Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak sepuluh tahun terakhir kata gender telah memasuki perbendaharaan


disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan social dan pembanguna di dunia
ketiga. Demikian juga di indonesia, hampir semua uraian tentang program
pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non
pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksud
gender itu? Dari pengamatan masih terjadi ketidakjelasan, kesalahpahaman
tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan
emansipasi kaum perempuan. Setidak-tidaknya ada bebrapa penyebab terjadinya
ketidakjelasan tersebut. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa
inggris. Kalau dalam dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian
kata sex dan gender. Sementara itu, belum ada uraian yang mampu menjelaskan
secara singkat dan jelas mengenai konsep tersebut penting guna memahami
system ketidakadilan social. Dengan kata lain timbulnya ketidakjelasan itu
disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender
dengan masalah ketidakadilan lainnya.

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata
seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki
adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut: laki-laki adalah
manusiayang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi
sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran
untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina,dan mempunyaialat
menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis
perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut
tidak bisa dipertukarrkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki

1
dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan
biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan atau kodrat.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara social
maupun cultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan,
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada
perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan cirri dari sifat-sifat itu dapat
terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja
zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat lebih kuat dari laki-
laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih
kuat. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakata yang berbeda.
Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan
kaum laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat
ke tempatlainnya, maupun berbeda dari suatu kelas kelas yang lain, itulah yang
dikenal dengan konsep gender.

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-


laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,
diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara
social atau cultural.,melalui ajaran keagamaan maupun Negara. Melalui proses
panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan
seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-
prbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat
perempuan.

Sebaliknya, melalui dealektika, konstruksi social gender yang


tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis
masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi social gender, kaum

2
laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih
dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju kesifat gender yang
ditentukan oleh masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar.
Sebaliknya, karenakaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses
sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi
serta ideology kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi pengembangan fisik
dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan rekontruksi berlangsung
secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah isfat-sifat
gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki-laki kuat
perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang
ditetapkan oleh Tuhan. Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat
biasanyamelekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa
dipertukarkan, maka sifat tersebut adalahhasil konstruksi masyarakat dan sama
sekali bukanlah kodrat.

Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi
masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang
disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak
pada tempatnyadi masyarakat, di mana apa yang sesungguhnyagender, karena
pada dasarnya konstruksi social justru dianggap sebagai kodrat yang berarti
ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewas ini
sering dianggap atau dinamakan sebagai “kodrat wanita” adalah konstruksi social
dan cultural atau gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak,
mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan
domestik sering dianggap sebagai “kodrat wanita”. Padahal kenyataannya, bahwa
kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, mengelola dan
merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi social dalam
suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan
merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh
karena jenis pekerjaan bisa dipertukarkan dan tidak besifat universal, apa yang
sering disebut sebagai “kodrat wanita” atau “takdir Tuhan atas wanita” dalam

3
kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya
adalah gender.

Setelah jelas perbedaan antara konsep jenis kelamin (sex) dan gender,
dapat diajukan pertanyaan mengapa perbedaan jenis kelamin harus melahirkan
perbedaan-perbedaan gender? Apa permasalahan yang di timbulkan oleh
perbedaan gender tersebut? Dengan kata lain, kalau perbedaan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki dapat dapat dibedakan dari perbedaan gender bahwa
kaum perempuan itu tidak rasional, emosional, lemah lembut, dan bahwa
laki-laki memilki sifat rasional, kuat atau perkasa, lantas di mana letak
permasalahannya?

Perbedaan Gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang


tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang
menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki
dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana
perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui
berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan termanifestasikan
dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni; Marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi, subordinasi, atau anggapan tidak penting dalam keputusanpolitik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negative, kekerasan(violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi
nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan,
karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis.
Tidak ada satupun manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting, lebih
esensial, dari yang lain. Misalnya, marginalisasi ekonomi kaum perempuan justru
terjadi karena stereotipe tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbang
kepada subordinasi, kekerasan kepada kaum perempuan, yang akhirnya
tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri.
Dengan demikian, kita tidak bisa menyatakan bahwa marginalisasi kaum

4
perempuan adalah menentukan dan terpenting dari yang lain dan oleh karena itu
perlu mendapat perhatian lebih. Atau sebaliknya, bahwa kekerasan
fisik (violence) adalah masalah paling mendasar yang harus dipecahkan terlebih
dahulu.

Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat


ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga
masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung
berbentuk tidak tertulis. Bentuk hukum ini dikenal sebagai budaya hukum tidak
tertulis (unwritten law) dan terdapat pada masyarakat-masyarakat tradisional
seperti pada masyarakat Anglo-Saxon, Britania, dan masyarakat-masyarakat
tradisional lainnya, seperti pada masyarakat Eskimo, Indian dan masyarakat
Hukum adat di Indonesia. Dalam bentuknya sebagai kebiasaan, hukum dianggap
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hukum dibentuk dan diberlakukan
oleh dan di dalam suatu masyarakat.1 Kalau diadakan penilaian mengenai buruk-
baiknya suatu perilaku, biasanya tidak disadari tentang adat istiadat yang
menciptakan kaidah moral yang menjadi dasar penilaian.

Adat istiadat di Indonesia menganggap kedudukan wanita lebih rendah


dibanding pria, namun pergerakan kaum pejuang wanita seperti R.A Kartini yang
menyuarakan suara agar wanita dapat disetarakan kedudukannya dengan pria pada
akhirnya membuahkan hasil, hal ini dapat terlihat dari isi Undang-undang Dasar
tahun 1945 yang mencantumkan dalam Pasal 27 (1) bahwa, semua orang
mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak tahun 1945
Indonesia telah mengakui prinsip kesetaraan pria dan wanita di depan hukum

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 31 (1)


menjelaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di
masyarakat. Dalam Pasal 35 (1), harta benda yang diperoleh selama perkawinan

1
Niken Savitri, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Hukum, PT. Refika
Aditama, Jakarta, 2008, hlm. 35.

5
menjad harta bersama, lalu dalam Pasal 36 (1) mengenai harta bersama suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Meski demikian, beberapa perundangan tersebut masih memerlukan kajian


gender yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan. Dengan
demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus
mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang
potensial dan teori hukum feminsme dapat digunakan sebgai dasar bagi kaum
perempuan untuk melindungi haknya. Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi,
dan peluang perempuan yang telah terstruktur dalam masyarakat menjadi makin
terbuka, termasuk membangun kaum ibu melalui pembangunan keluarga
berkualitas

B. Rumusan Masalah

1. Sejarah teori hukum feminis dan teori hukum di Indonesia?

2. Bagaimana aliran – aliran feminis jurisprudence?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tentang sejarah teori hukum feminis dan teori hukum di
Indonesia.

2. Untuk mengetahui aliran teori hukum feminis terhadap hukum di Indonesia.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Feminist Legal Theory


Kata feminist dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai kata benda
(noun) atau kata sifat (adjective) yang diakitkan dengan kata feminism. Dalam
Merriam Webster’s Dictionary and Thesaurus, feminist merupakan kata sifat
(adjective) dari feminism yang berarti : (1) teori tentang kesetaraan politik,
ekonomi dan social berdasarkan jenis kelamin, (2) aktivitas yang diorganisasi atas
nama hak-hak dan kepentingan perempuan.2 Kata feminist sebagai kata benda
(noun) berarti pula supporter atau pendukung feminism, atau kata sifat (adjective)
yang berarti berhubungan dengan atau mendukung persamaan hak bagi
perempuan.3 Sedangkan dalam Oxford English Dictionary (OED) feminism
berarti advokasi hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan jenis kelamin.4 Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hanya ditemukan istilah feminism yang berarti
gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kamu
perempuan dan laki-laki.

Feminism dalam pandangan para ahli dan aktivis feminis memiliki


beragam makna. Linda Gordon mengartikan feminism sebagai “an analysis of
women’s subordination for the purpose of figuring out how to change it (suatu
analisis terhadap subordinasi perempuan untuk tujuan mencari tahu bagaimana
mengubahnya).5 Bagi Gordon, feminism juga berarti “sharing in an impulse to
increase the power and autonomy of women in their families, communities, and/or
society”(sharing dalam suatu dorong hati untuk meningkatkan kuasa dan otonomi
perempuan dalam keluarga, komunitas dan/atau masyarakat mereka). Pada

2
Merriam-Webster, 2006, Merriam-Webster’s Dictionary and Thesaurus. Merriam-
Webster’s Dictionary and Thesaurus, Incorporated Springfield, Massachusetts. Hlm. 398
3
Dictionary, WordNet, 2003, http://www.webster-dictionary.org/.Princeton University,
New Jersey-United States. Sebagaimana diakses pada tanggal 14 Februari 2018
di http://www.webster-dictionary.org/definition/feminist
4
Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm. 19
5
Fineman, Martha Albertson, 2005, Feminist Legal Theory Journal of Gender, Social
Policy & The Law

7
kesempatan lain Gordon mendefinisikan feminism sebagai “critique of male
supremacy, formed and offered in the light of a will to change it”6 (kritik atas
supremasi laki-laki yang dirupakan dan ditawarkan dalam cahaya kehendak untuk
merubahnya).
Feminism juga dianggap sebagai pandangan yang berfokus pada
ketidakadilan yang dialami perempuan karena jenis kelaminnya. Janet Radcliffe
Richard mendefinisikan feminism sebagai keyakinan bahwa “perempuan
mengalami ketidakadilan sosial yang sistematis karena jenis kelamin mereka.”
Pengertian serupa disampailan oleh Alison Jaggar yang
mendefiniskan feminist sebagai “mereka semua yang mengupayakan, tidak peduli
karena atas dasar apa, untuk mengakhiri subordinasi perempuan.”
Pada kesempatan lain feminism juga diartikan sebagai paham atau teori
yang menganut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ailen Kraditor
dalam hal ini mendefinisikan feminism sebagai “the theory that women should
have political, economic, and social right equal to those of men.”7 Feminism
kemudian juga dipandang sebagai suatu keyakinan yang beroperasi dalam suatu
group, yang berarti keinginan untuk meningkatkan otonomi perempuan.
Sehinggafeminism berarti pula gerakan atau upaya sekumpulan orang yang
dilakukan atau yang berorientasi pada perubahan posisi perempuan.8 Pemikiran
ini lahir karena adanya kesadaran mengenai ketidakadilan dan ketimpangan hak
antara laki-laki dan perempuan. Karenanya Kraditor berpandangan bahwa inti
feminism adalah menyarankan “otonomi perempuan” sebagai sesuatu yang
diingkan perempuan, sebagaimana yang tersirat dalam gerakan mereka.9

Sementara Feminist Legal Theory dalam Oxford Dictionary of Law diartikan


sebagai;

6
Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm. 17
7
ibid. hlm. 19
8
Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm. 18-29
9
Ibid. Hlm 19

8
“A broad movement that seeks to show how conventional legal theory, far from
being gender-blind, ignores the position and perspective of women. Feminist write
examine the inequalities to be found in the criminal law (especially in rape and
domestic violence), family law, contract, tort, property, and others branches of the
substantive law, including aspects of public law”.10

(Gerakan luas yang berusaha menunjukkan bagaimana teori hukum konvensional,


jauh dari buta-gender, mengabaikan posisi dan perspektif perempuan. Kaum
feminist menunjukkan kesenjangan yang dapat ditemukan dalam hukum pidana
(terutama dalam pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga), hukum
keluarga, kontrak, kesalahan, properti, dan cabang-cabang lain dari hukum
substantif, termasuk aspek hukum publik).

Dengan demikian feminist legal theory atau teori


hukum feministadalah teori hukum yang lahir dari pemikiran kaum feminis, yaitu
suatu gerakan atau orang-orang, utamanya perempuan, yang memiliki keyakinan
dan/atau pandangan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis
kelaminnya dan karenanya berupaya untuk menghapuskannya dengan
meningkatkan otonomi perempuan dan advokasi hak-hak perempuan.

10
Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, 2006, OxfordDictionary of Law. Oxford
Dictionary of Law, Sixth ed., Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, Eds., Oxford University Press,
New York. Hlm. 221

9
B. Sejarah Feminist Jurisprudence

Feminist Jurisprudence (Jurisprudensi Feminis) bisa dilacak, mungkin


pada saat munculnya gelombang fenimisme abad sembilan belas, atau sepuluh
tahun yang lalu saat wanita menyuarakan tentang hukum dan teori legal
khususnya. Pluralitas suara mengenai hal ini semakin kuat di Amerika Utara dan
Australia dibandingkan di Inggris. Tulisan selanjutnya merefleksikan hal ini.

Salah satu penjelasan mengenai Jurisprudensi Feminis melihat sebagai


suatu tembakan mengenai gerakan Studi Hukum yang Kritis (SHK). Prinsip-
prinsip SHK pada tahun tujuh puluhan meliputi “kritik mendasar mengenai logika
hukum yang melekat, doktrin ketidak menentuan dan pemutar balikan, peranan
hukum mengenai legitimiasi hubungan sosial tertentu, dan ketidak absahan hirarki
yang diciptakan oleh lembaga hukum”.

Jurisprudensi Feminis merupakan suatu pengembangan gerakan wanita


lebih umum yang muncul pada akhir 1960an dan awal 1970an dan berada pada
puncak dari sosiologi feminis, filosofi feminis dan sejarah feminis. Semula
merupakan pengembangan keterikatan dari refleksi dan suara wanita yang lebih
luas.

Semakin banyaknya wanita yang mempelajari hukum merupakan


fenomena tahun 1960an dan sesudahnya juga mempunyai dampak, yaitu
mahasiswa wanita mulai mempertanyakan kurikulum yang mengabaikan isu
sentral mengenai keprihatinan wanita yang meliputi: pemerkosaan, penyiksaan
pembantu rumah tangga, fungsi reproduksi, pembayaran upah yang tidak setara,
diskriminasi sex, pelecehan sexual.

Kesetaran dan Perbedaan

Tekanan awal yang dikemukakan oleh penganut feminis adalah kesetaraan


wanita dengan pria. Pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban adalah : apakah
wantia ingin diperlakukan sama dengan pria ?; apakah kesetaraan memerlukan

10
perlakuan yang berbeda ?; apakah ada nilai yang lebih penting dibandingkan
dengan kesetaraan ?

Jurisprudensi Feminis merupakan suatu bangunan rumah dengan banyak


kamar mengenai gerakan feminis dalam bidang hukum. Focus dari Jurisprudensi
Feminis adalah peranan hukum dalam meneruskan hegemony patriadat, antara
lain melalui rekonstruksi kritik secara kolektif mengenai pengalaman sosial
wanita.

Menurut Adrienne Rich terdapat 7 pertanyaan yang harus dijawab


berkaitan dengan Jurisprudensi Feminis, yaitu:

1. Apakah pengalaman para wanita mengenai “situasi kehidupan” yang


menjadi tujuan doktrin dimaksud, apakah proses dan area dari hukum yang
dikaji?
2. Apakah asumsi, uraian, pernyataan, dan/atau definisi mengenai
pengalaman, pria, wanita atau kekinian netralitas jender, apakah hukum
juga berada pada area ini?
3. Apakah area dari ketidaksinambungan, distorsi atau penolakan yang
diakibatkan antara pengalaman hidup wanita dan asumsi hukum atau
struktur yang dipaksakan?
4. Apakah interes patriadat timbul dengan ketidaksinambungan dimaksud?
5. Apakah pembaharuan yang telah diusulkan dalam area hukum atau situasi
kehidupan wanita? Bagaimanakah pengaruh usulan pembaharuan tersebut
terhadap wanita baik secara praktis maupun ideologis?
6. Dalam dunia yang ideal, seperti apakah situasi kehidupan wanita ini dan
jika ada, apakah hubungan hukum terhadap situasi kehidupan dimasa
mendatang?
7. Bagaimanakah kita mencapai kesana dengan memulainya dari sini?

Hal yang penting adalah merealisasikan “kerangka analisis mengenai


hukum patriadat yang bukan merupakan lingkup penciptaan visi masa depan

11
feminis” sebagaimana ditulis oleh Wishik. Sementara Dalto membantah bahwa
“kita tidak dapat hanya melakukan penelitian mengenai apa yang terjadi terhadap
wanita yang diakibatkan oleh hukum, bahasa hukum dan lembaga hukum”.

Kritik lain dari perspektif yang berbeda datang dari Richard Posner yang
mengklaim bahwa wanita bukan tidak mempunyai “citra dirinya sebagai
individual ataupun dibatasi dengan adanya kehamilan dan pemberian ASI”
Pendapatnya mengenai hubungan heterosexual adalah “perlu banyak penjelasan
mengenai penetrasi wanita dalam hal ini” Ketidaksetaraan bukanlah merupakan
kesalahan legal. Ketidakadilan jenis kelamin bukanlah hal yang tidak rasional, hal
ini merupakan dominasi. Scales melihat Jurisprudensi Feminis yang akan
berfokus pada dominasi, kerugian dan ketidakberdayaan dibandingkan dengan
kajian terhadap perbedaan antara pria dan wanita.

Robert West dalam penjelasannya menyampaikan bahwa kegagalan teori


hukum moderen terletak pada ketidakpahaman mengenai apa yang dimaksud
dengan manusia. Pria diasumsikan sebagai individual yang secara esensial
terpisah dari lainnya. Dia membantah akibat hubungan wanita dengan manusia
lainnya hanya karena didasarkan pada aktivitas biologis , seperti kehamilan,
pemberian ASI dan hubungan heterosexual.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah wanita ingin


diperlakukan seperti pria? Apakah kesetaraan memerlukan perlakuan yang
berbeda? Adakah nilai yang lebih penting daripada kesetaraan? Dari sinilah issu
mengenai bagaimana para feminis hrus mendefinisikan dan merespon perbedaan
jenis kelamin. Apakah perbedaan tersebut harus diabaikan atau ditekankan dan
apabila ditekanan, apakah tindakan positif yang harus dilakukan?

Teori feminis didasarkan pada tantangan untuk mendapatkan gambaran


empiris yang positif. Dilakukan melalui obeservasi dan pengukuran mengenai
realitas yang akan muncul. Sementara metodologi hukum sebaliknya, yaitu
dipengaruhi oleh interpretasi dan tradisi yang terus terjadi, serta oleh metodologi
teori kritis. Dijelaskan oleh Nielsen bahwa tujuan dari para positivis adalah

12
memprediksi dan mengontrol; para penganut keberlangsungan bertujuan untuk
mencapai pemahaman, dan pendekatan para ilmuwan kritis adalah untuk
beremansipasi dengan membongkar aspek-2 sosial kemasyarakatan, khususnya
ideologi yang tetap mempertahankan status quo melalui pelarangan atau
pembatasan akses kelompok-kelompok yang berbeda terhadap perolehan ilmu
pengetahuan.

Metode Legal Feminis

Sementara para feminis kontemporer bersama-sama para filosofis modern


memunculkan metateori penting yang membahas mengenai sifat dan status teori
itu sendiri. Misalnya Bartlett membantah bahwa bangunan sosial yang merupakan
produk dari ”struktur dan sumber-sumber yang sangat banyak”, bahwa sejarah,
budaya dan bahasa berada dalam kontrol individual.

Dalam tulisannya ”Metode Legal Feminis” dia mengidentifikasi metode-


metode yang membuat studi dan praktek hukum diwarnai oleh jiwa para feminis”.
Dia menekankan adanya tiga metode tersebut yaitu: menanyakan
masalah/persoalan-persoalan wanita; alasan mengenai praktek feminis; dan
munculnya kesadaran.

Dalam hal ini dia mengesampingkan metode legal tradisional. Evaluasi


terhadap teorinya mengenai pemikiranlegal feminis berkaitan dengan masalah
empiris, pandangan epistemologi dan penganut faham modern untuk membantah
”posisionalitas”, pengakuan eksistensi, tetapi juga kontingensi, kebenaran-nilai-
ilmu pengetahuan empiris. Kebenaran dilihat sebagai hal yang sesuaisituasi dan
bersifat parsial.

Teori Kritis Feminis

Baik teori kritis feminis maupun analisis lainnya keduanya sama-sama


berfokus pada kesetaraan jender dan keyakinan bahwa hal itu tidak akan tercapai

13
melalui struktur kelembagaan ideologi yang ada. Teori ini sebagian tumpang
tindih dan sering menundang banyak kritik, termasuk dari SHK dan para
mahasiswa. Beberapa teori lainnya berfokus pada ketidaksesuaian doktrin legal
yang konvensional dalam pengertian koheren, konsistensi, dan legitimasi.
Komentator lain menekankan mengenai peranan ideologi legal dalam meligitimasi
kondisi sosial yang tidak adil.

Penganut paham feminis yang kritis sebagaimana pendekatan kritis lain,


berlandaskan pada teori sosial terkini yang memunculkan banyak problematik.
Penganut paham ini mempertegas otoritas mereka ayng didasarkan pada analisis
keyakinan dan pengalaman. Pendekatan yang dilakukan memunculkan teknik-
teknik peningkatan kesadaran organisasi-organisasi feminis kontemporer maupun
tradisi-tradisi filosofi pragmatis. Standar operasinya adalah memulai dengan
pengalaman kongkret, mengitegrasikannya kedalam teori, dan berdasarkan teori
tersebut didalami pemahaman mengenai pengalaman yang telah diperoleh.
Katherine Bartlett misalnya jelas-jelas menekankan pada landasan praktis dan
menggunakannya pada ”cara berfikir / analisis praktis”.

Yang membuat kekuatan unik kaum feminis adalah klaim untuk berbicara
berdasarkan pengalaman wanita, meskipun terdapat banyaknya faktor yang
mempengaruhi seperti waktu, budaya, tingkatan kehidupan masyarakat, suku
bangsa, ethis, orientasi sexual, dan usia. Dalam konteks legal, isu mendesak
adalah mengenai legitimasi berdasarkan jenis kelamin yang hendaknya tidak
didasarkan pada situasi perbedaan jenis kelamin, tetapi apakah pengakuan legal
adanya perbedaan jender akan mengurangi atau mendorong disparitas jender dari
aspek kekuatan, status, dan jaminan ekonomi yang memerlukan penyesuaian
kontekstual, bukan pilihan berdasarkan katagori. Oleh karena itu perluasan
perspektif teori dan aliansi politik memegang peranan penting.

14
Legalisme Liberal

Dari sudut pandang filosofi dan pragmatik, kritik legal kaum feminis
beresiko kecil dalam menentang kaum liberal dibandingkan dengan SHK. Target
utamanya adalah kesetaraan jender, apapun latar belakang keluarganya, dan
aliansinya dalam perjuangan politik. Oleh karena itu ketika para ilmuwan feminis
yang kritis menentang kaum liberal mereka sering melakukan hal tersebut apapun
landasannya. Penentangannya cenderung berfokus pada bentuk tertentu
leiberalisme yang melekat dalam struktur legal dan politik yang ada dan juga pada
refleksi bias jender. Konsep otonomi menjadi isu sentral gerakan wanita Amerika
karena sejak awalnya, otonomi dimulai dari adanya hambatan otoritas pria dan
peranan tradisional.

Kaum feminis mengemukakan pentingnya hubungan sosial dalam


mepertajam preferensi individual. Dari perspektif ini, tidak ada konsepsi
masyarakat yang baik dan tepat untuk dimunculkan melalui teknik baku liberal.
Sementara para feminis yang krits setuju dengan adanya perbedaan, sumber
perbedaan atau implikasi perbedaan jender. Dalam hal ini suatu pendekatan kritis
mereka adalah terhadap pertimbangan kontekstual kebutuhan nilai-nilai
prosedural.

Langkah awal yang mendesak adalah melakukan perombakan dikotomi


yang jelas terlihat antara formalism dan informalisme yang secara tradisional
terstruktur membantah proses penyelesaian perselisihan alternatif. Perbedaan
utama antara kaum feminis yang kritis dan teori hukum yang kritis lainnya
meliputi peranan daripada hak. Kerangka kerja yang berorientasi pada hak dapat
menjauhkan kita dari pilihan-pilihan nilai yang perlu dan ketidakjelasan dasar-
dasar mengenai kepentingan yang diakomodasikan.

Dikotomi yang sering ada adalah antara hak dan hubungan atau hak dan
tanggungjawab. Hak tidak hanya menjamin otonomi personal, tetapi juga
mencerminkan hubungan antara individu dan komunitas. Hak dapat menekankan
tanggungg jawab dan tanggungjawab dapat mengimplikasikan hak. Sebagai

15
contoh, hak wanita terhadap otonomi fungsi reproduktif merupakan suatu
prasyarat terhadap kesetaraan sosial mereka, tanpa kontrol harga diri individual
mereka, wanita tidak dapat menghadapi tantangan steretipe kelompok dan
hambatan peran yang memperkuat status minoritas mereka.

Kritik kaum feminis kontemporer yang efektif pasti radikal dalam artian
literal yang berakar pada ketidaksetaraan. Tanpa kepedulian luar biasa kaum
subteranian, potensi radikal kaum feminis tidak akan diperhatikan. Sebagaimana
gerakan lain yang menuntut perubahan revolusioner, kaum feminis menghadapi
tantangan konstan di radikalisasi. Dalam hal ini, Carol Gilligan mengamati bahwa
anak kecil perempuan dan laki-laki akan menghadapi masalah moral yang
berbeda. Anak laki-laki cenderung mengambil keputusan moral secara legalistik,
mereka beranggapan bahwa otonomi individual merupakan nilai tertinggi. Dalam
hal ini, dia merujuk sebagai etika hak atau etika keadilan. Sedangkan anak
perempuan tampak lebih memperhatikan etika kepedulian. Mereka menganggap
bahwa hubungan terjadi dalam situasi yang seharusnya, sebagaimana kesetaraan.
Mereka lebih memperhatikan keragaman fakta, peraturan, dan hubungan untuk
dapat menemukan solusi yang unik dari setiap masalah yang juga unik.

Berkaitan dengan hal ini, Gilligan beranggapan bahwa perbedaan suara


wanita dapat dimasukkan dalam hak kita dan ke dalam sistem legal yang
berdasarkan peraturan. Menurut Gilligan, kita harus berfikir bahwa ada sistem
yang dapat memenuhi semua pertimbangan yaitu peraturan, hak, hubungan dan
kesetaraan, yang disebut sebagai kaum incorporation. Kaum incorporation
beranggapan bahwa masalah ketidaksetaraan sosial berkaitan dengan supremasi
pria semata-mata merupakan kumpulan acak irrasionalitas.

Dalam suasana genderisasi, etika yang berdasarkan hak dan kepedulian


tidak dapat dicampuradukkan. Pria lebih rasional dibandingkan wanita. Meskipun
psikologi feminis mengajukan konsepsi yang berbeda mengenai nilai genderisasi,
yaitu bahwa wanita sepenuhnya rasional, namun masyarakat tidak dapat
menerimanya karena pria sudah terdapat pandangan bahwa pria rasional.

16
Pendekatan ketidaksetaraan berusaha untuk mendapatkan generalisasi
yang sesungguhnya dan juga stereotipe yang meskipun tidak berdasarkan pada
biologi, namun memiliki arti kebenaran sendiri berdasarkan sejarah
ketidaksetaraan. Pendekatan ketidaksetaraan berarti bahwa kita harus berpikir
lebih luas mengenai kesetaraan apa yang diinginkan. Hambatan dalam hal ini
lebih pada persepsi dan komitmen. Metode feminis hadir melalui peningkatan
kesadaran yang tidak dapat diverifiaksikan dengan metode tradisional. Oleh
karena itu kita menggunakan kerangka kerja epistemologi yang mengabaikan
keingintahuan kita, dan merupakan proses transformatif yang melekat dengan
memvalidasikan pengalaman yang diperoleh wanita.

Pendekatan feminis menganggap justifikasi secara serius, lebih jujur dan


efisien untuk mencapai legitimasi. Standar legal kaum feminis untuk kesetaraan
merupakan prinsip dalam memperoleh landasan moral di depan pengadilan.
Dalam memisahkan yurisprudensi maskulin antara liberalisme legal dan teori
legal kritis saat ini adalah dalam artian politik.

C. Berbagai Aliran dan Pemikiran Feminisme


Pemikiran dan teori feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak
adilan sosial yang dialami perempuan dalm dunia hukum. Para pemikir feminist
legal theory percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari
perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum
diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk
melanggengkan posisi subordinasi perempuan dihadapan laki-laki. Perkembangan
sejarah dan realitas sosial yang dihadapi perempuan telah melahirkan berbagai
gerakan, pemikiran dan teori feminis, yang kemudian menjadi landasan bagi
pemikiran feminist legal theory.11 Berikut ini beberapa aliran besar dalam
feminism dan feminist legal theory;

11
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Hlm. 84

17
1. Feminisme Liberal
Feminisme liberal berpandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar
pada rasionalitas dan otonomi setiap individu. Perempuan adalah makhluk
rasional yang juga sama dengan laki-laki, karenanya harus diberi hak dan
diperlakukan sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas nalar dan
moralnya, diantaranya memberikan akses yang sama atas pendidikan, dan pilihan-
pilihan kesempatan untuk bekerja atau di rumah, serta hak politik yang sama
dengan laki-laki.12 Meskipun terdapat perdebatan untuk mencapai kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan, mustikah mereka diperlakukan sama ataukan
berbeda, namun pada akhirnya, sebagian mereka percaya bahwa ”hukum yang
spesifik gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam
memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin.”13 Feminis liberal percaya
bahwa untuk mencapai kesetaraan perlu perjuangan melalui pendekatan hukum
dengan cara mereformasi sistem yang ada agar perempuan memiliki hak yang
sama di bidang politik, pendidikan, dan kesempatan kerja.14

2. Feminisme Radikal
Kalangan feminis radikal mencurigai bahwa ketertindasan perempuan
terjadi karena adanya pemisahan antara wilayah privat dan publik, dimana ranah
privat dianggap sebagai lebih rendah dibanding ranah publik.15 Mereka meyakini
bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental opresi/penindasan
terhadap perempuan, dan dominasi yang terjadi atas seksualitas perempuan yang
ditemui di ranah privat, merupakan awal dari penindasan tersebut. 16 Karen Kate
Millett dalam bukunya “Sexual Politics” berpendapat bahwa seks adalah politik,
terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigm dari
semua hubungan kekuasaan. Sementara kekuasaan tersebut lahir karena adanya
kendali dan penguasaan laki-laki terhadap dunia publik dan privat, yang disebut

12
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 18-21
13
Ibid. Hlm. 45
14
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Hlm. 99
15
ibid. hlm. 100
16
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 69

18
sebagai patriarkhi. Sehingga, kebebasan perempuan hanya mungkin jika dominasi
tersebut dapat dihapuskan, yaitu dengan menghapuskan perbedaan gender –
terutama status, peran dan tempramen seksual− sebagaimana hal itu dibangun
dibawah patriarkhi.17 Karenanya kaum feminis radikal memiliki slogan untuk
gerakan mereka bahwa “the personal is political” (yang pribadi adalah politis),
yang artinya bahwa berbagai penindasan yang terjadi pada ranah pribadi (privat)
merupakan juga penindasan yang terjadi di ranah publik.18

3. Feminisme Marxis dan Sosialis


Rosemarie Putnam Tong, menyatakan bahwa perbedaan feminism marxis
dan sosialis lebih merupakan masalah penekanan daripada masalah
substansi.19 Feminisme marxis melihat bahwa masalah ketertindasan perempuan
terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan peran
perempuan. Penindasan tersebut terjadi melalui produk politik, social dan struktur
ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem kapitalisme.20 Mereka percaya bahwa
kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang lebih baik bagi perempuan
merupakan jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan.21

Sementara feminisme sosialis lebih menekankan penindasan gender


dibandingkan penindasan kelas sebagai salah satu sebab penindasan perempuan.
Feminism sosialis setuju dengan feminism marxis bahwa pembebasan perempuan
bergantung pada penghapusan kapitalisme, namun mereka mengklaim bahwa
kapitalisme tidak mungkin dihancurkan kecuali patrairkhi juga dihancurkan.
Bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena ideologi patriarkhi. Bahkan
sekalipun kapitalisme telah dihancurkan, perempuan akan tetap menjadi

17
Ibid. Hlm 73
18
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Hlm. 101
19
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 139
20
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Hlm. 111
21
Ibid. Hlm. 120

19
subordinat laki-laki, hingga perempuan dan laki-laki terbebaskan dari pemikiran
patriakh yang menempatkan perempuan kurang setara dari laki-laki.22

4. Feminisme Kultural/Eksistensialisme
Feminisme kulturan memfokuskan diri pada pandangan mereka tentang
perbedaan laki-laki dan perempuan. Dengan melihat perbedaan psyche antara
keduanya, mereka berpandangan bahwa ketertidasan perempuan karena
perempuan tersosialisasi dan terinternalisasi dalam dirinya bahwa mereka lebih
inferior disbanding laki-laki. Karenanya perempuan perlu mengkonstruksi konsep
dirinya dan mendefinisikan sendiri apa itu perempuan.23 Perempuan dengan
pengalaman hidup akan ketubuhannya sebagai perempuan memiliki sesuatu yang
istimewa dalam dirinya. Kemampuan perempuan untuk peduli membawa dampak
luar biasa pada identifikasi sebagai perempuan, dan juga berdampak positif pada
cara pandang perempuan terhadap dunia. Apa yang dimiliki perempuan tersebut
adalah dasar dari visi pembebasan.24

5. Feminisme Postmodern
Feminist postmodern memandang bahwa ketertindasan perempuan terjadi
karena mengalami alienasi yang disebabkan oleh cara berada, berfikir dan bahasa
perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralism,
diversifiksi dan perbedaan. Alienasi tersebut terjadi secara seksual, psikologis dan
sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sistem. Dengan kata lain perempuan
dilihat sebagai ”yang lain”, yang memiliki perbedaan cara berada, berpikir dan
”berbahasa” yang berbeda dari laki-laki. Sedangkan, selama ini aturan-aturan
simbolis yang berlaku sarat sarat dengan “aturan laki-laki” yang sangat maskulin.
Hal ini yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan terus terjadi secara
berulang.25

22
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 177
23
Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Hlm. 124
24
Ibid. Hlm. 126
25
Ibid. Hlm. 129

20
6. Feminisme Multikultural dan Global/Post Kolonial
Feminisme multikultural dan global memiliki kesamaan dalam cara
pandangnya mengenai perempuan yang dilihat sebagai Diri yang terfragmentasi
(terpecah). Fragmentasi ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada
seksual, psikologis, dan sastrawi. Keduanya menentang “esensialisme
perempuan” yang memandang “perempuan” secara platonic, yang seolah setiap
perempuan, dengan darah dan daging dapat sesuai dalam satu ketegori.26
Adapun perbedaan keduanya, feminism multikultural didasarkan atas
pandangan bahwa dalam satu negara, semua perempuan tidak diciptakan atau
dikonstruksikan secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, dan juga
kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya, dimana setiap perempuan akan
mengalami opresi sebagai seorang perempuan secara berbeda pula.27

Sementara feminism global berfokus pada hasil opresif kebijakan dan


praktek kolonial dan nasionalis, dimana “pemerintahan besar” dan “bisnis besar”
membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai “dunia pertama” (yang
berpunya) dan “dunia ketiga” (yang tak berpunya). Menurut mereka opresi
terhadap perempuan di satu bagian di dunia seringkali disebabkan oleh apa yang
terjadi di bagian dunia yang lain, bahwa tidak akan ada perempuan bebas hingga
semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan dimanapun
juga.28 Feminisme global atau post kolonial juga berpandangan bahwa
pengalaman perempuan dunia pertama berbeda dengan pengelaman perempuan
dunia ketiga, dimana perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan
lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.

7. Ekofeminisme
26
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 309
27
Ibid. Hlm. 310
28
Ibid. Hlm. 330

21
Ekofeminisme yakin bahwa manusia adalah saling berhubungan satu sama
lain dan berhubungan juga dengan dunia bukan manusia, atau alam.
Ekofeminisme berpendapat bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan
linguistic antara feminis dan isu ekologi. Asumsi dasar dunia dibentuk oleh
bingkai pikir konseptual patriarkhal yang opresif, yang bertujuan menjelaskan,
membenarkan, dan menjaga hubungan dominatif, khususnya dominasi laki-laki
atas perempuan. Cara berfikir patriarkhis yang hirarkhism dualistic, dan opresif
telah merusak perempuan dan alam. Hal ini karena perempuan “dinaturalisasi”,
ketika digambarkan melalui acuan terhadap binatang, missal, “sapi, serigala,
ayam, ular, anjing betina, otak burung, otak kuda, dll.” Demikian pula alam
“difeminisasi” ketika “ia” diperkosa, dikuasai, ditakhlukkan, dikendalikan,
dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki, atau ketika “ia” dihormati
atau disembah sebagai “ibu” yang paling mulia dari segala ibu. 29 Bahwa
penindasan manusia terhadap alam juga berakibat pada penindasan pada manusia
lainnya. Karenanya menyelamatkan manusia berarti menyelamatakan alam dan
juga sebaliknya.

29
Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 359

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Aliran Teori Hukum Feminisme adalah aliran yang ingin memperjuangkan


hak-hak dari kaum wanita agar mendapat hak yang sama tanpa adanya
diskriminasi. Karena sejarah telah membuktikan bahwa hak-hak kaum wanita
sering di kesampingkan dalam segala hal baik keluarga maupun hukum, kemudian
negara kurang melindungi hak-hak kaum wanita dengan aturan hukum yang ada
padahal hak-hak kaum wanita rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
sering merugikan kaum wanita. Karena secara esensinya wanita makluk yang
lemah dibandingkan dengan pria

Masih banyak peraturan perundangan-undangan di Indonesia


harus memerlukan kajian gender yang lebih mendalam, terutama soal
implementasi di lapangan. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut,
kaum perempuan tetap harus mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi
sumber daya manusia yang potensial. Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi,
dan peluang perempuan yang telah terstruktur dalam masyarakat menjadi makin
terbuka, termasuk membangun kaum ibu melalui pembangunan keluarga
berkualitas dan remaja untuk mengembangan pengetahuannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Savitri Niken , HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Hukum,
Jakarta PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 35.

Webster Merriam, Merriam-Webster’s Dictionary and Thesaurus. Merriam-


Webster’s Dictionary and Thesaurus, Incorporated Springfield,
2006, Massachusetts. Hlm. 398

Dictionary, WordNet, 2003, http://www.webster-dictionary.org/.Princeton


University, New Jersey-United States. Sebagaimana diakses pada tanggal 14
Februari 2018 di http://www.webster-dictionary.org/definition/feminist

Black, Naomi, 1989, Social Feminism. Cornell University Press, New York. Hlm.
19

Fineman, Martha Albertson, 2005, Feminist Legal Theory Journal of Gender,


Social Policy & The Law

Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, 2006, OxfordDictionary of Law. Oxford


Dictionary of Law, Sixth ed., Martin, Elizabeth A. and Jonathan Law, Eds.,
Oxford University Press, New York. Hlm. 221

Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan,


Jakarta. Hlm. 84

Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm.


18-21

24

Anda mungkin juga menyukai