Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variabel untuk
mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan di rumah sakit. Sejak malpraktik
menggema di seluruh belahan bumi melalui berbagai media baik cetak maupun
elektronik hingga ke jurnal-jurnal ilmiah ternama, dunia kesehatan mulai menaruh
kepedulian yang tinggi terhadap issue keselamatan pasien. Program keselamatan
pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan angka Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) yang sering terjadi pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat
merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak rumah sakit (Nursalam, 2011).
Di Indonesia sendiri kesalahan prosedur rumah sakit sering disebut
sebagai malpraktik. Kejadian di Jawa dengan jumlah penduduk 112 juta orang,
sebanyak 4.544.711 orang (16,6%) penduduk yang mengalami kejadian
merugikan, 2.847.288 orang dapat dicegah, 337.000 orang cacat permanen, dan
121.000 orang mengalami kematian. Prevalensi kejadian media yang merugikan
pasien di Jawa Tengah dan DIY adalah sebesar 1,8%-88,9% (Sunaryo, 2009).
Keselamatan pasien di rumah sakit (Hospital Patient Safety) merupakan
suatu sistem pelayanan rumah sakit yang memberikan asuhan agar pasien menjadi
lebih aman. Termasuk di dalamnya adalah mengukur risiko, identifikasi, dan
pengelolaan risiko terhadap pasien, pelaporan, dan analisis insiden, kemampuan
untuk belajar dan menindaklanjuti insiden serta merupakan solusi untuk
mencegah, mengurangi, serta meminimalkan risiko. Kejadian risiko yang
mengakibatkan pasien tidak aman (patient not safety) tersebut sebagian besar
masih dapat dicegah (preventable adverse event) diminimalisasi dengan beberapa
cara, antara lain petugas pelayanan kesehatan selalu meningkatkan kompetensi
melakukan kewaspadaan dini melalui identifikasi yang tepat, serta komunikasi
aktif dengan pasien (Widayat, 2009).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi patient safety ?
2. Apa tujuan patient safety ?
3. Apa saja standar patient safety ?
4. Bagaimana tinjauan hukum patient safety ?
5. Bagaimana aspek hukum patient safety ?
6. Bagaimana analisa kasus yang terkait dengan patient safety ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi patient safety
2. Untuk mengetahui tujuan patient safety
3. Untuk mengetahui standar patient safety
4. Untuk mengetahui tinjauan hukum patient safety
5. Untuk mengetahui aspek hukum patient safety
6. Untuk mengetahui analisa kasus yang terkait dengan patient safety

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Patient Safety


Keselamatan Pasien (Patient Safety) adalah suatu sistem yang membuat
asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan
risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisa insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksakan suatu tindakan atau tindakan yang
seharusnya diambil (Permenkes Nomor 11, 2017).
Menurut The national patient safety (2003), keselamatan pasien adalah proses
yang dijalankan oleh organisasi yang bertujuan membuat layanan kepada pasien
menjadi lebih aman. Proses tersebut mencakup pengkajian risiko, identifikasi dan
pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisa insiden, dan kemampuan belajar
dari suatu kejadian, menindaklanjuti suatu kejadian, dan menerapkan solusi untuk
meminimalkan risiko berulangnya kejadian serupa.
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS) adalah suatu sistem dimana RS
membuat asuhan pasien lebih aman.(KKP-RS PERSI 2005). Sedangkan menurut
penjelasan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit pasal 43 yang dimaksud dengan
keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang
memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit/KKP-RS (2008) mendefinisikan bahwa keselamatan (safety) adalah
bebas dari bahaya atau risiko (hazard). Keselamatan pasien (Patientsafety) adalah
pasien bebas dari harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm
yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik, sosial, psikologi, cacat,
kematian dan lain-lain), terkait dengan pelayanan kesehatan.

2.2 Tujuan Patient Safety


Adapun tujuan dari keselamatan pasien di rumah sakit (Depkes RI, 2008)
yaitu :
1. Agar terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

3
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit
4. Terlaksananya program – program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan

Sedangkan tujuan keselamatan pasien secara internasional adalah:


1. Identify patients correctly (mengidentifikasi pasien secara benar)
2. Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang efektif)
3. Improve the safety of high-alert medications (meningkatkan keamanan
dari pengobatan resiko tinggi)
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery
(mengeliminasi kesalahan penempatan, kesalahan pengenalan pasien,
kesalahan prosedur operasi)
5. Reduce the risk of health care-associated infections (mengurangi risiko
infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan)
6. Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko pasien
terluka karena jatuh)

2.3 Standar Patient Safety

Menurut PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang


Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus ada beberapa standar yang wajib
dimiliki oleh Rumah Sakit dalam menjalankan program keselamatan pasien
yaitu :

1. Standar I ( Hak Pasien )

Ketentuan tentang hak pasien Pasien dan keluarganya mempunyai hak


untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan
termasuk kemungkinan terjadinya KTD. Adapun kriteria dari standar ini
adalah :

a. Harus terdapat dokter penanggung jawab pelayanan.

4
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana
pelayanan kesehatan.
c. Dokter yang menjadi penanggung jawab pelayanan wajib memberikan
penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya
tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk
pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD.

2. Standar II ( Mendidik Pasien Dan Keluarga )

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang


kewajiban dan tanggung pasien dalam asuhan kesehatan pasien.
Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan
dengan keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses
pelayanan. Karena itu di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme
mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab
pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut di harapkan
pasien dan keluarga dapat :

a. Memberi informasi yang tepat, benar, jelas, lengkap dan jujur.


b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan kesehatan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa. g. Memenuhi
kewajiban finansial yang disepakati.

3. Standar III ( Keselamatan Pasien Dan Kesinambungan Pelayanan )

Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan dan


menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriterianya
adalah:

a. Adanya koordinasi yang baik dari pelayanan kesehatan secara


menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis,

5
perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien
keluar dari rumah sakit.
b. Adanya koordinasi pelayanan kesehatan yang di sesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara
berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transaksi
antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
c. Adanya koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi
untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan,
pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer
dan tindak lanjut lainnya.
d. Adanya komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman
dan efektif.

4. Standar IV ( Penggunaan Metode Peningkatan Kinerja Untuk Melakukan


Evaluasi an Program Peningkatan Keselamatan Pasien )

Rumah sakit mesti mendesain proses baru atau memperbaiki proses


yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Kriteria dari standar IV
adalah sebagai berikut:

a. Setiap rumah sakit melakukan proses perencanaan yang baik dengan


mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien-
petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang
sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai
dengan ”Tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”.
b. Setiap rumah sakit melakukan pengumpulan data kinerja antara lain
yang terkait dengan pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko,
utilisasi, mutu pelayanan dan keuangan.

6
c. Setiap rumah sakit melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua
KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus
resiko tinggi bagi pasien.
d. Setiap rumah sakit menggunakan semua data dan informasi hasil
analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan agar
kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
5. Standar V ( Peran Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Keselamatan
Pasien )
a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program
keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui
penerapan ”Tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”.
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk
mengidentifikasi risiko keselamatan pasien dan program untuk
menekan atau mengurangi KTD/KNC.
c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi
antar unit terkait dan individu berkaitan dengan pengambilan
keputusan tentang keselamatan pasien.
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengkaji,
mengukur, dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
e. Pimpinan mengkaji dan mengukur efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut :

a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan


pasien guna meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
b. Tersedia program proaktif untuk mengidentifikasi risiko keselamatan
dan program meminimalkan insiden yang mencakup jenis kejadian
yang memerlukan perhatian, mulai dari KNC/Kejadian Nyaris Cedera
(Near miss) sampai dengan KTD (Adverse event).

7
c. Tersedianya mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua
komponen dari rumah sakit terintegrasi serta berpartisipasi dalam
program keselamatan pasien.
d. Tersedia prosedur yang cepat tanggap terhadap insiden, termasuk
asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada
orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk
keperluan analisis.
e. Tersedia mekanisme pelaporan baik internal dan eksternal yang
berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar
dan jelas tentang analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat
program keselamatan pasien mulai di laksanakan.
f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau
kegiatan proaktif untuk memperkecil resiko termasuk mekanisme
untuk mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian yang tidak
diinginkan.
g. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit
dan antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan
pendekatan antar disiplin.
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam
kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan
Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya
tersebut.
i. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan
kriteria obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja
rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut
dan implementasinya.

6. Standar VI ( Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien )


a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan
pasien secara jelas dan transparan.

8
b. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan
yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi
staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut :

a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan


orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien
sesuai dangan tugasnya masing - masing.
b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien
dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang
jelas tentang pelaporan insiden.
c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan training tentang kerjasama
kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif
dalam rangka melayani pasien.

7. Standar VII ( Komunikasi Staf )

Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan


pasien.

a. Rumah sakit harus merencanakan dan mendesain proses manajemen


informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi
internal dan eksternal.
b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut :

a. Rumah sakit perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan


mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi
tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme untuk mengidentifikasi masalah dan kendala
komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

9
2.4 Tinjauan Hukum Keselamatan Pasien
Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang
diwujudkan dalam bentuk peraturan hukum, baik perundangan-undangan maupun
peraturan hukum lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam
bentuk perundang-undangan namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sepanjang diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang
sebagai wujud peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat
kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak
masyarakat sebagai warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan
yang aman merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah
Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan
insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan,
rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan
pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga
memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap
karena UU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk
Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi,
asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non
struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan
kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga
mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan
yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh
masyarakat (Pasal 57).

10
2.5 Aspek Hukum Patient Safety
Aspek hukum terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah
sebagai berikut:
UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit
1. Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
1) Pasal 53 (3) UU No.36/2009; “Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.”
2) Pasal 32n UU No.44/2009; “Pasien berhak memperoleh keamanan dan
keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.
3) Pasal 58 UU No.36/2009
a. “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.”
b. “…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.”

2. Tanggung jawab Hukum Rumah sakit


a. Pasal 29b UU No.44/2009; ”Memberi pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.”
b. Pasal 46 UU No.44/2009; “Rumah sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan di RS.”
c. Pasal 45 (2) UU No.44/2009; “Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam
melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.”

3. Bukan Tanggung Jawab Rumah Sakit


a. Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit; “Rumah Sakit Tidak
bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya

11
menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian
pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif. “

4. Hak Pasien
a. Pasal 32d UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional”
b. Pasal 32e UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi”
c. Pasal 32j UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan”
d. Pasal 32q UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak menggugat
dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun
pidana”

5. Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien


a. Pasal 43 UU No.44/2009
1. RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2. Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka
menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
3. RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang
membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4. Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan
ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan
keselamatan pasien.

12
2.6 Analisa Kasus
A. Kasus
RS Wahidin Tolak Pasien Bayi Tanpa Batok Kepala

Makassar (ANTARA News) - Bayi perempuan yang lahir tanpa batok


kepala terpaksa dibawa pulang oleh kedua orang tuanya, Jumat, karena ditolak
oleh rumah sakit rujukan RS Wahidin Makassar. Bayi itu lahir di Puskesmas
Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar pada hari Rabu 22 Agustus
sekitar pukul 19.00 Wita dari pasangan Subaedah (istri 20) dan Akbar Hasan
(suami 25). Bayi pertama perempuan dan merupakan anak keempat pasangan
suami itri itu belum sempat mendapat pelayanan khusus karena RS Wahidin yang
menjadi rujukan tidak menerima bayi tersebut. Alasannya, kedua orang tua bayi
itu tidak memiliki kartu Bantuan Tunai Langsung (BTL). Sampai hari Jumat
(24/8) pukul 16.00 WITA bayi malang itu masih dapat bertahan hidup.
Dokter Emilia Handayani, kahumas RS Wahidin mengatakan pihak rumah
sakit harus mengikuti prosedur penerimaan pasien yang tidak mampu. Ia
mengatakan bahwa setiap pasien tidak mampu harus menyertakan kartu BTL dan
bukan sekadar keterangan miskin dari kelurahan atau camat. Banyak orang yang
mampu tetapi berpura-pura miskin dan memiliki kartu BTL. Selain itu, katanya,
sudah ada instruksi dari pemerintah untuk menghentikan bantuan pelayanan untuk
keluarga miskin sejak Juni 2007, karena tunggakan pemerintah untuk membiayai
pelayanan kesehatan di RS Wahidin sudah di atas Rp10 miliar.
Emilia Handayani berkata bahwa sampai saat ini, RS Wahidin belum
mendapat bayaran, jadi bagaimana RS bisa melayani lagi, sementara biaya
operasional sangat terbatas.
Dia menambahkan, pihak rumah sakit sebelumnya tidak menolak pasien dari
keluarga miskin sepanjang memiliki kartu BTL dan bukti-bukti pendukung bahwa
pasien berasal dari keluarga tidak mampu.
Subaedah (ibu bayi itu) mengatakan sangat terkejut ketika mengetahui
anak perempuan yang selama ini diharapkannya memiliki kelainan.

13
Bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala, akhirnya menghembuskan nafas
terakhir Jumat sore saat bayi tersebut hendak dirujuk ke Rumah Sakit Labuangbaji
karena ditolak di RS rujukan Wahiddin Sudirohusodo, Makassar.
Anak ke empat pasangan Subaedah (20) dan Akbar Hasan (25) itu
meninggal dunia dalam perjalan menuju rumah sakit Labuangbaji setelah bertahan
hidup selama dua hari. Jenazah bayi yang lahir dengan berat badan 2,8 kg dan
panjang 48 cm di Puskesmas Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar
itu langsung dikebumikan di pekuburan umum Kabupaten Maros, Sulsel Jumat
malam sekitar pukul 19.00 Wita.

B. Pembahasan Kasus
Dulu sering kita mendengar adanya pasien yang ditolak dirawat oleh
rumah sakit dengan alasan tidak mempunyai biaya buat pengobatan seperti pada
kasus yang diambil dari situs kantor berita Antara (ANTARA NEWS) dengan
judul “Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS W” di tertanggal
25 Agustus 2007. Dari berita tersebut berisikan bayi perempuan yang lahir tanpa
batok kepala, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada Jumat sore saat bayi
tersebut hendak dirujuk ke RS L karena ditolak di RS W. Bayi tersebut meninggal
dunia dalam perjalanan menuju RS L setelah bertahan hidup selama dua hari.
Jenazah bayi yang lahir dengan langsung dikebumikan di pekuburan umum. Bayi
tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS W, sebuah rumah sakit negeri,
namun pihak RS menolak merawat bayi itu karena orangtuanya tidak dapat
menunjukkan karta tanda bukti penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)
keluarga miskin.
Pada kasus di atas penyimpangan etika dan hukum dari instansi kesehatan
terhadap bayi tersebut meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Sumpah dokter yang berbunyi “kesehatan penderita senantiasa akan saya
utamakan”.
2. Deklarasi Lisabon 1981 yang menjelaskan tentang hak-hak pasien tentang hak
dirawat dokter
3. Undang-undang Kesehatan No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berisikan
:

14
a. pasal 2 : Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri
penjelasan pasal 2 bagian d yang berbunyi asas adil dan merata berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat.
b. Pasal 4 : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal
c. Pasal 7 pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan terjangkau
oleh masyarakat. penjelasan pasal 7 upaya kesehatan yang merata dalam arti
tersedianya sarana pelayanan di seluruh wilayah sampai daerah terpencil yang
mudah di jangkau oleh seluruh masyarakat, termasuk fakir miskin, orang terlantar
dan orang kurang mampua
d. Pasal 57 : sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan tetap
memperhatikan fungsi sosial.
Penjelasan pasal 57 ayat 2 : fungsi sosial sarana kesehatan adalah bahwa dalam
menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan kebutuhan
pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-
mata mencari keuntungan.

Dari kasus itu seharusnya RS W tetap menerima pasien bayi ditinjau dari
segi etika dan hukum bukan menolak pasien lantaran tidak mempunyai biaya
berobat. Padahal RS W merupakan salah satu rumah sakit negeri (milik
pemerintah). Sehingga soal pembiayaan dana seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah bukan RS W sesuai dengan pasal 7 UU Kesehatan no 36 tahun 2009.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada waktu menjabat sebagai Menteri
Kesehatan waktu itu pernah mengingatkan manajemen rumah sakit untuk tidak
menolak pasien dari keluarga miskin. Bila menolak, bisa dilaporkan ke polisi
dengan tuduhan cukup berat. Siti Fadilah mengatakan, tidak ada alasan bagi

15
rumah sakit pemerintah menolak pasien dari keluarga miskin. Pasalnya,
pemerintah sudah menyediakan jaminan pembayaran biaya perawatan kesehatan
paling sedikit Rp 2,6 triliun untuk rumah sakit. Belum lagi dana-dana dari alokasi
lain. Alasan administrasi juga tidak bisa dipakai untuk menolak pasien. Rumah
sakit tidak dibenarkan menolak pasien dengan alasan kartu Asuransi Kesehatan
untuk Keluarga Miskin (Askeskin) tidak berlaku lagi. Ia mengatakan bahwa
pasien dirawat dulu, urusan administrasi bisa dibereskan. Siti Fadilah juga
mengingatkan, pemerintah tetap menyediakan jaminan pembayaran perawatan
kesehatan masyarakat miskin.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang
terutama dalam pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang
bermutu dan aman. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan
kepastian perlindungan hukum terhadap semua komponen yang terlibat dalam
keselamatan pasien, yaitu pasien itu sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit,
dan masyarakat. Ketentuan mengenai keselamatan pasien dalam peraturan
perundang-undangan memberikan kejelasan atas tanggung jawab hukum bagi
semua komponen tersebut.

3.2 Saran
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan dan meningkatkan upaya keselamatan
pasien dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan
aman dengan mengeluarkan dan memperbaiki aturan mengenai keselamatan
pasien yang mengacu pada perkembangan keselamatan pasien (patient safety)
internasional yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia.
2. Agar setiap rumah sakit menerapkan sistem keselamatan pasien dalam rangka
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan aman serta menjalankan
peraturan perundang-undangan yang mewajibkan untuk itu.
3. Agar seluruh komponen sarana pelayanan kesehatan bekerja sama dalam upaya
mewujudkan patient safety karena upaya keselamatan pasien hanya bisa bisa
dicapai dengan baik dengan kerjasama semua pihak.

17
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit


(patient safety). Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
Sunaryo. 2009. Keselamatan Pasien dan Risiko Klinis. Diponegoro University
Press. Semarang
Widayat R. 2009. Hospital Organitation. Yogyakarta: Andi Offset

Dasar hukum peraturan perundang-undangan:


1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

18

Anda mungkin juga menyukai