Anda di halaman 1dari 21

PEMBERIAN PIDANA PENJARA TERHADAP

INEFEKTIVITAS PENJARA

Disusun oleh :

Syifa Qurrota Ayuni Rizqi 3018210308

PENITENTIER Kelas B

Fakultas Hukum

Universitas Pancasila
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

POKOK PERMASALAHAN ................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Pengertian Pidana Penjara ............................................................................. 1

1.2 Sejarah Pidana Penjara di Indonesia .............................................................. 2

1.3 Latar Belakang ............................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6

2.1 Pedoman Pemberian Pidana .......................................................................... 6

2.2 Pidana Penjara dan Tujuan Pemidanaan ........................................................ 7

2.3 Hubungan Pidana Penjara dengan Inefektivitas Penjara ............................. 11

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 17

3.2 Saran ............................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

i
POKOK PERMASALAHAN

1. Apa pengertian dari pidana penjara?


2. Bagaimana sejarah pidana pidana di Indonesia?
3. Bagaimana pedoman pemberian pidana?
4. Apakah pidana penjara sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan?
5. Bagaimana hubungan pidana penjara terhadap inefektivitas penjara?

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Pidana Penjara


Pidana Penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam
sistem hukum pidana di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10
KUHP yang menyebutkan bahwa pidana terdiri atas: Pidana pokok, yang
meliputi pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda; dan pidana
tambahan, yang meliputi: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-
barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Pada pelaksanaannya
Pidana Penjara menurut Pasal 12 ayat (1) dan (2) KUHP terdiri dari: pidana
penjara seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu.
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling
sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana dengan menempatkannya dalam
suatu Lembaga Pemasyarakatan. Penjara, yang diartikan sebagai penjera yakni
membuat orang agar jera semula.1 Pengunaan pidana penjara sebagai sarana
untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru dimulai pada akhir abad ke-
18 yang bersumber pada paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan,
maka pidana penjara ini semakin memegang peranan penting dan menggeser
kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam2.

1
Loebby Loqman, Pidana dan Pemidanaan,(Jakarta: Penerbit DATACOM, 2001), hlm. 69.
2Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 1996), hlm. 42.

1
1.2 Sejarah Pidana Penjara di Indonesia
Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto,3
yang dilakukan beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan,
rumah tahanan pada zaman Penjajahan Belanda ada tiga macam:
1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota.
2. Ketingkwartier, merupakan tempat buat orang-orang perantauan.
3. Vrouwentuchthuis adalah tempat menampung orang-orang perempuan
Bangsa Belanda yang karena melanggar kesusilaan (overspel).
Tahun 1800–1816 ketika Raffles memimpin pemerintahan pada saat
itu, dia mencoba untuk memperbaiki keadaan buruk pada masa lalu dan
memerintahkan agar di tiap- tiap tempat yang ada pengadilannya didirikan bui.
Pada tahun 1919 pemerintah Belanda mengulangi apa yang telah dilakukan
oleh Raffles, dimana orang-orang dibagi:
1. Orang-orang yang dipidana kerja paksa dengan memakai rantai.
2. Orang-orang yang dipidana kerja paksa biasa dengan mendapat upah.
Pada tahun 1870 didirikan Departemen Justise yang kemudian
merancang peraturan untuk penjara-penjara di Hindia Belanda, yang dimuat
dalam lembaran negara (Staablad 1871 No. 78/ Tuchtreglement van 1871).
Peraturan ini memerintahkan supaya dipisah-pisahkan4:
a. Golongan Indonesia dengan golongan Eropa
b. Perempuan dengan laki-laki.
c. Terpidana berat dengan terpidana lainnya.
Tiap penjara diwajibkan untuk mengadakan daftar catatan orangorang
yang ada dalam penjara dan dibagi dalam beberapa bagian menurut
golongannya, seperti golongan Indonesia dan Golongan Eropa, laki-laki dan
perempuan, tindak pidana berat dan ringan dan lain sebagainya. Kepala
penjara dilarang memasukkan atau mengurung orang jika tidak ada alasan
yang sah.5

3
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm. 77.
4 Ibid, hlm 76-83
5
Suwarto, Disertasi Doktor: Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam Pembinaan Narapidana
Wanita, Medan, 2007, Universitas Sumatera Utara, hlm 101-100.

2
Perubahan besar dalam sistem penjara dan perbaikan keadaan penjara
baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat
mulai didirikan, pegawai-pegawai yang dianggap cakap dalam urusan
kepenjaraan mulai direkrut. Di penjara Glodok diadakan percobaan dengan
cara memberikan pekerjaan dalam lingkungan pagar tembok penjara kepada
beberapa narapidana kerja paksa6. Sehubungan dengan percobaan ini, maka
Staatblad 1871 No. 78 mendapat sedikit perubahan. Dalam jangka waktu
1905 sampai 1918 didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh. Penjara-
penjara pusat biasanya berukuran sangat besar, dengan kapasitas kira-kira
untuk 700 orang terpidana, merupakan gabungan Huis van Bewaring (rumah
penjara pidana berat), yang sukar untuk mengurusnya karena masing-masing
golongan menghendaki cara perlakuan yang khusus.7
Pada tahun 1925 di Penjara Cipinang pemerintah melakukan
percobaan penjara dengan mengadakan tempat tidur yang terpisah untuk
setiap narapidana, yang kemudian disebut sebagai “chambretta” yaitu sel
yang berupa sangkar negara yang dibuat dari jeruji besi dan tiap-tiap
kerangkeng untuk satu orang dengan maksud mencegah perbuatan cabul
antara narapidana satu dengan yang lainnya.8
Pada tahun 1930 diadakan perubahan terhadap penjara, yaitu :
1) Pembagian narapidana laki-laki yang mendapat pidana lebih dari 1 (satu)
tahun dalam 2 (dua) golongan sesudah diselidiki lebih dulu di clearing-
house di Surabaya dan Glodok yaitu :
a. Golongan yang dipandang mudah untuk dididik baik.
b. Golongan yang dipandang sukar untuk dididik baik.
2) Mengadakan bagian semacam reformatory seperti di Elmira (yang
diperuntukkan pemuda-pemuda dari 16 sampai 30 tahun) di penjara
Malang, Madiun dan Sukamiskin, untuk golongan tersebut di atas.

6
Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2005), hlm. 139.
7
Ibid.
8
Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2005), hlm. 140.

3
3) Mengadakan psychopaten (perbaikan orang sakit jiwa) di Glodok.
4) Mengadakan sistem cellilousie.
5) Penjara untuk golongan Eropa di Semarang di pindah ke Sukamiskin.
6) Kursus-kursus untuk pegawai kepenjaraan.
7) Mengangkat seorang pegawai reklasaring.
8) Mendirikan dana reklasaring.
Pada tahun 1931 ada beberapa penjara yang mempunyai kedudukan
khusus yaitu : (1) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk
semua golongan yang terpelajar dan berkedudukan dalam masyarakat. (2)
Penjara Sukamiskin diberikan percetakan. (3) Di penjara Cipinang
dilanjutkan percobaan dengan chambretta (tempat tidur yang terpisah untuk
narapidana). (4) Bagian- bagian untuk orang-orang komunis di penjara
Padang dan Glodok dihapuskan dan dipindah ke Pamekasan. (5) Penjara
untuk anak-anak di Pamekasan dihapuskan dan digunakan untuk orang-orang
yang dituduh komunis dan penjara anak-anak di Banyubiru dan Tangerang.
(6) Mengadakan percobaan dengan ploeg–stukloon system (7 (tujuh) atau 8
(delapan) orang bekerja bersama-sama dengan mendapat upah).9
Sejarah masa lampau tentang gambaran penjara pada zaman
penjajahan Belanda, penuh dengan penderitaan yang kini masih terlihat pada
bangunan-bangunan penjara dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang
sedemikian rupa secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para
pelanggar hukum. Oleh karena itu namanya menjadi penjara, yaitu tempat
untuk membuat jera.10
Kemudian pada zaman kemerdekaan tercetuslah gagasan
pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidatonya saat
penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas
Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan
rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut: “Di samping
menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan

9
Ibid, hlm 141-142.
10
Suwarto, Op.Cit, hlm 103.

4
bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi
seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan lain,
tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung makna
bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan
jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah tersesat, diayomi
oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi seorang
anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.11
1.3 Latar Belakang
Negara mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana melalui aparat
penegak hukum apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hukum yang
berlaku, misalnya melakukan perbuatan yang dilarang oleh Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu penjatuhan pidana adalah pidana
hilang kemerdekaan atau disebut juga sebagai pidana penjara dan pidana
kurungan.
Pidana hilang kemerdekaan adalah pidana yang dijatuhkan terhadap
narapidana dengan menempatkannya dalam suatu Lembaga Pemasyarakatan.
12
Tujuan utamanya adalah agar orang akan menjadi jera. Konsep penjara
dengan tujuan membuat jera narapidana sudah lama digantikan dengan
konsep pembinaan. Hal ini disebabkan perkembangan kriminologi yang
demikian pesat, serta pengaruhnya terhadap hukum pidana.13 Tentunya hal ini
berdampak juga pada inefektivitas penjara yang mana membuat fungsi
penjara tidak sepenuhnya berhasil meredam seseorang untuk melakukan
tindakan jahat.

11
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 62.
12
Loebby Loqman, Loc.cit.
13
Ibid, hlm 70.

5
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pedoman Pemberian Pidana
Masalah pendirian pidana ini beserta perumusan pedomannya
bersangkut paut dengan aliran dalam hukum pidana, ialah pertentangan antara
aliran klasik dan aliran modern. Terlihat KUHP Swiss dan Jepang dipengaruhi
oleh aliran klasik, sedang KUHP Polandia oleh aliran modern. Adapun
persoalan pemberian pidana aliran ini tampak dalam apa yang tercantum
dalam memorie van Toeliching dari Wvs Belanda tahun 1886, yang
(terjemahanya) berbunyi:
“Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap
kejadian harus memperhatikan, keadaan obyektif dari tindak pidana yang
dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja
yang melanggar dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang
ditimbulkan? Bagaimana sepakterjang kehidupan si pembuat dulu-dulu?
Apakah kejahatan yang dipersalahkan keadaannya itu langkah pertama ke arah
jalan sesat ataukah suatu perbuataan yang merupakan suatu pengulangan dari
watak jahat yang sebelumnya sudah tampak? Batas antara maksimum dan
minimum harus ditetapkan seluas-luasnya; sehingga meskipun semua
pertanyaan di atas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimum
pidana yang biasa itu sudah memadai.”14
Hukum positif kita sekarang ini tidak memberi pedoman secara pasti.
Kebebasan Hakim dalam menetapkan pidana tidak boleh sedemikian rupa
sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan yang menyolok hal mana
akan mendapatkan perasaan tidak nyaman bagi masyarakat.15
Sifat pidana sebgai ultimatum remedium/obatnya yang
terakhir/menghendaki, apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan
menggunakan pidana sebgai sarana. Maka peraturan pidana yang mengancam

14 Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek Peradilan, (Jakarta: GHALIA
INDONESIA, 1984), hlm. 36.
15
Ibid, hlm. 37.

6
pidana terhadap sesuatu perbuatan hendaknya dicabut, apabila tidak ada
manfaatnya.
Dengan demikian kita sampai pada problem kedua, ialah syarat-syarat
untuk memungkinkan pengenaan pidana. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh
pembentuk undang-undang dan ilmu pengetahuan /doctrine, sedang yang
harus memperhatikan syarat-syarat ini dalam menghadapi persoalan yang
konkrit adalah Hakim, Jaksa dan lain-lain.16
Dalam pemeriksaan pidana di dalam suatu persidangan bilamana
perkara yang diperiksa oleh Hakim dengan mendengarkan keterangan-
keterangan saksi serta adanya alat-alat pembuktian yang sah memang tuduhan
itu meyakinkan dan terbukti, maka Hakim akan menjatuhkan pidana. Sebelum
vonis dijatuhkan oleh Hakim, terlebih dahulu akan dipertimbangkan tentang
berat ringannya pidana yang akan dikenakan.17
2.2 Pidana Penjara dan Tujuan Pemidanaan
1. Pidana Penjara
Dalam pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan
bergerak, yakni pidana, yakni pidana penjara dan kurungan . sifatnya
menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti
menempatkan terpidana dalam suatu tempat (lembaga pemasyarakatan)
dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib
untuk tunduk,mentaatinya dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang
berlaku, maka kedua jenis pidana itu sesungguhnya berbeda jauh.18
Stelsel penjara, menurut pasal 12 (1) dibedakan menjadi (a) pidana
penjara seumur hidup dan (b) pidana penjara sementara waktu.
Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan
yang sangat berat, yakni:
a. Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti pasal 104, 365 ayat (4),
368 ayat (2)

16
Ibid, hlm.42.
17
Ibid, hlm.47.
18
Drs. Adami Chazawi,SH.,Pelajaran Hukum Pidana, cet I. (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002)
hlm.32.

7
b. Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, akan tetapi
sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya
20 tahun, misalnya pasal 106, 108(2).
Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling lama
15 tahun (12 ayat2). Pidana penjara sementara dapat dijatuhkan lebih dari 15
tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam pasal 12
ayat 3 yakni:
a. Dalam hal kejahatan-kejahatan yang hakim boleh memilih apakah akan
menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara
sementara 20 tahun. Dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu.
b. Dalam hal telah terjadinya perbarengan, pengulangan, kejahatan-kejahatan
yang berkaiatan dengan pasal 52.
Jadi jelas, untuk pidana penjara sementara secara waktu tidak boleh
lebih dari 20 tahun secara berturut-turut (pasal 12 ayat 4).19
Menurut pasal 13 KUHP, narapidana itu dibagi dalam beberapa kelas,
pembagian kelas ini diatur lebih lanjut dalam pasal 49 peraturan kepenjaraan,
yaitu:
a. Kelas I, yaitu bagi narapidana penjara seumur hidup dan narapina penjara
sementara yang membahayakan orang lain/ masyarakat.
b. Kelas II, yaitu:
1) Bagi narapidana penjara yang dipidana penjara lebih dari 3 bulan
yang tidak termasuk kelas I tersebut diatas.
2) Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah
dinaikan dari kelas pertama . bagi narapidana kelas I jika
kemudian ternyata berkelakukan baik, maka ia dapat di naikan
ke kelas II
3) Narapidana yang dipidana sementara yang karena alasan
pelanggaran –pelanggaran tertentu, di turunkan menjadi kelas II
dan III

19
Ibid, hlm.34.

8
c. Narapidana kelas III yaitu bagi narapidana yang dipidana sementara yang
telah dinaikan dari kelas II , karena telah terbukti berkelakuan baik dan
menjadi contoh bagi narapidana lain.
d. Kelas VI, yaitu bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling
tinggi 3 bulan. 20

2. Tujuan Pemidanaan
Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat
diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan
dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification)
dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak
penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta
pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya
sebagai roh.
Dalam penjatuhan pidana, yang selalu menjadi pertanyaan adalah
apakah sebenarnya tujuan penjatuhan pidana itu. Dari sekian banyak jawaban,
belum begitu memuaskan banyak pihak. Dalam rancangan KUHP Baru
disebutkan dalam Pasal 50 bahwa pemidanaan bertujuan untuk
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan
5. Memaafkan terpidana21

20
Ibid, hlm.37.
21
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan undang-undang, KUHP, 1993-2000.

9
Dalam penjelasan Pasal 50 Rancangan KUHP disebutkan bahwa
pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan
hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh
dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari
pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan
resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk
menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana pada
dasarnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia.22
Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai kini telah
menjurus ke arah yang lebihrasional. Yang paling tua ialah pembalasan
(revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat
sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Hal ini
bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman
modern ini, seperti akan disebutkan di belakang, unsur-unsur primitif dari
hukum pidana paling sukar dihilangkan, berbeda dengan cabang hukum yang
lain. Tujuan yang juga dipandang kuno ialah penghapusan dosa (expiation)
atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan
jahat atau menciptakan balas antara yang hak dan batil.23
Menurut pendapat penulis, tujuan untuk memperbaiki penjahat
sehingga menjadi warganegara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada
harapan untuk diperbaiki, terutama bagi delik-delik tanpa korban (victimless
crime) seperti homoseks, mucikari dan sejenisnya. Tujuan pemidanaan yang
berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk/penjeraan (deterrent), baik
ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang
mempunyai potensi menjadi penjahat/perlindungan kepada masyarakat dari
perbuatan jahat perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang tersebut terakhir
yang paling modern dan popular dewasa ini. Bukan saja bertujuan

22
Ibid, hlm.32-33.
23
Andi Hamzah, Hukum Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradya Pramitha, 1986.

10
memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain-lain
yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan ini Romli Atmasasmita
berpendapat bahwa masalah tujuan pemidanaan merupakan bagian yang
sangat mendasar dan penting dalam kehidupanhukum pidana di Indonesia
bahkan di seluruh negara. Hal ini disebabkan karena perkembangan
peradaban suatu bangsa antara lain juga ditentukan oleh sejauh manakah
perlakuan bangsa yang bersangkutan terhadap terpidananya. Tujuan
pemidanaan merupakan pencerminan dari falsafah suatu bangsa, dan tujuan
pemidaan akan menjiwai para pelaksana aparat penegak hukum terutama
hakim, jaksa dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.24

2.3 Hubungan Pidana Penjara dengan Inefektivitas Penjara


Pemenjaraan merupakan salah satu bentuk penghukuman yang dapat
dijatuhkan kepada masyarakat mana pun yang melakukan kejahatan atau pun
merugikan pihak lain.
Namun, pemenjaraan itu sendiri nantinya akan dilakukan sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku di dalam sebuah negara dimana peran
polisi, jaksa, dan hakimlah yang akan menentukan apakah seseorang layak
dipenjara atau tidak.
Hasil putusan hakim nantinya menjadi dasar pelaku kriminal divonis
untuk tinggal dalam penjara sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan
dalam proses pengadilan.
Sebagai suatu bentuk hukuman, pemenjaraan dalam
perkembangannya mengalami kritik dari para ahli penologist, dimana mereka
memberikan usul agar penggunaan bentuk hukuman pemenjaraan dihentikan

24
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju,
1955), hlm. 90.

11
dan mempertimbangkan respon yang sifatnya non-punitive terhadap bentuk
kesalahan dan pelanggaran pada sebuah aturan.25
Kehidupan dalam penjara dimana seseorang berada dalam kurungan
atau sel dengan pengawasan yang variatif berdasarkan status sebuah penjara
mempengaruhi bagaimana aktivitas masyarakat di dalamnya.
Hilangnya ruang gerak pribadi atau privasi, kualitas makanan yang
buruk, interaksi dengan keluarga dan orang-orang terdekat yang menjadi
terbatas serta kemungkinan perlakuan buruk yang dapat diterima dari tahanan
lain serta staf penjaga merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh
tahanan.
Sistem yang dibangun dalam penjara inilah yang menjadi pertanyaan
apakah tahanan dapat mengerti akan kesalahan yang dilakukan atau pun
bagaimana penjara dapat memenuhi kerugian yang dialami oleh korban.
Sistem-sistem yang dibangun untuk memberikan fasilitas pemenjaraan
ini dapat memberikan penilaian bagi efektivitas hukumannya, dimana selain
itu terdapat juga biaya yang sangat besar dan bervariasi di tiap-tiap penjara.26
Efektivas Penjara di Indonesia
Perihal penjara di Indonesia, kita juga harus dapat memahami apa
perbedaan antara rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Rumah
tahanan sendiri merupakan penjara bagi mereka yang masih menunggu vonis
dan masih berada dalam proses persidangan.
Sedangkan, lembaga permasyarakatan dihuni oleh pelaku kriminal
yang telah dijatuhi vonis dalam persidangan. Jumlahnya di Indonesia yang
diketahui melalui laporan Ditjenlapas Kementerian Hukum dan HAM
Indonesia menunjukkan bahwa angka yang ada melebihi kapasitas. Hal itu
pun menunjukkan adanya permasalahan dalam efektivitas dari pemenjaraan
di Indonesia.

25
Hernandes Butars, “Efektivitas Penjara sebagai Tempat ‘Terhukum’ dan Masalah-masalahnya di
Indonesia”, diakses dari https://www.payungmerah.com/efektivitas-penjara-part-1/, pada tanggal 5
Oktober 2019 pukul 20.05.
26
Ibid.

12
Selain adanya kasus mengenai kapasitas penjara yang masih di bawah
penghuni dan potensi bertambahnya tahanan lain, terdapat pula masalah
penjara yang di dalamnya terdapat masalah integritas oleh staf petugas
maupun pejabat dalam lapas.
Sebagai contoh kasus, kerusuhan di penjara kembali terjadi di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Silang Bungkuk, Kecamatan Tenayan
Raya, Pekanbaru. Sebanyak 448 tahanan dan narapidana merangsek kabur
melarikan diri ke permukiman sekitar.
Kelebihan kapasitas penghuni dituding menjadi penyebab utama
kerusuhan. Sebanyak 1.870 orang menempati lapas yang hanya memiliki
kapasitas 361 orang. Akibatnya, tahanan dan narapidana tidak mendapatkan
tempat tidur dan makanan yang layak. Kondisi ini diperparah dengan ulah
oknum petugas yang menjadikan lokasi tidur dan makanan layak menjadi
komoditas yang diperdagangkan.
Pemerintah sebenarnya telah mengalokasi anggaran sebanyak Rp 1,3
triliun untuk membangun dan menambah operasional penjara pada tahun
2016 lalu. Anggaran tersebut akan digunakan untuk pembangunan penjara
baru (Rp 712,1 miliar), renovasi penjara (Rp 197,8 miliar), dan fasilitas
operasional penjara (Rp 390 miliar).
Pembiayaan penjara yang besar tersebut tentu sangat membebani
rakyat dari pajak yang dibayarkan ke negara. Menaikkan anggaran penjara
sebenarnya bukan satu-satunya solusi jitu untuk mengatasi secara menyeluruh
permasalahan penjara dan pemidanaan pelaku kejahatan.
Inefektivitas Penjara
Penjara tidak sepenuhnya berhasil meredam seseorang untuk
melakukan tindakan jahat. Buktinya, kejahatan penyelundupan narkotika serta
kerusuhan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banceuy (2016) serta
Lapas Jambi dan Riau (2017). Lembaga yang bertujuan memasyarakatkan
penghuninya agar dapat kembali hidup bermasyarakat justru identik dengan
’’pendidikan tinggi’’ narapidana karena belajar tindak pidana baru.

13
Dahulu kala, penjara dipercayai dapat mencapai keempat tujuan
pemidanaan, yaitu (1) pembalasan atau retribusi; (2) rehabilitasi; (3)
perlindungan masyarakat (incapacitation); dan (4) penjeraan atau detterence.
Namun, mitos tersebut dipatahkan dan dikritisi jika dibandingkan dengan
beban negara menanggung pemenjaraan (Posner, 1985).
Pertama, tujuan pembalasan tidak sepenuhnya terwujud karena pelaku
tidak ’’bertanggung jawab’’membayar kerugian sosial. Pemenjaraan
membuat pelaku tidak memulihkan kerugian atau membayar kompensasi
kepada korban. Ironisnya, korban dan publik membayar biaya untuk penjara
tersebut melalui pajak.
Kedua, penjara juga kerap kali gagal merehabilitasi pelaku kejahatan
dan mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat. Penganggaran
untuk pelatihan di penjara berkurang tiap tahun akibat terlalu banyak
narapidana. Narapidana tidak jarang menjadi ahli dalam melakukan lagi
tindak pidana baru.
Ketiga, tujuan pemidanaan yang terwujud dari penjara ialah sekadar
perlindungan masyarakat (incapacitation). Pengekangan seseorang yang jahat
dan berbahayadapat melindungi dan menciptakan rasa aman masyarakat.
Namun, penjara hanya bermanfaat untuk crime of passion seperti
pembunuhan, pemerkosaan, atau penganiayaan. Sedangkan manfaat penjara
pada kejahatan ekonomi masih belum terbukti.
Keempat, efek jera yang diharapkan dari penjara merupakan mitos
yang perlu diuji. Faktanya, kejahatan di Amerika Serikat (AS) tetap tinggi
meski sebagai negara yang paling banyak memenjarakan orang. Dampak
penjara menghasilkan efek jera ternyata belum terlalu signifikan.27
Alternatif Pemidanaan
Pembuat kebijakan pidana perlu mencari alternatif pemidanaan selain
penjara. Berbagai penelitian menyatakan penjara sangat boros, mahal biaya,
dan hanya sedikit berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan. Pilihan
27
MPP FHUI, “Inefektivitas Penjara & Alternatif Pemidanaan”, diakses dari
http://mappifhui.org/2017/07/25/inefektivitas-penjara-alternatif-pemidanaan/, pada tanggal 8
Oktober 2019 pukul 17.05.

14
pemidanaan lainnya haruslah yang efektif dan efisien serta berdampak positif
pada korban dan masyarakat.
Alternatif pemidanaan denda menjadi prioritas para ahli hukum dan
ekonomi (law and economic). Denda dianggap lebih menguntungkan
masyarakat karena tidak menghabiskan banyak sumber daya sosial (social
resource) seperti penjaga, makan, dan petugas rehabilitasi (Becker,
1968).Sekecil apa pun besaran uang denda yang dibayar kepada korban lebih
baik daripada tidak memperolehnya.
Pidana denda belum optimal ditegakkan penegak hukum. Faktanya,
kejaksaan hanya berhasil mengumpulkan sekitar Rp 31 miliar denda pada
tahun 2015. Angka ini jauh lebih rendah dibanding biaya penegakan hukum
yang mencapai puluhan triliun untuk penyidikan hingga pemenjaraan.
Pidana denda juga perlu diatur tinggi sehingga menutupi segala
kerugian yang dikeluarkan korban dan masyarakat. Jumlah denda harus sama
dengan jumlah kerugian nyata (harga barang yang dicuri), biaya untuk
penegakan hukum, dan biaya untuk penasihat hukum. Dengan demikian,
kondisi optimal pemidanaan tercapai karena dapat mengganti kerugian nyata
korban dan juga kerugian sosial yang membebani masyarakat.
Alternatif pemidanaan lain berupa rehabilitasi untuk penyalah guna
narkotika juga perlu diutamakan. Penghukuman rehabilitasi dapat
mengurangi penghuni rutan dan lapas secara signifikan. Sebanyak 43%
penghuni rutan dan lapas terjerat kasus narkotika. Dari jumlah tersebut,
setidaknya terdapat 18 ribu tahanan dan narapidana pengguna narkotika yang
tetap dikurung di balik jeruji besi.
Payung hukum rehabilitasi sebenarnya sangat kuat karena diatur pada
undang-undang maupun kesepakatan antara Mahkamah Agung (MA),
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Sosial, kejaksaan, kepolisian, dan Badan Narkotika Nasional.
Ironisnya, pengguna narkotika lebih sering dituntut dan dijatuhi hukuman
penjara. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
(Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) terhadap 427 putusan

15
pengadilan di DKI Jakarta, setidaknya terdapat 90 persen pengguna narkotika
yang dijebloskan ke penjara.
Penjara sebaiknya tidak dianggap sebagai metode paling efektif untuk
mewujudkan tujuan pemidanaan. Pemborosan biaya penjara dan tersedianya
berbagai alternatif penghukuman perlu dipertimbangkan secara serius.
Mantan Kepala Kejaksaan California yang sekarang menjabat Gubernur
California, Jerry Brown, pernah menyatakan ’’penjara tidak merehabilitasi,
tidak menghukum, dan tidak melindungi, lalu apa manfaatnya penjara?’’

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi, pemberian pidana yang dijatuhkan melalui putusan Hakim berupa
pidana penjara saat ini masih belum optimal untuk membuat orang
(narapidana) agar menjadi jera. Nyatanya, muncul inefektivitas penjara dalam
penerapaan pemidaan penjara yang disebabkan perkembangan ilmu
kriminologi yang pesat, serta kapasitas penjara yang masih dibawah penghuni
dan potensi bertambahnya tahanan lain. Kondisi seperti mengakibatkan terjadi
kekacauan dari dalam penjara melihat dari sumpeknya lingkungan serta
kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola Lembaga
Permasyarakatan.
3.2 Saran
Pengelolaan penjara lebih diperhatikan dan dioptimalkan kembali oleh
institusi yang berwenang yakni Kementrian Hukum dan Ham serta kepolisian
untuk mengurangi terjadinya inefektivitas penjara yang akan memberi dampak
bagi penjara di kemudian hari. Sehingga untuk mengatasi masalah efektivitas
hukuman penjara perlu dilihat alternatif hukuman lain yang cocok dengan
sosiologis masyarakat Indonesia dan kegunaannya dalam mendukung
penegakan hukum di Indonesia.
Dengan seperti ini nantinya diharapkan penghukuman penjara akan dapat
berkurang khususnya pada kasus-kasus ringan yang dapat diselesaikan secara
kekeluargaan tanpa harus dibawa ke pengadilan yang juga memerlukan biaya
besar.

17
DAFTAR PUSTAKA

Loqman, Loebby. 2001. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: DATACOM.


Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Legislatif dengan Pidana Penjara. 1996.
Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Suwarto. 2007. Disertasi Doktor: Pengembangan Ide Individualisasi Pidana
Dalam Pembinaan Narapidana Wanita. Medan: Penerbit Universitas
Sumatera Utara.
Makarao, Mohammad Taufik. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Prakoso, Djoko. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Prakoso.Djoko. 1984. Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek
Peradilan. Jakarta: GHALIA INDONESIA.
Chazawi Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, cet I. Jakarta: PT Grafindo
Persada.
Hamzah, Andi. 1986. Hukum Pidana dan Pemidanaan Indonesia. PT. Pradya
Pramitha.
Atmasasmita, Romli. 1955. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi.
Bandung: Mandar Maju.
https://www.payungmerah.com/efektivitas-penjara-part-1/ Diakses tanggal 5
Oktober 2019.

http://mappifhui.org/2017/07/25/inefektivitas-penjara-alternatif-pemidanaan/
Diakses tanggal 8 Oktober 2019.

18

Anda mungkin juga menyukai