Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Post Partum


1. Pengertian
Postpartum (masa nifas) adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran
bayi, plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ
kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih enam minggu
(Kumalasari, 2015 : 155).
Postpartum (peurperium/ masa nifas) adalam masa pulih kembali mulai
dari persalinan selesai sampai alat – alat kandungan kembali seperti sebelum
hamil. Lama masa nifas ini 6 – 8 minggu (Kumalasari, 2015 : 155).
Post Partum (masa nifas) adalah masasetelah partus selesai dan berakhir
kira – kira 6 – 8 minggu. Akan tetapi seluruh alat genetal baru pulih kembali
seperti sebelumnya ada kehamilan dalam waktu 3 bulan (Siti saleha, 2009).
Jadi dapat disimpulkan bahwa postpartum (peurperium/ masa nifas)
adalah masa sesudah melahirkan selesai sampai organ – organ reproduksi
kembali seperti keadaan waktu sebelum hamil berkisar antara 6 – 8 minggu.

2. Etiologi
Menurut Vivian dan Sunarsih (2013) etiologi postpartum dibagi menjadi
2 yaitu :
a. Postpartum dini
Post partum dini adalah atonia uteri, laserasi jalan lahir, robekan jalan
lahir dan hematoma.
b. Postpartum lambat
Postpartum lambat adalah tertinggalnya sebagian plasenta, subinvolusi
didaerah insersi plasenta dari luka bekas secsio sesaria.
3. Tahapan Masa Post partum
Menurut Ambarwati (2010) dalam buku Kumalasari (2015 :156) ada 3
tahapan masa post partum yaitu :
a. Puerperium dini
Kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan – jalan.
Dalam agama islam dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
b. Puerperium intermedial
Kepulihan menyeluruh alat – alat genitalia dan akan kembali
kekeadaan sebelum hamil yang lamanya 6 – 8 minggu.
c. Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sempurna terutama bila
selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk
sehat sempurna berbeda setiap ibu, tergantung dari berat ringannya
komplikasi yang dialami selama hamil dan persalinan, bisa berminggu-
minggu, bulanan, tahunan.

4. Pathway
5. Perubahan Fisiologi pada Post Partum
a. Perubahan Sistem Reproduksi
Menurut Indriyani (2013 : 28) menyatakan bahwa dalam masa nifas
alat – alat genitalia interna maupun eksterna akan berangsur – angsur pilih
kembali seperti keadaan semula sebelum hamil. Perubahan – perubahan
genital ini dalam keseluruhannya disebut involusi.
1) Involusi uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan proses
kembalinya uterus ke keadaan setelah melahirkan, sedangkan subinvolusi
adalah kegagalan uterus mengecil ke ukuran dan keadaan normal sebelum
kehamilan (lowdermilk. dkk, 2013 dalam jurnal Rahayu, Wijayanti,
2018).
Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses yakni
uterus kembali ke kondisi sebelum hamildengan berat sekitar 60 gram.
Proses ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot – otot
polos uterus (Kumalasari, 2015 : 156).
Involusi uterus yaitu proses kembalinya uterus seperti keadaan
sebelum hamil, proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar (Bobak,
Lowdermik, Jensen, 2005 dalam jurnal khairani dkk., 2012).
Jadi dapat disimpulkan bahwa involusi uterus adalah proses
kembalinya uterus ke kondisi sebelum hamil, proses ini dimulai setelah
plasenta lahir.
Bila uterus tidak mengalami involusi atau terjadi kegagalan dalam
proses involusi disebut dengan Subinvolusi. Subinvolusi dapat
diakibatkan oleh infeksi dan tertinggalnya sisa plasenta/perdarahan lanjut
(post partum haemorrahage) (Kumalasari,2015: 156).
a) Proses involusi uterus
Proses involusi uterus menurut marliandiani, ningrum (2015 :
10) menyatakan bahwa ada beberapa proses involusi uterus sebagai
berikut.
(1) Iskemia miometrium
Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi usus terus
menerus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus
menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
(2) Atrofi jaringan
Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormon
estrogen saat pelepasan plasenta.
(3) Autolisis
Aoutolisis merupakan proses penhancuran diri sendiri yang
terjadi didalam otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekan
jaringan otot yang telah mengendur hingga panjangnya sepuluh
kali panjang sebelum hamil dan lebarnya lima kali lebar sebelum
hamil yang terjadi selama masa kehamilan. Hal ini disebabkan
karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.
(4) Efek toksin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi
otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uerus. Proses ini
membantu mengurangi proses pendarahan.
b) Cara pengukuran involusi
Involusi uteri dari luar dapat diamati yaitu dengan memeriksa
fundus uteri dengan cara sebagai berikut.
(1) Segera setelah persalinan, tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat,
12 jam kemudian kembali 1 cm diatas pusat dan menurun kira –
kira 1 cm setiap hari.
(2) Pada hari ke-2 setelah persalinan tinggi fundus uteri 1 cm dibawah
pusat. Pada hari ke-3 – 4 tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat.
(3) Pada hari ke-5 – 7 tinggi fundus uteri setengah simfisis. Pada
harike-10tinggi fundus uteri idak teraba.
Bila uterus tidak mengalami atau terjadi kegagalan dalam proses
involusi disebut dengan subinvolusi. Subinvolusi dapat disebabkan
oleh infeksi ertinggalnya sisa – sisa plasenta/ perdarahan lanjut (
postpartum haemorrhage ).
2) Afterpains
Pada primipara, tonus ueterus meningkat sehingga fundus pada
umumnya tetap kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering
dialami multipara dan biasa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang
masa awal peurperium. Rasa nyeri setelah melahirkan ini lebih nyata
setelah ibu melahirkan, ditempat uterus terlalu teregang (misalnya, pada
bayi besar dan kembar). Menyusui dan oksitosin tambahan biasanya
meningkatkan nyeri karena keduanya merangsang kontraksi uterus.
3) Bekas implantasi plasenta
Plasental bed mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum
uteri dengan diameter 7,5 cm. sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada
minggu keenam 2,4 cm dan akhirnya ulih.
4) Rasa sakit
Rasa sakit yang disebut after pain disebabkan kontraksi rahim,
biasanya berlangsung 2 – 4 hari pascapartum. Perlu diberikan pengertian
kepada ibu mengenai hal ini dan bila terlalu menganggu dapat diberikan
obat- obat anti sakit dan anti mulas.
5) Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan
vagina selama masa nifas. Macan- macam lochea antara lain lochea rubra
(cruenta) berisi darah segar sisa – sisa selaput ketuban, sel – sel decidua,
verniks kaseosa, lanugo dan mekoneum selama 2 hari pascapartum.
Lochea sanguinolenta berwarna merah kuning berisi darah dan lendir hari
ke 3 -7 pascapartum. Lochea serosa berwarna kuning cairan tidak
berdarah lagi pada hari ke 7 – 14 pascapartum. Lochea alba yaitu cairan
putih setelah 2 minggu pascpartum, lochea purulenta bila terjadi infeksi
dan lochistasis bila lochea idak lancer keluarnya.
6) Serviks
Setelah persalinan bentuk serviks agak menganga seperti corong
berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang – kang
terdapat perlukaan – perlukaan kecil. Stelah bayi lahir, tangan masih bisa
masuk rongga rahim, setelah 2 jam dapat dilalui 2 – 3 jari dan setelah 7
hari hanya dapat dilalui 7 jari.
7) Ligamen – ligament
Ligamen, fasia dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu
persalinan, secara berangsur – angsur menjadi ciut dan pulih kembali
sehingga tidak jarang uterus jatuh kebelakang dan menjadi retrofleksi
karena ligamentum rotundum menjadi kendor.
8) Vulva dan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang
sangat besar selama proses persalinan dan akan kembali secara bertahap
dalam 6 – 8minggu postpartum. Penurunan hormone estrogen pada masa
postpartum berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae
akan terlihat kembali pada sekitar minggu ke empat.
9) Payudara
Pada semua wanita yang telah melahirkan proses laktasi terjadi
secara alami. Proses menyusui mempunyai dua mekanisme fisiologis,
yaotu produksi susu dan sekresi susu atau let down.
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah melahirkan anak. Hal ini
karena alat pencernaan mendapatkan tekanan yang menyebabkan kolon
menjadi kosong pada waktu melahirkan, pengeluaran cairan yang berlebihan
pada waktu persalinan (dehidrasi), kurang makan, hemoroid, laserasi jalan
lahir. Supaya buang besar kembali teratur dapat diberikan diet atau makanan
yang mengandung serat dan pemberian cairan yang cukup.
c. Perubahan Sistem Perkemihan
Hendaknya buang air kecil dapat dilakukan sendiri secepatnya.
Kadang – kadang peurperium mengalami sulit buang air kecil, karena
sfingter uretra ditekan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi muskulus
sfingter ani selama masa persalinan, juga oleh karena adanya edema
kandung kemih yang terjadi selama masa persalinan.
d. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Ligament – ligament, fasia dan diafragma pelvis yang meregang
sewaktu melahirkan dan persalinan berangsur – angsur kembali seperti
sediakala. Tidak jarang ligament rotundum mengendur, sehingga uterus
jatuh ke belakang. Mobilisasi berkurang dan posisi lordosis kembali secara
perlahan.
e. Perubahan Sistem Endokrin
1) Oksitosin
Oksitosin dikeluarkan oleh glandula pituitary posterior dan bekerja
terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Oksitosin didalam sirkulasi
darah menyebabkan kontraksi usus uterus dan pada waktu yang sama
membantu proses involusi uterus.Oksitosin dapat diperoleh dengan
berbagai cara baik melalui oral, intra-nasal, intra-muscular, maupun
dengan pemijatan yang merangsang keluarnya hormon oksitosin. Menurut
Khairani.L, 2013 Pijat Oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang
belakang mulai dari costa ke 5 – 6 sampai scapula akan mempercepat
kerja syaraf para simpatis untuk menyampaikan perintah ke otak bagian
belakang sehingga oksitosin keluar.
Sebagaimana ditulis Lun, et al (2002) dalam European Journal of
Neuroscience, bahwa perawatan pemijatan berulang bisa meningkatkan
produksi hormon oksitosin, efek dari pijat oksitosin itu sendiri bisa dilihat
reaksinya setelah 6-12 jam pemijatan. Dan menurut Bobak, Lowdermik,
Jensen (2005) dalam jurnal Aisah, Sastri dan Aziza (2017) yaitu upaya
untuk mengendalikan terjadinya perdarahan dari tempat plasenta dengan
memperbaiki kontraksi dan retraksi serat myometrium yang kuat dengan
pijatan oksitosin. Oleh karena itu, upaya mempertahankan kontraksi
uterus melalui pijatan untuk merangsang keluarnya hormon oksitosin
merupakan bagian penting dari perawatan postpartum.
2) Prolaktin
Penurunan estrogen menjadikan prolaktin yang dikeluarkan oleh
glandula pituitary asterior bereaksi terhadap alveoli dan payudara
sehingga menstimulasi produksi ASI. Pada ibu menyusui, kadar prolaktin
tetap tinggi dan merupakan permulaan stimulus folikel didalam ovarium
ditekan.
3) HCG, HPL, estrogen dan progesteron
Ketika plasenta lepas dari dinding uterus dan lahir, tingkat hormone
HCG, HPL, estrogen dan progesteron didalam darah ibu menurun dengan
cepat, normalnya setelah tujuh hari.
4) Pemulihan ovulasi dan mentruasi
Pada ibu yang menyusui bayinya, ovulasi jarang sekali terjadi
sebelum 20 minggu, dan tidak terjadi diatas 28 minggu pada ibu yang
melanjutkan menyusui untuk enam bulan. Pada ibu yang tidak menyusui
ovulasi dan menstruasi biasanya mulai antara 7 – 10 minggu.
f. Perubahan Sistem Kardiovaskular
Cardiac output meningkat selama persalinan dan peningkatan lebih
lanjut setelah kala III ketika besarnya volume darah dari uterus terjepit
didalam sirkulasi. Penurunan terjadi setelah hari pertama peurperium dan
kembali normal pada akhir minggu ketiga. Meskipun terjadi penurunan
dalam aliran darah ke organ setelah hari pertama, aliran darah ke payudara
meningkat untuk persiapan laktasi. Pada beberapa hari pertama setelah
kelahiran, fibrinogen, plasminogen dan faktor pembekuan menurun cukup
cepat. Akan tetapi darah lebih mampu unuk melakukan koagulasi dengan
peningkatan vikositas dan ini berakibat meningkatkan resiko trombosis.
g. Perubahan Sistem Hematologi
Leukositosis meningkat, sel darah putih sampai berjumlah 15.000
selama persalinan, tetap meningkat pada beberapa hari pertama postpartum.
Jumlah sel darah putih dapat meningkat lebih lanjut sampai 25.000 - 30.000
diluar keadaan patologi jika ibu mengalami partus lama. Hb, Ht, daan
eritrosit jumlahnya berubah didalam awal peurperium.
h. Perubahan Tanda – Tanda Vital
Tanda – tanda vital yang harus dikaji pada masa nifas adalah sebagai
berikut.
1) Suhu
Suhu tubuh wanita intraparum tidak lebih dari 37.2oC. sesudah
partus dapat naik kurang lebih0.5oC dari keadaan normal, namun tidak
akan lebih 38oC. sesudah 2 jam pertama melahirkan umumnya suhu
badan akan kembali normal. Bila suhu lebih dari 38oC mungkin terjadi
infeksi pada klien.
2) Nadi dan Pernafasan
Nadi berkisar antara 60 – 80 denyutan permenit setelah partus dan
dapat terjadi bradikardia. Bila terdapat takikardia dan suhu rubuh tidak
panas mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis pada
penderita. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil dibandingkan
dengan suhu tubuh, sedangkan pernafasan akan sedikit meningkat setelah
partus kemudian kembali seperti keadaan normal.
3) Tekanan darah
Pada beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi postpartum akan
menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyaki – penyakit
lain yang menyertainya dalam setengah bulan tanpa pengobatan.
i. Perubahan Berat Badan
Disaat melahirkan ibu mengalami kehilangan berat 5 – 6 kg berat
badan dan 3 – 5 kg selama minggu pertama masa nifas. Faktor – faktor yang
memperceat penurunan berat badan pada masa nifas diantaranya adalah
peningkatan berat badan selama masa kehamilan, primiparitas, akan segera
kembali bekerja diluar rumah dan merokok. Usia atau status pernikahan
tidak memengaruhi penurunan berat badan. Kehilangan cairan
melaluikeringan dan peningkatan jumlah urine menyebabkan penurunan
berat badan sekitar 2,5 kg selama pascapartum.
j. Perubahan Sistem Integumen (Kulit)
Pada waktu hamilterjadi pigmentasi kulit pada beberapa tempat karena
proses hormonal. Pigmentasi ini berupa kloasma gravidarium pada pipi,
hiperpigmentasi kulit sekitar payudara, hiperpigmentasi kulit didinding perut
(striae gravidarium). Setelah persalinan, hormonal berkurang dan
hiperpigmentasipun hilang. Pada dinding perut akan menjadi putih
mengkilap yaitu striae albican.
6. Perubahan Psikologis Masa Post Partum
Menurut aspiani (2017:465), Perubahan psikologis pada masa posr
partum terbagi menjadi 3 tahap :
a. Periode taking in
Periode ini terjadi setelah 1-2 hari dari persalinan. Dalam masa ini
terjafi interaksi dan kontak yang lama antara ayah, ibu dan bayi. Hal ini
dapat dikatakan sebagai psikis honey moon yang tidak memerlukan hal-hal
romantik, masing-masing saling meperhatikan bayinya dan menciptakan
hubungan yang baru.
b. Periode taking hold
Berlangsung pada hari ke 3-4 post partum. Ibu berusaha bertanggung
jawab terhadap bayinya dengan berusaha untuk menguasai keterampilan
perawatan bayi. Pada periode ini ibu berkonsentrasi pada pengontrolan
fungsi tubuh, misalnya BAK dan BAB.
c. Periode letting go
Terjadi setelah ibu pulang kerumah. Pada masa ini ibu mengambil
tanggung jawab terhadap bayinya. Fase ini menerima tanggungjawab akan
peran barunya. Fase ini berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah
mulai dapat menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Terjadi
peningkatan akan perawatan diri dan bayinya. Ibu merasa percaya diri akan
peran barunya, lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan
bayinya.

B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Post Partum


1. Pengkajian
Pengkajian dan pengumpulan informasi adalah fase pertama proses
keperawatan (Lynn Basford dkk. alih bahasa Waluyo Agung dkk., 2006 :
270).Tahapan pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses yang
dinamis yang terorganisir dan meliputi tiga akivitas dasar yaitu : pertama,
mengumpulkan data secara sistematis, kedua, memilah dan mengatur data yang
dikumpulkan dan ketiga, mendokumentasikan data dalam format yangdapat
dibuka kembali (Tarwoto dan Wartonah, 2011 : 209).
a. Pengkajian anamnesis
1) Identitas Ibu
Menurut kumalasari (2015 : 166) dan Helen Varney dalam
Wulandari, dkk. (2009 : 134) diantaranya:
a) Nama
Nama jelas lengkap, bila perlu nama panggilan sehari-hari agar
tidak keliru dalam memberikan penanganan.
b) Umur
Dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko seperti
kurang dari 20 tahun, alat-alat reproduksi belum matang, mental dan
psikisnya belum siap. Sedangakan umur 35 tahun rentang sekali untuk
terjadi pendarahan dalam masa nifas.
c) Agama
Untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut sehingga
membimbing atau mengarahkan pasien ketika berdoa.
d) Pendidikan
Berpengaruh terhadap tindakan untuk mengetahui intelektual
pasien.
e) Suku/ bangsa
Berpengaruh terhadap adat istiadat sehari – hari.
f) Pekerjaan
Gunannya untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya, karena ini juga berpengaruh dalam gizi pasien tersebut.
g) Alamat
Ditanyakan untuk mempermudah ketika kunjungan rumah bila
diperlukan.
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan utama klien hadapi yang berkaitan dengan masa nifas,
misalnya pasien merasa mules, sakit pada jalan lahir karena adanya
jahitan pada perineum.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk mengetahui adanya kemungkinan adanya penyakit yang
berhubungan dengan postpartum. Biasanya klien merasa mules atau
nyeri.
c) Riwayat kesehatan yang lalu
Data ini untuk mengetahui adanya kemungkinan riwayat atau
penyakit akut, kronis seperti jantung, diabetes militus, hipertensi dan
dapat berpengaruh tehadap postpartum.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya pengeruh
penyakit keluarga terhadap gangguan pasien dan bayinya.
3) Riwayat Obstetri dan Gynecologi
a) Riwayat Obstetri
Memberikan informasi yang penting mengenai kehamilan
sebelumnya agar perawat dapat menentukan masalah pada kehamilan
sekarang. Riwayat obstetri meliputi hal-hal di bawah ini:
(1) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu, berapa kali ibu
hamil, apakah pernah abortus, jumlah anak, cara persalianan yang
lalu, penolong persalianan, keadaan nifas yang lalu.
(2) Riwayat kehamilan sekarang, pemeriksaan kehamilan yang
dilakukan, kehamilan ke berapa, keluhan yang dialami selama
kehamilan, pernahkah diimunisasi.
(3) Riwayat Persalinan sekarang, tanggal persalinan, jenis pesalinan,
jenis kelamin anak, keadaan bayi, meliputi PB, BB, penolong
persalinan. Hal ini perlu dikaji untuk mengetahui apakah proses
persalinan mengalami kelainan atau tidak yang bisa berpengaruh
pada nifas saat ini.
b) Riwayat Gynecologi
(1) Riwayat Menstruasi
Pada riwayat mentruasi perlu dikaji tentang menarche
tentang siklus haid, bau mentruasi, warna darah, lama haid, nyeri
atau tidak ketika haid dan konsistensi darahnya selain itu riwayat
menstruasi yang lengkap diperlukan untuk menentukan taksiran
persalinan (TP). Taksiran persalianan ditentukan berdasarkan hari
haid pertama dan hari haid terakhir (HPHT).
(2) Riwayat Perkawinan
Yang perlu dkaji adalah berapa kali menikah, status menikah
syah atau tidak, karena bila melahirkan tanpa status yang jelas
akan berkaitan psikologisnya sehingga akan mempengaruhi proses
nifas.
(3) Riwayat keluarga berencana (KB)
Untuk mengetahui apakah pasien pernah ikut KB dengan
kontrasepsi jenis apa, berapa lama, adakah keluahan selama
menggunakan kontrasepsi serta rencana KB setelah masa nifas ini
dan beralih ke kontasesi apa.
(4) Data psikososial
Untuk mengetahui respon ibu dan keluarga terhadap bayinya
dan peran barunya sebagai seorang ibu.
4) Kebiasaan sehari – hari menurut Kumalasari (2015 : 167)
a) Pola nutrisi
Pola menu makanan yang dikonsumsi baik dari jumlah, jenis
makanan, frekuensi, nafsu makan, pola minum dan lain – lain.
b) Pola istirahat dan tidur
Lamanya, kapan (malam atau siang) adakah rasa nyaman yang
mengganggu istirahat, penggunaan selimut, lampu terang, remang –
remang atau gelap, posisi saat tidur (penekanan pada perineum),
apakah mudah tenganggu ketika tidur dengan suara – suara.
c) Pola eliminasi
Apakah perlu bantuan saat BAK karena rasa takut terhadap luka
perineum, apakah terjadi diuresis, hilangnya control blas, frekuensi.
Bagaimana pola BAB frekuensi konsistensi, rasa takut BAB karena
luka parineum.
d) Personal hygiene
Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, pengguanaan pembalut
dan kebersihan genitalia, pola berpakaian dan tatarias rambut serta
wajah.
e) Aktivitas
Kemampuan mobilisasi beberapa saat setelah melahirkan,
kemampuan merawat diri dan melakukan elminasi, kemampuan
bekerja dan menyusui.
f) Rekreasi dan hiburan
Situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat
fresh dan rileks (Kumalasari, 2015:167).
b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Kaji keadaan umum pasien biasanya tampak lemah, tingkat
kesadaran, BB (Biasanya terjadi penurunan 5-7 kg setelah melahirkan),
TB, LILA,
2) Pemeriksaan TTV
Menurut kumalasari (2015 : 159) untuk mengetahui keadaan ibu
berkaitan dengan kondisinya adalah dengan pemeriksaan tanda – tanda
vital.
a) Suhu
Suhu tubuh wanita intraparum tidak lebih dari 37.2oC. sesudah
partus dapat naik kurang lebih 0.5oC dari keadaan normal, namun tidak
akan lebih 38oC. sesudah 2 jam pertama melahirkan umumnya suhu
badan akan kembali normal. Bila suhu lebih dari 38oC mungkin terjadi
infeksi pada klien.
b) Nadi dan Pernafasan
Nadi berkisar antara 60 – 80 denyutan permenit setelah partus
dan dapat terjadi bradikardia. Bila terdapat takikardia dan suhu rubuh
tidak panas mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis
pada penderita. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil
dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan pernafasan akan sedikit
meningkat setelah partus kemudian kembali seperti keadaan normal.
c) Tekanan darah
Pada beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi postpartum
akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyaki –
penyakit lain yang menyertainya dalam setengah bulan tanpa
pengobatan.
3) Pemeriksaan Head To Toe
a) Kepala
Kaji apakah bentuk dan ukuran kepala simetris, rambut apakah
rontok/ kusam/ bercabang, kulit kepala apakah terdapat ketombe/ kutu,
apakah terdapa nyeri tekan.
b) Wajah
Kaji apakah wajanya simteris atau tidak, terdapat pembengkakan
atau tidak dan terdapat nyeri tekan atau tidak.
c) Mata
Kaji apakah matanya simetri atau tidak, alis dan bulu mata ada
atau tidak, sclera, kornea pupil dan lensa terjadi pembengkakan atau
tidak, terdapat nyeri tekan atau tidak.
d) Telinga
Kaji apakah daun telinga simetris atau tidak, ketajaman
pendengaran apakah terganggu atau tidak, terdapat nyeri tekan atau
tidak.
e) Hidung
Kaji apakah lubang hidung simetris atau tidak, ada
pembengkakan atau tidak, terdapat nyeri tekan atau tidak indra
penciuman bermasalah atau tidak.
f) Mulut, Bibir, Gigi
Kaji apakah terdapat trismus di mulu atau tidak, simetris atau
tidak, terdapat radang atau tidak, terdapar carises pada gigiatau tidak,
gigi berwarna kekuning – kuningan atau tidak, bibir pecah – pecah
atau tidak apakah ada pembengkakan gusi atau tidak.
g) Leher
Kaji apakah simteris atau tidak dan terdapat pembengkakan vena
jugularis atau tidak serta terdapat nyeri tekan atau tidak.
h) Thorax
Pemeriksaan dada meliputi organ paru dan jantung, secara umum
ditanyakan bentuk dadanya, keadaan paru simetris atau tidak,
pergerakan nafas ada tidaknya fremitus suara, krepitasi serta dapat
lihat batas pada saat perkusi didapatkan bunyi perkusinya begaimana (
hipersonor atau tympani apabila udara di paru dan pleura bertambah,
redup atau pekak apabila terjadi konsolidasi jaringan paru dan lain-lain
serta pada saat auskultasi paru dapat ditentukan suara nafas normal
atau tambahan seperti ronkhi, basah dan kering, krepitasi, bunyi
gesekan dan lain-lain. Keadaan buah dada dan puting susu, simetris
atau tidak, konsistensinya, ada pembengkakan atau tidak, putingnya
menonjol atau tidak, lecet atau tidak.
i) Abdomen
Keadaan Abdomen, uterus normal: berkontraksi baik, kokoh,
tidak berada diatas ketinggian fundal saat masa nifas segera.
Sedangkan uterus abnormal: lembek, diatas ketinggian fundal saat
masa post partum segera. Kandung kemih: bisa atau tidak bisa buang
air kecil.
j) Genitalia
Keadaan genitalia dan anus menurut Halen Varley dalam
Wulandari, dkk (2009: 115) : Keadaan genitalia, Keadaan perineum:
Edema, Hematoma. keadaan anus : hemorrhoid. Pada pengkajian
perineum dan anus harus dilakukan setiap 8-12 jam.
k) Ektremitas Atas dan Bawah
Kaji apakah ekstremitas atas dan bawah simetris atau tidak dan
terdapat pembengakakan dan nyeri tekan atau tidak.
l) Integumen
Kaji apakah warna kulit kebiruan atau tidak, apakah pucat atau
tidak, turgor kulit >2 atau tidak, tekstur kulit kasar/ kering/ lembab
tidak.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah : Haemoglobin dan hematocrit 12-24 jam post partum (jika Hb <
10 g% dibutuhkan suplemen Fe), eritrosit, leukosit, dan trombosit.
2) Ibu dengan dower kateter diperlukan kultur urine (Kumalasari,
2015:166).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keparawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon
manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,
menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Nurbaeti,2103:56).
Menurut Nanda (2015 : 125) diagnosa keperawatan yang dapat muncul
pada klien post partum normal adalah :
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan (luka perineum)
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan trauma perineum dan saluran
kemih
c. Konstipasi berhubungan dengan penurunan mortalitas saluran
gastrointestinal
d. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan ASI belum keluar
e. Resiko tinggi perdarahan berhubungan dengan kegagalan myometrium dan
mekanisme homeostatic
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan asuhan keperawatan merupakan aktivitas berorientasi-
tujuan dan sistematik dimana rancangan intervensi keperawatan dituangkan
dalam intervensi keperawatan (Lynn Basford dkk. alih bahasa Waluyo Agung
dkk., 2006 : 300). Kriteria hasil adalah batasan karakteristik atau indicator
keberhasilan dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam menentukan kriteria
hasil berorientasi pada SMART yaitu Spesifik, berfokus pada pasien, singkat
dan jelas, M: Measurable, dapat diukur, A: Achieveble, realistis, R:
Reasonable, ditentukan oleh perawat dan klien, Time: Kontrak waktu
(Walid,2012: 134).
Menurut NANDA (2015 : 404) intervensi keperawatan diantaranya
yaitu:
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan (luka perineum)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah nyeri
dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri
2) Melaporkan nyeri berkurang dengan manajemen nyeri
3) Mampu mengenali nyeri
4) Tanda- tanda vital dalam batas normal tekanan darah 110/70- 120/80
mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu

36,5-37,5oC
Intervensi :
1) Kaji skala nyeri (PQRST) pasien
Rasional: Mengidentifikasi skla nyeri dan menentukan tempatterasa nyeri
2) Pantau tanda-tandavital
Rasional:Untuk mengetahui keadaan umum pasien dan merencanakan
intervensi selanjutnya yang tepat
3) Berikan posisinyaman, tidak bising, ruangan terang dan tenang
Rasional: Memberikan posisi nyaman untuk menurunkan spasme otot,
membantu klien rileks dan mengurangi nyeri
4) Ajarkan teknik relaksasi napasdalam
Rasional: Membantu pasien meningkatkan kemampuan koping dalam
manajemen nyeri
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
Rasional: Memperlambat kecepatan sistem saraf sehingga implus nyeri
yang mencapai otak berkurang.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan trauma perineum dan saluran
kemih
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah nyeri
dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1) Kandung kemih kosong
2) Intake cairan dalam rentang normal 1-2 liter/hari
3) Bebas infeksi saluran kemih
4) Berkemih > 150 cc setiapkali
5) Klien mampu berkemih secara mandiri
Intervensi:
1) Pantau eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan
warna urin.
Rasional: Untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pada
sistemperekemihan
2) Palpasi kandung kemih
Rasional: Untuk mengetahui ada tidaknya distensi kandung kemih
3) Bantu pasien untuk berkemih secara berkala 6 – 8 jam post partum
Rasional: Untuk merangsang atau memudahkan berkemih
4) Anjurkan klien untuk minum 6 – 8gelas perhari
Rasional: Mencegah dehidrasi dan mengganti cairan yang hilang waktu
melahirkan dan memulihkan kesehehatan
5) Kolaborasi dengan dokter pemasangan katater
Rasional: Untuk mengurangi distensi kandungdan mencegah atonia
kandung kemih secara berlebihan.
c. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran gastrointestinal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah
konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1) Pola eliminasi dalam rentang normal, feses lembut dan berbentuk
2) Klien mampu mengeluarkan feses tanpa bantuan
3) Tidak terjadi penyalahgunaan alat bantu
4) Bising usus dalam batas normal x/menit
5) Mengintesti cairan dan serat dengan adekuat
Intervensi:
1) Kaji warna, konsistensi dan ferkuensi feses pasca postpartum
Rasional: Untuk mengetahui ada tidaknya gangguan dari sistem
pencernaan klien
2) Auskultasi adanya bisingusus
Rasional: Untuk mengevaluasi fungsi usus karena ketika penurunan
bising usus maka menyebabkan konstipasi
3) Berikan informasi diet yang tepat tentang peningkatan makan dan cairan
dan upaya untuk membuat pola pengosongan normal
Rasional: Peningkatan makanan dan cairan akan merangsang defekasi dan
menambah wawasan diet yang baik bagi pasien setelah postpartum
4) Anjurkan klien untuk meningkatkan aktivitas dan ambulansi
Rasional: Membantu meningkatkan peristaltic gastrointestinal
5) Kolaborasi dengam dokter pemberian laksatif
Rasional: penggunaan laksatif perlu untuk merangsang peristaltik usus
dengan perlahan sehingga defekasi lancar
d. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurangnya produksi
ASI.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah
ketidakefektifan pemberian ASI teratasi dengan kriteria hasil:
1) Ibu dan bayi mengalami pemberian ASI yang efektif yang ditunjukkan
dengan pengetahuan menyusui, memepertahankan menyusui, dan
penyapihan menyusui
2) Bayi menunjukkan kemantapan menyusui ditandai dengan sikap dan
penempelan sesuai, menghisap dan menempatkan lidah yang benar,
mencengkram aerola dengan tepat, menelan dapat didengar, minimal
menyusui 8 kali sehari.
3) Mengenali isyarat lapar dari bayi dengan segera
4) Mengindikasikan kepuasaan terhadap menyusui
5) Tidak mengalami nyeri tekan pada payudara
Intervensi :
1) Pantau keterampilan ibu dalam menempelkan bayi pada putting.
Rasional: Posisi dan perlekatan yang tidak benar pada payudara dapat
menyebabkan lecet pada putting susu.
2) Pantau integritas kulit puting
Rasional: Mengetahui apakah ada mastitis, putting susu lecet, putting
susu terbenam, dan payudara bengkak yang merupakan masalah dalam
pemeberian ASI.
3) Demonstrasikan perawatan payudara sesuai dengan kebutuhan
Rasional: Dengan melakukan perawatan payudara, payudara menjadi
bersih, melancarkan sirkulasi darah serta mencegah tersumbatnya
saluran susu sehingga memperlancar pengeluaran ASI
4) Instruksikan kepada ibu tentang teknik memompa payudara.
Rasional: Memudahkan pemberian ASI apabila ibu bekerja di luar.
Dengan pengeluaran ASI membuat ibu merasa nyaman dan mengurangi
ASI menetes.
e. Resiko tinggi perdarahan berhubungan dengan kegagalan myometrium dan
mekanisme homeostatik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah resiko
tinggi perdarahan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1) Kehilangan darah selama post partum kurang dari 500cc
2) Kandung kemih kosong
3) Kontraksi uterus baik
4) Klien tidakpucat
5) Kadar hemoglobin dan hematokit dalam batas normal
6) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70- 120/80
mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu

36,5-37,5oC
Intervensi:
1) Kaji jumlah lokea pasca persalinan
Rasional: Untuk mengukur kehilangan darah pasca persalinan
2) Kaji kepenuhan kandung kemih dan kebersihan perineum .
Rasional: kandung kemih yang penuh akan mengganggu kontrksi uterus
dan untuk mengetahui episiotomi dan kebersihan perineum.
3) Pantau tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui keadaan umum pasien dan menentukan
intervensi selanjutnya
4) Kaji kadar hemoglobin dan hematocrit klien
Rasional: Hemoglobin dan hematokrit turun menendakan pasien
kehilangan banyak darah.
5) Catat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus
Rasional: Untuk mengetahui ada tidaknya kontraksi uterus
6) Berikan cairan intravena jenis isotonik
Rasional: untuk mencegah kekurangan cairan dan meningkatkan volume
darah.
7) Kolaborasi dengan dokter mengganti kehilangan darah
Rasional: Pengganti cairan yang hilang diperlukan untuk meningkatkan
volume sirkulasi dan mencegah syok.
8) Lakukan pijat oksitosin
Rasional: hormon oksitosin dapat memperkuat dan mengatur uterus,
mengompresi pembuluh darah sehingga membantu proses hemostatis.
(Sesuai dengan jurnal Rullyani, Rahmadona, Lubis, 2016 dengan judul
Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri
Pada Ibu Post partum Normal)
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma mekanis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah
resiko tinggi infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasarkan :
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi
2) Leukosit dalam batas normal (3,6-1110ˆ3/ml)
3) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah 110/70- 120/80
mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu

36,5-37,5oC
4) Pasien mampu mengetahui tanda-tanda infeksi
Intervensi:
1) Kaji tandainfeksi
Rasional: mengidentifikasi apakah terdapat tanda – tanda infeksi
2) Kaji leukosit pasien
Rasional: Leukosit meningkat menandakan terjadi infeksi
3) Pantau tanda-tandavital
Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya
4) Lakukan perawatan luka dengan vulva hygiene
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi.
5) Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
Rasional: Meningkatkan kemampuan pasien untuk menetahui tanda-tanda
infeksi
6) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotic
Rasional: Menurunkan mikroorganisme didalam tubuh.
4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang telah sesuai dengan yang
direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi (Mitayani, 2013 :
125).
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan intervensi NANDA (2015:
404), sebagai berikut:
a. Nyeri fisik berhubungan dengan agen ciderafisik.
1) Mengkaji skala nyeri (PQRST) pasien
2) Memantau tanda-tandavital
3) Memberikan posisinyaman
4) Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
5) Melakukan kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan edema jaringan.
1) Memantau eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan
warnaurin.
2) Melakukan palpasi kandung kemih
3) Membantu pasien untuk berkemih secara berkala 6-8 jam post partum
4) Menganjurkan klien untuk minum 6-8 gelas perhari
5) Melakukan kolaborasi dengan dokter pemasangan katater
c. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran gastrointestinal.
1) Mengkaji warna, konsistensi dan ferkuensi feses pasca postpartum
2) Melakukan auskultasi adanya bising usus
3) Memberikan informasi diet yang tepat tentang peningkatan makan dan
cairan dan upaya untuk membuat pola pengosongan normal.
4) Menganjurkan klien untuk meningkatkan aktivitas dan ambulansi
5) Melakukan kolaborasi dengam dokter pemberian laksatif
d. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan.
1) Mengkaji ulang tingkat pengetahuan dan pengalaman ibu tentang
menyusui sebelumnya
2) Memantau keterampilan ibu dalam menempelkan bayi pada putting.
3) Memantau integritas kulitputting
4) Mendemonstrasikan perawatan payudara sesuai dengan kebutuhan.
5) Menginstruksikan kepada ibu tentang bagaimana melakukan teknik
memompa payudara.
e. Resiko tinggi perdarahan berhubungan dengan kegagalan miometrium dan
mekanisme homeostatik
1) Mengkaji jumlah lokea pasca persalinan
2) Mengkaji kepenuhan kandung kemih dan kebersihan perineum
3) Memantau tanda-tanda vitalpasien
4) Kaji kadar hemoglobin dan hematokritklien
5) Mencatat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus
6) Berikan cairan intravena jenis isotonic
7) Kolaborasi dengan dokter mengganti kehilangan darah
8) Melakukan pijat oksitosin
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma mekanis
1) Mengkaji leukosit tidak ada tanda-tanda infeksi
2) Memantau tanda-tanda vital
3) Melakukan perawatan luka dan vulva hygiene
4) Mengajarkan pasien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi
5) Melakukan kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik
5. Evaluasi
Menurut Evina (2013) evaluasi adalah keputusan dari efektivitas asuhan
keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan
dengan respons prilaku klien tampil. Evaluasi dengan menggunakan SOAP
yang operasional dengan pengertian :
S : Subjective adalah inormasi yang berupa ungkapan yang didapat dari klien
setelah tindakan diperbaiki.
O: Objective adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran, yang dilakukan oleh perawat setelah dilakukan
tindakan.
A: Analisa adalah membandingkan antara inormasi subjektif dan objektif
dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa
masalah teratasi, masalah belum teratasi, masalah teratasi sebagian, atau
muncul masalah baru.
P: Planing adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa, baik itu rencana diteruskan, dimodifikasi,
dibatalkan ada masalah baru, selesai (tujuan tercapai).
Evaluasi dari implementasi asuhan keperawatan post partum :
a. Nyeri akut teratasi
b. Gangguan eliminasi urin teratasi
c. Konstipasi teratasi
d. Ketidakefektifan pemberian ASI teratasi
e. Resiko tinggi pendarahan teratasi
f. Resiko tinggi infeksi teratasi

C. SOP Mobilisasi Dini Ibu Post Partum


Standar Operasional Pelaksanaan Mobilisasi Dini Ibu Post Partum.
NO KEGIATAN KEGIATAN
1. DEFINISI
Mobilisasi dini adalah kebijakan untuk secepatnya
mungkin membimbing penderita keluar dari tempat
tidurnya dan membimbingnya secepat mungkin
untuk berjalan. Pada persalinan normal baiknya
mobilisasi dikerjakan setelah 2 jam, ibu boleh miring
kiri atau miring kanan untuk mencegah adanya
thrombosis, thromboemboli dan perdarahan yang
abnormal.
Mobilisasi diri adalah suatu upaya untuk
mempertahankan kemandirian sedini mungkin
dengan cara membimbing penderita untuk
mempertahankan fungsi fisiologis.
Pengaturan posisi tubuh melakukan mobilisasi dini
sesuai kebutuhan pasien :
a. Miring kiri kanan
Memiringkan badab kekiri dan kekanan
merupakan mobilisasi paling ringan dan paling
baik dilakukan pertama kali disamping dapat
mempercepat proses penyembuhan, gerakan ini
juga mempercepat proses kembalinya fungsi usus
dan kandung kemih secara normal.
b. Menggerakan kaki
Setelah mengembalikan badan kekanan dan kekiri,
mulai menggerakan kedua belah kaki. Mitos yang
menyatakan bahwa hal ini tidak boleh dilakukan
karena dapat menyebabkan timbulnya varices
adalah salah total. Justru bila kaki tidak digerakan
da terlalu lama diatas tempat tidur dapat
menyebabkan terjadinya varices ataupun infeksi.
c. Duduk
Setelah terasa lebih ringan cobalah untuk duduk
ditempat tidur. Bila merasa tidak nyeman jangan
dipaksakan lakukan perlahan-lahan sampai terasa
nyaman.
d. Berdiri atau turun dari tempat tidur
Jika duduk tidak menyebabkan rasa pusing,
teruskanlah dengan mencoba turun dari tempat
tidur dan beridiri. Bila terasa sakit atau ada
keluhan, sebaiknya hentikan dahulu dan dicoba
lagi setelah kondisi terasa lebih nyaman.
e. Kekamar mandi
Hal ini harus dicoba setelah memastikan bahwa
keadaan ibu benar-benar baik dan tidak ada
keluhan. Hal ini bermanfaat untuk melatih mental
karena adanya rasa takut pacsa persalinan.
2. PRINSIP
Mobilisasi dini pada ibu post partum sebaiknya
dilakukan dalam waktu 24 jam sesudah ibu
melahirkan. Umumnya 2 jam setelah persalinan
normal.
3. TUJUAN MOBILISASI DINI
a. Mempertahankan fungsi tubuh
b. Memperlancar peredaran darah
c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik
d. Mempertahankan tonus otot
e. Memperlancar eliminasi urin
f. Memperlancar pengeluaran lochea
g. Mengembalikan aktivitas tertentu sehingga patien
dapat kembali normal dan dapat memenuhi
kebutuhan gerak harian.
4. PERSIAPAN ALAT
a. Tempat tidur patien
b. 1 bantal
c. Handscoon
d. Sampiran
5. PERSIAPAN PASIEN DAN LINGKUNGAN
a. Menyapa pasien / keluarga (salam terapeutik)
b. Menjelaskan tujuan mobilisasi
c. Menjelaskan prosedur tindakan mobilisasi dini
d. Kontrak waktu sesuai kebutuhan
e. Menyiapkan lingkungan ( cek alat dan validasi
status pasien ).
6. PROSEDUR TINDAKAN
a. Miring kiri kanan (2 jam setelah melahirkan).
Memiringkan badan kekiri dan kekanan
merupakan mobilisasi paling ringan dan yang
paling baik dilakukan pertama kali di samping
dapat mempercepat proses penyembuhan, gerakan
ini juga mempercepat proses kembalinya fungsi
usus dan kandung kemih secara normal.
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2) Posisikan patien miring kiri kanan
b. Menggerakan kaki ( 6 jam setelah melahirkan).
Setelah mengembalikan badan kekanan dan kekiri,
mulai menggerakan kedua belah kaki.
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) posisikan patien untuk menggerakan kaki.
c. Duduk (8 jam setelah melahirkan) Setelah merasa
lebih ringan cobalah untuk duduk di tempat tidur.
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Posisikan pasien untuk duduk dan beri
sandaran bantal.
d. Berdiri atau turun dari tempat tidur (16 jam
setelah melahirkan).
Mencoba untuk turun dari tempat tidur dan
berdiri.
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Posisikan patien untuk turun dari tempat tidur.
e. Kekamar mandi (24 jam setelah melahirkan)
Hal ini harus dicoba setelah memastikan bahwa
keadaan ibu benar benar baik dan tidak ada
keluhan. Hal ini bermanfaat untuk melatih mental
karena adanya rasa takut pasca persalinan.
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Posisikan pasien untuk belajar kekamar
mandi bila pasien memungkinkan.
Langkah-langkah mobilisasi dari yang dapat
dilakukan ibu untuk turun dari tempat tidur adalah
sebagai berikut.
a. Awali dengan mengatur nafas, miring kiri,
kanan, dan duduk.
b. Duduk dengan tubuh bersender kebantal,
gesekan kiri ke sisi ranjang dan biarkan kaki
menggantung sebentar dengan tangan di
ranjang.
c. Dengan bantuan, perlahan-lahan ibu berdiri
dan masih berpegangan ke tempat tidur, dan
berjalan ke kamar mandi.
d. Jika terasa pening, duduklah kembali.
Stabilkan diri beberapa menit sebelum
melangkah.

D. Konsep Luka Perineum


1. Pengertian Luka Perineum
Laserasi perineum adalah perlukaan yang terjadi pada saat persalinan di
bagian perineum (Mochtar, 2002). Banyak faktor yang mempengaruhi
penyembuhan luka perineum di antaranya mobilisasi dini, vulva higiene, luas
luka, umur, vaskularisasi, stressor dan juga nutrisi. Luka dikatakan sembuh jika
dalam 1 minggu kondisi luka kering, menutup dan tidak ada tanda-tanda infeksi
(Mochtar, 2002).
Ruptur adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa (Dorland,
2002). Sedangkan perineum adalah lantai pelvis dan struktur yang berhubungan
yang menempati pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi disebelah anterior
oleh symphisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadicum, dan di sebelah
posterior oleh os. coccygeus (Dorland, 2002). Menurut Prawirohardjo 12
(2011), tempat yang paling sering mengalami perlukaan akibat persalinan
adalah perineum.
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik
secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan
terjadi hampir pada semua primipara (Prawirohardjo, 2009). Pada dasarnya,
robekan perineum dapat dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar
panggul dilalui kepala janin terlalu cepat (Wiknjosastro, 2005).
2. Faktor yang Mempengaruhi Luka Perineum
Luka perineum dapat diikuti pada setiap persalinan pervaginam, tetapi
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan risiko ruptur derajat 3
sampai 4, diantaranya adalah nullipara, proses persalinan kala II, posisi
persisten oksiput posterior, ras Asia dan penggunaan anestesi lokal
(Cunningham, et al., 2005). Berikut adalah faktor yang mempengaruhi:
a. Paritas
Adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari 500 gram yang
pernah dilahirkan hidup maupun mati bila berat badan tidak diketahui maka
dipakai umur kehamilan lebih dari 24 minggu. Robekan perineum hampir
terjadi pada semua persalinan pertama (primipara) dan tidak jarang pada
persalinan berikutnya (multipara) (Sumarah, 2008). 13
b. Berat lahir bayi
Semakin besar berat bayi yang dilahirkan meningkatkan risiko
terjadinya ruptur perineum. Bayi besar adalah bayi yang begitu lahir
memiliki berat lebih dari 4000 gram. Hal ini terjadi karena semakin besar
berat badan bayi yang dilahirkan akan meningkatkan risiko terjadinya ruptur
perineum karena perineum tidak cukup kuat menahan regangan kepala bayi
dengan berat badan bayi yang besar, sehingga pada proses kelahiran bayi
dengan berat badan bayi lahir yang besar sering terjadi ruptur perineum.
Kelebihan berat badan dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya ibu
menderita diabetes mellitus, ibu yang memiliki riwayat melahirkan bayi
besar, faktor genetik, dan pengaruh kecukupan gizi. Berat bayi lahir normal
adalah sekitar 2500 sampai 4000 gram (Saifuddin, 2008).
c. Cara mengejan
Kelahiran kepala harus dilakukan cara-cara yang telah direncanakan
untuk memungkinkan lahirnya kepala dengan pelan-pelan. Lahirnya kepala
dengan pelan-pelan dan sedikit demi sedikit mengurangi terjadinya laserasi.
Penolong harus mencegah terjadinya pengeluaran kepala yang tiba-tiba oleh
karena ini akan mengakibatkan laserasi yang hebat dan tidak teratur, bahkan
dapat meluas sampai 14 sphincter ani dan rektum. Pimpinan mengejan yang
benar sangat penting, dua kekuatan yang bertanggung jawab untuk lahirnya
bayi adalah kontraksi uterus dan kekuatan mengejan (Oxorn, 2010).
d. Elastisitas perineum
Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan
kala II dan dapat meningkatkan resiko terhadap janin. Juga menyebabkan
robekan perineum yang luas sampai tingkat 3. Hal ini sering ditemui pada
primigravida berumur diatas 35 tahun (Mochtar, 2011).
e. Umur ibu 35 tahun
Berdasarkan penelitian responden yang tidak mengalami kejadian
ruptur perineum cenderung berumur tidak beresiko (20-35 tahun), sedangkan
responden yang mengalami ruptur perineum adalah responden yang berumur
resiko tinggi sebanyak 11 orang. Hasil uji statistik diperoleh nilai korelasi
chi square dengan ρ value 0,022 < α 0,05 yang artinya Ho ditolak,
menunjukan ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian ruptur
perineum.
3. Klasifikasi Ruptur Perineum
a. Ruptur Perineum Spontan
Menurut Cunningham, et al. (2010), laserasi (ruptur) perineum dapat
diklasifikasikan menjadi:
1) Derajat 1
Pada ruptur perineum derajat 1 akan mengenai fourchette, kulit
perineum, dan membran mukosa vagina, tetapi tidak mengenai fasia dan
otot.
2) Derajat 2
Pada ruptur perineum derajat 2 mengenai kulit dan membran mukosa,
fasia dan otot-otot perineum, tetapi tidak mengenai sphincter ani.
3) Derajat 3
a) Derajat 3a: 50% spinchter ani externa
b) Derajat 3b: >50% spinchter ani externa
c) Derajat 3c: spincter ani externa & interna
4) Derajat 4
Pada ruptur perineum derajat 4, meluas sampai ke mukosa rektum
sehingga lumen rektum. Pada derajat ini, robekan di daerah uretra yang
dapat menimbulkan perdarahan hebat mungkin terjadi. Menurut
Chapman (2006), robekan mengenai kulit, otot dan melebar sampai
sphincter ani dan mukosa rektum.
b. Ruptur Perineum Disengaja (Episiotomi)
Episiotomi adalah insisi bedah yang dibuat di perineum untuk
memudahkan proses kelahiran (Norwitz & Schorge, 2008). Pada persalinan
spontan sering terjadi robekan perineum yang merupakan luka dengan
pinggir yang tidak teratur. Hal ini akan menghambat penyembuhan sesudah
luka dijahit. Oleh karena itu, dan juga untuk melancarkan jalannya
persalinan, dapat dilakukan insisi pada perineum saat kepala janin tampak
dari luar dan mulai meregangkan perineum. Insisi tersebut dilakukan pada
garis tengah (episiotomi medialis) atau ke jurusan lateral (episiotomi
mediolateralis) (Wiknjosastro, 2008).
Indikasi dilakukan episiotomi adalah sebagai persiapan persalinan
operatif dimana hal ini biasanya dilakukan untuk mempermudah kelahiran
dengan komplikasi distosia bahu. Tujuan episiotomi adalah untuk
mengurangi komplikasi trauma dasar panggul saat kelahiran, yang mencakup
perdarahan, infeksi, prolaps genital, dan inkontinensia akibat OASI
(Obstetric Anal Spinchter Injury). Meskipun demikian kadang tak terlihat
manfaat ibu yang menjalani proses episiotomi (Norwitz & Schorge, 2008).
1) Episiotomi medialis
Episiotomi jenis ini sering digunakan di Amerika Serikat. Tipe ini
akan dilakukan insisi garis tengah vertikal dari fourchette posterior
sampai ke rektum. 18 Namun, tipe ini berhubungan dengan meningkatnya
trauma perineum parah dengan perluasan derajat 3 dan 4 (Norwitz &
Schorge, 2008).
2) Episiotomi Mediolateral
Lebih sering digunakan di Inggris. Tipe episiotomi ini adalah
pengirisan pada posisi 45 derajat terhadap fourchette posterior pada satu
sisi. Insisi semacam ini akan mencegah terjadinya trauma perineum yang
parah (Norwitz & Schorge, 2008).
3) Episiotomi lateralis
Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3
atau 9 menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak
dilakukan lagi, oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka
sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah pudendal
interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu
jaringan parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang
mengganggu penderita (Rusda, 2004).
4) Insisi Schuchardt
Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi
sayatannya melengkung ke 19 arah bawah lateral, melingkari rektum,
serta sayatannya lebih lebar (Rusda, 2004).

E. Konsep Mobilisasi Dini


1. Pengertian Mobilisasi Dini
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas,
mudah, terartur,dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat
dan pentingnya untuk kemandirian, suatu keadaan ketika individu beresiko atau
mengalami keterbatasan fisik disebut dengan imobilisasi. Perubahan dalam
tingkat mobilisasi fisik dan dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak
dalam bentuk tirah baring, kehilangan fungsi motoric (Potter dan Perry, 2005).
Mobilisasi dini merupakan aktivitas yang dilakukan pasien dimulai dari
latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernafasan, latihan batuk efektif dan
menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur,
berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar (Ibrahim, 2013). Mobilisasi
dini adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk
membantu pasien keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya sedini
mungkin untuk berjalan ( Dewi, 2010).
Mobilisasi dini sangat bervariasi, tergantung pada komplikasi persalinan,
nifas, atau sembuhnya luka. Jika tidak ada kelainan, lakukan mobilisasi sedini
mungkin, yaitu 2 jam setelah persalinan normal, ini berguna untuk
memperlancar sirkulasi darah dan mengeluarkan cairan vagina (lochea).
Karena lelah sehabis bersalin, ibu harus beristirahat, tidur, terlentang selama 8
jam pasca persalinan. Kemudian boleh miring-miring kekanan dan kekiri untuk
mencegah terjadinya trombosisi dan tromboemboli (Anggraini, 2010).
Mobilisasi dini merupakan suatu aspek terpenting pada fungsi fisiologis
karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian. Konsep mobilisasi
dini bermula dari ambulasi dini yang merupakan pengembalian secara
berangsur-angsur ketahap mobilisasi sebelumnya untuk mencegah komplikasi.
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah
dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat (Mubarak &
Nurul, 2007).
F. Tujuan Mobilisasi Dini
a. Mempertahankan fungsi tubuh
b. Memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan luka
c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik
d. Mempertahankan tonus otot
e. Memperlancarkan eliminasi Alvi dan urin
f. Mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal dan
atau dapat memenuhi kebutuhan gera harian
g. Memberikan kesempatan perawat dan pasien untuk berinteraksi atau
berkomunikasi (Sri Handayana, 2015).
G. Macam-macam Mobiliasasi
Hidayat (2006) membagi mobilisasi menjadi dua bagian yaitu:
b. Mobilisasi penuh adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh
dan bebas sehingga dapat menjalankan peran sehari-hari serta melakukan
interaksi sosial. Saraf motorik volunter dan sensorik 17 merupakan fungsi
mobilitas penuh yang mengontrol seluruh tubuh seseorang
c. Mobilisasi sebagian adalah kemampuan seseorang untuk bergerak tetapi ada
batasan gerak sehingga tidak dapat bergerak bebas karena dipengaruhi oleh
gangguan saraf sensorik dan motorik di area tubuhnya. Mobilisasi sebagian
dibagi menjadi dua yaitu :
1) Mobilitas sebagian temporer adalah kemampuan individu untuk bergerak
secara terbatas yang bersifat sementara. Hal ini dapat disebebkan oleh
trauma reversible pada sistem muskuloskeletal.
2) Mobilitas sebagian permanen adalah kemampuan individu untuk bergerak
secara terbatas yang bersifat menetap. Hal ini disebabkan oleh rusaknya
sistem syaraf yang reversible.
H. Pelaksanaan Mobilisasi Dini
Pelaksanaan mobilisasi dini terdapat 3 langkah penting yaitu pemanasan,
gerakan inti dan pendinginan.
a. Pemanasan
Pemanasan berguna untuk menghangatkan suhu otot, melancarkan
aliran darah dan memperbanyak masuknya oksigen kedalam tubuh,
memperbaiki kontraksi otot dan pegal-pegal keesokan harinya. Pemanasan
dapat dilaukan dengan menggerakandan mengepalkan tangan, tarik nafas
pelan-pelan, dan dikeluarkan dengan pelan-pelan (Soekarno, 2006).
Gerakan inti mobilisasi dini :
1) Gerakan pertama
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, dimana bagian
kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernafasan.
Tujuan :
a) Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi
b) Meningkatkan rasa nyaman
c) Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatkan
ekspansi dada dan ventilasi paru
d) Mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang
menetap.
2) Gerakan kedua
Semi fowler adalah sikap dalam posisi setengah duduk 15-60
derajat.
Tujuan : mobilisasi memberikan perasaan lega pada klien sesak nafas,
memudahkan perawatan misalnya memberikan makan.
3) Gerakan Ketiga
Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kir. Posisi ini
dilakukan untuk memberi kenyamanan dan memberikan obat melalui
anus (supositorial).
Tujuan :
a) Mengurangi penekanan pada tulang secrum dan trochanter mayor
otot pinggang
b) Meningkatkan drainage dari mulut pasien dan mencegah aspirasi
c) Mencegah decubitus
4) Gerakan Keempat
Tujuan :
a) Membiasakan kembali aktivitas sebelum sakit
b) Mencegah terjadinya atropi otot
b. Pendinginan
Pendinginan setelah mobilisasi tetap diperlukan, hal ini agar kerja
jantung kembali menjadi normal. Gerakan pendinginan berupa menghela
napas lebih panjang dan lebih dalam, lengan, tungkai, dan dilakukan
sekurang-kurangnya 3 kali. Dengan cara demikian, akan membantu system
jantung dan pembuluh darah mampu menyesuaikan diri dengan semakin
mengendurnya aktivitas tubuh. Proses gerakan mobilisasi dini dilakukan 3
kali dalam 1 hari, yaitu pagi, siang, dan sore hari selama 3 hari.

Anda mungkin juga menyukai