Anda di halaman 1dari 13

Judul Assessment Kerentanan Bangunan Beton Bertulang Pasca Gempa

Volume dan 1
Halaman Halaman 1 – 6
Tahun 2014

Penulis M. G. Wisnu Wijaya, Endah Wahyuni dan Data Iranata

Pendahuluan Secara geografis, kepulauan Indonesia berada pada perbenturan tiga


lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan
lempeng India Australia. Ditinjau secara geologis, kepulauan
Indonesia berada pada pertemuan 2 jalur gempa utama, yaitu jalur
gempa Sirkum Pasifik dan jalur gempa Alpide Transasiatic. Karena
itu, kepulauan Indonesia berada pada daerah yang mempunyai
aktifitas gempa bumi cukup tinggi. Gempa bumi yang terjadi dalam
skala yang cukup tinggi dapat merusak bangunan perumahan
maupun sarana dan prasarana penting. Kerusakan akibat gempa bumi
pada masa lalu menunjukkan bahwa betapa besarnya kerugian yang
kita alami. Beberapa bangunan gedung, terutama perumahan
penduduk, perkantoran dan gedung sekolah, yang berada di wilayah
gempa tinggi sangatlah rentan pada saat terjadinya gempa bumi,
terutama resiko terjadinya kerusakan bangunan yang dapat
menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa
kejadian gempa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti gempa Aceh,
Nias, Yogyakarta dan di daerah lain telah banyak memakan korban
jiwa serta kerugian harta benda, termasuk hancurnya bangunan
rumah penduduk, serta kerusakan fasilitas umum seperti bangunan
gedung sekolah dan perkantoran serta pertokoan yang didirikan
secara tidak memadai untuk mengantisipasi bahaya tersebut. Melihat
situasi yang demikian, terutama yang daerahnya sudah terjadi
gempa, perlu dilakukan assessment kerentanannya. Studi ini
dilakukan evaluasi kerentanan struktur bangunan beton bertulang
terhadap beban gempa yang terjadi.
Metode
Penelitian

Gambar 1 - Diagram Alir Metode Penelitian


Hasil dan A. Studi Kasus
Pembahasan Dalam studi, objek merupakan gedung 2 lanti yang berfungsi sebagai
gedung sekolah dengan data bangunan dibawah ini:
1. Zona Gempa = Wilayah 2 Tanah Keras
2. Konfigurasi Gedung
a. Tinggi Lantai 1 = 3.6 m
b. Tinggi Lantai atap = 3.6 m
3. Mutu Bahan
- Mutu Beton (fc’) = 15.1 Mpa
- Berat jenis beton = 2400 kg/m3
- Elastisitas beton, Ec : 4700 √𝑓′𝑐 = 18263.59 Mpa
- Tulangan Longitudinal
Tegangan tarik minimum (Fy) = 287.2 Mpa
Tegangan tekan minimum (Fu) = 425.5 Mpa
- Tulangan Transversal
Tegangan tarik minimum (Fy) = 477.2Mpa
Tegangan tekan minimum (Fu) = 678.1Mpa
4. Data Elemen Struktur
a. Pelat Lantai
- Tebal pelat lantai 2 t = 17 cm
- Tebal pelat atap t = 16 cm
b. Balok
- Balok B1 = 35 cm x 60 cm
- Balok WB2A2 = 40 cm x 40 cm
- Balok WB2C2 = 40 cm x 45 cm
- Balok WB2AR = 24 cm x 45 cm
- Balok WB2CR = 24 cm x 45 cm
- RB 1 = 24 cm x 35cm
c. Kolom
- Kolom A1 – A7 = 35 cm x 40 cm
- Kolom C1 – C7 = 35 cm x 40 cm
- Kolom C2 = 24 cm x 40 cm

Gambar 2 - Denah Gedung Lantai 1 Objek Studi


Gambar 3 - Pemodelan Struktur

Pada penelitian dilapangan, gedung dberikan gaya dorong sampai


pada nilai pergeseran tertentu. Berikut adalah data penelitian hasil
pengujian dilapangan:

Tabel 1 Hasil Pengujian Beban Lateral pada Gedung


B. Analisa Beban Dorong Statik (Pushover Analysis)
Pushover analysis atau analisis beban dorong statik merupakan
prosedur analisis untuk mengetahui perilaku keruntuhan suatu
gedung.

Gambar 4- Kurva kapasitas hasil running pushover

Tabel 2 Tabel hasil analisis pushover

C. Assessment Tingkat Kinerja Struktur


Pada Assessment tingkat kinerja struktur dilakukan berdasarkan
hubungan antara base shear dengan displacement akibat beban statik,
dan tingkat kinerja struktur berdasarkan pengujian dilapangan
dengan perbandingan hasil analisa pushover. Berikut adalah
perbandingan kurva kapasitas hasil pengujian dilapangan dengan
hasil analisa pushover.
Gambar 5 Kurva kapasitas perbandingan hasil pushover dengan
pengujian di lapangan

Tabel 4 Hasil prosentase kerusakan kondisi B-IO (Operational –


Immediate Occupancy)
Gambar 7 Kondisi IO-LS (Immediate Occupancy – Life Safety)

Tabel 5 Hasil prosentase kerusakan kondisi IO-LS (Immediate


Occupancy – Life Safety)

Gambar 8 Kondisi LS-CP (Life Safety – Collapse Prevention)


D. Metode Penilaian Bangunan (Building Assessment Method)
Metode penilaian bangunan disusun untuk memberikan acuan pada
evaluasi bangunan yang diusulkan untuk dilakukan tindakan
perbaikan pasca gempa. Metode yang digunakan adalah penilaian
secara kualitatif dengan teknik skoring. Teknik ini dipilih untuk
memberikan penilaian secara lebih obyektif masing-masing objek
berdasarkan indikator yang ditetapkan. Serangkaian tahapan
penilaian dilakukan untuk mendata kondisi eksisting fisik dan non
fisik bangunan serta melakukan dokumentasi kondisi fisik bangunan.
Pada sub-bab Observasi Kerusakan telah didapatkan prosentase
kerusakan kolom pada step 1 – 10. Nilai prosentase tersebut
digunakan untuk menentukan berapa persen tingkat kerusakan kolom
yang diijinkan terjadi pada kondisi IO (Immediate Occupancy), LS
(Life Safety), CP (Collapse Prevention. Sedangkan prosentase
kerusakan pada elemen balok dan dinding beton mengacu pada
prosentase kerusakan pada kolom.

E. Indikator Penilaian
Penilaian terhadap kondisi bangunan dilakukan untuk mengetahui
secara pasti kondisi setiap bangunan akibat gempa, sehingga dapat
dilakukan kegiatan penanganan yang sesuai. Indikator penilaian
kondisi fasilitas kesehatan didasarkan pada 2 (dua) aspek penting
yaitu structural dan non struktural. Kedua aspek tersebut dijabarkan
menjadi beberapa variabel yaitu:
a. Aspek struktural terkait kondisi fisik bangunan pasca terjadinya
gempa. Variabel yang dinilai adalah kondisi kolom, balok, dinding,
pelat, atap, dengan justifikasi IO (Immediate Occupancy), LS (Life
Safety), CP (Collapse Prevention).
b. Aspek nonstruktural, variabel yang dinilai adalah partisi/sekat,
plafon, parapets, tangga, pintu, pipa, dengan justifikasi IO
(Immediate Occupancy), LS (Lefi Safety), HZ (Hazards Reduced).

Tabel 7 indikator Penilaian Struktural Kondisi Bangunan


Tabel 8 Indikator Penilaian Non Struktural Kondisi Bangunan
F. Justifikasi Penilaian
Justifikasi penilaian dilakukan untuk dapat mengetahui tingkat
kerusakan dan urgensi penanganan. Berdasarkan penilaian fisik akan
diketahui tingkat kerusakan bangunan untuk menentukan jenis
penanganan yang diperulukan. Dalam penilaian kondisi bangunan
dilakukan dengan teknik skoring. Untuk masing-masing kriteria
penilaian (struktural dan non-struktural). Berdasarkan penilaian
tersebut dirumuskan pengelompokan penilaian sebagai berikut.

Tabel 9 Justifikasi Penilaian Kondisi Struktural Bangunan


Tabel 10 Justifikasi Penilaian Kondisi Non-Struktural Bangunan

G.

Kesimpulan  Pada studi ini dihasilkan sebuah tahapan berupa form penilaian
yang berfungsi untuk memberikan penilaian kondisi gedung
beton bertulang baik secara struktural maupun non-struktural.
 Dasar penentuan penilaian tidak hanya dinilai secara fisik
bangunan/visual, melainkan didasarkan pada perhitungan.
Saran  Perlu adanya pengembangan studi lebih lanjut terhadap
bangunan-bangunan dengan struktur baja, kayu.
 Perlu dikembangkan lagi faktor-faktor lain yang berkaitan
dengan tingkat urgensi suatu bangunan pasca gempa.
 Perlu dilakukan lagi peninjauan yang lebih detail terhadap aspek-
aspek non struktural gedung.
JURNAL

Anda mungkin juga menyukai