Anda di halaman 1dari 7

Nama : A.A.

Arumi Jayanti Kusumasari


NIM : 170 455 1026
Kelas : A/Reguler Pagi
Mata Kuliah : Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu :
1. Prof.Dr I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
2. Ni Gusti Dyah Satyawati SH.,M.Kn.,LLM

“Dampak Yuridis terhadap perluasan pengertian keputusan Tata Usaha Negara


berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
terhadap kompetensi peraturan (Peradilan Tata Usaha Negara)”

Diberlakukannya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dalam


kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) telah memperluas access to justice bagi
pencari keadilan dengan cara membuka “ruang hampa” yang sebelumnya tidak dapat dimasuki
oleh pencari keadilan. Oleh karena Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah membuka
access to justice, maka Hakim dalam Peradilan TUN sebagai sentral penegak hukum dan
keadilan sepatutnya juga terbuka terhadap perubahan dan perkembangan di bidang Administrasi
Pemerintahan. Disinilah peran penting Peradilan TUN dalam meningkatkan penyelenggaran
good governance pasca UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini
diberlakukan. Dengan hadirnya UU Administrasi Pemerintahan terkait dengan peradilan TUN,
maka diharapkan hadirnya putusan pengadilan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat.
Secara umum, tujuan pihak-pihak yang berperkara adalah menyelesaikan perkara mereka secara
tuntas dengan putusan pengadilan disertai pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan tersebut.6
Putusan pengadilan diharapkan mengacu pada implementasi UU Administrasi Pemerintahan
sebagai batu uji bagi Pengadilan TUN dalam melakukan pemeriksaan dan pengujian objek
gugatan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan good governance yang sesuai dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.

Konsep good governance, proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam


melaksanakan penyediaan public goods and service disebut good governance (pemerintah atau
kepemerintahan), sedangkan praktik terbaiknya disebut good governance. Terselenggaranya
good governance merupakan hal yang utama dalam mencapai tujuan bernegara, sehingga
diperlukan penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, bersih,
dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Dalam pasal 1 angka 6 UU No. 28 Tahun 1999 asas umum pemerintahan negara secara
normatif diartikan sebagai asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma
hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Dalam
pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang asas umum penyelenggaraan negara yang berbunyi,
“Asas - asas umum penyelenggaraan negara meliputi:

1. asas kepastian hukum;


2. asas tertib penyelenggaraan negara;
3. Asas kepentingan umum;
4. asas keterbukaan;
5. asas proporsionalitas;
6. Asas profesionalitas;
7. asas akuntabilitas”.

Menurut penjelasan Undang-Undang tersebut asas akuntabilitas adalah asas yang


menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sebagai
negara yang menganut bentuk kekuasaan demokrasi yang terdapat dalam bunyi Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945 bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UndangUndang Dasar.” Negara memfasilitasi keterlibatan warga dalam proses kebijakan
publik, hal ini menjadi salah satu bentuk pengawasan peradilan TUN dalam rangka mewujudkan
good governance dalam hal timbulnya sengketa TUN apabila warga masyarakat merasa
kepentingannya telah dirugikan oleh KTUN / tindakan faktual yang dikeluarkan oleh pejabat
TUN maupun pejabat pemerintahan.

Selain itu konsep good governance juga tertuang secara normatif dalam UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Tujuan dibentuknya UU No. 25 tahun 2009 tentang
pelayanan publik, salah satunya adalah sebagai upaya meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang
baik. Bahwa dalam pasal 4 UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyelenggaran pelayanan
publik berasaskan: 1. kepentingan umum; 2. kepastian hukum; 3. kesamaan hak; 4.
keseimbangan hak dan kewajiban; 5. keprofesionalan; 6. partisipatif; 7. persamaan perlakuan/
tidak diskriminatif; 8. keterbukaan; 9. akuntabilitas; 10. fasilitas dan perlakuan khusus bagi
kelompok rentan; 11. Ketepatan waktu; 12. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Selanjutnya dalam pasal 50 UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan
bahwa masyarakat dapat menggugat penyelenggara atau pelaksana melalui peradilan tata usaha
negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang tata usaha negara.
Lebih lanjut, dalam pasal 51 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
dijelaskan bahwa dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, masyarakat
dapat mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan.

Disinilah peran peradilan TUN dalam menangani sengketa yang masuk ke ranah
peradilan melalui gugatan administratif masyarakat. Bahwa asas-asas umum pemerintahan yang
baik diterapkan sebagai salah satu dasar pengujian hakim dalam pertimbangan hukumnya. Dalam
menilai tindakan pelaksanaan kewenangan dari penyelenggara pemerintah, hakim mengacu pada
pertanyaan apakah penyelenggara pemerintahan telah bertindak bertentangan dengan
undangundang atau tidak dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam UU No. 30 Tahun 2014 diatur dalam
pasal 10 ayat (1), yang meliputi asas: 1. kepastian hukum; 2. kemanfaatan; 3. ketidakberpihakan;
4. kecermatan; 5. tidak menyalahgunakan kewenangan; 6. keterbukaan; 7. kepentingan umum; 8.
pelayanan yang baik. Bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan, badan dan/ atau pejabat pemerintahan harus mengacu pada asas-asas umum
pemerintahan yang

baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal keluarnya


KTUN maupun tindakan faktual yang merugikan warga masyarakat dan melanggar peraturan
perundangundangan dan AAUPB, warga masyarakat dapat memanfaatkan upaya administratif
melalui keberatan dan banding. Dengan meletakkan AAUPB sebagai dasar pengujian dan
pembatalan atas KTUN, hal ini menjadikan fungsi peradilan TUN dalam meningkatkan
penyelenggaraan good governance dengan mengacu pada perkembangan perluasan kompetensi
absolut Peradilan TUN pasca diberlakukannya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.

Pemberlakukan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah


membawa perubahan besar terhadap kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara.
Perubahan yang terjadi dengan diundangkannya UU Administarsi Pemerintahan, adalah
menyangkut hal-hal sebagai berikut :

1. Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN. (pasal 1 angka 7 UU AP)


2. Kompetensi Peradilan TUN terhadap Tindakan administrasi pemerintahan /tindakan
factual pejabat TUN. (pasal 1 angka 8 UUAP).
3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya
penyalah gunaan wewenang dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara. (Pasal 21
UU AP.)
4. Kompetensi Peraturan untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa
pembatasan jumlah tertentu.
5. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negata Tingkat satu untuk mengadili gugatan pasca
Upaya Administratif .
6. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutuskan terhadap obyek sengketa
fiktif positif. (Pasal 53 UU AP.)

 Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN .

UU Peratun dalam pasal 1 angka 9 mengatur bahwa, Keputusan TUN (Obyek sengketa Tata
Usaha Negara) adalah penetapan tertulis yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, bersifat konkrit, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Ketentuan tersebut
mengandung unsur :

a. Penetapan tertulis.
b. Diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata usaha Negara
c. yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara,
d. bersifat konkrit,
e. individual dan
f. final
g. yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.

Pasal 1 angka 7 Undang-undang AP mengatur, Keputusan TUN /Keputusan Administrasi


Pemerintahan, (yang dapat menjadi Obyek Sengketa TUN) adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 1 angka 7 UU AP tersebut terkandung unsur :

1. Ketetapan tertulis
2. dikeluarkan oleh Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan.
3. dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dari kedua pengaturan tersebut tergambar bahwa berdasar Undang-Undang Peratun


memberikan pemaknaan, Keputusan Tata Usaha Negara ( Obyek Sengketa TUN) lebih sempit
dibandingkan pemaknaan Keputusan TUN menurut UU AP. Karena semakin banyak unsur suatu
pasal, maka semakin sempit cakupannya. Semakin sedikit unsur suatu pasal, maka cakupan
pengertiannya akan lebih luas. Dengan pemaknaan tersebut, maka terlihat kompetensi peradilan
TUN menurut Undang-undang Peratun, adalah lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi
Peradilan TUN menurut UU Administrasi Pemerintahan.

 Kompetensi Peradilan TUN terhadap Tindakan administrasi pemerintahan /tindakan


factual pejabat TUN. (pasal 1 angka 8 UUAP).

Pasal 75.Ayat 1., UU AP mengatur, :


“Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat
mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.”

Pasal 76 ayat (3) UU AP :

“Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan
Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.”

Pasal 1 angka 8, UU AP:

“Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah


perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan.”

Dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal 1 angka 8, UU
Administrasi Pemerintahan tersebut, memberikan perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara. Sebelumnya obyek sengketa TUN terbatas hanya keputusan TUN (dalam bentuk
tertulis) saja, tetapi berdasarkan UU Administarsi Pemerintahan Tindakan Administrasi
Pemerintahan/Tindakan factual administrasi Pemerintahan juga menjadi kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara. Sebelum berlakunya UU No.30 Tahun 2014, Tindakan Administrasi
Pemerintahan/Tindakan factual administrasi Pemerintahan adalah menjadi kompetensi absolut
Peradilan Umum. Yakni dalam format gugatan perbuatan melawan hukum penguasa
(onrechtmatige overhaitdaad). Jadi Peradilan TUN berwenang mengadili, tidak hanya tidakan
hukum (rechtelijke handeling) tetapi termasuk tindakan faktual (feitelijke handeling).

 Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya
unsus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pejabat pemerintahan. ( Pasal 21 UU
AP.)

Pasal 21 UU AP.

“(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau


tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.”

“(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada


Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan
dan/atau Tindakan.”

Sesuai ketentuan tersebut, maka kewenangan / kompetensii Peradilan TUN menjadi diperluasa,
yakni berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Kewenangan ini bertitik
singgung dengan kewenangan peradilan umum, khususnya peradilan pidana. Karena selama ini
mengenai unsur ada atau tidaknya penyalah gunaan wewenang dalam kasus pidana adalah
menjadi kewenangan hakim pidana.

 Kompetensi Peraturan untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa


pembatasan jumlah tertentu.

Sebagaimana diuraikan diatas, dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis.
Pasal 1 angka 8, UU AP, telah memberikan perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara. Sebelumnya obyek sengketa TUN hanya keputusan TUN (dalam bentuk tertulis) saja,
tetapi berdasarkan ketentuan tersebut Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual
administrasi Pemerintahan juga menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelum
berlakunya UU No.30 Tahun 2014, Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual
administrasi Pemerintahan adalah menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Yakni dalam
format gugatan perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overhaitdaad).

Perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya menyangkut obyek


Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual administrasi Pemerintahan, membawa
konskwensi logis terhadap besaran tuntutan ganti rugi di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelumnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan
Tata Cara Pelaksanaannya Pada Pradilan Tata Usaha Negara menentukan ganti rugi dibatasi
minimum Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) dan maksimal Rp 5.000.000 (Lima
Juta Rupiah)14.

 Kewenangan Peradilan TUN tingkat pertama, mengadili gugatan pasca upaya


administratif (administratief beroep).

Pasal 1 angka 16 :

“Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketayang dilakukan dalam


lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau
Tindakan yang merugikan”.

Berbeda dengan pengaturan pada UU peratun, yang memberikan kewenangan


Pengadilan Tinggi/Banding untuk mengadili sengketa TUN yang berasal dari Upaya
Administratif. Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) UU Peratun. Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun
2014, tentang AP, maka seluruh Gugatan yang berasal dari Upaya Administratif (baik prosedur
keberatan maupun banding administratif,), adalah menjadi kewenangan Peradilan TUN Tingkat
Pertama. Pasal 75.Ayat 1., UU AP mengatur, : “Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap
Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat
Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan.” Pasal 76 ayat (3) UU AP :
“Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan
Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.” Yang dimaksud
dengan Pengadilan, menurut pasal 1 angka 18 UU Administrasi Pemerintahan adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara.

 Kompetensi Peradilan TUN untuk memutuskan terhadap obyek Keputusan Fiktif Positif.
(Pasal 53 UU AP.).

Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan yang merupakan anggapan bahwa Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan telah menerbitkan keputusan yang bersifat mengabulkan
permohonan, dikarenakan tidak ditanggapinya permohonan yang diajukan oleh pemohon sampai
dengan batas waktu yang ditentukan atau apabila tidak ditentukan telah lewat sepuluh hari
setelah permohonan yang sudah lengkap diterima. Berdasarkan Permohonan Pengadilan Tata
Usaha Negara berwenang memutuskan mengenai penerimaan permohonan yang diajukan
pemohon.

Ketentuan dalam UU AP tersebut adalah berbeda dengan ketentuan pasal 3 UU Peratun


yang menganut rezim fiktif negative. Artinya , Peradilan TUN berwenang mengadili gugatan
terhadap Sikap diam Badan/Pejabat TUN yang tidak menerbitkan keputusan yang dimohon atau
yang menjadi kewajibannya, sikap diam mana adalah dipersamakan sebagai Keputusan
Penolakan (fiktif negative). Berdasarkan ketentuan pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan,
Apabila dalam batas waktu sebagaimana ditentukan undang-undang, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan,
maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.

Anda mungkin juga menyukai