Selain itu konsep good governance juga tertuang secara normatif dalam UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Tujuan dibentuknya UU No. 25 tahun 2009 tentang
pelayanan publik, salah satunya adalah sebagai upaya meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang
baik. Bahwa dalam pasal 4 UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyelenggaran pelayanan
publik berasaskan: 1. kepentingan umum; 2. kepastian hukum; 3. kesamaan hak; 4.
keseimbangan hak dan kewajiban; 5. keprofesionalan; 6. partisipatif; 7. persamaan perlakuan/
tidak diskriminatif; 8. keterbukaan; 9. akuntabilitas; 10. fasilitas dan perlakuan khusus bagi
kelompok rentan; 11. Ketepatan waktu; 12. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Selanjutnya dalam pasal 50 UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan
bahwa masyarakat dapat menggugat penyelenggara atau pelaksana melalui peradilan tata usaha
negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang tata usaha negara.
Lebih lanjut, dalam pasal 51 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
dijelaskan bahwa dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, masyarakat
dapat mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke pengadilan.
Disinilah peran peradilan TUN dalam menangani sengketa yang masuk ke ranah
peradilan melalui gugatan administratif masyarakat. Bahwa asas-asas umum pemerintahan yang
baik diterapkan sebagai salah satu dasar pengujian hakim dalam pertimbangan hukumnya. Dalam
menilai tindakan pelaksanaan kewenangan dari penyelenggara pemerintah, hakim mengacu pada
pertanyaan apakah penyelenggara pemerintahan telah bertindak bertentangan dengan
undangundang atau tidak dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam UU No. 30 Tahun 2014 diatur dalam
pasal 10 ayat (1), yang meliputi asas: 1. kepastian hukum; 2. kemanfaatan; 3. ketidakberpihakan;
4. kecermatan; 5. tidak menyalahgunakan kewenangan; 6. keterbukaan; 7. kepentingan umum; 8.
pelayanan yang baik. Bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan, badan dan/ atau pejabat pemerintahan harus mengacu pada asas-asas umum
pemerintahan yang
UU Peratun dalam pasal 1 angka 9 mengatur bahwa, Keputusan TUN (Obyek sengketa Tata
Usaha Negara) adalah penetapan tertulis yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, bersifat konkrit, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Ketentuan tersebut
mengandung unsur :
a. Penetapan tertulis.
b. Diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata usaha Negara
c. yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara,
d. bersifat konkrit,
e. individual dan
f. final
g. yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.
1. Ketetapan tertulis
2. dikeluarkan oleh Badan dan /atau Pejabat Pemerintahan.
3. dalam penyelenggaraan pemerintahan.
“Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan
Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.”
Dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal 1 angka 8, UU
Administrasi Pemerintahan tersebut, memberikan perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara. Sebelumnya obyek sengketa TUN terbatas hanya keputusan TUN (dalam bentuk
tertulis) saja, tetapi berdasarkan UU Administarsi Pemerintahan Tindakan Administrasi
Pemerintahan/Tindakan factual administrasi Pemerintahan juga menjadi kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara. Sebelum berlakunya UU No.30 Tahun 2014, Tindakan Administrasi
Pemerintahan/Tindakan factual administrasi Pemerintahan adalah menjadi kompetensi absolut
Peradilan Umum. Yakni dalam format gugatan perbuatan melawan hukum penguasa
(onrechtmatige overhaitdaad). Jadi Peradilan TUN berwenang mengadili, tidak hanya tidakan
hukum (rechtelijke handeling) tetapi termasuk tindakan faktual (feitelijke handeling).
Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya
unsus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pejabat pemerintahan. ( Pasal 21 UU
AP.)
Pasal 21 UU AP.
Sesuai ketentuan tersebut, maka kewenangan / kompetensii Peradilan TUN menjadi diperluasa,
yakni berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Kewenangan ini bertitik
singgung dengan kewenangan peradilan umum, khususnya peradilan pidana. Karena selama ini
mengenai unsur ada atau tidaknya penyalah gunaan wewenang dalam kasus pidana adalah
menjadi kewenangan hakim pidana.
Sebagaimana diuraikan diatas, dari ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis.
Pasal 1 angka 8, UU AP, telah memberikan perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara. Sebelumnya obyek sengketa TUN hanya keputusan TUN (dalam bentuk tertulis) saja,
tetapi berdasarkan ketentuan tersebut Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual
administrasi Pemerintahan juga menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelum
berlakunya UU No.30 Tahun 2014, Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan factual
administrasi Pemerintahan adalah menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Yakni dalam
format gugatan perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overhaitdaad).
Pasal 1 angka 16 :
Kompetensi Peradilan TUN untuk memutuskan terhadap obyek Keputusan Fiktif Positif.
(Pasal 53 UU AP.).
Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan yang merupakan anggapan bahwa Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan telah menerbitkan keputusan yang bersifat mengabulkan
permohonan, dikarenakan tidak ditanggapinya permohonan yang diajukan oleh pemohon sampai
dengan batas waktu yang ditentukan atau apabila tidak ditentukan telah lewat sepuluh hari
setelah permohonan yang sudah lengkap diterima. Berdasarkan Permohonan Pengadilan Tata
Usaha Negara berwenang memutuskan mengenai penerimaan permohonan yang diajukan
pemohon.