Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Paru Obstuktif Kronik (PPOK)

2.1.1 Definisi

PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkhitis kronis,

bronkiektasis, emfiesema, dan asma. PPOK merupakan kondisi irreversibel yang

berkaitan dengan diaspneu saat beraktivitas dan penurunan aliran udara masuk

dan keluar paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002). PPOK adalah istilah umum yang

digunakan untuk menggambarkan kondisi obstruksi irreversibel progresif aliran

udara ekspirasi. Kelainan utama yang tampak pada individu dengan PPOK adalah

bronkhitis kronis, emfisema dan asma (Asih & Effendy, 2004).

PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit

paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap

aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronik,

emfesema paru dan asma bronkhial membentuk kesatuan yang disebut PPOK

(Price & Wilson, 2006). PPOK adalah keadaan penyakit yang ditandai

keterbatasan aliran udara yang tidak irreversibel sepenuhnya. Keterbatasan aliran

udara biasanya progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal pada

paru terhadap partikel dan gas berbahaya. Istilah PPOK digunakan untuk beberapa

gabungan penyakit meliputi emfisema dan bronkitis kronis (Morton, Fontaine,

Hudak & Gallo, 2012).

8
9

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik

dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja

(terhadap batubara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor risiko penting

yang menunjang pada terjadinya pada penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam

rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2002). Meski setiap

penyakit bermanifestasi dalam bentuk murninya, adalah lazim penyakit bronkhitis

kronis dan emfisema untuk timbul bersamaan pada klien yang sama. Asma lebih

mudah dipisahkan dari bronkhitis kronis dan emfisema karena awitanya yang

mendadak (Asih & Effendy, 2004).

a. Definisi Bronkitis Kronik

Bronkitis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung tiga

bulan dalam satu tahun selama dua tahun berturut-turut (Brunner & Suddarth,

2002). Bronkhitis kronis secara fisiologi ditandai oleh hipertropi dan hipersekresi

kelenjar mukosa bronkhial, dan perubahan struktur bronkhi dan bronkhioles (Asih

& Effendy, 2004).

Bronkhitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif lebih dari 250cc

per hari selama minimal tiga bulan per tahun berturut-turut, tanpa ada penyebab

medis lain (Morton, Fontane, Hudak & Gallo, 2012). Bronkhitis kronis

merupakan gangguan klinis yang ditandai pembentukan mukus berlebihan dalam

bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum

selama tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-
10

turut. Sputum yang terbentuk dapat mukoid atau mukopurulen (Price & Wilson,

2006).

Pada pasien dengan bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi

saluran pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri dan mikroplasma yang

luas dapat menyebabkan episode bronkitis akut. Eksaserbasi bronkitis kronik

hampir terjadi selama musim dingin (Brunner & Suddarth, 2002).

b. Definisi Emfisema Paru

Emfisema paru didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar

bronkiulus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Pada kenyataannya, ketika

pasien mengalami gejala, fungsi paru sering mengalami kerusakan yang

ireversibel (Brunner & Suddarth, 2002). Emfisema didefinisikan sebagai

kehilangan elastik paru dan pembesaran abnormal dan permanen pada ruang udara

yang jauh dari bronkiolus terminal dengan destruksi dinding alveolar dan bantalan

kapiler tanpa fibrosis yang nyata (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

Emfisema paru adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang ditandai

pembesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding

alveolar (Asih & Effendy, 2004). Emfisema paru merupakan suatu perubahan

anatomi parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus

alveolaris yang tidak normal serta destruksi dinding alveolar. Emfesema dapat

didiagnosis secara tepat menggunakan CT scan resolusi tinggi (Price &

Wilson, 2006).
11

2.1.2 Manisfestasi Klinis

a. Manisfestasi Klinis Bronkitis Kronis

Batuk produktif kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda dini bronkitis

kronis. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh cuaca yang dingin, lembab dan

iritan paru. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan sering mengalami

infeksi pernapasan (Brunner & Suddarth, 2002). Tanda dan gejala bronkhitis

kronis adalah batuk produktif ketika bangun tidur pagi (Asih & Effendy, 2004).

Tanda dan gejala bronkitis kronis, ekspektorasi sputum yang berlebih saat tidur,

peningkatan volume sputum dan perubahan warna sputum dari putih sampai

kuning atau hijau, hemoptisis selama eksaserbasi akut, penurunan suara napas,

mengi atau ronkhi, frekuensi pernapasan yang lebih dari 16 kali permenit, waktu

ekspirasi kuat yang lama (lebih 4 detik normal) (Morton, Fontaine, Hudak &

Gallo, 2012).

b. Manisfestasi Klinis Emfisema Paru

Ketika insfeksi, pasien biasanya tampak mempunyai barrel chest akibat

terperangkapnya udara, penipisan masa otot, pernapasan dengan bibir dirapatkan.

Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot

aksesori pernapasan (sternokleidomastoid) adalah umum terjadi. Pada tahap lanjut

dispnea terjadi saat aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti makan dan mandi .

Ketika dada diperiksa, ditemukan hiersonans dan penur Auskultasi menunjukkan

tidak terdengarnya bunyi napas dengan krekles, ronki dan perpanjangan ekspirasi.

Kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida yang tinggi

(hiperkapnea) pada tahap penyakit lanjut (Brunner & Suddarth, 2002). Gejala
12

yang menandakan emfesema adalah dispnea, pembentukan sputum sedikit atau

tidak ada, penggunaan otot-otot eksesori pernapasan peningkatan frekuensi

pernapasan dan perpanjangan fase ekspiratori (Asih & Effendy, 2004). Keluhan

utama emfesema, dispnea, batuk jarang terjadi, pasien kurus disertai penurunan

berat badan, dada tanpa suara tambahan, tidak terjadi edema perifer, pasien

tampak tidak nyaman dengan penggunaan otot bantu pernafasan (Morton,

Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

2.1.3 Penatalaksanaan PPOK

a. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi terdiri dari, program aktivitas olah raga, konseling nutrisi

dan penyuluhan. Program aktivitas terdiri dari, sepeda ergometri, latihan tredmill,

atau berjalan dengan diatur waktunya, setiap hari dari durasi 10 menit sampai 45

menit per sesi. Konseling nutrisi diberikan karena 50% pasien PPOK yang masuk

ke rumah sakit mengalami malnutrisi. Malnutrisi mengakibatkan penurunan otot

pernafasan dan kelemahan otot pernafasan lebih lanjut. Memperbaiki status nutrisi

pasien PPOK yang mengalami penurunan berat badan dapat meningkatkan

kekutaan otot pernafasan .Penyuluhan tentang berhenti merokok merupakan

metode tunggal yang paling efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK

dan memperlambat kemajuan penyakit (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia,

penatalaksanaan PPOK non farmakologi meliputi, edukasi, terapi oksigen, nutrisi

dan rehabilitasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Pengobatan non

farmakologi pasien PPOK meliputi, menghentikan merokok, perkusi dan drainase


13

postural, pengobatan dengan oksigen aliran rendah, hidrasi dan program kerja

fisik (Price & Wilson, 2006).

b. Terapi Farmakologi

Menurut GOLD (2001), terapi farmakologi untuk pasien PPOK adalah

bronkodilator dan glukokortikosteroid. Bronkodilator memperbaiki pengosongan

paru, mengurangi hiperinflasi pada saat istirahat dan selama latihan, dan

memperbaiki perfoma latihan. Terapi inhalasi glukortikokoid yang lama dapat

mengurangi gejala, namun tidak merubah penurunan jangka panjang forced

expiratory volume (FEV), yang biasanya dilihat pada pasien PPOK (Morton,

Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Pengobatan farmakologi pasien PPOK meliputi,

antibiotik, vaksin pneumokus dan influenza, bronkodilator, alfa 1-antitripsin,

reseksi bedah (pada kasus-kasus tertentu) (Price & Wilson, 2006). Menurut

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia, penatalaksanaan

farmakologi meliputi, ventilasi mekanik dan obat-obatan. Obatan-obatan yang

diberikan yaitu bronkodilator, antiinflamasi, antibiotika, antioksidan, mukolitik,

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.1.4 Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah

Pasien diintruksikan untuk menghindari panas dan dingin yang ekstrim. Panas

meningkatkan suhu tubuh, karenanya meningkatkan kebutuhan oksigen tubuh.,

dingin cenderung meningkatkan bronkospasme. Tempat ketinggian (seperti

pegunungan) memperburuk hipoksia. Pasien PPOK harus diimformasikan

dengan jelas dan tegas bahwa merokok sangat berbahaya. Pasien juga dianjurkan
14

melakukan aktivitas sedang. Situasi yang menekan, yang dapat mencetuskan

batuk atau gangguan emosional harus dihindari (Brunner & Suddarth, 2002).

Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia, edukasi

yang perlu diberikan antara lain berhenti merokok, penggunan obat dengan tepat,

mengenal dan mengataasi efek samping obat dan oksigen, penilaian tanda

eksaserbasi akut (sesak bertambah, batuk bertambah, sputum berubah warna),

menghindari pencetus eksaserbasi, menyesuaikan keterbatasan hidup dengan

aktivitas (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.2 Fisioterapi Dada

Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi yang digunakan dengan kombinasi

untuk memobilisasi sekresi pulmonal. Terapi ini terdiri dari drainase postural,

perkusi dada, dan vibrasi. Klien yang mengalami retensi sekresi dan gangguan

oksigenasi, seperti pneumonia, penyakit paru obstuksf kronik membutuhkan

bantuan ini untuk mengencerkan dan mengeluarkan sekresi. Fisioterapi dada

mencakup tiga tehnik drainase postural, perkusi dada dan vibrasi (Asih &

Effendy, 2004). Drainase postural, perkusi, dan vibrasi dada merupakan metode

fisioterapi dada yang digunakan untuk memperbesar upaya klien dan memperbaiki

fungsi paru. Metode ini dapat digunakan secara berurutan pada posisi drainase

yang berbeda dan harus diawali dengan bronkodilator (jika diprogramkan), dan

dilanjutkan dengan napas dalam dan batuk (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo,

2012).

2.2.1 Drainase Postural


15

Drainase postural menggunakan posisi spesifik yang memungkinkan gaya

gravitasi untuk membantu membuang sekresi pulmonal. Jika drainase postural

digunakan, pasien dibaringkan secara bergantian dalam posisi yang berbeda,

sehingga gaya gravitasi membantu mengalirkan sekresi dari jalan nafas bronkial

yang lebih kecil ke bronki yang lebih besar dan trakea. (Brunner, Suddart, 2002).

Posisi drainase postural memfasilitasi drainase sekret paru ke arah bronkus utama

dan trakea dengan bantuan gaya gravitasi berdasarkan anatomi segmen-segmen

paru (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

Pengaturan posisi pasien dengan menempatkan paru yang sakit di sebelah bawah

cenderung menyebabkan hipoksia, yang disertai ketidakselarasn ventilasi - perfusi

dan pemintasan. Akan tetapi pertukaran posisi tersebut diubah jika pasien

mengalami abses paru (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Latihan

drainase dapat diarahkan pada semua segmen paru (Brunner & Suddart, 2002).

Pasien dibaringkan dalam lima posisi meliputi kepala lebih rendah, pronasi, lateral

kanan dan kiri serta duduk tegak. Satu posisi untuk mendrainase setiap lobus.

Bronkus lobus yang lebih rendah dan lobus tengah mengalir lebih efektif jika

kepala lebih rendah, bronkus lobus yang atas mengalir lebih efektif bila kepala

tegak (Brunner & Suddart, 2002). Bantu klien memperoleh posisi yang tepat

untuk drainse area yang mengalami penumpukan sekresi. Bantu klien memilih

posisi sesuai kebutuhan dan ajarkan memposisikan tubuh, lengan dan kaki yang

tepat . Letakkan bantal untuk menyangga dan memberi kenyamanan (Eni

Kusyanti dkk, 2013).


16

Pasien diinstruksikan untuk tenang dalam setiap posisi selama 10 sampai 15 menit

dan menghirup dengan lambat melalui hidung. Kemudian menganjurkan

menghembuskan napas dengan perlahan sambil merapatkan bibir untuk

membantu mempertahankan jalan napas terbuka sehingga sekresi dapat dialirkan

ketika dalam berbagai posisi (Brunner & Suddarth, 2002). Minta klien untuk

mempertahankan posisi selama 15 sampai 45 menit. Pada klien anak-anak

prosedur ini membutuhkan waktu 3-5 menit (Eni Kusyanti dkk, 2013).

Kontra indikasi untuk drainase postural: peningkatan tekanan intra intrakranial,

setelah makan dan pemberian makan melalu selang, tidak mampu batuk, hipoksia,

ketidaksatabilan hemodinamik, penurunan status mental, setelah operasi mata,

obesitas (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

2.2.2 Perkusi Dada (Clapping)

Perkusi dada dilakukan dengan mengetuk dinding dada di atas daerah yang akan

didrainase. Tangan diposisikan sehingga jari-jari dan ibu jari saling menyentuh

dan tangan membentuk mangkuk. Perkusi pada permukaan dinding dada akan

mengirimkan gelombang berbagai amplitudo dan frekuensi melalui sehingga

mengubah konsistensi dan lokasi sputum. Perkusi dada dilakukan dengan

mengubah gerakan tangan melawan dinding dada. Perkusi dilakukan di atas

sebuah lapisan pakaian, tidak di atas kancing, kancing jepret, atau risleting (Potter

& Perry, 2006). Pergelangan tangan secara bergantian dan fleksi dan ektensi

sehingga dada dipukul atau ditepuk tidak menimbulkan nyeri. Pakaian halus atau

handuk dapat diletakkan di atas segmen dada yang ditepuk untuk mencegah iritasi
17

kulit dan kemerahan akibat kontak langsung. (Brunner & Suddarth, 2002). Perkusi

setiap segmen paru selama 1-2 menit. Hindari melakukan perkusi pada struktur

yang mudah cidera seperti payudara, sternum, kolumna spinalis dan ginjal (Eni

Kusyanti dkk, 2013).

2.2.3 Vibrasi

Vibrasi adalah tehnik memberikan kompresi dan getaran manual pada dinding

dada selama fase ekshalasi pernapasan. Maneuver ini membantu meningkatkan

velositas udara yang diekspirasi dari jalan napas yang kecil sehingga mampu

membebaskan mukus. Setelah tiga atau empat kali vibrasi, pasien dianjurkan

untuk batuk dengan menggunakan otot-otot abdomen untuk meningkatkan

keefektifan batuk (Brunner & Suddart, 2002). Vibrasi dilakukan saat pasien

menghembuskan nafas (ekhalasi) melalui mulut. Vibrasi meningkatkan kecepatan

dan turbulensi udara ekhalasi guna melepas sekret. Tehnik ini dilakukan dengan

menempatkan kedua tangan secara berdampingan, posisi jari tangan ekstensi, dan

telapak tangan menempel di area dada yang mengalami gangguan. Pasien

mengambil nafas dalam dan kemudian menghembuskannya secara perlahan. Saat

pasien ekhalasi, perawat memvibrasi dada pasien dengan mengencangkan dan

melemaskan kedua otot lengan dan bahu dalam gerak yang cepat. Vibrasi sebagai

pengganti perkusi, jika dinding dada mengalami nyeri (Morton, Fontaine, Hudak

& Gallo, 2021). Vibrasi meningkatkan pengeluaran udara yang terperangkap dan

menggoyangkan mukus sehingga lepas dan menyebabkan batuk (Potter & Perry,

2006).
18

Kontra indikasi perkusi /vibrasi, Fraktur tulang iga atau osteoporosis, pembedahan

pada dada atau abdomen, hemoragi atau emboli paru, malignansi dada/masktomi,

pneumotorak/emfesema subkutan, trauma medula servikal, tuberkulosis, efusi

fleura/emfiema, asma (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Sebagai

kewaspadaan, perkusi di atas selang drainase dada, sternum, tulang belakang,

ginjal, limpa, atau payudara (pada wanita) dihindari (Brunner & Suddarth, 2002).

2.3 Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen (O2 sat) adalah presentase haemoglobin yang disaturasi oksigen

(Potter & Perry, 2006). Oksigen (O2) dapat diangkut dari paru-paru ke jaringan

melalui dua jalan, secara fisik larut dalam plasma atau secara kimiawi berikatan

dengan Hb (HbO2). Ikitan kimia O2 dengan Hb ini bersifat irreversibel, yang

jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan

nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan

oleh jumlah O2 secara fisik larut dalam plasma. Selanjutnya jumlah O2 yang

terlarut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial

alveoli (PAO2) (Price &Wilson, 2006).

Pada keadaan normal, kira-kira 97 persen oksigen yang ditranspor dari paru ke

jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dengan hemoglobin dalam sel darah

merah. Tiga persen sisanya dibawa dalam cairan plasma dan sel. Dengan

demikian, dalam keadaan normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir seluruhnya

oleh hemoglobin (Guyton, 2000). Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri

dari Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk
19

memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan

bervariasi, namun sekitar 75% hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb

kembali ke paru dalam bentuk vena darah campuran. Jadi hanya 25% O2 dalam

darah arteri yang digunakan dalam keperluan jaringan (Price & Wilson, 2006).

Oksigen dibutuhkan untuk memenuhi katabolisme kimia yang terjadi dalam

memproduksi energi seluler. Saat difusi dari paru-paru ke darah, sebagian kecil

dari oksigen akan larut dalam plasma dan cairan sel, tetapi lebih dari 60 kali

banyaknya berikatan cepat dengan hemoglobin. Pada PAO2 100mm Hg, hampir

96% dari semua molekul hemoglobin telah berkombinasi dengan oksigen.

Persentase ini menunjukkan saturasi hemoglobin atau saturasi oksigen arteri

(SaO2) (Guyton, 2000). Jumlah oksigen yang bergabung dengan haemoglobin

juga tergantung padaPaO2, tetapi hanya paO2 sekitar 150 mmHg. Jika Pao2 kurang

dari 150 mmHg, prosentase haemoglobin yang tersaturasi akan lebih reendah.

Sebagai contoh, pada PaO2 100 mmHg (nilai normal ), saturasi oksigen 97%, dan

pada PaO2 40 mmHg saturasi adalah 70% (Brunner & Suddarth, 2002).

Faktor saturasi dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : CO2, pH , suhu, dan 2,3

disfogliserat (Price & Wilson,2006). Dengan haemoglobin normal yaitu 15g/100

ml dan tingkat PaO2 40 mmHg (saturasi oksigen 75%), tersedia oksigen yang

adekuat untuk jaringan tetapi tidak untuk cadangan. Ketika terjadi insiden serius

(misal bronkopasme, aspirasi, hipotensi, disritmia jantung) yang mengurangi

masukan oksigen dari paru-paru, akan tejadi hipoksia jaringan. Nilai normal PaO2
20

adalah 80 sampai 100 mmHg. Dengan tingkat oksigenasi ini, terdapat batas

kelebihan oksigen 155 tersedia untuk jaringan (Brunner & Suddarth, 2002).

2.4 Tehnih-Tehnik Pengukuran Saturasi Oksigen Arteri

Pengukuran Saturasi oksigen arteri dapat dilakukan dengan dua cara :

2.4.1 Gas Darah Arteri

Tekanan oksigen arteri (PaO2) menunjukkan derajat oksigenasi darah dan tekanan

karbon dioksida arteri, menunjukkan keaadekuatan ventilasi alveolar.

Pemeriksaan gas darah arteri membantu mengkaji tingkat tingkat dimana paru-

paru mampu memberikan oksigen yang adekuat dan membuang karbon dioksida

serta tingkat dimana ginjal mampu menyerap kembali dan mengekskresikan ion-

ion bikarbonat untuk mempertahankan pH darah yang normal (Brunner

&Suddarth, 2002). Artei radialis (brakialis) sering dipilh karena arteri mudah

dicapai. Gas-gas darah arteri didapat melalui fungsi arteri pada arteri radialis,

arteri brakiali, arteri femoralis atau melalui arteri indwwlling (Brunner &

Suddarth, 2002) Pergelangan tangan diektensikan dengan menempatkan di atas

gulungan handuk, setelah kulit disterilkan, lalu arteri distabilkan dengan dua jari

dari satu tangan, sedangkan tangan yang lain menusuk arteri tersebut dengan alat

suntik yang berisi heparin. Setelah lima ml darah terhisap ke dalam alat suntik ,

udara dikeluarkan, dan darah disimpan di atas es dan langsung dibawa ke

laboratorium (Price & Wilson, 2006)

Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi

menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Hipoventilasi dapat


21

meterjadi pada kelebihan dosis narkotik atau barbiturat. Penyebab PaCO2 menurun

adalah selalau hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis

respiratorik dan kenaikan pH darah. Hiperventilasi sering timbul pada asma dan

pneumonia dan menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan PaCO2

dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru (Price &Wilson, 2006).

PaO2 (tekanan parsial kelarutan oksigen di dalam darah), nilai normal 80-100

mmHg. PaCO2 (tekanan kelarutan parsial CO2 dalam darah), nilai normal 38-45

mmHg. SaO2 (presentasi ikatan oksigen dengan haemoglobin), nilai normal

95%-98%. Kosentrasi ion hidrogen (pH), nilai normal 7,35-7,45 (Asih &

Effendy, 2006). Kosentrasi bikarbonat HCO3, nilai normal 22-26 mEq/L (Price

& Wilson, 2006). Perubahan asam - basa pada asidosis dan alkalosis yaitu, (a)

asidosis respiratorik: pH menurun, HCO3 meningkat, PaCO2 meningkat, (b)

alkalosis respiratorik: pH meningkat, HCO3 menurun, PaCO3 menurun, (c)

asidosis metabolik: pH menurun, HCO3 menurun, PaCO2 menurun, Alkalosi

metabolik: pH meningkat, HCO3 meningkat, PaCO2 meningkat (Price & Wilson,

2006).

2.4.2 Oksimetri Nadi (Pulse Oximetry)

Oksimetri nadi adalah metode pemantauan non invasif, secara kontinu terhadap

saturasi oksigen haemoglobin (SaO2). Meski oksimetri arteri tidak bisa

menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri nadi merupakan suatu cara efektif

untuk memantau terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak

(Brunner & Suddarth, 2002). Oksimetri tidak menimbulkan nyeri jika

dibandingkan pungsi arteri. Menurut Ahrens & Ruhterford (1993), klien yang
22

mengalami kelainan perfusi/ventilasi, seperti pneumonia, emfesema, bronkitis

kronik, asma, embolisme pulmonar, gagal jantung merupakan kandidat ideal

untuk menggunakan oksimetri nadi (Potter & Perry, 2006).

Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan

kritis, unit perawatan umum, Oksimetri nadi juga digunakan pada area diagnostik

dan pengobatan selama pelaksanaan prosedur. (Brunner & Sudarth, 2002).

Pemantauan saturasi oksigen yang kontinu bermanfaat dalam pengkajian

gangguan tidur, toleransi dalam latihan fisik, penyapihan dari ventilasi mekanis

dan penurunan sementara saturasi oksigen (Potter & Perry, 2006).

Sensor atau probe dilekatkan pada ujung jari, dahi, daun telinga atau batang

hidung. Sensor mendeteksi perubahan tingkat saturasi oksigen dengan memantau

signal cahaya yang dibangkitkan oleh oksimetri dan direfleksikan oleh darah yang

berdenyut melalui jaringan pada probe (Brunner, Suddarth, 2002). Nasal probe

(alat yang menyelidiki kedalaman) direkomendasikan untuk kondisi perfusi darah

yang rendah. Keakuratan nilai oksimetri nadi secara tidak langsung berhubungan

dengan perfusi di daerah probe. Pengukuran oksimetri nadi di daerah yang

memiliki perfusi jaringan buruk, yang disrbabkan oleh syok, hipotermi, atau

penyakit vaskuler perifer mungkin tidak dapat dpercaya (Potter & Perry, 2006)

Saturasi oksigen arteri (SpO2) normal adalah 95% sampai 100%. Nilai dibawah

85% menunjukkan bahwa jaringan tidak mendapatkan cukup oksigen dan pasien

membutuhkan evaluasi lebih jauh (Brunner & Suddarth, 2002). Respon yang
23

diharapkan saturasi oksigen klien 96% sampai 100% , dan klien mamapu

metoleransi prosedur (Asih & Effendy, 2006).

2.5 Hipoksia

Hipoksia adalah oksigenasi jaringan yang tidak adekuat pada tingkat jaringan.

Kondisi ini terjadi akibat penggunaan oksigen di selluler dan difisiensi

penghantaran oksigen di seluler (Potter & Perry, 2006). Hipoksia dapat

disebabkan oleh :

1. Penurunan kadar haemoglobin dan penurunan kapasitas darah yang membawa

oksigen.

2. Penurunan kosentrasi oksigen yang diinspirasi.

3. Ketidakmampuan jaringan untuk mengambil oksigen dari darah, seperti pada

kasus keracunan sianida.

4. Penurunan difusi oksigen dari alveoli ke darah, seperti pada kasus pneumonia.

5. Perfusi darah yang mengandung oksigen di jaringan yang buruk, seperti pada

pasien syok.

6. Kerusakan ventilasi seperti yang terjadi pada fraktur iga multiple dan trauma

dada.

Tanda dan gejala hipoksia (Potter & Perry, 2006)

Gelisah, rasa takut dan ansietas, disorientasi, penurunan kemampuan

berkosentrasi, penurunan tingkat kesadaran, peningkatan keletihan, pusing,

peningkatan nadi, peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan, peningkatan

tekanan darah, disritmia jantung, pucat, sianosis,clubbing dan dispnea. Hipoksia


24

merupakan kondisi yang mengancam kehidupan. Apabila tidak ditangani

menyebabkan disritmia jantung yang menyebabkan kematian. Hipoksia ditangani

dengan pemberian oksigen dan mencari penyebab yang mendasari seperti

obstruksi jalan napas (Potter & Perry, 2006). Hipoksemia (penurunan tekanan

arteri dalam darah) muncul sebagai perubahan status mental (yang berkembang

mulai dari gangguan penilaian, agitasi, disorientasi, kelam pikir, letargi, koma),

dispnea, peningkatan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia,

sianosis sentral (tanda lnjut), diaforesis dan ektremita dingin. Hipoksemia

biasanya mengarah pada hipoksia, yaitu penurunan suplai oksigen ke jaringan.

Hipoksia jika cukup parah dapat mengancam nyawa. Hipoksia jangka panjang

pada pasien PPOK dan gagal jantung kronik menimbulkan keletihan, mengantuk,

apatis, tidak perhatian (Brunner & Suddarth, 2002).

Anda mungkin juga menyukai