PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata
seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki
adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut: laki-laki adalah
manusiayang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran
untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina,dan mempunyaialat
menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis
perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut
tidak bisa dipertukarrkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki
1
dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan
biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan atau kodrat.
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara social
maupun cultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan,
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada
perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan cirri dari sifat-sifat itu dapat
terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja
zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat lebih kuat dari laki-
laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih
kuat. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakata yang berbeda.
Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan
kaum laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat
ke tempatlainnya, maupun berbeda dari suatu kelas kelas yang lain, itulah yang
dikenal dengan konsep gender.
2
laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih
dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju kesifat gender yang
ditentukan oleh masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar.
Sebaliknya, karenakaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses
sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi
serta ideology kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi pengembangan fisik
dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan rekontruksi berlangsung
secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah isfat-sifat
gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki-laki kuat
perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang
ditetapkan oleh Tuhan. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat
biasanyamelekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa
dipertukarkan, maka sifat tersebut adalahhasil konstruksi masyarakat dan sama
sekali bukanlah kodrat.
Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi
masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang
disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak
pada tempatnyadi masyarakat, di mana apa yang sesungguhnyagender, karena
pada dasarnya konstruksi social justru dianggap sebagai kodrat yang berarti
ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewas ini
sering dianggap atau dinamakan sebagai “kodrat wanita” adalah konstruksi social
dan cultural atau gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak,
mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan
domestik sering dianggap sebagai “kodrat wanita”. Padahal kenyataannya, bahwa
kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, mengelola dan
merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi social dalam
suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan
merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh
karena jenis pekerjaan bisa dipertukarkan dan tidak besifat universal, apa yang
sering disebut sebagai “kodrat wanita” atau “takdir Tuhan atas wanita” dalam
3
kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya
adalah gender.
Setelah jelas perbedaan antara konsep jenis kelamin (sex) dan gender,
dapat diajukan pertanyaan mengapa perbedaan jenis kelamin harus melahirkan
perbedaan-perbedaan gender? Apa permasalahan yang di timbulkan oleh
perbedaan gender tersebut? Dengan kata lain, kalau perbedaan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki dapat dapat dibedakan dari perbedaan gender bahwa
kaum perempuan itu tidak rasional, emosional, lemah lembut, dan bahwa
laki-laki memilki sifat rasional, kuat atau perkasa, lantas di mana letak
permasalahannya?
4
perempuan adalah menentukan dan terpenting dari yang lain dan oleh karena itu
perlu mendapat perhatian lebih. Atau sebaliknya, bahwa kekerasan
fisik (violence) adalah masalah paling mendasar yang harus dipecahkan terlebih
dahulu.
1
Niken Savitri, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Hukum, PT. Refika
Aditama, Jakarta, 2008, hlm. 35.
5
menjad harta bersama, lalu dalam Pasal 36 (1) mengenai harta bersama suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang sejarah teori hukum feminis dan teori hukum di
Indonesia.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2
Merriam-Webster, 2006, Merriam-Webster’s Dictionary and Thesaurus. Merriam-
Webster’s Dictionary and Thesaurus, Incorporated Springfield, Massachusetts. Hlm. 398
3
Dictionary, WordNet, 2003, http://www.webster-dictionary.org/.Princeton University,
New Jersey-United States. Sebagaimana diakses pada tanggal 14 Februari 2018
di http://www.webster-dictionary.org/definition/feminist
4
Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm. 19
5
Fineman, Martha Albertson, 2005, Feminist Legal Theory Journal of Gender, Social
Policy & The Law
7
kesempatan lain Gordon mendefinisikan feminism sebagai “critique of male
supremacy, formed and offered in the light of a will to change it”6 (kritik atas
supremasi laki-laki yang dirupakan dan ditawarkan dalam cahaya kehendak untuk
merubahnya).
Feminism juga dianggap sebagai pandangan yang berfokus pada
ketidakadilan yang dialami perempuan karena jenis kelaminnya. Janet Radcliffe
Richard mendefinisikan feminism sebagai keyakinan bahwa “perempuan
mengalami ketidakadilan sosial yang sistematis karena jenis kelamin mereka.”
Pengertian serupa disampailan oleh Alison Jaggar yang
mendefiniskan feminist sebagai “mereka semua yang mengupayakan, tidak peduli
karena atas dasar apa, untuk mengakhiri subordinasi perempuan.”
Pada kesempatan lain feminism juga diartikan sebagai paham atau teori
yang menganut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ailen Kraditor
dalam hal ini mendefinisikan feminism sebagai “the theory that women should
have political, economic, and social right equal to those of men.”7 Feminism
kemudian juga dipandang sebagai suatu keyakinan yang beroperasi dalam suatu
group, yang berarti keinginan untuk meningkatkan otonomi perempuan.
Sehinggafeminism berarti pula gerakan atau upaya sekumpulan orang yang
dilakukan atau yang berorientasi pada perubahan posisi perempuan.8 Pemikiran
ini lahir karena adanya kesadaran mengenai ketidakadilan dan ketimpangan hak
antara laki-laki dan perempuan. Karenanya Kraditor berpandangan bahwa inti
feminism adalah menyarankan “otonomi perempuan” sebagai sesuatu yang
diingkan perempuan, sebagaimana yang tersirat dalam gerakan mereka.9
6
Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm. 17
7
ibid. hlm. 19
8
Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm. 18-29
9
Ibid. Hlm 19
8
“A broad movement that seeks to show how conventional legal theory, far from
being gender-blind, ignores the position and perspective of women. Feminist write
examine the inequalities to be found in the criminal law (especially in rape and
domestic violence), family law, contract, tort, property, and others branches of the
substantive law, including aspects of public law”.10
10
Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, 2006, OxfordDictionary of Law. Oxford
Dictionary of Law, Sixth ed., Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, Eds., Oxford University Press,
New York. Hlm. 221
9
B. Sejarah Feminist Jurisprudence
10
perlakuan yang berbeda ?; apakah ada nilai yang lebih penting dibandingkan
dengan kesetaraan ?
11
feminis” sebagaimana ditulis oleh Wishik. Sementara Dalto membantah bahwa
“kita tidak dapat hanya melakukan penelitian mengenai apa yang terjadi terhadap
wanita yang diakibatkan oleh hukum, bahasa hukum dan lembaga hukum”.
Kritik lain dari perspektif yang berbeda datang dari Richard Posner yang
mengklaim bahwa wanita bukan tidak mempunyai “citra dirinya sebagai
individual ataupun dibatasi dengan adanya kehamilan dan pemberian ASI”
Pendapatnya mengenai hubungan heterosexual adalah “perlu banyak penjelasan
mengenai penetrasi wanita dalam hal ini” Ketidaksetaraan bukanlah merupakan
kesalahan legal. Ketidakadilan jenis kelamin bukanlah hal yang tidak rasional, hal
ini merupakan dominasi. Scales melihat Jurisprudensi Feminis yang akan
berfokus pada dominasi, kerugian dan ketidakberdayaan dibandingkan dengan
kajian terhadap perbedaan antara pria dan wanita.
12
memprediksi dan mengontrol; para penganut keberlangsungan bertujuan untuk
mencapai pemahaman, dan pendekatan para ilmuwan kritis adalah untuk
beremansipasi dengan membongkar aspek-2 sosial kemasyarakatan, khususnya
ideologi yang tetap mempertahankan status quo melalui pelarangan atau
pembatasan akses kelompok-kelompok yang berbeda terhadap perolehan ilmu
pengetahuan.
13
melalui struktur kelembagaan ideologi yang ada. Teori ini sebagian tumpang
tindih dan sering menundang banyak kritik, termasuk dari SHK dan para
mahasiswa. Beberapa teori lainnya berfokus pada ketidaksesuaian doktrin legal
yang konvensional dalam pengertian koheren, konsistensi, dan legitimasi.
Komentator lain menekankan mengenai peranan ideologi legal dalam meligitimasi
kondisi sosial yang tidak adil.
Yang membuat kekuatan unik kaum feminis adalah klaim untuk berbicara
berdasarkan pengalaman wanita, meskipun terdapat banyaknya faktor yang
mempengaruhi seperti waktu, budaya, tingkatan kehidupan masyarakat, suku
bangsa, ethis, orientasi sexual, dan usia. Dalam konteks legal, isu mendesak
adalah mengenai legitimasi berdasarkan jenis kelamin yang hendaknya tidak
didasarkan pada situasi perbedaan jenis kelamin, tetapi apakah pengakuan legal
adanya perbedaan jender akan mengurangi atau mendorong disparitas jender dari
aspek kekuatan, status, dan jaminan ekonomi yang memerlukan penyesuaian
kontekstual, bukan pilihan berdasarkan katagori. Oleh karena itu perluasan
perspektif teori dan aliansi politik memegang peranan penting.
14
Legalisme Liberal
Dari sudut pandang filosofi dan pragmatik, kritik legal kaum feminis
beresiko kecil dalam menentang kaum liberal dibandingkan dengan SHK. Target
utamanya adalah kesetaraan jender, apapun latar belakang keluarganya, dan
aliansinya dalam perjuangan politik. Oleh karena itu ketika para ilmuwan feminis
yang kritis menentang kaum liberal mereka sering melakukan hal tersebut apapun
landasannya. Penentangannya cenderung berfokus pada bentuk tertentu
leiberalisme yang melekat dalam struktur legal dan politik yang ada dan juga pada
refleksi bias jender. Konsep otonomi menjadi isu sentral gerakan wanita Amerika
karena sejak awalnya, otonomi dimulai dari adanya hambatan otoritas pria dan
peranan tradisional.
Dikotomi yang sering ada adalah antara hak dan hubungan atau hak dan
tanggungjawab. Hak tidak hanya menjamin otonomi personal, tetapi juga
mencerminkan hubungan antara individu dan komunitas. Hak dapat menekankan
tanggungg jawab dan tanggungjawab dapat mengimplikasikan hak. Sebagai
15
contoh, hak wanita terhadap otonomi fungsi reproduktif merupakan suatu
prasyarat terhadap kesetaraan sosial mereka, tanpa kontrol harga diri individual
mereka, wanita tidak dapat menghadapi tantangan steretipe kelompok dan
hambatan peran yang memperkuat status minoritas mereka.
Kritik kaum feminis kontemporer yang efektif pasti radikal dalam artian
literal yang berakar pada ketidaksetaraan. Tanpa kepedulian luar biasa kaum
subteranian, potensi radikal kaum feminis tidak akan diperhatikan. Sebagaimana
gerakan lain yang menuntut perubahan revolusioner, kaum feminis menghadapi
tantangan konstan di radikalisasi. Dalam hal ini, Carol Gilligan mengamati bahwa
anak kecil perempuan dan laki-laki akan menghadapi masalah moral yang
berbeda. Anak laki-laki cenderung mengambil keputusan moral secara legalistik,
mereka beranggapan bahwa otonomi individual merupakan nilai tertinggi. Dalam
hal ini, dia merujuk sebagai etika hak atau etika keadilan. Sedangkan anak
perempuan tampak lebih memperhatikan etika kepedulian. Mereka menganggap
bahwa hubungan terjadi dalam situasi yang seharusnya, sebagaimana kesetaraan.
Mereka lebih memperhatikan keragaman fakta, peraturan, dan hubungan untuk
dapat menemukan solusi yang unik dari setiap masalah yang juga unik.
16
Pendekatan ketidaksetaraan berusaha untuk mendapatkan generalisasi
yang sesungguhnya dan juga stereotipe yang meskipun tidak berdasarkan pada
biologi, namun memiliki arti kebenaran sendiri berdasarkan sejarah
ketidaksetaraan. Pendekatan ketidaksetaraan berarti bahwa kita harus berpikir
lebih luas mengenai kesetaraan apa yang diinginkan. Hambatan dalam hal ini
lebih pada persepsi dan komitmen. Metode feminis hadir melalui peningkatan
kesadaran yang tidak dapat diverifiaksikan dengan metode tradisional. Oleh
karena itu kita menggunakan kerangka kerja epistemologi yang mengabaikan
keingintahuan kita, dan merupakan proses transformatif yang melekat dengan
memvalidasikan pengalaman yang diperoleh wanita.
11
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Hlm. 84
17
1. Feminisme Liberal
Feminisme liberal berpandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar
pada rasionalitas dan otonomi setiap individu. Perempuan adalah makhluk
rasional yang juga sama dengan laki-laki, karenanya harus diberi hak dan
diperlakukan sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas nalar dan
moralnya, diantaranya memberikan akses yang sama atas pendidikan, dan pilihan-
pilihan kesempatan untuk bekerja atau di rumah, serta hak politik yang sama
dengan laki-laki.12 Meskipun terdapat perdebatan untuk mencapai kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan, mustikah mereka diperlakukan sama ataukan
berbeda, namun pada akhirnya, sebagian mereka percaya bahwa ”hukum yang
spesifik gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam
memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin.”13 Feminis liberal percaya
bahwa untuk mencapai kesetaraan perlu perjuangan melalui pendekatan hukum
dengan cara mereformasi sistem yang ada agar perempuan memiliki hak yang
sama di bidang politik, pendidikan, dan kesempatan kerja.14
2. Feminisme Radikal
Kalangan feminis radikal mencurigai bahwa ketertindasan perempuan
terjadi karena adanya pemisahan antara wilayah privat dan publik, dimana ranah
privat dianggap sebagai lebih rendah dibanding ranah publik.15 Mereka meyakini
bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental opresi/penindasan
terhadap perempuan, dan dominasi yang terjadi atas seksualitas perempuan yang
ditemui di ranah privat, merupakan awal dari penindasan tersebut. 16 Karen Kate
Millett dalam bukunya “Sexual Politics” berpendapat bahwa seks adalah politik,
terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigm dari
semua hubungan kekuasaan. Sementara kekuasaan tersebut lahir karena adanya
kendali dan penguasaan laki-laki terhadap dunia publik dan privat, yang disebut
12
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 18-21
13
Ibid. Hlm. 45
14
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Hlm. 99
15
ibid. hlm. 100
16
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 69
18
sebagai patriarkhi. Sehingga, kebebasan perempuan hanya mungkin jika dominasi
tersebut dapat dihapuskan, yaitu dengan menghapuskan perbedaan gender –
terutama status, peran dan tempramen seksual− sebagaimana hal itu dibangun
dibawah patriarkhi.17 Karenanya kaum feminis radikal memiliki slogan untuk
gerakan mereka bahwa “the personal is political” (yang pribadi adalah politis),
yang artinya bahwa berbagai penindasan yang terjadi pada ranah pribadi (privat)
merupakan juga penindasan yang terjadi di ranah publik.18
17
Ibid. Hlm 73
18
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Hlm. 101
19
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 139
20
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Hlm. 111
21
Ibid. Hlm. 120
19
subordinat laki-laki, hingga perempuan dan laki-laki terbebaskan dari pemikiran
patriakh yang menempatkan perempuan kurang setara dari laki-laki.22
4. Feminisme Kultural/Eksistensialisme
Feminisme kulturan memfokuskan diri pada pandangan mereka tentang
perbedaan laki-laki dan perempuan. Dengan melihat perbedaan psyche antara
keduanya, mereka berpandangan bahwa ketertidasan perempuan karena
perempuan tersosialisasi dan terinternalisasi dalam dirinya bahwa mereka lebih
inferior disbanding laki-laki. Karenanya perempuan perlu mengkonstruksi konsep
dirinya dan mendefinisikan sendiri apa itu perempuan.23 Perempuan dengan
pengalaman hidup akan ketubuhannya sebagai perempuan memiliki sesuatu yang
istimewa dalam dirinya. Kemampuan perempuan untuk peduli membawa dampak
luar biasa pada identifikasi sebagai perempuan, dan juga berdampak positif pada
cara pandang perempuan terhadap dunia. Apa yang dimiliki perempuan tersebut
adalah dasar dari visi pembebasan.24
5. Feminisme Postmodern
Feminist postmodern memandang bahwa ketertindasan perempuan terjadi
karena mengalami alienasi yang disebabkan oleh cara berada, berfikir dan bahasa
perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralism,
diversifiksi dan perbedaan. Alienasi tersebut terjadi secara seksual, psikologis dan
sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sistem. Dengan kata lain perempuan
dilihat sebagai ”yang lain”, yang memiliki perbedaan cara berada, berpikir dan
”berbahasa” yang berbeda dari laki-laki. Sedangkan, selama ini aturan-aturan
simbolis yang berlaku sarat sarat dengan “aturan laki-laki” yang sangat maskulin.
Hal ini yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan terus terjadi secara
berulang.25
22
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 177
23
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Hlm. 124
24
Ibid. Hlm. 126
25
Ibid. Hlm. 129
20
6. Feminisme Multikultural dan Global/Post Kolonial
Feminisme multikultural dan global memiliki kesamaan dalam cara
pandangnya mengenai perempuan yang dilihat sebagai Diri yang terfragmentasi
(terpecah). Fragmentasi ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada
seksual, psikologis, dan sastrawi. Keduanya menentang “esensialisme
perempuan” yang memandang “perempuan” secara platonic, yang seolah setiap
perempuan, dengan darah dan daging dapat sesuai dalam satu ketegori.26
Adapun perbedaan keduanya, feminism multikultural didasarkan atas
pandangan bahwa dalam satu negara, semua perempuan tidak diciptakan atau
dikonstruksikan secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, dan juga
kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya, dimana setiap perempuan akan
mengalami opresi sebagai seorang perempuan secara berbeda pula.27
7. Ekofeminisme
26
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 309
27
Ibid. Hlm. 310
28
Ibid. Hlm. 330
21
Ekofeminisme yakin bahwa manusia adalah saling berhubungan satu sama
lain dan berhubungan juga dengan dunia bukan manusia, atau alam.
Ekofeminisme berpendapat bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan
linguistic antara feminis dan isu ekologi. Asumsi dasar dunia dibentuk oleh
bingkai pikir konseptual patriarkhal yang opresif, yang bertujuan menjelaskan,
membenarkan, dan menjaga hubungan dominatif, khususnya dominasi laki-laki
atas perempuan. Cara berfikir patriarkhis yang hirarkhism dualistic, dan opresif
telah merusak perempuan dan alam. Hal ini karena perempuan “dinaturalisasi”,
ketika digambarkan melalui acuan terhadap binatang, missal, “sapi, serigala,
ayam, ular, anjing betina, otak burung, otak kuda, dll.” Demikian pula alam
“difeminisasi” ketika “ia” diperkosa, dikuasai, ditakhlukkan, dikendalikan,
dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki, atau ketika “ia” dihormati
atau disembah sebagai “ibu” yang paling mulia dari segala ibu. 29 Bahwa
penindasan manusia terhadap alam juga berakibat pada penindasan pada manusia
lainnya. Karenanya menyelamatkan manusia berarti menyelamatakan alam dan
juga sebaliknya.
29
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 359
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
23
DAFTAR PUSTAKA
Savitri Niken , HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Hukum,
Jakarta PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 35.
Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm.
19
24