Anda di halaman 1dari 18

PESANTREN DALAM TANTANGAN GLOBALISASI

OLEH :

NAMA : SIHOL MARITO HARAHAP

JURUSAN : PAI ( PENDIDIKAN AGAMA ISLAM )

SEMESTER : VII ( TUJUH )

MATA KULIAH : KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN

DOSEN PEMBIMBING : NURIYANI. M. Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL – HIKMAH MEDAN

TP. 2019 – 2020


KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirahim

Puji beserta syukur marilah kita ucapkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah
memberikan ni’mat iman dan islam kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang ” pesantren dalam tantangn globalisasi “.
Tujuan makalah ini adalah untuk menambah pengetehuan serta agar pembaca lebih
memahami tentang Teori-Teori Belajar, sehingga diharapkan dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah kami.

Kami juga mengucapkan ribuan terimakasih kepada dosen pembimbing Kapita Selekta
Pendidikan, yang telah membimbing kami dalam belajar dan juga pembuatan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah “pesantren dalam tantangan globalisasi” ini bermanfaat,
khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca. Aamiin.

Medan, 15 November 2020

Penulis, Sihol Marito Hrp

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... iii
A. Latar Belakang ........................................................................................................... iii
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... iii
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 1
A. Pesantren Dalam Tantangan Globalisasi ................................................................... 1
B. Pola Kajian Kependidikan Islam di Indonesia ........................................................... 6
C. Pesantren Kontinuitas dan Perubahan ........................................................................ 10
a. Modernisasi pendidikan dan pesantren ................................................................ 10
b. Ekspansi Pesantren............................................................................................... 11
c. Daya Tahan dan Kontinuitas Pesantren ............................................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 13
B. Saran .......................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa pada saat ini sesungguhnya masa yang penuh peluang dan sekaligus
tantangan bagi dunia pendidikan khususnya pesantren. karena masa – masa inilah kita
menyaksikan meningkatnya ‘’new attachment’’ kepada islam di kalangan banyak
msyarakat muslim. Meningkatnya kecintaan kepada islam membuat banyak kalangan
orang tua, khususnya kalangan kalangan’’ kelas menengah’’ muslim yang menengah
tumbuh semakin berusaha mendapatkan pendidikan islam yang berkualitas bagi anak –
anak mereka, misalnya pendidikan yang berbasis agama, seperti pesantren yang
memiliki keunggulan dalam ilmu ilmu umum dan juga Agama.
Pesantren merupakan salah satu lembaga yang memiliki hubungan fungsional
simbiotik dengan ajaran islam. Yaitu dari satu sisi keberadaan pesantren diwarnai corak
dan dinamika ajaran islam yang dianut oleh para pendiri dan kiai pesantren yang
mengasuhnya, melalui pesantrenlah agama islam menjadi membumi dan mewarnai
seluruh aspek kehidupan masyarakat, sosial, keagamaan, hukum, politik, pendidikan,
lingkungan, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Permasalahannya ialah sanggupkah dunia pesantren menghadapi tantangan –
tantangaan arus globalisasi saat ini, dan seberapa jauhkah tradisi pesantren yang
menjadi ikon dan kekuatannya mampu menghadapi tantangan arus globalisasi dan
bagaimana pula format dunia pesantren saat ini dalam menghadapi arus globalisasi?
Melalui makalah yang sederhana ini, harapannya untuk bisa dijadikan sebagai
bahan pertimbangan atau sebagai masukan bagi lembaga pendidikan yang
berbasisis pesantren, juga sebagai bahan informasi bagi masyarakat, mengingat,
sungguhpun pesantren sudah berusia lebih dari lima abat, namun belum banyak
masyarakat yang mengetahui keadaannya secara utuh.

iii
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pesantren Dalam Tantangan Globalisasi


Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Ia
memiliki hubungan fungsional simbiotik dengan ajaran islam. Satu sisi keberadaan
pesantren diwarnai oleh corak dan dinamika ajaran islam yang dianut oleh para pendiri dan
kiai pesantren yang mengasuhnya, sedamgkan paada lain ia menjadi jembatan utama baagi
proses internalisasi dan transmili ajaran islam kepada masyarakat. Melalui pesantrenlah
agama islam menjadi membumi dan mewarnai seluruh aspek kehidupan masyarakat :
social, keagamaan, hukum, politik, penidikan, lingkungan, dan lain se bagainya.
Tidak hanya itu, pesantren juga memilki kedekatan hubungan dengan masyarakat
disekitarnya. Yakni dari satu sisi, keberasadaan pesantren amat bergantung kepada
masyarakat yang ikut memberikan support bagi keberadaanyya, sedangkan pada sisi lain
pesantren juga harus memberikan jawaban atas masalah atau memenuhu kebutuhan
intelektual, spiritual, social, kultural, politik, bahkan medis dan lainnya yang dibutuhkan
masyarakat.
Dari sejak didirikannya pada abad ke- 16. Hingga saat ini, pesantren tetap eksis dan
memainkan perannya yang semakin besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
beragama Islam. Melaluitradisinya yang unik dan berbasis pada nilai religiusitas ajaran
islam, serta kiprah para lul usannya yang tampil sebagai tokoh nasional yang kharismatik
dan kredibel, pesantren semakin dihormati dan diperhitungkan, dan karenanya dia telah di
integrasikan kedalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana diatur dalam Undang –
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas ).
Eksistensi dan peran strategis pesantren sebagaimana tersebut diatas kini dihadapkan
pada tantangan baru sebagai akibat dari arus globalisasi. Tantangan tersebut antara lain :
1. Adanya penggunaan sains dan teknologi dalam kehidupan masyarakat yang
mempengaruhi lahirnya pola komunikasi, interaksi, sistem pelayanan politik dan
pelaksanaan sebagai kegiatan.

1
Abuddin Nata, (Kapita Selekta Pendidiksn islam, (Jakarta, 2012). h. 311.

1
2. Masuknya nilai – nilai budaya modern ( barat ) yang bercorak materialistic,
hedonistik, 2dan sekularistik yang menjadi penyebab terjadinya dekadensi moral.
3. Interdependensi ( kesalingtergantungan ) antara negara yang menyebabkan terjadinya
dominasi dan hegemoni negara kuat atas negara yang lemah
4. Meningkatnya tuntunan publik untuk mendapatkan perlakuan yang semakin adil,
demokratis, egaliter, cepat dan tepat yang menyebabkan terjadinya fragmentasi
politik
5. Adanya kebijakan pasar bebas ( free market ) yang memasukkan pendidikan sebagai
komoditas yang diperdagangkan yang selanjutnya berpengaruh terhadap visi, misi
dan tujuan pendidikan beserta komponen lainnya.
Permasalahannya adalah akan sanggupkah dunia pesantren menghadapi tantangan arus
globalisasi tersebut? Seberapa jauh tradisi pesantren yang menjadi ikon dan kekuatannya
mampu menghadapi tantangan arus globalisasi tersebut?
Menurut Azyumardi Azra, bahwa globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama
sekali bagi masyarakat Muslim Indonesia. Menurutnya, bahwa pembentukan dan
perkembangan masyarakat Muslim Indonesia bahwa berbarengan dengan datangnya berbagai
glombang global secara konstan dari waktu ke waktu. Sumber globalisasi itu adalah Timur
Tengah, khususnya mula – mula Makkah dan Madinah, sejak akhir abad ke – 19 dan awal abad
ke – 20. Oleh karena itu, globalisasi ini lebih bersifat religio – intelektual meski dalam kurun
– kurun tertentu juga diwarnai oleh semangat religio politik.
Tetapi globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat Muslim Indonesia
sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini, tidak
lagi bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari Barat, yang terus memegang supremasi dan
hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Globalisasi yang
bersumber dari barat, seperti bisa kita sakssikan, tampil dengan watak ekonomi politik, dan
sains teknologi. Dominasi dan hegemoni politik Barat dalam segi – segi tertentu mungkin saja
telah “ merosot “, khususnya sejak berahirnya Perang Dunia II, dan “ Perang Dingin “ belum
lama ini, tetapi hegemoni ekonomi dan sains Barat tetap belum tergoyahkan. Hegemoni ini
bukan masalah sederhana, melainkan masalah yang serius. Hegemoni dalam bidang – bidang
ini bukan hanya menghasilkan globalisasi ekonomi, dan sains – teknologi, tetapi juga dalam
bidang lain : intelektual, social, nilai – nilai, gaya hidup, dan seterusnya.

2
Ibid, h.312.

2
Selain itu, globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “ bersatunya”
berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Globalisasi secara istilah berarti perubahan
– perubahan structural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang memengaruhi fundamen
– fundamen dasar pengetahuan hubungan antara manusia, organisasi – organisasi social, dan
pandangan – pandangan dunia.
Globalisasi memengaruhi tradisi budaya, agama, filsafat, politik dan hukum yang telah
ada, bahwa modernitas yang muncul dari pemikiran pencerahan pun tidak luput dari pengaruh
tersebut. Itulah sebabnya, sejak 1980-an, banyak pengamat, pemikir dan peneliti, khususnya di
Amerika Serikat, bicara tentang pasca-modernisasi.3
Dampak yang dapat ditimbulkan globalisasi Barat tersebut pada tahap selaanjutnya
menimbulkan paradigm baru dalam dunia pendidikan. Seluruh komponen pendidikan : visi,
misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, guru, mutu lulusan lingkungan, evaluasi dan
lainnya dipengaruhi oleh paradigm pendidikan Barat yang ciri – cirinya antara lain :
a. Menganggap usaha pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan.
b. Menganggap biaya pendidikan sebagai investasi yang tunduk pada hukum
transaksional yang secara ekonomi harus menguntungkan.
c. Mengutamakan pengetahuan yang hanya berbasis pengamatan empiris dan penalaran.
d. Menempatkan guru sebagai fasilitator.
e. Menganggap peserta didik sebagai customer yang harus dimanjakan.
f. Memandang hasil pendidikan yang harus dikaitkan kebutuhan dunia usaha dan industri.
g. Pengelolaan pendidikan dengan menggunakan manajemen perusahaan bisnis
(corporate).
Paradigma baru yang demikian selanjutnya berdampak pada perubahan orientasi pada
pelaksana dan pengguna pendidikan. Para pelaksana dan pengelola pendidikan
menganggap usaha pendidikan harus menguntungkan secara ekonomi. Sementara itu,
masyarakat hanya membutuhkan pelayanan pendidikan yang secara langsung terkait
dengan kebutuhan lapangan pekerjaan yang menghasilkan uang. Akibat dari keadaan
ini, maka pendidikan agama dan moral semakin terpinggirkan,, fungsi guru hanya
sebagai alat transfer of knowledge, dan pendidikan cenderung hanya dapat dijangkau
oleh kalangan yang berduit. Sementara itu, adanya pengaruh budaya global yang
hedonis, materialistic, pragmatis dan sekularistik, telah menyebabkan terjadi
kemerosotan akhlak dikalangan remaja, bahkan seluruh lapisan masyarakat.

3
Ibid, h. 330.

3
Kemerosotan akhlak ini demikian terasa dampaknya dalam seluruh aspek kehidupan :
ekonomi, politik, social, budaya, hukum, dan lain sebagainya. Keadaan ini jika tidak
segera diatasi dapat menyebabkan terjadinya kehancuran bangsa dan negara secara
keseluruhan.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang demikian itu, dunia pesantren sudah
memiliki pengalaman yang4 panjang dan kaya, yang secara singkat dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Dalam Menghadapi Kemajuan Iptek
Secara historis, pesantren pada mulanya mengonsentrasikan diri pada tiga fungsi
utamanya, yaitu : 1) mengajarkan atau menyebarluaskan ajaran Islam kepada
masyarakat luas; 2) mencetak para ulama, dan 3) menanamkan tradisi islam kedalam
masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya pesantren berada dibawah hegemoni
Nahdhotul Ulama. Nurcholish Madjid menggambarkan bahwa pesantren sebagai NU
kecil. Sejarah mencatat, bahwa NU pada mulanya lahir sebagai upaya mempertahankan
tradisi Islam sebagaimana terdapat dalam ajaran kitab kuning dan yang di praktikkan
dan mengonsentrasikan pada ilmu agama Islam. Upaya ini dilakukan dalam
mengimbangi misi Muhammadiyah yang berupaya membersihkan Islam dari tradisi
yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam, yakni unsur takhayyul, bid’ah, dan
khurafat yang selaanjutnya dikenal sebagai TBC. Namun, misi NU yang demikian itu,
menyebabkan NU tak memiliki para ulama atau sarjana yang menguasai ilmu modern
yang menyebabkan tamatan pesantren yang dibawah NU tidak memiliki kemampuan
untuk merebut berbagai peluang yang terbuka di era modern. Dalam upaya menghadapi
yang demikian itu, maka pesantren yang berada dibawah NU segera melakukan
modernisasi terhadap muatan kurikulumnya yaitu dengan memasukkan mata pelajaran
ilmu pengetahuan modern, sambal tetap memelihara tradisinya yang asli. Dalam kaitan
ini, pesantren yang dibawah kaitan NU menggunakan kaidah al-muhafdzah ala al-
Qodim al-Shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni memelihara tradisi lama
yang masih cocok, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih cocok lagi.
2. Dalam Menghadapi Budaya Barat
Dalam menghadapi budaya Barat yang hedonistik, materialistik, pragmatis dan
sekularistik yang berdampak pada dekadensi moral, dunia pesantren diakui sebagai
lembaga pendidikan yang paling efektif dalam membentuk karakter bangsa. Melalui

4
Ibid, h. 331.

4
nilai religiusitas5 yang berbasis pada ajaran tasawuf yang ditanamkan di pesantren,
melalui pembiasaan, bimbingan, keteladanan dan pengamalan yang dilakukan secara
berkelanjutan dan berada dibawah pengawasan langsung para kiai, menyebabkan
pembentukan karakter atau akhlak mulia para santri di pesantren dapat berlangsung
secara efektif. Dalam hubungan ini K. H. Abdullah Syukri Zarkasyi berpendapat
sebagai berikut.
Secara garis besar ada tiga hal yang menjadikan pondok pesantren tetap istiqomah,
dan konsisten dalam melaksanakan misinya, yaitu nilai, sistem dan materi pendidikan
pondok pesantren. Aspek pertama : nilai-nilai ke Islamannya dab pendidikan jiwa,
falsafah hidup santri, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah
Islamiyah dan kebebasan. Inilah identitas. Meskipun mampu mengadopsi berbagai
sistem dan materi yang selalu di sesuaikan dengan zaman, ibarat manusia, jiwa ini
adalah rohnya, ibarat perbuatan, jiwa adalah nilai dan bobot keikhlasannya. Aspek
kedua, sistem asrama yang penuh disiplin dan tercipta dari pusat pendidikan : sekolah
(formal) keluarga (informal), dan masyarakat (non formal). Keluarga adalah para
pengasuh, guru dan sesama santri. Sekolah mereka adalah di dalam kampus yang
dikelola oleh orang-orang pesantren sendiri dan masyarakat adalah masyarakatnya
sendiri.
3. Dalam Menghadapi Persaingan Bisnis Pendidikan
Dalam menghadapi persaingan bisnis pendidikan, dunia pesantren yang
berdasarkan pada tradisi sufistik yang berbasis pada motivasi keagamaan serta berbasis
pada masyarakat, ia akan tetap dapat melaksanakan tugas utamanya menghasilkan
ulama, mendidik moral masyarakat melalui ajaran islam dan menanamkan tradisi
islami. Hal yang demikian terjadi, karena pesantren lahir, tumbuh dan berkembang dari
dan untuk masyarakat. Sampai saat ini, pesantren masih tetap eksis dan mampu
bertahan sebagai model pendidikan alternatif, meski harus bersaing dengan tumbuhnya
pendidikan modern dan sekuler. Hal ini terjadi karena pesantren memiliki kedekatan
dengan masyarakat.
4. Dalam Menghadapi Tuduhan Miring
Dalam dua decade terakhir muncul tuduhan miring dari Barat terhadap pesantren.
Mereka misalnya mengaitkan pesantren sebagai tempat melakukan kaderisasi para
teroris atau kaum radikalis yang sering meresahkan masyarakat luas, mengganggu

5
Ibid, h. 335.

5
stabilitas nasional dan6 menimbulkan citra negative terhadap negara Indonesia.
Tuduhan yang miring itu sama sekali tidak memiliki fakta dan data yang dapat
dipertanggung jawabkan secara akademik.
5. Dalam mengembangkan ilmu agama
Dari sejak kelahirannya, pesantren senantiasa menjadi tumpuan masyarakat untuk
memperoleh jawaban atas berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kaitannya
dengan ajaran agama. Sehingga dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,,
terutama teknologi komunikasi, dan banyak permasalahan kontemporer yang tumbuh
di masyarakat, dunia pesantren melalui tokoh utamanya para kiai harus memberikan
jawaban dan respon yang cepat dan tepat dan tuntas. Tugas dan peran yang demikian
itu masih tetap dapat di jawab oleh para kiai melalui hasil kajian dan penelitiannya.
Informasi tersebut diatas menyebutkan , bahwa saat ini telah muncul berbagai lembaga
yang memberikan pelatihan dan pendampingan kepada pesantren agar dapat melakukan
perannya dalam menjawab berbagai masalah yang timbul dengan cara mengembangkan
ilmu agama secara terus menerus. Saat ini banyak dijumpai banyak dari kalangan
pesantren yang mampu memberikan jawaban terhadap berbagai masalah yang tumbuh
di masyarakat dengan menggunakan pendekatan yang modern.
B. Pola Kajian Kependidikan Islam di Indonesia
Kajian kependidikan Islam nampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara
serius dalam studi Islam secara keseluruhan. Bahkan, lebih memprihatinkan lagi, kajian
kependidikan Islam dalam konteks Indonesia lebih ketinggalan. Jika kita menyimak kajian-
kajian yang dilakukan secara serius, seperti disertasi doktor, maka kajian-kajian yang
dilakukan berkenaan dengan pendidikan Islam relative jauh lebih sedikit jika dibandingkan
dengan kajian-kajian dalam bidang pemikiran kalam, misalnya.karena relative langkahnya
kajian-kajian serius7 mengenai pendidikan Islam itu, dapat dipahami bahwa pemikiran
kependidikan Islam juga tidak berkembang sebagaimana diharapkan.
Pembahasan ini merupakan assessment awal terhadap pola-pola kajian kependidikan
Islam di Indonesia berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang terdapat dalam
beberapa literature yang tersedia dalam bidang ini. dalam pengertian ini, maka tulisan ini
dapat pula dianggap sebagai sebuah riview atas sejumlah kajian yang berkenaan dengan
pendidikan Islam. Selanjutnya, dari sana diharapkan dapat dirumuskan kerangka awal pola

6
Ibid, h. 337.
7
Azyumardi Azra, ( Pendidikan Islam. Cetakan. IV. Jakarta, 2002). h 85.

6
kajian yang mungkin lebih feasible kearah pengembangan sistem pendidikan Islam secara
keseluruhan.
Sosio-Historis
Pola kajian historis, meski sebenarnya belum menyeluruh dan komprehensif, agaknya
merupakan pola yang paling awal dilakukan dalam kajian-kajian kependidikan Islam di
Indonesia. Pola historis ini memiliki beberapa kekuatan. Kekuatan pokoknya terletak pada
pengungkapan perkembangan historis dunia kependidikan Islam : khususnya perubahan-
perubahan yang terjadi dalam sistem, kelembagaan, dan bahkan metodologi kependidikan
Islam. Dari sini juga dapat diperoleh gambaran atau refleksi tentang keberhasilan dan
kegagalan suatu sistem, kelembagaan, dan metodologi yang pernah dikembangkan dan
diterapkan, yang pada gilirannya lebih lanjut dapat digunakan sebagai semacam referensi
untuk pengembangan dunia kependidikan dimasa sekarang dan mendatang.
Pemikiran dan Teori Kependidikan
Suatu kecenderungan kuat juga terdapat dalam kajian kependidikan Islam di
Indonesia, yang secara sederhana dapat kita sebut sebagai pola pemikiran dan teori
kependidikan. Pola kajian ini muncul jauh lebih belakangan dari pola kajian historis. Tetapi
ia terlihat lebih kuat dari lebih banyaknya literature yang tersedia berkenaan dengan
pemikiran dan teori kependidikan baik yang ditulis oleh ahli pendidikan Indonesia sendiri
maupun dari luar negeri. Tetapi, untuk kepenti8ngan tulisan ini, kita akan membahas hanya
kajian-kajian yang dihasilkan sarjana tempatan.
Kajian Metodologis
Pola kajian ketiga yang perlu diungkaapkan disini adalah pola kajian metodologi,
yang berusaha mengembangkaan hal-hal yang berkenaan dengan praktek atau pelaksanaan
pendidikan Islam di lapangan. Meski pembicaraan dalam kajian seperti ini, kadang-kadang
sangat teknis, tetapi jelas sangat penting. Karena jelas bahwa keberhasilan pendidikan
Islam juga banyak ditentukan oleh kerangka metodologis yang jelas, yang dapat
dipedomani dan dipegangi setiap insan pelaksana pendidikan Islam.
Hemat saya, untuk waktu sekrang ini pemikir yang paling menonjol dalam kajian pola
ini adalah Ahmad Tafsir, seperti bisa dilihat melalui dua karyanya : Metodik Khusus
Pendidikan Agama Islam (1992), dan Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (1992).
buku yang pertama secara rinci mengungkapkan beberapa hal penting dalam soal
metodologi ini, termasuk tentang pembuatan perencanaan pengajaran ; prinsip dan metode

8
Azyumardi Azra, ( Pendidikan Islam. Cetakan. IV. Jakarta, 2002), h. 86-90.

7
mengajar dan belajar ; prinsip evaluasi ; model-model dasar rencana pengajaran ; model
dasar metodik khusus pendidikan agama Islam ; dan metode cara belajar siswa aktif.
Sedangkan buku kedua mencakup pembahasan lebih luas, seperti ; tujuan pendidikan Islam,
kurikulum pendidikan Islam, guru dalam pendidikan 9Islam, dana dan peralatan dalam
pendidikan Islam, metode pendidikan Islam, pendidikan dalam keluarga, dan pendidikan
Islam alternative, seperti pesantren.
Menurut Marwan Saridjo, hasil penelitian LP3ES terhadap pola fisik pondok
pesantren di Bogor, Jawa Barat, dibagi menjadi lima pola, yaitu :
1. Pola pertama
Terdiri atas masjid dan rumah kyai. Pondok pesantren seperti ini masih bersifat
sederhana. Kyai mempergunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar.
Dalam pondok pesantren tipe ini, santri hanya datang dari daerah sekitar pesantren itu
sendiri.
2. Pola kedua
Terdiri atas masjid, rumah kyai, dan10 pondok (asrama) menginap para santri yang
datang dari daerah-daerah yang jauh.
3. Pola ketiga
Terdiri atas masjid, rumah kyai, dan pondok (asrama) dengan sistem wetonan dan
sorogan. Pondok pesantren tipe ketiga ini telah menyelenggarakan pendidikan formal
seperti madrasah.
4. Pola keempat
Pondok pesantren tipe keempat in, selain mempunyai komponen-komponen fisik,
seperti pola ketiga, memiliki pula tempat untuk pendidikan keterampilan, seperti
kerajinan, perbengkelan, tokoh koperasi, sawah, lading, dan sebagainya.
5. Pola kelima
Dalam pola ini, pondok pesantren merupakan pondok pesantren yang telah
berkembang dan bisa disebut pondok pesantren modern atau pondok pesantren
pembangunan. Disamping masjid, rumah kyai/ustadz, pondok atau (asrama), madrasah
dana tau sekolah umum, terdapat pula pembangunan-pembangunan fisik lain seperti :
perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, took, rumah penginapan
tamu (orangtua santri11 atau tamu umum), ruang operation, dan sebagainya.

9
Ibid, h. 93.
10
Hasan basri, (Ilmu Pendidikan Islam. Cet.I. Bandung 2010). h. 233.
11
Ibid, h. 233.

8
Sebuah pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tahun 1980 keadaan
pondoknya masih seperti yang digambarkan dalam pola ketiga. Keadaan pondok
tempat santri menginap sangat sederhana, terbuat dari kayu dan dibangun diatas kolam.
Tempat tidur disatukan dengan sistem barak yang setiap santri hanya menyekatnya
dengan koper atau peti kayu tempat penyimpanan buku dan pakaian. Dapur umum yang
sempit dan kamar mandi yang jumlahnya kurang memadai sehingga santri laki-laki
banyak yang mandi ke tempat diluar pondok yang juga digunakan sebagai tempat
pemandian umum di masyarakat setempat.
Pada tahun 1987, pondok pesantren yang dimaksud berubah seperti disulap, apalagi
pada tahun 2008. Pondok yang dibangun diatas kolam sudah tidak ada. Kini, pesantren
itu sudah memiliki fasilitas pendidikan Islam yang lebih sempurna dan modern.
Asrama, perpustakaan, ruang kelas, aula, masjid, rumah-rumah para kyai atau ustaz,
ruang computer, laboratorium, dan sebagainya ada di pondok pesantren tersebut.
Model Perumusan Sistem Pendidikan Islam ada dua yaitu :
1. Model idealistik
Model idealistik adalah model yang lebih mengutamakan penggalian sistem
pendidikan Islam dari ajaran dasar Islam sendiri, yaitu al-Quran dan Hadits yang
mengandung prinsip-prinsip pokok berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek
pendidikan. Menurut Azyumardi Azra, dasar-dasar pembentukan dan pengembangan
pendidikan Islam yang pertama dan utama adalah al-Quran dan Assunnah. Model ini
menggunakan pola deduktif, dengan membangun premis mayor, (sebagai postulat)
yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor ini dijadikan sebagai “kebenaran
universal dan mutlak” untuk diterapkan sebagai premis minornya. Dan prpses ini
akhirnya mendapatkan konklusi mengenaj sistem pendidikan Islam.
2. Model pragmatis
Model pragmatis adalah model yang lebih mengutamakan aspek praktis dan
kegunaannya. Artinya, formulasi sistem pendidikan Islam itu diambil dari sistem
pendidikan kontemporer yang telas mapan. Apa saja yang terdapat pada pendidikan
kontemporer dikembangkan dalam pendidikan12 Islam, selama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.
C. Pesantren Kontinuitas dan Perubahan
a. Modernisasi pendidikan dan pesantren

12
Ramayulis. (Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta 2002), h 53.

9
Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui, tidak
bersumber dari kalangan kaum muslimin sendiri. Sistem pendidikan modern
pertamakali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan islam, justru
diperkenalkan oleh pemerintah colonial Belanda. Ini bermula dengan perluasan
kesempatan bagi pribumi dalam paroan kedua abad 19 untuk mendapatkan pendidikan.
Program ini dilakukan pemerintah klonial Belanda dengan mendirikan sekolah rakyat,
atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar 13selama tiga tahun, di beberapa tempat
di Indonesia sejak dasawarja1870-an, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan
siswa sekitar 16.606 orang, dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah
dengan sekitar 52.685 murid.
Tetapoi sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya, cukup
mengecewakan. Bagi pemerintah Belanda, sekolah desa ini tidak berhasil mencapai
hasil yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu
pengajaran yang sangat rendah. Pada pihak lain, di kalangan pribumi, khuususnya di
Jawa, terdapat resistansi yang kuat terhadap sekolah-sekolah ini, yang mereka pandang
merupakan bagian integral dari rencana pemerintah klonial Belanda untuk
“membelandakan” anak-anak mereka. Respon yang relative baik untuk tidak
mengatakan antusias terhadap sekola desa ini justru muncul di minang kabau, sehingga
banyak surau yang merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang di
transformasikan secara formal menjadi sekolah-sekolah nigari. Sekolah-sekolah nigari
yang semula yang merupakan surau tersebut, ternyata tidak sepenuhnya mengikuti
kurikulum yang di gariskan pemerintah Belanda, sehingga mendorong belanda untuk
melakukan standardisasi kurikulum, metode pengajaran dan lain-lain.
b. Ekspansi Pesantren
Dengan demikian jelslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan. Tetapi
lebih baru dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang diberikannya,
pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri, dan bahkan menempatkan
kembali diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia
secara keseluruhan.
Secara fisik pesantren mengalami kemaajuan yang cukup fenomenal. Berkat
peningkatan kemajuan ekonomi ummat Islam, sekarang ini tidak sulit mencari

13
Azyumardi Azra, ( Pendidikan Islam. Cetakan. IV. Jakarta, 2002), h 95.

10
pesantren-pesantren yang memiliki gedung-gedung dan fasilitas-fasiltas fisik lainnya
yang cukup megah dan mentereng. Pesantren, dengan demikian, tidak lagi bisa
sepenuhnya diasosiasiakan dengan fasilitas fisik seadanya, dengan asrama yang penuh
sesak dan tidak higienis, misalnya.
Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula,
menjadi juga lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota
seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Yogyakarta, Malang, Semarang, Ujung
pandang, atau wilayah sub-urban Jakarta seperti Parung atau Cilangkap. Seperti
dikemukakan Zamakhsyari Dhofier, diantar pesantren perkotaan yang muncul pada
14
1980-an adalah seperti pesantren Darun Najah dan ash-Siddiqiyah di Jakarta,
Pesantren Nurul Hakim, al-Kautsar, dan Darul Arofah di Medan, Darul Hikmah di
Pekanbaru.
c. Daya Tahan dan Kontinuitas Pesantren
Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Hussein Nasr, adalah dunia
tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam
yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, tidak terbatas dari periode tertentu dalam
sejarah Islam, seperti misalnya, periode kaum salaf, yakni para sahabat Nabi
Muhammad dan tabi’in senior. Anehnya, istilah “salaf” juga digunakan oleh kalangan
pesantren misalnya, “pesantren salafiyah” walaupun dengan pengertian yang jauh
berbeda, jika tidak bertolak belakang dengan pengertian umum mengenai salaf seperti
baru saja dikemukakan. Istilah salaf bagi kalangan pesantren mengacu kepada
pengertian “pesantren tradisional” yang justru syarat dengan pandangan dunia dan
praktek Islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf.
Pada pihsk lain, dalam pengertian lebih umum, kaum salafi adalah mereka yang
memegang faham tentang “islam yang murni” pada masa awal yang belum dipengaruhi
bid’ah dan khurafat. Karena itulah kaum salafi di Indonesia sering menjadikan
pesantren dan dunia Islam tradisional laainnya sebagai sasaran kritik keras mereka,
setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren atau kiyai dengan tasawuf atau
tarekat. Bagi kaaum salafi umumnya, tasawwuf dan tarekat merupakan pandangan
dunia dan pengamalan islam yang bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Meski kritik
semacam ini masih terus terdengar sampai sekarang, tetapi pesantren tetap bertahan.

14
Ibid, h. 106.

11
Karena itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implisit mengisyaratkan
bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan di tengah deru
modernisasi, meskipun sebagaimana dikemukakan diatas, bukan tanpa kompromi. Pada
awalnya dunia pesantren terlihat “enggan” dan “rikuh” dalam menerima modernsasi,
sehingga tercipta apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai “kesenjangan antara
pesantren dengan dunia luar”. Tetapi secara gradual, seperti dikemukakan diatas,
pesantren kemudian melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian
menemukan pola yang di pandangnya cukup cepat guna menghadapi modernisasi dan
perubahan yang kian cepat dan berdampak luas. Tetapi, semua akomodasi dan
penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa15 mengorbankan esensi dan hal-hal dasariah
lainnya dalam eksistensi pesantren.

15
Ibid, h. 107.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Kata
madrasah dalam bahasa Arab adalah bentuk kata keterangan tempat (zharaf makan) dari
akar kata darasa. Secara harfiah madrasah diartikan sebagai tempat belajar para pelajar,
atau tempat untuk memberikan pelajaran.
Sistem pengajaran dan pendidikan agama yang paling baik di Indonesia adalah
sistem pengajaran model madrasah dan sistem pendidikan model pesantren. Jelasnya,
madrasah dalam pesantren adalah sistem pengajaran dan pendidikan agama yang paling
baik. Maka dapatlah diharapkan bahwa pendidikan madrasah dalam pesantren akan
terhimpun seni, ilmu, dan agama, yang merupakan tiga komponen pendidikan yang
harus terkumpul dalam diri seseorang, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok
masyarakat
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan ataupun
kekurangan, dan sangat jauh dari kata sempurna. Sehingga penulis akan memperbaiki
makalah tersebut dengan berpedoman kepada banyak sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yanag
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, (Kapita Selekta Pendidiksn islam, (Jakarta, 2012).


Azyumardi Azra,.( Pendidikan Islam. Cetakan. IV. Jakarta, 2002).
Beni Ahmad Saebani, (Ilmu Pendidikan Islam. Cet.I. Bandung 2010).
Hasan Basri, (Ilmu Pendidikan Islam. Cet.I. Bandung 2010),
Ramayulis. (Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta 2002).

14

Anda mungkin juga menyukai