“IKEA merupakan contoh sukses dari berhasilnya penerapan MCS pada seluruh lini bisnis dari hulu
hingga hilir, dengan penekanan pada dua area yakni SCM dan kinerja pegawai.
Bagaimana detailnya? Bagaimana pula Action Controls dengan bantuan IT?
Simak dalam makalah ini.”
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Daftar Isi
Halaman Judul
Daftar Isi
Daftar Pustaka
Lampiran
Halaman 2
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Bab I
Di dalam sistem pengendalian manajemen, terdapat 4 (empat) jenis pengendalian yang dapat
dilakukan di perusahaan (Merchant, 2007). Jenis-jenis pengendalian tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Result Control
Result control merupakan suatu sistem pengendalian yang berorientasi kepada hasil dari
suatu pekerjaan. Pengendalian hasil berhubungan dengan pemberian hadiah (reward) untuk
meciptakan hasil yang baik, atau pemberian hukuman (punishment) atas hasil yang buruk.
Pemberian hadiah (reward) yang berkaitan dengan hasil dimaksud tidak hanya berupa kompensasi
dalam bentuk uang saja, melainkan juga dalam bentuk yang lain seperti jaminan pekerjaan (job
security), promosi, otonomi, dan pengakuan (recognition).
Ciri khas result control adalah adanya pay-for-performance. Dan ciri khasnya lainnya adalah
tidak adanya pendiktean terhadap karyawan, melainkan pemberian dorongan (empowering) bagi
karyawan dalam melakukan kinerjanya.
2. Action Control
Terkait jaminan bahwa para pegawai melaksanakan (atau tidak melaksanakan) tindakan
tertentu untuk manfaat (atau merugikan) organisasi.
Dalam menghilangkan control problems, dilakukan action control dalam beberapa bentuk
seperti behavioural constraint, preaction reviews, action accountability, redundancy.
3. Personnel control
(2) personnel controls dapat meyakinkan setiap pegawai mampu melaksanakan pekerjaan
dengan baik.
Halaman 3
Management Control Systems: Case Study of IKEA
(3) personnel controls dapat meningkatkan kecenderungan setiap pegawai untuk melakukan self-
monitoring.
4. Cultural control
Menentukan jenis pengendalian merupakan suatu hal yang sangat vital dalam sistem
pengendalian manajemen. Jenis pengendalian yang dipilih dapat menentukan jalannya organisasi
ke depan. Dalam menentukan sistem pengendalian yang tepat, Merchant dan Stede (2007)
menjelaskan bahwa personnel control dan cultural control dapat menjadi pertimbangan awal
dalam pemilihan jenis pengendalian. Personnel/cultural control sangat menguntungkan pada
pertimbangan pertama sebab pengaruh sampingannya (side effect-nya) relatif tidak membahayakan
dan outof-pocket cost-nya rendah. Dalam beberapa kasus, seperti organisasi kecil, personnel/cultural
controls mungkin menyediakan cukup management control yang efektif. Tetapi ketika skala
perusahaan telah mendunia, tidaklah cukup hanya dengan personnel control dan cultural control
saja, perlu juga action control dan result control guna menjamin sustainabilitas atau keberlangsungan
jalannya control yang efekif didalam perusahaan multinasional.
Salah satu contoh berhasilnya control yang di terapkan oleh IKEA (perusahaan furnitur
multinasional) adalah adanya quality control yang bagus terhadap kualitas produk yang dipasok dari
para suppliernya. IKEA, dengan menjalankan controlnya, mampu mempertahankan kualitas material
dari para pemasoknya yang berjumlah ribuan dan tersebar di seluruh dunia. Keberhasilan IKEA lainnya
yakni dalam melakukan control terhadap kinerja pegawainya. Sehingga, atas hal-hal tersebut IKEA
mampu menjadi perusahaan furnitur terkemuka di dunia yang sustainable.
C. Sekilas IKEA
Halaman 4
Management Control Systems: Case Study of IKEA
IKEA merupakan sebuah perusahaan ritel untuk perabot rumah tangga yang berasal dari
Swedia. Saat ini IKEA telah membuka cabang di banyak negara, meliputi wilayah Eropa, Amerika Utara,
Timur Tengah, Asia Pasifik dan Karibia. Yang terkini, IKEA membuka pula tokonya di kawasan Alam
Sutera, Tangerang. Karena persaingan usaha di bidang perabot rumah tangga yang sangat kompetitif
serta luasnya teritori bisnis dari IKEA, guna menjaga sustainabilitas perusahaan, diperlukan strategi
dan management control systems yang baik.
Visi IKEA:
Misi IKEA:
“To offer a wide range of well designed, functional home furnishing products at prices so low that as
many people as possible will be able to afford them.”
“Your partner in better living. We do our part, you do yours. Together we save money.”
Bagi perusahaan, laba usaha merupakan alasan mengapa suatu bisnis tetap exist. Untuk hal ini,
dijalankan control terhadap efektifitas dan efisiensi operasi yang dimulai dari pengadaan bahan baku,
proses produksi, pergudangan hingga aktivitas penjualan. Pengendalian terhadap biaya diperlukan
agar harga produk tetap bersaing di pasaran. Selain itu kualitas pelayanan kepada pelanggan harus
terus-menerus dapat ditingkatkan, pada lini juga dilakukan control.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dijawab melalui suatu control atas manajemen pasokan
(Supply Chain Management atau SCM)1. IKEA telah menerapkan control atas supply chain
management dalam operasional usahanya. Ditambah control atas kinerja karyawannya, hal tersebut
membawa IKEA pada efisiensi dan efektivitas produksi sehingga produk dapat dijual dengan harga
yang lebih murah dibanding para pesaingnya.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi Management Control Systems di IKEA?
2. Apa saja permasalahan terkait MCS tersebut?
1
Simchi-Levi mendefinisikan SCM sebagai berikut “Is set of approaches utilized to efficiently integrate
suppliers, manufacturers, warehouse and stores, so that merchandise is produced and distributed at
the right quantities, to the right locations and at the right time, in order to minimize system wide cost
while satisfying service level requirements.
Halaman 5
Management Control Systems: Case Study of IKEA
E. Tujuan Penulisan
Bab II
Pada setiap cultural control yang terdapat di organisasi, dirancang untuk menciptakan
pemantauan diantara tiab pegawai dan manajemen, sehingga perusahaan memiliki norma tidak
tertulis dalam menghadapi segala sesuatu. Pemantauaan tersebut mengakibatkan tekanan dari
lingkungan kerja yang cukup kuat terhadap individu yang menyimpang dari budaya-budaya yang ada
dalam organisasi.
Cultural control sangat efektif apabila setiap anggota dari organsasi memiliki keterikatan yang
cukup kuat, antara satu dan lainnya. Cultural control dapat berbentuk code of conduct, group-based
reward, intraorganizational transfers, physical and social arrangement, dan juga tone at the top.
Cultural control memilki fungsi yang berguna dalam orgnaisai, antara lain adalah pengedalian
terhadap perilaku, menjaga stabilitas, dan menyediakan sumber identitas organisasi. Sebaliknya,
cultural control juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain adalah dapat menjadi penghalang
terhadap perubahan, menjadi penghalang terhadap keberagaman, menjadi hambatan kerjasama
antar departemen dan antar organisasi, dan menjadi penghambat saat terjadi merger atau akuisisi.
Halaman 6
Management Control Systems: Case Study of IKEA
yang paling buruk. Cultural control pada setiap organisasi sangatlah berbeda, tidak dapat
menggeneralisasi penggunaan cultural control pada suatu perusahaan untuk digunakan pada
perusahaan lainnya.
Pada IKEA, banyak terdapat cultural control yang digunakan pada perusahaan ini. Hal ini
terimplementasi dari mulai seleksi pegawai, pelatihan pegawai, dan dalam pekerjaan sehari-hari yang
dilakukan oleh pegawai.
Seperti pada awal seleksi, setiap calon pegawai hanya akna mengetahui lowongan pekerjaan
yang tersedia pada laman IKEA. Hal ini menjadi salah satu cultural control yang diterapkan perusahaan
pada seleksi awal perusahaan. Manajemen bernaggapan, dengan menaruh lowongan pekerjaan
hanya pada laman IKEA sendiri, hal ini sudah menyeleksi calon-calon yang hanya tertarik pada IKEA,
bukan calon pegawai yang hanya membutuhkan sebuah pekerjaan. Penerapan cultural control pada
tahap seleksi pegawai ini, tidak menambah biaya yang signifikan pada perusahaan, sehingga
penerapan cultural control pada tahap ini cukup efektif dan efisien.
Pada saat tahap pelatihan dan pengembangan pegawai, IKEA selalu berusaha untuk mendorong
para pegawainya untuk bersiap terhadap tantangan-tantangan baru. Hal ini merupakan culutural
control yang digunakan oleh manajemen agar setiap pegawi selalu bersiap untuk mengembangkan
kompetensi yang dimiliki. Pada IKEA, setiap pegawai memiliki kesempatan yang sama dalam “career
path”, pelatihan yang dapat dijalani, dan penerapan on-the-job training dalam inisiasi pegawai.
Cultural control yang diterpakan dalam proses pelatihan dan pengembangan, bekontribusi positif
pada perusahaan, terbukti perushaaan memiliki sumber daya manusia yang senantiasa memnuhi
setiap tantangan yang ada.
Pada kegiatan sehari-hari pegawai, sangat banyak cultural control yang diimplementasikan
pada organisasi. Control tersebut antara lain berbentuk pada seragam yang digunakan, penggunaan
pin-pin baju yang berisi nilai-nilai perusahaan, penetapan nilai-nilai perusahaan, dan penggunaan
pamflet-pamflet yang ridak hanya berdampak pada pelanggan akan tetapi juga memiliki efeke kepada
pegawai IKEA sendiri.
Budaya kerja pada IKEA, “At IKEA, we think of ourselves as a family. Just as one would look after
theor parents, siblings or childern, our oworker family is encouraged to and excels at supporting and
taking of each other.”, Spiers Lopes. Spiers Lopez merupakan manajer sumber daya manusia pada
IKEA. Sesuai dengan kalimat diatas, hal tersebut menjadi kebijakan perusahaan dan menjadi budaya
pada IKEA.
IKEA memiliki cara unik dalma menyebut pegawainya, mereka tidak menyebut mereka sebagai
“workers”, akan tetapi “coworkers”. Hal ini menjadi budaya dalam IKEA, hal ini mendorong komunikasi
terbuka dalam perusahaan. IKEA mengadopsi stuktur organisasi tanpa penetapan hirarki jabatan.
Halaman 7
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Pegawai didorong untuk mengutarakan opinin dan ide-ide yang dimilik langsung kepada top
manajemen.
Seragam pada IKEA, manajemen dan pegawi memiliki seragam yang sama. Mereka diberikan
seragam yang digunakan untuk setiap harinya. Cultural control melalui seragam ini bertujuan untuk
menghilangkan sekat-sekat yang terdapat diantara pegawai dan manajemen. Dengan penggunaan
seragam yang sama dari hulu hingga hilir, pegawai merasakan kesetaraan sehingga pagawai tidak
segan untuk mengutarakan pendapat kepada manajemen.
Pada gambar diatas, merupakan pin-pin baju yang digunakan pada seragam IKEA. Hal ini, juga
merupakan cultural control yang diterapkan pada perusahaan. Pin-pin tersebut berisi nilai-nilai yang
dikedepankan IKEA agar dimiliki oleh setiap pegawianya.
IKEA memiliki budaya perusahaan mengedepankan keberagaman. Hal ini terlihat dari komposisi
pegawai mereka. 40% pegawai mereka terdiri dari wanita yang terdiri dari beragam kewarganegaraan.
IKEA juga membeli dan beoperasi dari dan pada 41 negara berbeda dan pimpinan wilayah berasal dari
14 kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini merupakan budaya yang tercipta pada organisasi ini. Hal
ini membentuk control untuk pegawai mereka. Hal ini memicu pegawai untuk selalu mengembangkan
kompetensi, karena dengan adanya hal ini setiap impian pegawai dalam karir mereka di IKEA memiliki
kesempatan yang sama.
IKEA juga memiliki kebijakan-kebijakan yang berdampak positif pada kesejahteraan pegawai.
Penggunaan “voice” yang merupakan suvey yang digunakan pada seluruh perusahaan untuk
Halaman 8
Management Control Systems: Case Study of IKEA
memonitor pegawai, penggunaan “IKEA leadership Index” dalam penilaian pegawai terhadap
manajemen. Hal ini merupakan budaya baik bagi perusahaan dan menciptakan control aygn cukpu
efisisen, sehingga setiap orang dalam perusahaan merasa diawasi oleh sesamanya.
IKEA memiliki “code of conduct” yang ditetapkan oleh perusahaan. Code of conduct tersebut
disebut dengna IWAY standard. Kode-kode IKEA antara lain, pencegahan korupsi, dialog dengna
serikat pekerja, asuransi pegawai, serta lingkungna pekerjaan yang sehat dan aman. Pencegahan
korupsi dilakukan dengan penetapan “ IKEA Corruption Prevention Policy “ dan “ IKEA Rules on
Prevention of Corruption. IKEA mandukung seluruh hak pegawai dalam berasosiasi, tidak medukung
ataupun tidak melarang mereka. Seluruh pegawai dilindungi dengna asuransi kesehatan. Setiap
pegawai yang dipekerjakan pada perusahaan disertai dengan pelatihan keselamatan terlebih dahulu.
Penanganan pelanggan pada IKEA tergambar pada poster tersebut. Poster tersbut menjadi
pedoman dalam berinteraksi dengan pelanggan. Poster ini menjadi budaya pada perusahaan yang
cukup efektif dan efisien.
“Assemble your future”, slogan tersebut terdapat pada pemflet yang disematkan pada kardus
produk. Pamflet ini tidka hanya berpengaruh terhadap pelanggan, akan tetapi hal ini menjadi pemicu
bagi pegawai, dengan slolgan ini pegawai didorong untuk selalu mengembangkan kompetensi untuk
menghadapi setiap tantangan.
Halaman 9
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Cultural control yang digunakan pada perusahaan IKEA sangatlah beragam. Hal ini terdapat
pada seluruh siklus perusahaan. Biaya dalam penerapan budaya pada IKEA dapat dikatakan cukup
sedikit, karena tidak melibatkan penambhana-penambahan aktivitas yang cukup signifikan dalam
perusahaa. Penerpana cultural control terebut hanyalah “value add in” yang diciptakan olhe
manajemen, sehingga pengendalian dapat terciptas seefektif dan sefisien mungkin.Budaya pada
perusahaan tersebut mengedepankan keberagaman dan kreatifitas pegawai. Dengan cultural control
yang diterapkan pada IKEA, IKEA menjadi “Employer of Choice” dan terdaftar sebagai salah sati dari
top 50 perusahaan yang paling menarik bagi pegawai pada tahun 2010. IKEA juga menjadi salah satu
dari “100 est companies to work for” menurut majalah fortune dalam 3 tahun berturut-turut.
Code of conduct (IWAY standard) pada cultural control yang diterapkan pada IKEA, menjadi
pedoman bagi pegawai bagaimana seharusnya berperilaku, baik kepada pegawai, kepada manajemen,
ataupun kepada pelanggan. Dengan adanya code of conduct pegawai lebih mengetahui harus berbuat
apa dalam kegiatan sehari-hari. IWAY standard juga menjadi penengah antara manajemen
perusahaan dan serikat pekerja IKEA. Dengan adanya IWAY standard manajemen perusahaan dan
serikat pekerja memiliki norma dalam mengawasi satu dan lainnya.
Penggunaan pin baju dan pamflet pada IKEA, menjadikan pegawai tetap mengikuti nilai-nilai
baik dalam perusahaan. Terlebih lagi, penggunaan hal-hal tersebut dapat menjadi pengulangan-
pengulangan nilai-nilai utama IKEA sehingga nilai-nilai tersebut selalu tercermin dalam tindakan dan
perilaku pegawai setiap harinya.
Bab III
Halaman 10
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Seperti yang telah disimpulkan oleh Merchant dan Van Dar Stede (2007), dalam banyak kasus,
tingkat pengendalian pada personnel/cultural controls ialah kurang ketat. Tingkat personnel/cultural
controls yang ketat biasanya dijumpai pada pada organisasi sosial dan volunter, di mana para pegawai
merasa puas dengan melakukan kebaikan melalui pekerjaannya, atau dalam bisnis keluarga, di mana
adanya kesesuaian antara keinginan organisasi dan keinginan individu yang ingin mereka capai. Akan
tetapi, dalam beberapa organisasi, di mana mereka menggunakan banyak bentuk personnel dan
cultural control, terdapat personnel/cultural controls yang ketat.
Mengacu pada Merchant dan Van der Stede (2007), tahapan yang mungkin diambil untuk
meningkatkan kekuatan personnel control sulit untuk diperkirakan. Di sisi lain, cultural control sering
kali lebih stabil. Budaya organisasi bisa menjadi kuat karena berasal dari kepercayaan dan nilai yang
dimiliki secara mendalam dan tersebar luas. Karenanya, kecuali perusahaan yang memiliki budaya
yang kuat, pengendalian yang ketat tidak dapat diperoleh dengan penggunaan personnel/cultural
controls sendiri.
Di IKEA, Setiap karyawan baru dipilih secara hati-hati dan harus sesuai dengan profil bagaimana
IKEA menginginkan mereka di masa depan dan karyawan tersebut harus memahami betapa
pentingnya “core value” bagi IKEA. Pendidikan dan persyaratan lainnya bukan syarat terpenting ketika
mereka mencari karyawan baru. Personalitas dan kepribadian serta prinsip yang dimiliki merupakan
Halaman 11
Management Control Systems: Case Study of IKEA
yang lebih penting. Oleh karena itu, pemilihan karyawan sangat penting dan IKEA berusaha
mempekerjakan orang-orang yang mempunyai prinsip serta kepribadian yang sesuai dengan budaya
perusahaan mereka. Budaya perusahaan yang harus dimiliki calon karyawan adalah semangat
kewirausahaan dan semangat dalam bekerja, juga aktif dan sanggup menerima tanggung jawab dalam
bekerja ketika kesempatan diberikan. Mereka pun menganggap betapa pentingnya para pelamar kerja
untuk memiliki minat terhadap IKEA, oleh karena itu mereka hanya memasang iklan lowongan
pekerjaan di dalam website IKEA saja. Mereka percaya apabila para pelamar mengunjungi website
IKEA untuk mengajukan lamaran lamaran, maka para pelamar tersebut telah menunjukkan awal
ketertarikan terhadap IKEA.
IKEA memiliki banyak varietas program pelatihan untuk pengembangan diri para pekerjanya
yang ingin belajar hal baru dan ingin berkembang. IKEA juga mempunyai program mentoring, di mana
para pegawai baru mempunyai kesempatan untuk belajar bersama pegawai yang sudah
berpengalaman yang menjadi mentornya. Ketika seorang karyawan baru di terima, karyawan tersebut
diperkenalkan dengan tiga tahap pelatihan dasar. Pada pelatihan pertama karyawan baru
diperkenalkan dengan keadaan toko secara keseluruhan dan menerima pakaian seragam mereka.
Pelatihan kedua diberikan satu bulan setelah karyawan baru mulai bekerja yaitu pelatihan di bidang
keselamatan dalam bekerja (Job safety), cara menjual dan cara berinteraksi dengan konsumen
(Customer Relation). Dan satu bulan kemudian pelatihan ketiga yaitu pelatihan mengenai sejarah
pendirian IKEA, nilai-nilai perusahaan, training kepribadian dan ergonomik. Pelatihan lebih lanjut akan
diberikan sesuai dengan posisi dan fungsi jabatan. Di IKEA, pelatihan terpenting diterima pada saat
bekerja sehari-hari, namun pelatihan pelengkap pun akan diberikan seperti training pengelolaan toko
dan kepemimpinan. Pelatihan juga akan diberikan setiap kali ada pekerja yang dipindahkan ke
departemen lain.
Berdasarkan Laporan Tahunan IKEA tahun 2013, terdapat Code of Conduct Training yang terdiri
dari beberapa workshops yang bertujuan untuk menguatkan budaya organisasi IKEA. Dan juga
terdapat new IKEA Group People Strategy yang salah satunya berbicara mengenai promosi dan
pengembangan para pegawainya di tahun-tahun yang akan datang.
Halaman 12
Management Control Systems: Case Study of IKEA
ketat dapat dilihat dengan adanya seleksi pegawai yang terperinci, pendidikan/pelatihan, dan adanya
desain perkerjaan yang memberikan kesempatan untuk promosi dan pengembangan diri bagi semua
pegawai untuk meraih sukses.
Dengan adanya personnel control yang kuat, maka yang diharapkan adalah kesadaran dan
kepuasan para pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya dengan baik yang juga berujung pada
baiknya juga kinerja perusahaan. Pada umumnya, sesuai dengan yang disimpulkan oleh Merchant dan
Van Dar Stede (2007), personnel/cultural control akan dapat mampu menangani semua masalah
pengendalian. Pengendalian ini dapat digunakan pada hampir semua kondisi sampai batas tertentu
dan biayanya sering kali lebih rendah dibandingkan dengan bentuk pengendalian yang lain.
Masalah pengarahan dapat teratasi dengan proses seleksi yang dilakukan oleh IKEA. Mengutip
rangkuman laporan tahunan IKEA 2013, “In every interview, we’re looking for people who share our
fundamental beliefs. That’s the only similarity we’re after.” Dalam melakukan perekrutan pegawai,
IKEA mencari para calon pekerja yang memiliki pandangan yang sama tentang nilai-nilai fundamental
perusahaan. Dengan adanya pandangan yang sama, tidak sulit untuk mengarahkan para pegawai
untuk berbuat sesuai dengan core value perusahaan.
IKEA banyak melakukan investasi untuk melakukan pengembangan diri para pegawai baik itu
pengembangan diri secara individual maupun dalam peran profesionalitas pekerjaan mereka.
Pelatihan-pelatihan tersebut dapat terus menjaga motivasi para pegawai selain untuk meningkatkan
kompetensi diri para pegawai. Dengan adanya banyak program pelatihan, juga dituntut adanya
kemungkinan yang lebih besar untuk promosi. Dengan adanya hal-hal tersebut, masalah pengendalian
mengenai motivasi maupun pembatasan pribadi dapat teratasi.
Bab IV
Halaman 13
Management Control Systems: Case Study of IKEA
menjamin bahwa berbagai tindakan yang diinginkan tersebut terjadi (atau tindakan yang tidak
diinginkan itu tidak terjadi).
Action controls memiliki 4 (empat) bentuk dasar, yaitu: behavioral constraints, preaction
reviews, action accountability, dan redundancy.
Behavioral Constraints
Behavioral constraints merupakan bentuk negatif dari action control. Behavioral controls
dimaksudkan agar sesuatu menjadi tidak mungkin, atau lebih sulit bagi pegawai untuk
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Behavioral constraints dapat diterapkan secara
fisik (physically) atau administratif (administratively). Banyak perusahaan menerapkan berbagai
bentuk dari physical constraints ini, seperti locks on desk, computer passwords, dan
pembatasan akses ke area yang menyimpan persediaan berharga dan informasi yang sensitif.
Beberapa alat behavioral constraints secara teknis sangat rumit dan mahal seperti magnetic
identification-cards readers, voice-pattern detectors, dan fingerprint atau eyeball-pattern
readers.
Administrative constraints dapat juga digunakan untuk membatasi kemampuan pegawai
untuk melaksanakan seluruh atau sebagian tindakan tertentu. Salah satu bentuk administrative
constraints yang umum digunakan adalah pembatasan kewenangan pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, para manajer di tingkat bawah hanya diberi kewenangan untuk menyetujui
pengeluaran sampai dengan batas US$ 100, dan manajer di tingkat yang lebih tinggi sampai
dengan batas US$ 500. Bentuk lain dari administrative constraints adalah pemisahan tugas
(separation of duties). Separation of duties ini menyangkut pembagian pekerjaan untuk
menyelesaikan tugas penting tertentu kepada beberapa pegawai, sehingga tugas tersebut tidak
mungkin untuk diselesaikan oleh satu orang pegawai.
Preaction Reviews
Preaction reviews adalah meneliti rencana tidakan (action plans) dari para pegawai yang
dikendalikan. Peneliti akan menyetujui atau tidak menyetujui rencana tindakan yang diajukan,
kemudian meminta untuk disesuaikan atau meminta rencana yang lebih cermat lagi sebelum
persetujuan akhir diberikan. Preaction reviews terdiri dari beberapa bentuk baik yang bersifat
formal maupun informal. Bentuk formal dari preaction reviews ini adalah perlunya memperoleh
persetujuan atas pengeluaran uang untuk jumlah tertentu.
Action accountability
Halaman 14
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Redundancy
Redundancy, meliputi penunjukan lebih banyak pegawai (atau, atau paling tidak
menyiapkan tambahan pegawai (atau mesin), untuk pelaksanaan tugas yang sangat perlu. Hal
ini masih dapat dianggap sebagai pengendalian (control) sebab bentuk pengendalian ini dapat
meningkatkan kemungkinan bahwa tugas diselesaikan secara memuaskan. Redundancy
umumnya diterapkan pada computer facilities, security functions dan critical operations lainnya.
Tetapi kelemahan bentuk control ini adalah sangat mahal atau costly.
Halaman 15
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Desainer IKEA harus mengakomodasi semua biaya seperti bahan baku, manufaktur, dan
transportasi produk sampai produk tersebut tiba di toko dalam target harga yang diberikan.
Output dari preaction reviews yang dilakukan tersebut adalah untuk mengembangkan
produk yang berkualitas baik dengan biaya rendah yang kemudian bisa terjangkau oleh
banyak orang, sehingga MCS nya pun sejalan dengan tujuan perusahaan, yakni untuk
memberikan harga yang murah dan barang yang berkualitas baik bagi pelanggan.
2. Prediksi penjualan dan biaya dilakukan oleh setiap toko.
Toko IKEA mempunya anggaran yang lebih fleksibel. Apabila prediksi penjualan yang dibuat
selama tahun anggaran yang disetujui jauh melebihi dari jumlah yang diprediksi di awal,
perusahaan tidak akan meneruskannya untuk membandingkannya dengan anggaran asli.
Namun mereka akan membandingkan prediksi penjualan dengan skenario yang dibuat.
Selama tahun anggaran toko akan membuat prediksi penjualannya sendiri dan mereka
sendiri yang akan memutuskan untuk meningkatkan atau tidak target penjualan mereka.
Apabila target penjualan di tingkatkan oleh seluruh toko di Negara Swedia, maka kantor
pusat di Swedia akan memutuskan untuk meningkatkan target penjualan secara nasional.
Ketika anggaran dibuat, penjualan akan diprediksi setiap minggunya selama tahun
anggaran, juga prediksi harian dan untuk setiap divisi prediksi dibuat untuk satu minggu
kedepan. Hal tersebut adalah salah satu bentuk action accountability di IKEA.
3. Jadwal pertemuan.
Untuk memastikan semua informasi yang penting untuk mengelola organisasi sampai
kepada orang atau departemen yang tepat, toko IKEA mempunyai jadwal pertemuan.
Jadwal ini menentukan siapa yang harus ada didalam sebuah pertemuan, berapa kali
pertemuan diadakan dan berapa lama mereka mengadakan pertemuan tersebut. Hal
tersebut termasuk preaction reviews.
4. Daftar periksa (checklist) untuk setiap pekerjaan yang dilakukan. Para karyawan di divisi
penjualan juga menggunakan daftar periksa (checklist) yang akan diberi tanda untuk setiap
pekerjaan yang karyawan telah selesaikan. Hal ini termasuk action accountability.
5. Kebebasan karyawan untuk memberi masukan.
Tidak dapat suatu Sistem Pengendalian Manajemen dirancang atau dievaluasi tanpa
memahami permintaan (feedback) dari peran yang dikendalikannya.
6. IKEA Way2. IKEA Way merupakan standar yang harus dipenuhi sebelum dan selama menjadi
supplier resmi IKEA. Hal ini mencakup dari proses seleksi supplier (telah dijelaskan dalam
personnel control diatas) dan yang terkait action control yakni adanya syarat-syarat yang
2
terlampir
Halaman 16
Management Control Systems: Case Study of IKEA
harus dipenuhi dan dipertahankan oleh supplier selama menjadi partner, semisal bahan
baku yang dipakai haruslah ramah lingkungan, tidak boleh menggunakan tenaga kerja
dibawah umur, tidak boleh membebani pegawai para supplier dengan waktu lembur yang
berlebihan. Hal ini (urusan internal supplier) menjadi concern pula bagi IKEA karena
memiliki pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan
usaha IKEA.
7. Learning from experience as orrective dan preventive actions (bagi para supplier). IKEA
memberi perhatian khusus saat memuat produk di kontainer untuk pengangkutan sehingga
akan meminimalkan kerusakan selama pengangkutan. Perusahaan memantau proses
pemuatan produk melalui video atau foto pada proses akhir dari supplier. Jika terdapat
barang yang rusak dalam perjalanan, IKEA bisa meninjau cara pemuatan yang salah dari
video atau foto. Hal ini kemudian bisa memberikan umpan balik yang tepat untuk
memastikan bahwa cara ini tidak terulang kembali. Hal ini terlihat costly, karena setiap touch
dari control adalah terkait dollar yang kaluar. Tetapi hal ini baik bagi perusahaan
multinasional, karena knowledge yang dihasilkan dari MCS nya akan dapat dipergunakan
dibagian serupa dilokasi lain.
Produk tersebut kemudian dikirim ke Distribution Center (DC) atau langsung ke toko.
IKEA lebih suka membangun DC nya di tempat-tempat yang dekat dengan pelabuhan
sehingga bisa mengendalikan biaya dengan menggunakan lebih banyak transportasi laut
daripada kereta api dan angkutan jalan raya. Selain itu, juga dipertimbangkan kedekatan DC
ke toko-toko yang ada atau yang direncanakan untuk dibangun ketika ia memilih lokasi untuk
DC. Produk yang lebih mobile dikirim langsung ke toko-toko atau DC yang lebih dekat ke
toko-toko. Produk yang kurang mobile dikirim ke DC yang berlokasi di pusat dan mencakup
kawasan yang luas. Corrective dan preventive actions dalam hal ini berjalan berkelanjutan.
Hal ini adalah masalah bagi IKEA yang tetap bersikukuh meminimalkan jumlah pegawai di
checkout area. Bagaimana IKEA mengatasinya?
IKEA mengatasinya dengan menggunakan Beonic’s 3 Traffic Insight visitor flow system yang
dimaksudkan untuk melakukan action controls terhadap pegawainya agar seketika berada di
checkout area ketika pembeli hendak menyelesaikan pembeliannya. Beonic’s Traffic Insight
3
Beonic’s world-leading retail intelligence system assists retailers to learn how to convert store visitors into
actual customers. Beonic reports equip retailers to make more effective decisions about marketing,
merchandising and service levels, leading to happier customers, more sales and greater profit.
Halaman 17
Management Control Systems: Case Study of IKEA
sendiri dapat dengan akurat melakukan sensor terhadap orang-orang yang masuk ke dalam
toko IKEA.
Salah satu store manager dari IKEA mengatakan bahwa “We have a warning before a peak
hits because customers take 90 minutes to go through the store. This gives us one hour 20
minutes to get manpower in place to meet that peak. Beonic has been absolutely accurate,
giving us clear trends of customer traffic.”
Manfaat Beonic’s Traffic Insight lainnya adalah dapat digunakan untuk menentukan jumlah
karyawan yang efisien. Hal ini merupakan action controls dengan bantuan IT.
Pada tahun 2011, IKEA dan afiliasi Swedwood yang berada di bawah kritik atas perlakuan
terhadap pekerja di pabrik AS di Danville, Virginia, dan keputusan untuk menyewa firma hukum
Jackson Lewis (yang sering digunakan oleh perusahaan untuk melawan tuntutan buruh).
Sebuah petisi di change.org telah menerima lebih dari 70.000 tanda tangan mendesak IKEA
untuk menghormati hak-hak pekerja.
IKEA mengatasinya dengan bekerja sama dengan supplier/afiliasi untuk membentuk serikat
pekerja di Danville. Dan kembali meluruskan supplier/afiliasinya untuk berpedoman kepada
IKEA Way sebagai action controls.
Halaman 18
Management Control Systems: Case Study of IKEA
3. Learning from experience bagi para suppliers. IKEA memberi perhatian khusus dalam action
controls yang detail dan costly saat memuat produk di kontainer untuk pengangkutan sehingga
akan meminimalkan kerusakan selama pengangkutan. Perusahaan memantau proses
pemuatan produk melalui video atau foto pada proses akhir dari supplier. Jika terdapat barang
yang rusak dalam perjalanan, IKEA bisa meninjau cara pemuatan yang salah dari video atau
foto.
4. Dengan melakukan penelitian terhadap actions controls yang telah dilakukan dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan pengangkutan, IKEA mampu menemukan cara
packaging yang tepat dan efisien bagi produknya, yakni flat packaging model dan stackable
model.
5. Action controls berbasis IT diterapkan pula dalam Supply Management System (SCM) nya.
Suppliers diinformasikan mengenai forecast kebutuhan 26 hingga 52 minggu kedepan. Dibagi
kepada suppliers menggunakan Suppliers Matrix berdasarkan Capacities & Lead Times dari
masing-masing supplier. Untuk melakukan action controls atas keakuratan data nya, dan
menghindari kesalahan atau penyalahgunaan forecast dari pegawainya, IKEA bekerja sama
dengan JDA Software Inc dalam hal implementasi JDA Demand & Fulfillment Solutions4.
6. Action controls terhadap perilaku para suppliers pun dilakukan, utamanya pada cabang
perusahaan di negara-negara yang secara historis rawan penyimpangan kualitas, seperti di
China. Untuk mengecek kualitas supplier di China, IKEA meng-hire Intertek yang merupakan
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang testing and certifying.
7. Action controls dalam IKEA Way yang selalu terupdate.
Agar selalu sesuai dengan permasalahan terkini, khususnya permasalahan-permasalahan
penyimpangan perilaku supplier terkini, IKEA melakukan update secara terus-menerus dalam
IKEA Way nya. Dengan dilakukannya hal ini diharapkan IKEA dapat melakukan filterisasi
terhadap supplier barunya, serta melakukan deteksi terhadap perilaku supplier berjalannya.
Bab V
Result control merupakan salah satu bentuk pengendalian yang dapat membuat para pegawai
memperhatikan konsekuensi tindakan yang mereka lakukan, organisasi tidak lagi mendikte mereka
4
JDA Demand & Fulfillment Solutions menyediakan visibilitas yang baik dalam melakukan forecast dalam
penjualan.
Halaman 19
Management Control Systems: Case Study of IKEA
tetapi memberdayakan mereka untuk mencapai result yang diharapkan. Result control mendorong
para pegawai untuk menemukan dan mengembangkan bakat mereka, sehingga dapat memberi
masukan bagi top management agar dapat mempekerjakan para pegawai di tempat yang
memungkinkan bagi mereka untuk bekerja lebih baik.
Result control dapat berjalan secara efektif ketika hasil yang diharapkan sepenuhnya atau
sebagian besar dikendalikan oleh para pegawai dan dapat diukur secara efektif. Salah satu bentuk
result control yaitu pay-for-performance. Pay-for-performance berhubungan dengan sistem reward
and punishment bagi para pegawai.
Menurut Merchant dan Van der Stede (2007), implementasi dari result control melibatkan
empat tahapan berikut ini:
1. Mendefinisikan dimensi-dimensi dari hasil yang diinginkan
Tujuan yang ditetapkan dan diikuti oleh pengukuran yang memadai dapat membentuk cara
pandang tentang hal-hal apa saja yang penting dan prioritas dalam pencapaiannya.
2. Pengukuran kinerja
Mengukur kinerja pegawai dalam periode tertentu harus dilakukan sehingga dapat
dihubungkan dengan reward or punishment yang akan mereka peroleh. Reward yang akan
diperoleh para pegawai dapat berupa financial reward ataupun non-financial reward.
3. Pengaturan target kinerja
Dengan adanya target, maka dapat meningkatkan motivasi & performa kinerja para pegawai.
Hal ini dapat terwujud melalui pemberian tujuan yang jelas atas apa yang harus dicapai oleh
setiap pegawai. Selain itu, dengan adanya target kinerja diharapkan setiap pegawai dapat
mengartikan kinerja mereka sendiri. Karena setiap pegawai tidak akan dapat memberikan
feedback yang tepat jika mereka tidak memahami arti dari target yang telah ditentukan bagi
mereka.
4. Pemberian reward atau punishment
Reward merupakan elemen akhir dari resut control. Reward dapat berbentuk ekstrinsik
maupun intrinsik. Reward ekstrinsik merupakan reward dalam bentuk bantuan keuangan,
sedangkan reward intrinsik berupa sense of complishment atas tujuan yang diinginkan.
Mengacu pada Merchant dan Van der Stede (2007), ada beberapa kondisi yang menentukan
efektifitas penerapan result control yaitu:
1. Organisasi dapat menentukan hasil apa yang diinginkan di dalam wilayah yang dapat
dikendalikan.
Selain itu, pimpinan juga harus dapat mengkomunikasikan keinginan tersebut secara efektif
kepada para pegawainya.
Halaman 20
Management Control Systems: Case Study of IKEA
2. Karyawan yang tindakannya dikendalikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil
yang mereka pertanggungjawabkan.
Pegawai yang perilakunya sedang dikendalikan harus mampu memberikan hasil-hasil dengan
cara sedemikian besar dalam jangka waktu tertentu. Pengukuran hasil akan bermanfaat
terbatas pada sejauh mana pengukuran tersebut memberikan info tentang kelayakan
berbagai tindakan yang diambil.
3. Organisasi dapat mengukur efektifitas hasil.
Salah satu kriteria yang digunakan untuk menilai efektifitas ialah kemampuan membangkitkan
perilaku yang diinginkan.
Dalam menentukan tujuan dan target yang ingin dicapai, serta untuk mengukur kinerja selama
periode tertentu IKEA menggunakan analisis keuangan dan non-keuangan (Berglund dan Rapp,
2010). Analisis-analisis tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
Performance Measures
Financial Non-financial Ratios
Customer Based:
Sales (daily, weekly, monthly) – by CSI (Customer Survey) Sales
Department Number of Visitors Working Hours
Number of Customers
Market Based: Sales
Costs
Market Survey Visitors
Personnel Based: Sales
Gross Margin
Employee Survey Customers
Productivity Based:
Working Hours – by Department Customers
Value of Damaged Products
Extra Internal Handling Worked Hours in Tℎe Counters
M3 Handled
Supply (Stock) Based:
Stock Value
Sales M3
Value of Recovered Products Number of Articles in Store
Handled
Number of Articles that Passed
Expiration Date
Value of Damaged Products
Value of Recovered Products
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Berglund dan Rapp (2010), Manajer Divisi IKEA juga
menggunakan laporan statistik yang dibuat oleh IKEA Leiden, Belanda. Laporan ini menunjukkan
analisis seperti Gross Margin, Product Mix, 30 dan 15 produk yang paling banyak dijual di setiap divisi.
Target penjualan dan kinerja toko akan disampaikan kepada staf penjualan dan seluruh
karyawan harus mengetahuinya. Penyampaian target dan hasil kinerja dilakukan dengan cara setiap
Halaman 21
Management Control Systems: Case Study of IKEA
pagi pengeras suara akan membuat pengumuman kepada seluruh karyawan sebelum toko dibuka.
Pengumuman ini diharapkan dapat membuat para karyawan mengetahui bagaimana kinerja mereka
dan di area manakah mereka akan berfokus pada hari ini. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk
memotivasi para karyawan serta membentuk internal kompetisi dan kinerja karyawan lebih baik dari
tahun sebelumnya. Kedua, ketika informasi yang penting telah dihasilkan di pertemuan tim
manajemen, selanjutnya pertemuan antar divisi akan diadakan. Beberapa divisi yang besar tidak
pernah mengadakan pertemuan divisi, tetapi mereka akan menginformasikan kepada staf penjualan
dengan mengirimkan email setiap minggunya. Selanjutnya, majalah mingguan akan dibagikan, dimana
seluruh informasi penting akan tersedia.
IKEA menggunakan berbagai macam sistem reward untuk setiap tokonya diseluruh dunia,
namun dimasa yang akan datang, ditargetkan akan menggunakan satu sistem untuk membuatnya
lebih adil & mudah dalam mengevaluasi dan membuat administrasinya (Berglund dan Rapp, 2010).
Di toko IKEA Backebol, mereka menggunakan sistem gaji premium yang ditentukan oleh tiga
parameter, yaitu penjualan, biaya, dan kepuasan konsumen. IKEA tidak memberikan reward berupa
uang bagi karyawan secara individual namun mereka memberikan reward secara grup. Total gaji
premium setiap tahunnya tidak tidak terlalu besar secara persentase, paling banyak hanya sebesar
setengah bulan gaji saja. Sistem reward yang diterapkan adalah sama untuk setiap toko di Swedia,
namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan. Beberapa toko menganggap sistem reward ini
merupakan faktor yang penting dalam memberikan motivasi para karyawan namun sebagian lainnya
menganggap sebaliknya.
Sebagai tambahan di sistem penggajian, IKEA Backebol berusaha memberikan sebanyak
mungkin umpan balik dan aktivitas yang menunjukkan penghargaan. Umpan balik tersebut dapat
berbentuk benda-benda kecil seperti produk dari toko atau kue bagi staf dari restoran, serta
kesempatan besar untuk berkembang dan promosi ke posisi yang lebih tinggi atau ke toko yang lain.
Tujuannya adalah membuat para karyawan untuk berpikir dan membuat perencanaan pribadi tentang
apa yang ingin mereka capai di dalam IKEA, karena tidak adanya garis pedoman bagaimana jenjang
karir di IKEA.
Sebuah sistem result control yang ketat harus mencakup dimensi hasil yang spesifik, umpan
balik dalam interval waktu yang singkat, komunikasi yang efektif dari hasil yang diinginkan dan
langkah-langkah lengkap jika sistem result control digunakan secara eksklusif (Merchant dan Van der
Stede, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketatnya result control di IKEA, antara lain:
Halaman 22
Management Control Systems: Case Study of IKEA
1. Pengukuran kinerja yang digunakan di setiap toko tampaknya sejalan dengan tujuan
organisasi yang benar karena mereka mengukur penjualan dan biaya dengan sangat hati-hati.
2. IKEA menetapkan target yang spesifik karena mereka menggunakan pengukuran-pengukuran
yang rinci untuk mengevaluasi kinerja. Mereka tidak hanya mengukur jumlah pengunjung,
tetapi juga penjualan per setiap pengunjung dan setiap pelanggan.
3. Para pegawai mendapatkan feedback dalam interval waktu yang singkat karena kinerja
dikomunikasikan setiap hari serta lebih rinci. Feedback dapat diperoleh secara mingguan di
weekly meeting, secara dan tahunan ketika mereka melihat hasil dari survei pelanggan.
Tujuan yang ingin dicapai dikomunikasikan secara efektif melalui pertemuan rutin dan proses
penetapan action & business plan.
Bab VI
Kesimpulan
Satu ciri khas IKEA yang erat kaitannya dengan Management Control Systems adalah IKEA
Way. Dengan membuat IKEA Way terhadap suppliers berarti IKEA telah menunjukkan komitmennya
terhadap input dan process dari IKEA. Ditambah lagi, dengan menerapkan Management Control
Systems terhadap para pegawainya, lengkaplah sudah komitmen IKEA terhadap kualitas, efektivitas,
dan efisiensi atas input, process, output, maupun outcome dari proses bisnisnya.
Komitmen-komitmen yang lahir dari adanya Management Control Systems inilah yang
menjadi pondasi atas sustainabilitas (keberlangsungan usaha) dan kesuksesan dari perusahaan IKEA.
Halaman 23
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Daftar Pustaka
An Effective Procurement Lesson from IKEA. May 2004. Supply Chain Europe.
Jasmine Smith. Achieving Supply Chain Efficiency. 2008. Inside Retailing.
Jenny G, The Story of IKEA Furniture. 2008. England.
Merchant, Kenneth A., Wim A. Van Der Stede. 2007. Management Control Systems:
Performance Measurement, Evaluation, and Incentives Second Edition. Pearson Education
Limited, England.
www.blog.tradegecko.com/ikeas-inventory-management-strategy-ikea/
www.blog.mbaco.com/business-strategy-and-management-control-measures-for-success/
www.en.wikipedia.org/wiki/Management_control_system
www.excedalogic.com/blog/2014/september/03/management-control-system-and-where-they-go-
wrong#.VJBOtyuUdmw
www.faculty.wiu.edu/E-Solymossy/Presentations/Mgt%20570/IKEA.pdf
www.ikea.com
www.managementcontrolsystemoverview.blogspot.com/
www.slideshare.net/prasant26/innovative-hrm-practices-at-ikea
www.tuck.dartmouth.edu/people/vg/research/books/management-control-systems
www.uri.edu/research/lrc/scholl/webnotes/Culture.htm
Halaman 24
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Lampiran
IKEA Way:
Halaman 25
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Halaman 26
Management Control Systems: Case Study of IKEA
Halaman 27