Anda di halaman 1dari 14

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stearin Sawit


Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang berlainan sifatnya,
yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari
biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan
crude palm oil (CPO) dan dari inti (biji) disebut minyak inti sawit atau palm
kernel oil (PKO).
Minyak kelapa sawit kasar (crude palm oil, CPO) merupakan produk level
pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan buah
segar. Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat
dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum proses fraksinasi
minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, dan 5% palm fatty acid
distillate (PFAD). Stearin sawit merupakan fraksi padat yang dihasilkan dari
proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik
stearin sawit bersifat padat pada suhu ruang, berbeda dengan olein sawit yang
bersifat cair pada suhu ruang. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi asam lemak beberapa produk sawit


Jenis Bahan
Asam Lemak
CPO PKO Olein Stearin PFAD
Laurat (C12:0) < 1,2 40 – 52 0,1 – 0,5 0,1 – 0,6 0,1 - 0,3
Miristat (C14:0) 0,5 – 5,9 14 – 18 0,9 – 1,4 1,1 – 1,9 0,9 - 1,5
Palmitat (C16:0) 32 – 59 7–9 37,9 – 41,7 47,2 – 42,9 - 51,0
73,8
Palmitoleat (C16:1) < 0,6 0,1 – 1 0,1 – 0,4 0,05 – 0,2 -
Stearat (C18:0) 1,5 – 8 1–3 4,0 – 4,8 4,4 – 5,6 4,1 - 4,9
Oleat (C18:1) 27 – 52 11 – 19 40,7 – 43,9 15,6 – 32,8-39,8
37,0
Linoleat (C18:2) 5,0 – 14 0,5 – 2 10,4 – 13,4 3,2 – 9,8 8,6-11,3
Linolenat (C18:3) < 1,5 0,1 – 0,6 0,1 – 0,6
Arachidat (C20:0) 0,2 – 0,5 0,1 – 0,6
Sumber : Hui (1996) 

Dari Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa stearin sawit lebih didominasi


oleh asam lemak palmitat (C16) sebesar 47,2-73,8 % dan asam lemak oleat (C18:1)

 

sebesar 15,6-37 %. Diketahui bahwa surfaktan dari C16 dan C18 dari minyak sawit
mempunyai daya detergensi yang tinggi dan aktivitas permukaan yang baik (Hui
1996). Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan
kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu
panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus
minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan
ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya,
apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat
aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan
akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang
rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon.
Menurut Hui (1996) karena karakteristik detergensi yang cukup baik dari
metil ester C16-C18, maka fraksi stearin merupakan sumber bahan baku yang
sesuai dan murah untuk memproduksi MES. Karakteristik deterjensi MES yang
berbahan baku stearin diketahui mirip dengan (linier alkylbenzene sulfonates)
LAS. Metil ester stearin sawit memiliki rasio distribusi asam lemak dari C16
hingga C18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai kraft
point minimum 17°C dan ini merupakan nilai maksimum kelarutan dibandingkan
dengan kombinasi C16 dan C18 lainnya. MES dengan karakteristik ini sangat
berguna untuk menghasilkan deterjen pada suhu rendah (Sheats dan MacArthur
2002).

2.2 Metil Ester


Metil ester dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi
trigliserida minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak
pagar, minyak kedelai, dan lainnya. Transesterifikasi berfungsi untuk
menggantikan gugus alkohol gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol
atau etanol. Umumnya katalis yang digunakan adalah NaOH atau KOH.
Molekul trigliserida pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan
tiga asam lemak. Transformasi kimia lemak menjadi metil ester melibatkan
transesterifikasi spesies gliserida dengan alkohol membentuk alkil ester. Diantara
alkohol yang mungkin, metanol disukai karena berharga lebih murah (Lotero et

 
 

 

al. 2004; Meher et al. 2006). Transesterifikasi merupakan suatu reaksi


kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan agar dihasilkan
metil ester maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu
produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Reaksi transesterifikasi trigliserida
dengan metanol untuk menghasilkan metil ester dapat dilihat pada Gambar 1.

 
Gambar 1 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol (Hui 1996)

Adapun mekanisme transesterifikasi menggunakan katalis basa terdiri dari


beberapa tahapan yaitu diawali dengan penyerangan ion metoksida pada atom
karbon gugus karbonil dalam molekul trigliserida menghasilkan senyawa
intermediet berbentuk tetrahedral. Pada tahap kedua, senyawa intermediet ini akan
terpecah menjadi metil ester dan anion digliserida. Anion digliserida kemudian
akan bereaksi dengan metanol membentuk molekul digliserida. Molekul
digliserida kemudian akan dikonversi menjadi molekul monogliserida dan gliserol
melalui mekanisme yang sama. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida
dengan katalis basa disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida menggunakan katalis basa.

 
 

 

Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung


kondisi reaksinya (Meher et al. 2006). Faktor tersebut diantaranya adalah
kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, jenis katalis dan
konsentrasinya, perbandingan molar antara alkohol dengan minyak dan jenis
alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, intensitas pencampuran dan penggunaan
cosolvent organik. Kualitas metil ester dipengaruhi oleh: kualitas minyak
(feedstock), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain
yang digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan
(Gerpen et al. 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak
tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, residu
katalis (Gerpen et al. 1996).
  Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara curah (batch) atau sinambung
(continiue) pada suhu 50-70°C. Kondisi proses transesterifikasi secara sinambung
telah dilakukan oleh Darnoko et al. (2000), yaitu dengan suhu proses 60°C pada
tekanan 1 atmosfir, dengan pengadukan, menggunakan katalis KOH 1% (w/w)
terlarut dalam metanol. Hasil transesterifikasi minyak sawit tersebut mencapai
97,3 % pada waktu 60 menit. Waktu yang lebih dari 60 menit dapat menurunkan
laju produksi metil ester. Penambahan metanol dilakukan dengan rasio metanol-
minyak 1:6. Tabel 2 menyajikan sifat fisikokimia beberapa metil ester.

Tabel 2 Sifat fisikokimia beberapa metil ester


Metil Ester
No Karakteristik Lemak
C12-14 C16 C18
tallow
1 BM (g/mol) 218 281 284 280
2 Bilangan iod (cg I/g sampel) 0,1 0,39 0,19 0,13
3 Asam karboksil (% b/b) 0,074 0,25 1,89 n/a
4 Bahan tak tersabunkan (% b/b) 0,05 0,27 0,06 n/a
5 Bil. Asam (mg KOH/g sampel) 0,15 0,5 3,8 0,4
6 Bil. Penyabunan mg (KOH/g sampel) 252 197 191 n/a
7 Kadar air (% b/b) 0,13 0,18 0,19 0,04
8 Komposisi asam lemak (% b/b)
C12 72,59 0,28 0,28 0,16
C13 0,00 0,00 0,00 0,03
C14 26,90 2,56 1,55 4,15
C15 0,00 0,43 0,00 0,83
C16 0,51 48,36 60,18 25,55
C17 0,00 1,40 1,31 2,70
C18 0,00 46,24 35,68 64,45
Sumber : MacArthur et al. (1998)

 
 

 

Metil ester asam lemak jenuh dan metil ester asam lemak tidak jenuh dapat
digunakan secara tunggal sebagai bahan aktif permukaan. Penggabungan dua jenis
surfaktan ini menghasilkan kombinasi ideal sebagai bahan aktif dalam deterjen
karena campuran keduanya memiliki karakteristik pembusaan, daya bersih, daya
serap, dan daya cuci yang baik (Kitano dan Sekiguchi 1989).

2.3 Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)


Surfaktan merupakan substansi yang dapat menurunkan tegangan
permukaan antara larutan dengan fasa lain yang tercampur dengannya seperti
partikel padat yang terlarut dalam suspensi, dan terserap pada permukaan
antaranya. Surfaktan merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas tinggi
pada permukaan. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan
oleh struktur molekulnya yang tidak seimbang. Molekul surfaktan dapat
divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian
kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian
yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka
minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau
nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon.
Walaupun demikian, menurut Salager (2002) substansi dengan gugus hidrofilik
atau hidrofobik yang terlalu dominan tidak termasuk ke dalam golongan
surfaktan. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi
yang beragam di industri.
Aplikasi surfaktan dalam industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai
bahan utama pada industri detergen dan pembersih lainnya, bahan pembusa dan
emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat,
serta bahan emulsifier dan sanitasi pada industri pangan (Hui 1996).
Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara
luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut
adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan
amfoterik (Rieger 1985). Pembagian jenis-jenis surfaktan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:

 
 
10 
 

1. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa


gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya
merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina. Seperti: Fatty
Amine, Amidoamine, Diamine, Amide Oxide, dan Amine Ethoxylate.
2. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan
ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan
terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.
Seperti: linier alkyl benzene sulphonate (LAS), alcohol sulphate (AS),
alcohol ethers sulphate (AES), dan metil ester sulfonat (MES).
3. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,
kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak
membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang
menyebabkan terjadinya momen dipol. Seperti: Dietanolamida (DEA),
sucrose ester, sorbitan ester, dan ethoxylate alcohol.
4. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik
seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media
dan nilai pH. Seperti: amino carboxylate acid dan alkil betain.

Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan


anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau
bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat
(MES) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia metil ester sulfonat (MES)

Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi


yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan
yang tinggi (hard water), ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat
detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).
Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa

 
 
11 
 

kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas
enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium,
dan kandungan garam (di-salt) lebih rendah. Karakteristik MES dari stearin sawit
C16-C18 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik MES dari stearin sawit C16-C18


Analisa Nilai
Metil ester sulfonat (MES) (% b/b) 83
Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (% b/b) 3,5
Metanol (% b/b) 0,07
Hidrogen peroksida (% b/b) 0,13
Air (% b/b) 2,3
pH 5,3
Klett color 5 % aktif 310
Sodium metil sulfat (%) 7,2
Petroleum ether extractables (PEX) (% b/b) 2,4
Sodium karboksilat (% b/b) 0,3
Sodium sulfat (% b/b) 7,2
Sumber : Sheats dan MacArthur (2002)

2.4 Proses Produksi Metil Ester Sulfonat (MES)


Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester
dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi
yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum
(larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H.
Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO3 dilakukan dengan cara
melarutkan SO3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan secara langsung
dengan bahan baku organik yang digunakan. Menurut Gupta dan Wiese (1992)
dalam reaktor sulfonasi, nisbah molar SO3 dan alkil dikontrol antara 1,03 : 1
hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang optimum tanpa menyebabkan
terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun degradasi warna. Suhu reaktor
dikontrol antara 110 – 150 °F (43 - 65°C). Sebelum proses sulfonasi dilakukan,

 
 
12 
 

terlebih dahulu gas SO3 dicampur dengan udara kering hingga konsentrasinya
menjadi 4 – 8%.
Menurut Watkins (2001), proses produksi metil ester sulfonat dilakukan
dengan mereaksikan metil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor pada suhu
80 – 90 °C. Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap,
sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk
mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan H2O2 atau
larutan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan
larutan alkali (KOH atau NaOH). Setelah melewati tahapan netralisasi, produk
yang terbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan
berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula (Watkins 2001).
Baker (1995) telah memperoleh paten (US Patent No. 5.475.134) tentang
proses pembuatan sulfonated fatty acid alkil ester dengan tingkat kemurnian yang
tinggi. Bahan baku yang digunakan dari asam lemak minyak nabati komersial.
Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam
falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu
1,1 : 1 hingga 1,4 : 1, pada proses antara 75 – 95 °C dan lama reaksi antara 20 –
90 menit. Produk yang dihasilkan biasanya masih mengandung bahan pengotor
dalam jumlah sedikit, termasuk di-salt dan dimethyl sulfate (DMS), sehingga
diperlukan proses pemurnian.
Menurut Sheats dan MacArthur (2002), penelitian mengenai produksi
MES skala pilot plan secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon
Corporation. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu proses
sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO3 ke
reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging (pencampuran di digester),
tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Proses sulfonasi yang
diteliti dilakukan pada beragam bahan baku metil ester yang berasal dari minyak
kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, dan tallow. Bahan baku
metil ester dimasukan ke reaktor pada suhu 40 – 56°C, dengan konsentrasi gas
SO3 adalah 7% dan suhu gas SO3 sekitar 42°C. Nisbah molar antara reaktan SO3
dan metil ester sekitar 1,2 – 1,3. MES segera ditransfer ke digester pada saat
mencapai suhu 85°C, dengan lama waktu pencampuran adalah 0,7 jam (42 menit).

 
 
13 
 

Untuk pemurnian digunakan metanol sekitar 31 – 41% (b/b, MES basis) dengan
suhu 95 sampai 100°C selama 1 sampai 1,5 jam. Metanol berfungsi untuk
mengurangi pembentukan di-salt, mengurangi viskositas, dan mampu
meningkatkan transfer panas dalam proses pemucatan. Proses netralisasi
dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50% pada
suhu 55°C. Selanjutnya produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145
°C dan tekanan 120 – 200 Torr agar diperoleh produk berupa powder atau flakes.
Reaksi kimia pada proses produksi MES dari metil ester disajikan pada Gambar 4.

ME 

MESA 

MES 

Gambar 4 Reaksi kimia proses produksi MES

2.5 Proses Aging


Proses sulfonasi dengan bahan baku metil ester untuk menghasilkan MES
merupakan proses yang cukup kompleks dibandingkan dengan proses sulfonasi
dengan menggunakan bahan baku lainnya seperti linier alkylbenzene atau alpha
olefin. Surfaktan hasil sulfonasi seperti linier alkylbenzene sulfonate (LAS),
primary alcohol sulfates (PAS) alcohol ethoxysulfates (AES) dan alpha olefin
sulfonates (AOS) tidak memerlukan proses pemucatan, sedangkan sulfonasi metil
ester menghasilkan produk dengan warna gelap (Nilai Klett > 1000). Akibatnya
seluruh proses sulfonasi metil ester komersil memerlukan tahapan pemucatan.
Perbedaan lain dari sulfonasi metil ester yaitu memerlukan rasio mol SO3 yang

 
 
14 
 

lebih besar dibandingkan bahan baku dan memerlukan tahapan aging dengan
temperatur tinggi.
Pada tahap kontak metil ester terhadap SO3, metil ester menyerap SO3
untuk menghasilkan senyawa intermediet. Jika rasio mol SO3 terhadap metil ester
lebih rendah dari 1,2 maka konversi penuh metil ester tidak dapat diperoleh.
Tahapan ini biasanya dilaksanakan secara sinambung pada reaktor falling film.
Pada tahapan aging dimana senyawa intermediet bereaksi dan konversi metil ester
menjadi produk sulfonasi berjalan sempurna. Tahapan aging metil ester sulfonat
lebih intensif dibandingkan tahapan aging linier alkylbenzene (LAB) dimana
memerlukan suhu sekurang-kurangnya 80⁰C. Waktu tinggal yang diperlukan
tergantung pada temperatur yang digunakan, rasio mol SO3 terhadap metil ester,
target konversi dan karakteristik reaktor.
Proses aging pada reaktor batch atau pada PFR (plug flow reactor) ideal
dengan rasio mol 1,2 membutuhkan waktu aging sekitar 45 menit dan suhu aging
90°C atau membutuhkan waktu 3,5 menit pada suhu 120°C yang memberikan
tingkat konversi 98%. Sedangkan Chemithon melakukan aging MESA dari stearin
sawit C16-C18 pada suhu 83⁰ C selama 0,7 jam, pada lemak tallow (C16-C18) suhu
87⁰C selama 0,7 jam dan pada kedelai dominan C18 pada suhu 84⁰ C selama 0,7
jam.
Tahapan reaksi awal dalam sulfonasi ester terjadi selama proses kontak
metil ester dengan SO3. Senyawa intermediet α sulfonate terbentuk melalui
pembentukan kompleks reversible antara SO3 dan atom oksigen pada ester.
Senyawa intermediet mempunyai struktur RCH(SO3H)COOSO3CH3. Pada
tahapan aging, senyawa ini bereaksi dengan metil ester (RCOOCH3) yang belum
terkonversi (Gambar 5) sehingga menghasilkan methyl ester sulfonic acid
(MESA) dan senyawa intermediet III. Pada tahapan selanjutnya MESA
dinetralisasi menjadi MES, sedangkan netralisasi senyawa intermediet III
menghasilkan di-salt dan sodium methyl sulfat (SMS).

 
 
15 
 

Gambar 5 Interpretasi stokiometri sulfonasi ME (Robert at al. 2008)

Dua kandungan produk samping yang cukup tinggi (masing-masing 5%)


dapat dideteksi pada larutan MES yang dinetralisasi. Pada Gambar 6
menunjukkan adanya iso-MES, RCH(CO2Na)SO3CH3 dan dimethyl
sulfoalkanoate (di-MES), yang sifatnya mudah dihidrolisis menjadi di-salt dan
MES. Pembentukan iso-MES terjadi pada awal aging dan pembentukan di-MES
pada akhir waktu aging. Jika MESA ditambahkan metanol sebelum netralisasi,
diperoleh di-MES, tetapi tidak ada iso-MES yang terdeteksi, hal ini diduga iso-
MES sangat reaktif terhadap metanol.

Gambar 6 Produk samping sulfonasi ester (Robert at al. 2008)

Interpretasi sederhana untuk produk samping yang terbentuk merupakan


hasil reaksi tidak proposional pada intermediet utama, mixed sulfonated
compound anhydride bertindak sebagai agen metilasi untuk gugus sulfonat. Pada
tahap awal aging, komponen utama dengan gugus sulfonat dicampur dengan
anhydridenya, kemudian di akhir proses aging, komponen utama sulfonat yaitu
MES dalam bentuk asam. Gambar 7 menerangkan reaksi disporposi tersebut
diatas. Mekanisme sebenarnya lebih kompleks dari yang ditunjukkan, meliputi

 
 
16 
 

adanya dimetil sulfat sebagai komponen metilasi. Dimetil sulfat dapat dibentuk
oleh penyerangan MeOSO3H terionisasi pada gugus metil campuran anhydride
Precursor iso-MES adalah methylated mixed anhydride (MMA), karena
iso-MES dihidrolisa menjadi di-salt, maka MMA dapat dikatakan precursor di-
salt. Di-acid juga merupakan precursor di-salt. Penting untuk diketahui bahwa
MMA tidak mempunyai gugus sulfonat yang dapat diionisasi, tidak dapat melalui
rekasi intramolekular yang reversible menjadi cyclic mixed anhydride, yang
merupakan tahapan kunci untuk pelepasan SO3 selama aging (Gambar 7). SO3
dalam bentuk gugus OSO3CH3 pada MMA tidak dapat sebagai agen sulfonasi.
Pembentukan MMA menjelaskan alasan rasio mol SO3/ME 1:1 tidak cukup
memberikan konversi sempurna. MMA, di-acid dan di-MES adalah produk akhir
dalam proses aging.

Tahap Awal

2 molekul mixed anhydride Methylated mixed


anhydride (MMA)

Netralisasi

Di Acid

Iso MES

Tahap Akhir

Mixed MES Di-MES


anhydride

Di Acid

Gambar 7 Reaksi disporposi pada mixed anhydride (Robert at al. 2008)

 
 
17 
 

2.6 Kinerja Surfaktan MES


Surfaktan mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu molekul
yang sama. Senyawa ini akan meningkatkan kestabilan emulsi dengan
menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak dan air (Herawan et al.
1996). Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk
menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut
(Matheson 1996). Molekul surfaktan tidak sepenuhnya dapat larut pada kedua
cairan yang berbeda fase tersebut, tetapi cenderung untuk berkonsentrasi pada
daerah antar muka (O’Brien et al. 2000). Energi pembatas dua cairan tersebut
disebut tegangan permukaan, sehingga surfaktan berfungsi menurunkan tegangan
permukaan (Cooper dan Zajic 1980) menurunkan tegangan permukaan air dan
tegangan antar permukaan kotoran-kotoran terhadap permukaan yang dibersihkan
sehingga membantu proses pemindahan emulsi dan suspensi dari kotoran (Shreve
1967).
Tegangan antarmuka adalah energi yang bergerak melintang sepanjang
garis permukaan. Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul
sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak
antara dua cairan yang berbeda fase (Lapedes 1978). Suatu surfaktan tersusun atas
gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan
untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat polaritasnya
atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka
dua cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya
tegangan permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan
turunnya tegangan antar muka (Georgiou et al. 1992).
Tegangan antarmuka merupakan hal yang sangat penting dalam
memberikan ciri terhadap suatu surfaktan. Kemampuannya menurunkan tegangan
antarmuka disebabkan karena surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik
(Bognolo 1997). Turunnya tegangan antar muka akan menurunkan gaya kohesi
dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar
molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya
adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang
tidak sejenis.

 
 
18 
 

Surfaktan organik memiliki gugus dasar hidrokarbon dan berikatan dengan


senyawa anorganik (gugus sulfonat, SO3). Ion molekul RSO- bersifat non polar
(minyak), maka gugus R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan-
minyak), sedangkan molekul surfaktan itu sendiri akan bekerja kohesi antara R-
SO3. Pengaruh dari gaya adhesi ini akan mengurangi harga resultan gaya kohesi
minyak itu sendiri yang mengakibatkan gaya antarmuka minyak dengan air
menurun. Tegangan antarmuka atau energi bebas antar muka didefinisikan
sebagai usaha yang diperlukan untuk memperluas antar muka antara dua cairan
immisible per satuan luas (Shaw 1980).

 
 

Anda mungkin juga menyukai