Formasi Ledok secara tidak


selaras diatas Formasi Wonocolo pada lingkungan laut terbuka, tepatnya
pada zona neritik tengah sampai batial atas. Formasi ini memiliki ciri litologi
batuan sedimen klastik seperti batulempung, napal, dan batulanau dengan

17
sisipan batugamping yang berumur Miosen Akhir. Ketidakselarasan disini
ditandai dengan hilangnya Zona
N.15 dan bagian bawah Zona N.16 karena proses erosi atau ketiadaan
pengendapan (hiatus) (Kadar dan Sudijono, 1994). Formasi Mundu
kemudian diendapkan secara selaras diatas Formasi Ledok pada kala
Miosen Akhir sampai Pliosen pada fasa transgresi. Formasi ini diendapkan
pada lingkungan laut dalam, batial sampai abisal. Maksimum transgresi
berlangsung pada interval N.19-N.20, yang juga sebagai interval genang-
laut terbesar selama Tersier di Cekungan Jawa Timur Utara (Djuhaeni dan
Nugroho, 2002).

Setelah Formasi Mundu, tepatnya pada kala Pliosen sampai


Pleistosen diendapkan Formasi Lidah secara tidak selaras pada lingkungan
laut dangkal, neritik tepi. Pada bagian bawah formasi ini dijumpai Anggota
Solorejo yang memiliki ciri litologi kalkarenit dan batupasir glaukonit
gampingan. Pada kalkarenitnya banyak dijumpai fosil-fosil foraminifera
plangton hasil rombakan (reworked fossils) dari formasi yang lebih tua. Hal
tersebut mengindikasikan turunnya permukaan laut atau merupakan hasil
erosi daerah-daerah yang terangkat akibat pengangkatan dan perlipatan
Cekungan Jawa Timur Utara (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa regresi
berlangsung pada interval N.21-N.23 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

Formasi Paciran diperkirakan terendapkan pada kala yang sama


dengan Formasi Lidah karena sama-sama menindih Anggota Solorejo
Formasi Lidah. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal,
mungkin sekali neritik tengah. Kadar dan Sudijono (1994) memperkirakan
Gunungapi Lasem dan Gunungapi Muria mulai aktif sejak Pliosen Akhir.
Kegiatan vulkanik ini menghasilkan endapan Gunungapi Kuarter di
daerah ini. Endapan Gunungapi Lasem tersebar di sekitar lereng barat
Gunung Lasem (806 m di atas permukaan laut), terdiri atas andesit berupa
aliran lava, aglomerat, breksi volkanik, tuf lapili, tuf halus, dan
lahar,sedangkan Gunung Muria menghasilkan Endapan Gunungapi Muria
yang didominasi oleh tuf, lahar, dan tuf pasiran. Endapan Gunungapi Lasem
dan Endapan Gunungapi Muria terletak secara tak selaras di atas satuan-

18
satuan yang lebih tua. Endapan termuda adalah Aluvium yang terdiri dari
endapan sungai dan endapan pantai. Endapan pantai menempati daerah
pantai.

Pada daerah penelitian tersingkap batuan, berurut dari tua ke muda,


dari Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, dan Formasi
Wonocolo.

c. Struktur Regional

Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas


dari teori tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik
pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif
diam, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut,
dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara (Hamilton,
1979).

Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen


struktur, yaitu Geosinklin Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua
elemen tersebut memanjang berarah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara
dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara.

Struktur-struktur yang berkembang tersebut diakibatkan oleh


pengangkatan yang terjadi pada kala Intra Miosen dan pada kala Plio-
Pleistosen (van Bemmelen, 1949).

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur


dominan yang berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar 2.3):

 Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk


pada 80 sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen
Awal).Pola ini ditunjukkan oleh Tinggian Karimunjawa di
kawasan Laut Jawa yang diperkirakan menerus ke arah
baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar
Cimandiri (Jawa Barat).

19
 Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32
juta tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola
kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan di daerah
Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam
dan menerus sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola yang
berumur lebih muda sehingga keberadaannya mengaktifkan
kembali Pola Meratus.

 Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta


tahun yang lalu sampai sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola
ini adalah pola termuda yang mengaktifkan kembali seluruh
pola yang telah ada sebelumnya.

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sribudiyani dkk.


(2003), pola struktur permukaan yang berkembang pada daerah penelitian
adalah pola struktur yang mempunyai kelurusan berarah timur laut-barat
daya dan barat-timur.

20
BAB III

JADWAL PELAKSANAAN

Rencana pelaksanaan penyusunan Seminar Geologi dapat dilihat pada


Tabel 3.1 dibawah ini :

Tabel 3. 1. Jadwal pelaksanaan Seminar Geologi

NAMA Oktober 2018 November 2018


KEGIATAN
3 4 1 2 3 4

Persiapan

Konsultasi

Penyusunan
Proposal

Penyusunan Draft

Seminar

Revisi dan
Penjilidan

21
BAB IV

PERKIRAAN BIAYA

Kegiatan yang dilakukan selama proses penyusunan Seminar Geologi ini


adalah sebagai berikut :

1. Proposal
2. Print draft
3. Fotokopi draft
4. Penjilidan draft
5. Ujian

Adapun uraian rincian perkiraan biaya dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4. 1. Perkiraan biaya pelaksanaan Seminar Geologi

Volume Harga satuan Jumlah Harga


No Uraian Jumlah
Pcs Lembar (Rp) (Rp)

1 Proposal 1 - 23 700 18.900


2 Print draft 3 - 50 700 105.000
3 Fotokopi Draft 10 - 50 150 75.000
Penjilidan
4 Draft 3 1 - 25.000 75.000
5 Ujian 21 1 - 15.000 315.000
TOTAL Rp588.900,00
terbilang : Lima ratus delapan puluh delapan ribu sembilan ratus rupiah

22
DAFTAR PUSTAKA

Karnawati, Dwikorita. (2005) Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia


dan Upaya Penanggulangannya. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi
Universitas Gadjah Mada

Kusuma, R.I., Mina, E., & Ihsan, I. (2016) Tinjauan Sifat Fisis dan Mekanis Tanah.
Jurnal Fondasi Volume 5 No. 2

Pangemanan, Violetta G.M. 2014. Analisis Kestabilan Lereng dengan Metode


Fellenius. Juranal Sipil Statik Volume 2 No.1 hal 37-46

Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia. Martinus Nyhof: The
Haque.

Bappeda Kabupaten Pati. (2012) Pengenalan Wilayah Dan Potensi Kabupaten


Pati. Pati: Bappeda

Sutarso, B. & Suyitno, P. (1976) The Diapiric Structure and its relations to the
occurrence of hydrocarbon in Northeast Java Basin. Presentasi Paper Pertemuan Ke
5 IAGI. 46 Halaman.

Suwarti, T. dan Wikarno, R. (1992) Peta Geologi Lembar Kudus, Jawa.


Bandung: Puslitbang Geologi.

23

Anda mungkin juga menyukai