Feminist Jurisprudence (Jurisprudensi Feminis) bisa dilacak, mungkin pada saat munculnya
gelombang fenimisme abad sembilan belas, atau sepuluh tahun yang lalu saat wanita
menyuarakan tentang hukum dan teori legal khususnya. Pluralitas suara mengenai hal ini
semakin kuat di Amerika Utara dan Australia dibandingkan di Inggris. Tulisan selanjutnya
merefleksikan hal ini.
Salah satu penjelasan mengenai Jurisprudensi Feminis melihat sebagai suatu tembakan
mengenai gerakan Studi Hukum yang Kritis (SHK). Prinsip-prinsip SHK pada tahun tujuh
puluhan meliputi “kritik mendasar mengenai logika hukum yang melekat, doktrin ketidak
menentuan dan pemutar balikan, peranan hukum mengenai legitimiasi hubungan sosial
tertentu, dan ketidak absahan hirarki yang diciptakan oleh lembaga hukum”.
Jurisprudensi Feminis merupakan suatu pengembangan gerakan wanita lebih umum yang
muncul pada akhir 1960an dan awal 1970an dan berada pada puncak dari sosiologi
feminis, filosofi feminis dan sejarah feminis. Semula merupakan pengembangan
keterikatan dari refleksi dan suara wanita yang lebih luas.
Semakin banyaknya wanita yang mempelajari hukum merupakan fenomena tahun 1960an
dan sesudahnya juga mempunyai dampak, yaitu mahasiswa wanita mulai mempertanyakan
kurikulum yang mengabaikan isu sentral mengenai keprihatinan wanita yang meliputi:
pemerkosaan, penyiksaan pembantu rumah tangga, fungsi reproduksi, pembayaran upah
yang tidak setara, diskriminasi sex, pelecehan sexua
1
Tekanan awal yang dikemukakan oleh penganut feminis adalah kesetaraan wanita dengan
pria. Pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban adalah : apakah wantia ingin
diperlakukan sama dengan pria ?; apakah kesetaraan memerlukan perlakuan yang
berbeda ?; apakah ada nilai yang lebih penting dibandingkan dengan kesetaraan ?
Jurisprudensi Feminis merupakan suatu bangunan rumah dengan banyak kamar mengenai
gerakan feminis dalam bidang hukum.
Focus dari Jurisprudensi Feminis adalah peranan hukum dalam meneruskan hegemony
patriadat, antara lain melalui rekonstruksi kritik secara kolektif mengenai pengalaman
sosial wanita.
Menurut Adrienne Rich terdapat 7 pertanyaan yang harus dijawab berkaitan dengan
Jurisprudensi Feminis, yaitu:
1. Apakah pengalaman para wanita mengenai “situasi kehidupan” yang menjadi tujuan
doktrin dimaksud, apakah proses dan area dari hukum yang dikaji?
2. Apakah asumsi, uraian, pernyataan, dan/atau definisi mengenai pengalaman, pria,
wanita atau kekinian netralitas jender, apakah hukum juga berada pada area ini?
3. Apakah area dari ketidaksinambungan, distorsi atau penolakan yang diakibatkan
antara pengalaman hidup wanita dan asumsi hukum atau struktur yang dipaksakan?
4. Apakah interes patriadat timbul dengan ketidaksinambungan dimaksud?
5. Apakah pembaharuan yang telah diusulkan dalam area hukum atau situasi
kehidupan wanita? Bagaimanakah pengaruh usulan pembaharuan tersebut terhadap
wanita baik secara praktis maupun ideologis?
6. Dalam dunia yang ideal, seperti apakah situasi kehidupan wanita ini dan jika ada,
apakah hubungan hukum terhadap situasi kehidupan dimasa mendatang?
7. Bagaimanakah kita mencapai kesana dengan memulainya dari sini?
Hal yang penting adalah merealisasikan “kerangka analisis mengenai hukum patriadat yang
bukan merupakan lingkup penciptaan visi masa depan feminis” sebagaimana ditulis oleh
2
Wishik. Sementara Dalto membantah bahwa “kita tidak dapat hanya melakukan penelitian
mengenai apa yang terjadi terhadap wanita yang diakibatkan oleh hukum, bahasa hukum
dan lembaga hukum”.
Kritik lain dari perspektif yang berbeda datang dari Richard Posner yang mengklaim bahwa
wanita bukan tidak mempunyai “citra dirinya sebagai individual ataupun dibatasi dengan
adanya kehamilan dan pemberian ASI” Pendapatnya mengenai hubungan heterosexual
adalah “perlu banyak penjelasan mengenai penetrasi wanita dalam hal ini”
Robert West dalam penjelasannya menyampaikan bahwa kegagalan teori hukum moderen
terletak pada ketidakpahaman mengenai apa yang dimaksud dengan manusia. Pria
diasumsikan sebagai individual yang secara esensial terpisah dari lainnya. Dia membantah
akibat hubungan wanita dengan manusia lainnya hanya karena didasarkan pada aktivitas
biologis , seperti kehamilan, pemberian ASI dan hubungan heterosexual.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah wanita ingin diperlakukan seperti pria?
Apakah kesetaraan memerlukan perlakuan yang berbeda? Adakah nilai yang lebih penting
daripada kesetaraan? Dari sinilah issu mengenai bagaimana para feminis hrus
mendefinisikan dan merespon perbedaan jenis kelamin. Apakah perbedaan tersebut harus
diabaikan atau ditekankan dan apabila ditekanan, apakah tindakan positif yang harus
dilakukan?
Teori feminis didasarkan pada tantangan untuk mendapatkan gambaran empiris yang
positif. Dilakukan melalui obeservasi dan pengukuran mengenai realitas yang akan muncul.
Sementara metodologi hukum sebaliknya, yaitu dipengaruhi oleh interpretasi dan tradisi
yang terus terjadi, serta oleh metodologi teori kritis. Dijelaskan oleh Nielsen bahwa tujuan
3
dari para positivis adalah memprediksi dan mengontrol; para penganut keberlangsungan
bertujuan untuk mencapai pemahaman, dan pendekatan para ilmuwan kritis adalah untuk
beremansipasi dengan membongkar aspek-2 sosial kemasyarakatan, khususnya ideologi
yang tetap mempertahankan status quo melalui pelarangan atau pembatasan akses
kelompok-kelompok yang berbeda terhadap perolehan ilmu pengetahuan.
Baik teori kritis feminis maupun analisis lainnya keduanya sama-sama berfokus pada
kesetaraan jender dan keyakinan bahwa hal itu tidak akan tercapai melalui struktur
kelembagaan ideologi yang ada. Teori ini sebagian tumpang tindih dan sering menundang
banyak kritik, termasuk dari SHK dan para mahasiswa.
4
Beberapa teori lainnya berfokus pada ketidaksesuaian doktrin legal yang konvensional
dalam pengertian koheren, konsistensi, dan legitimasi. Komentator lain menekankan
mengenai peranan ideologi legal dalam meligitimasi kondisi sosial yang tidak adil.
Penganut paham feminis yang kritis sebagaimana pendekatan kritis lain, berlandaskan pada
teori sosial terkini yang memunculkan banyak problematik.
Penganut paham ini mempertegas otoritas mereka ayng didasarkan pada analisis keyakinan
dan pengalaman. Pendekatan yang dilakukan memunculkan teknik-teknik peningkatan
kesadaran organisasi-organisasi feminis kontemporer maupun tradisi-tradisi filosofi
pragmatis. Standar operasinya adalah memulai dengan pengalaman kongkret,
mengitegrasikannya kedalam teori, dan berdasarkan teori tersebut didalami pemahaman
mengenai pengalaman yang telah diperoleh. Katherine Bartlett misalnya jelas-jelas
menekankan pada landasan praktis dan menggunakannya pada ”cara berfikir / analisis
praktis”.
Yang membuat kekuatan unik kaum feminis adalah klaim untuk berbicara berdasarkan
pengalaman wanita, meskipun terdapat banyaknya faktor yang mempengaruhi seperti
waktu, budaya, tingkatan kehidupan masyarakat, suku bangsa, ethis, orientasi sexual, dan
usia.
Dalam konteks legal, isu mendesak adalah mengenai legitimasi berdasarkan jenis kelamin
yang hendaknya tidak didasarkan pada situasi perbedaan jenis kelamin, tetapi apakah
pengakuan legal adanya perbedaan jender akan mengurangi atau mendorong disparitas
jender dari aspek kekuatan, status, dan jaminan ekonomi yang memerlukan penyesuaian
kontekstual, bukan pilihan berdasarkan katagori. Oleh karena itu perluasan perspektif teori
dan aliansi politik memegang peranan penting.
Legalisme Liberal
5
Dari sudut pandang filosofi dan pragmatik, kritik legal kaum feminis beresiko kecil dalam
menentang kaum liberal dibandingkan dengan SHK. Target utamanya adalah kesetaraan
jender, apapun latar belakang keluarganya, dan aliansinya dalam perjuangan politik. Oleh
karena itu ketika para ilmuwan feminis yang kritis menentang kaum liberal mereka sering
melakukan hal tersebut apapun landasannya. Penentangannya cenderung berfokus pada
bentuk tertentu leiberalisme yang melekat dalam struktur legal dan politik yang ada dan
juga pada refleksi bias jender.
Konsep otonomi menjadi isu sentral gerakan wanita Amerika karena sejak awalnya,
otonomi dimulai dari adanya hambatan otoritas pria dan peranan tradisional.
Langkah awal yang mendesak adalah melakukan perombakan dikotomi yang jelas terlihat
antara formalism dan informalisme yang secara tradisional terstruktur membantah proses
penyelesaian perselisihan alternatif.
Perbedaan utama antara kaum feminis yang kritis dan teori hukum yang kritis lainnya
meliputi peranan daripada hak. Kerangka kerja yang berorientasi pada hak dapat
menjauhkan kita dari pilihan-pilihan nilai yang perlu dan ketidakjelasan dasar-dasar
mengenai kepentingan yang diakomodasikan.
Dikotomi yang sering ada adalah antara hak dan hubungan atau hak dan tanggungjawab.
Hak tidak hanya menjamin otonomi personal, tetapi juga mencerminkan hubungan antara
individu dan komunitas. Hak dapat menekankan tanggungg jawab dan tanggungjawab
6
dapat mengimplikasikan hak. Sebagai contoh, hak wanita terhadap otonomi fungsi
reproduktif merupakan suatu prasyarat terhadap kesetaraan sosial mereka, tanpa kontrol
harga diri individual mereka, wanita tidak dapat menghadapi tantangan steretipe kelompok
dan hambatan peran yang memperkuat status minoritas mereka.
Kritik kaum feminis kontemporer yang efektif pasti radikal dalam artian literal yang
berakar pada ketidaksetaraan. Tanpa kepedulian luar biasa kaum subteranian, potensi
radikal kaum feminis tidak akan diperhatikan. Sebagaimana gerakan lain yang menuntut
perubahan revolusioner, kaum feminis menghadapi tantangan konstan di radikalisasi.
Dalam hal ini, Carol Gilligan mengamati bahwa anak kecil perempuan dan laki-laki akan
menghadapi masalah moral yang berbeda. Anak laki-laki cenderung mengambil keputusan
moral secara legalistik, mereka beranggapan bahwa otonomi individual merupakan nilai
tertinggi. Dalam hal ini, dia merujuk sebagai etika hak atau etika keadilan. Sedangkan anak
perempuan tampak lebih memperhatikan etika kepedulian. Mereka menganggap bahwa
hubungan terjadi dalam situasi yang seharusnya, sebagaimana kesetaraan. Mereka lebih
memperhatikan keragaman fakta, peraturan, dan hubungan untuk dapat menemukan solusi
yang unik dari setiap masalah yang juga unik.
Berkaitan dengan hal ini, Gilligan beranggapan bahwa perbedaan suara wanita dapat
dimasukkan dalam hak kita dan ke dalam sistem legal yang berdasarkan peraturan.
Menurut Gilligan, kita harus berfikir bahwa ada sistem yang dapat memenuhi semua
pertimbangan yaitu peraturan, hak, hubungan dan kesetaraan, yang disebut sebagai kaum
incorporation.
Dalam suasana genderisasi, etika yang berdasarkan hak dan kepedulian tidak dapat
dicampuradukkan. Pria lebih rasional dibandingkan wanita. Meskipun psikologi feminis
7
mengajukan konsepsi yang berbeda mengenai nilai genderisasi, yaitu bahwa wanita
sepenuhnya rasional, namun masyarakat tidak dapat menerimanya karena pria sudah
terdapat pandangan bahwa pria rasional.
Pendekatan ketidaksetaraan berarti bahwa kita harus berpikir lebih luas mengenai
kesetaraan apa yang diinginkan. Hambatan dalam hal ini lebih pada persepsi dan komitmen.
Metode feminis hadir melalui peningkatan kesadaran yang tidak dapat diverifiaksikan
dengan metode tradisional. Oleh karena itu kita menggunakan kerangka kerja epistemologi
yang mengabaikan keingintahuan kita, dan merupakan proses transformatif yang melekat
dengan memvalidasikan pengalaman yang diperoleh wanita.
Pendekatan feminis menganggap justifikasi secara serius, lebih jujur dan efisien untuk
mencapai legitimasi. Standar legal kaum feminis untuk kesetaraan merupakan prinsip
dalam memperoleh landasan moral di depan pengadilan.
Dalam memisahkan yurisprudensi maskulin antara liberalisme legal dan teori legal kritis
saat ini adalah dalam artian politik.
8
5. Lucinda M. Finley
6. Deborah L. Rhode
7. Katherine T. Barlett
8. Patricia A. Cain
9
critical legal studies maka tujuannya pada prinsipnya adalah sama, yaitu adanya kesamaan
derajat (emansipasi).
Namun demikian, dari masing-masing aliran yang telah diuraikan diatas dapat kita lihat
adanya tujuan dari masing-masing aliran pemikiran tersebut yaitu :
1. Melakukan perubahan terhadap sistem budaya dan hukum yang menghambat
kemajuan perempuan sehingga perempuan akan terbebaskan (aliran Liberal
Feminist) ;
2. Merombak sistem yang telah dibentuk oleh masyarakat yang mentransformasikan
seksualitas biologis ke dalam produk kegiatan manusia yang melahirkan sistem
yang patriarki (aliran Radical Feminist).
3. Melakukan rekonstruksi dengan tujuan untuk menyelematkan dan mengembangkan
kehidupan wanita berdasarkan pengalaman pribadinya (aliran Cultural Feminist).
4. Merombak sistem yang patriarki sehingga dapat membebaskan perempuan dari
pemikiran yang opresif dengan mencoba melihat bahwa sesuatu yang buruk
sebenarnya adalah sesuatu yang baik (aliran Postmodern Feminist).
10
Wanita dan pria adalah berbeda. Perbedaan terpenting adalah terhadap kekuasaan
yang dimiliki. Aspek negatif dari kekuasaan pria terhadap wanita adalah terjadinya
supremasi pria dan subordinasi wanita. Wanita menjadi obyek.
3. Cultural Feminist,
Wanita dan pria memang berbeda, namun perbedaan tersebut harus disambut
hangat. Karena mengalami pengalaman hidup yang berbeda, maka wanita memiliki
pemikiran didasarkan pada kasih sayang, kepedulian dan hubungan manusia satu
sama lain. Pandangan moral wanita menunjuk pada dasar pemikiran tersebut,
karenanya perbedaan wanita terhadap pria merupakan hal yang baik.
4. Postmodern Feminism,
Menolak adanya kebenaran tunggal dalam perumusan kategorisasi pria-wanita.
Kategorisasi wanita maupun pria sebenarnya hanyalah konsepsi sosial, demikian
pula kesederajatan, walaupun benar bahwa konsepsi sosial terhadap kategori
tersebut merupakan produk patriarki yang membutuhkan rekonstruksi ulang dari
wanita.
11