Anda di halaman 1dari 24

HAKIKAT HUKUM ISLAM: TUJUAN, KARAKTERISTIK DAN ASAS-ASAS

HUKUM ISLAM

Oleh: Alfa Syiharurrohman SJ (NIM: C92218109)

A. Pendahuluan

Dalam menjalani kehidupan di dunia maupun di akhirat, umat Islam memegang dan
mentaati hukum-hukum yang telah berlaku, seperti hukum Islam. Pada dasarnya, umat Islam
melaksanakan dan mentaati hukum Islam agar kehidupan umat Islam dapat berjalan dengan
baik dan meraih kesuksesan, baik kesuksesan kehidupan di dunia maupun kesuksesan
kehidupan di akhirat. Hukum Islam sendiri merupakan hukum-hukum atau aturan-aturan yang
bersumber dari firman Allah SWT., hadits Rasulullah, ijma` atau pendapat para ulama dan
qiyas.

Tulisan ini ditujukan untuk menggambarkan perihal mengenai hakikat dari hukum
Islam, lebih terperincinya untuk membahas tujuan hukum Islam, karakteristik hukum Islam
dan asas-asas hukum Islam. Tujuan hukum Islam sendiri akan membahas lebih terperinci
mengenai pengertian tujuan hukum Islam dan juga pembagian tujuan hukum Islam menurut
beberapa pakar hukum Islam. Pada bagian karakteristik hukum Islam, tulisan ini akan
membahas secara lebih terperinci mengenai karakteristik dari hukum Islam. Hukum Islam
memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh hukum-hukum yang berlaku pada dunia dan
juga akan membahas pembagian karakteristik hukum Islam. Sedangkan pada asas-asas hukum
Islam, tulisan ini akan membahas asas-asas hukum Islam secara umum dengan bermacam-
macam pembagiannya, serta asas-asas hukum dari percabangan hukum Islam.

Dengan mengetahui tujuan, karakteristik dan asas-asas hukum Islam secara mendalam
dan terperinci, seorang muslim akan lebih faham dan mengerti bagaimana sebenarnya hakikat
dari hukum Islam. Tulisan ini juga ditujukan agar umat Islam lebih bersemangat dalam
melaksanakan dan mentaati hukum Islam secara lebih sabar dan ikhlas. Karena dengan
mengetahui tujuan hukum Islam, umat Islam akan lebih mengerti bagaimana tujuan dari hukum
Islam itu ditetapkan. Dengan mempelajari karakteristik hukum Islam, umat Islam akan lebih
mengerti ciri-ciri dari hukum Islam itu sendiri. Mempelajari hal tersebut juga memberikan
pemahaman mengapa hukum Islam memiliki perbedaan mendasar jika dibandingkan dengan
hukum-hukum lainnya yang berlaku di dunia ini. Sedangkan, mempelajari asas-asas hukum
Islam bermanfaat lebih memahami apa saja yang dijadikan pondasi dalam menetapkan hukum
Islam.

1
B. Tujuan Hukum Islam (Maqashidus Syari`ah)

Tujuan Hukum Islam dalam istilah lain biasa dikenal dengan istilah Maqashidus
Syari`ah. Pengertian Maqashidus Syari`ah secara bahasa (Lughawi) terdiri dari dua kata, yaitu
Maqashid dan Al-Syari`ah. Maqashid sendiri memiliki arti tujuan atau kesengajaan. Sedangkan
Al-Syari`ah memiliki arti jalan yang ditempuh untuk menuju sumber air, dengan kata lain Al-
Syari`ah dapat diartikan jalan yang ditempuh untuk menuju sumber kehidupan.20

Pengertian dari Maqashidus Syari`ah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,


memberikan efek pemicu terhadap para ahli hukum islam untuk memberikan batasan
pengartian secara istilah yang menyebut secara langsung tujuan syariah secara umum. Hal ini
dapat diketahui dengan adanya batasan yang telah dikemukakan oleh Syaltut. Menurutnya,
Syariah merupakan segala suatu aturan yang diciptakan oleh Allah SWT. sebagai pedoman
manusia dalam mengatur kehidupannya, berupa mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT., hubungan sesama manusia, baik terhadap orang muslim maupun orang non-muslim,
beserta hubungan manusia dengan seluruh alam.21 Demikian pula pendapat yang dikemukakan
oleh Ali al-Sayis mengenai definisi dari Syariah, menurutnya Syariah merupakan hukum-
hukum yang diberikan oleh Allah SWT. kepada hamba-hambanya agar mereka dapat percaya
pada-Nya dan mengamalkannya, semua itu hanya untuk kepentingan hamba-hambanya di
didunia maupun di akhirat. Dari kedua definisi dari Syariah yang telah dipaparkan di
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan makna Syariah dan air dalam arti
keterkaitan cara dan tujuan.

Jika dipelajari dan di cermati secara seksama, menyeluruh dan mendetail apa yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya berupa Al-Qur`an dan juga ketentuan dari Nabi
Muhammad SAW. Yang tercantum dalam kitab-kitab hadis shahih, akan dapat ditemukan
tujuan dari hukum Islam yang telah dirumuskan secara umum. Bahwasannya tujuan hukum
Islam merupakan terwujudnya kebahagiaan seluruh umat manusia dalam menjalani kehidupan
di dunia maupun di akhirat kelak, dengan mengambil segala sesuatu yang bermanfaat dan
mencegah atau meninggalkan segala sesuatu yang madharat, yaitu segala sesuatu yang tidak
berguna dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dengan kata lain, tujuan
hukum Islam merupakan terwujudnya kemaslahatan kehidupan umat manusia, baik di

20
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), cet. 1, 105.
21
Ibid.

2
kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Kemaslahatan kehidupan manusia tersebut berupa
kemaslahatan jasmani dan rohani, baik secara individual maupun secara lingkungan sosial.

Dalam pembahasan Maqashidus Syariah, al-Syatibi menggunakan kata-kata yang


berbeda, namum memiliki arti dan makna yang sama dengan maqashid al-syariah, yaitu al-
maqashid al-syari`ah fi al-syari`ah dan maqashid min syari` al-hukm.22 Menurutnya maqashid
al-syariah merupakan hukum-hukum yang telah ditetapkan untuk tujuan kemaslahatan
kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Dari pengertian yang dikemukakan oleh al-
Syatibi tersebut memberikan sebuah gambaran bahwa setiap kewajiban yang telah diberikan
oleh Allah SWT. kepada hamba-hambanya, dalam rangka merealisasikan kemaslahatan bagi
umat manusia. Menurut al-Syatibi, sebuah hukum yang tidak memiliki sebuah tujuan sama
halnya dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dikerjakannya) dan hal ini
tidak mungkin ada pada hukum-hukum yang telah Allah SWT. berikan. Pandangan tersebut
juga diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwasannya
tujuan hukum islam yang hakiki adalah untuk kemaslahatan seluruh umat manusia dan tidak
ada satupun hukum yang telah di tetapkan, baik dalam Al-Qur`an maupun sunnah yang tidak
bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia.

Menurut pendapat Abu Ishaq Al-Syatibi mengenai lima rumusan tujuan hukum islam
yang telah dikemukakannya, dan kemudian disetujui oleh beberapa ahli hukum islam lainnya.
Lima rumusan tujuan hukum islam yaitu: pertama, memelihara agama; kedua, memelihara
jiwa; ketiga, memelihara akal; keempat, memelihara keturunan; kelima, memelihara harta.
Kelima tujuan hukum islam tersebut di dalam kamus keperpustakaan disebut al-maqashid al-
khamsah atau al-maqashiq al-syari`ah.

Tujuan hukum Islam yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat dari sudut pandang
yang berbeda, yaitu: pertama, “Pembuat Hukum Islam” yakni Allah dan Rasulnya; dan kedua,
manusia yang menjadi penerima hukum Islam dan yang melaksanakannya.23 Jika dilihat dari
sudut pandang “Pembuat Hukum Islam”, terdapat tiga rumusan tujuan hukum Islam, yaitu:
pertama, untuk memenuhi kebutuhan kehidupan seluruh umat manusia yang bersifat primer,
sekunder, dan tersier. Dalam keperpustakaan ketiga kebutuhan hidup manusia tersebut, biasa
disebut dengan istilah, daruriyyat, hajjiyat, dan tahsiniyyat. Kebutuhan primer atau biasa yang
disebut dengan daruriyyat merupakan sebuah kebutuhan utama yang bertujuan untuk

22
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), cet. 1, 106.
23
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Depok:
Rajawali Press, 2017), cet. 22, 61.

3
kemaslahatan kehidupan umat manusia, sehingga perlu adanya perlindungan dan pemeliharaan
dari hukum Islam. Sedangkan kebutuhan sekunder atau yang biasa disebut dengan hajjiyat
merupakan seluruh kebutuhan hidup manusia yang menunjang kebutuhan primer (daruriyyat),
sehingga kebutuhan primer bisa benar-benar didapatkan, seperti kemerdekaan, persamaan
kedudukan, dsb. Kebutuhan hidup manusia manusia yang terakhir adalah kebutuhan tersier
atau yang biasa disebut dengan tahsiniyyat yang merupakan kebutuhan hidup umat manusia
selain dari kebutuhan primer (daruriyyat) dan sekunder (hajjiyat), sandang, pangan, papan atau
perumahan, dan lain-lain. Kedua, tujuan dari hukum Islam adalah agar setiap umat manusia
menaati dan melaksanakan apa saja ketentuan yang ada pada hukum Islam dalam setiap unsur
kehidupannya sehari-hari. Ketiga, agar umat manusia dapat dan mampu mentaati dan
melaksanakannya, perlu adanya peningkatan kualitas pemahamannya dalam hukum Islam
dengan mempelajari ushul fiqh, yakni metodologi dasar pembentukan dan pemahaman hukum
Islam.

Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang manusia sendiri yang sebagai pelaku,
penerima, dan pelaksana hukum Islam, tujuan hukum Islam adalah untuk tercapainya
kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia itu sendiri, dengan cara yang telah sedikit
disinggung dari pemaparan sebelumnya, yaitu dengan mengambil setiap hal yang bermanfaat
dan meninggalkan atau menolak setial hal yang madharat. Dengan demikian, jika dirumuskan
kembali dari pemaparan di atas, tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai ridha Allah
SWT. dalam berkehidupan di dunia maupun di akhirat kelak demi kepentingan umat manusia
sendiri.

Kepentingan umat manusia yang paling penting adalah kepentingan yang bersifat
primer atau yang biasa disebut dengan daruriyyat, kepentingan tersebut merupakan tujuan
utama yang perlu dilindungi dan dipelihara oleh hukum Islam. Kepentingan-kepentingan yang
perlu dilindungi dan dipelihara tersebut juga telah disinggung di pemaparan di atas yang
disebut al-maqashid al-khamsah, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, harta.

Pemeliharaan agama merupakan tujuan dari hukum Islam yang pertama, karena agama
merupakan landasan dan juga pedoman umat manusia dalam menjalani setiap kehidupannya.
Dalam agama Islam, terdapat beberapa komponen, seperti akidah yang merupakan tiang atau
pegangan umat muslim dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, terdapat juga akhlak yang
merupakan pedoman dan tata cara dalam berperilaku, bersikap dan komponen yang terakhir
yang tidak kalah pentingnya yaitu syariat. Syariat merupakan jalan yang dipilih oleh umat

4
muslim untuk berkehidupan dengan sesama manusia lainnya maupun hubungan dengan Allah
SWT. Ketiga komponen tersebut memiliki peranan masing-masing yang saling berhubungan.
Maka dari itu hukum Islam perlu melindungi kepentingan umat manusia dalam beragama
sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya dan menjamin kebebasan seseorang dalam
beribadah demi terwujudnya kemaslahatan dalam berkehidupan dan bermasyarakat.

Tujuan dari hukum Islam yang kedua adalah pemeliharaan jiwa. Setiap manusia
memiliki hak untuk hidup dan bertahan hidup, dengan demikian hukum Islam perlu melindungi
hak setiap manusia tersebut. Maka dari itu, hukum Islam melarang adanya pembunuhan
terhadap seseorang, dengan dalih menghilangkan jiwa seseorang. Sarana dan prasarana yang
digunakan manusia untuk menjalani kehidupan dan bertahan hidup juga harus dilindungi oleh
hukum Islam, agar manusia mampu menjalani kehidupannya dengan baik dan mencegah
adanya kehilangan jiwa akibat dari kelalaian seseorang.

Tujuan dari hukum Islam yang ketiga adalah pemeliharaan akal. Pentingnya hukum
Islam melindungi pemeliharaan akal dikarenakan akal digunakan manusia untuk berfikir
mengenai Allah SWT. alam semesta, dan juga dirinya. Dengan adanya akal, manusia dapat
mengembangkan pemahaman mengenai agama Islam, sains dan juga untuk mengembangkan
teknologi. Ketika seorang manusia tidak memiliki akal, manusia tersebut tidak akan dapat
melaksanakan hukum Islam, dan juga tidak mungkin bisa menjadi pelaku hukum Islam.
Dengan demikian, itulah yang menjadi penyebab pemeliharaan akal menjadi salah satu dari
tujuan hukum Islam. Perlu juga adanya arahan dalam penggunaan akal untuk di salurkan ke
berbagai hal yang bermanfaat bagi kehidupannya, bukan untuk hal-hal yang dapat
menghancurkan kehidupannya sendiri. Maka dari itu hukum Islam mengatur larangan
meminum minuman yang memabukkan atau biasa disebut dengan khamr, dan menghukum
setiap perbuatan yang dapat merusak akal. Ketentuan tersebut merupakan bentuk upaya untuk
mencegah rusaknya akal manusia.

Pemeliharaan keturunan merupakan tujuan hukum Islam yang keempat. Pemeliharaan


keturunan ditujukan agar kemurnian hubungan darah dan gen dapat dijaga, selain itu untuk
meneruskan kehidupan umat manusia. Perlunya pemeliharaan keturunan karena hubungan
darah menjadi persyaratan dalam hal waris, baik dalam hal harta, mandat maupun jabatan.
Adapun juga larangan-larangan perkawinan yang dijelaskan secara terperinci di dalam Al-
Qur`an dan larangan berzina. Hukum kekeluargaan dan kewarisan merupakan hukum yang

5
telah ditetapkan Allah SWT. secara khusus demi terwujudnya kemaslahatan keturunan dan
kemurnian hubungan darah.

Tujuan hukum Islam yang terakhir adalah pemeliharaan harta. Menurut kaca mata
Islam, harta merupakan segala sesuatu pemberian Allah SWT. kepada manusia yang dapat
dicari, disimpan, dan dimanfaatkan, agar manusia dapat mempertahankan dan menjalani
kehidupannya dengan baik. Maka dari itu, hukum Islam mengatur cara mendapatkan harta yang
halal dan sah. Hukum Islam juga melindungi hak manusia untuk mendapatkan harta, serta
melindungi hak kepemilikan harta seseorang, agar tidak terjadi hal-hal yang merampas
kepemilikan harta seseorang dengan cara mencuri, menipu, menggelapkan, dan kejahatan
lainnya terhadap kepemilikan seseorang. Dalam hal peralihan harta, hukum Islam juga
mengaturnya secara terperinci agar peralihan harta dan berlangsung dengan baik dan adil sesuai
dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku.

Dalam arti syara', maqashid syari'ah memiliki empat aspek, antara lain: pertama, tujuan
yang hakiki dari syariat, merupakan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia, maupun di
akhirat kelak. Hal tersebut berkaitan dengan hakikat dan muatan dari maqashid al-syari'ah;
kedua, syariah dianggap sebagai sesuatu yang harus dapat dipahami dengan jelas, hal tersebut
berkaitan dengan tata bahasa agar tidak adanya diksi yang memberdakan pengartian, sehingga
dapat terwujud kemaslahatan yang di dambakan; ketiga, syariah sebagai hukum yang
dibebankan kepada subyek hukum yang harus dilakukan; keempat, tujuan dari syariah adalah
untuk menuntun manusia agar perada di bawah perlindungan hukum dan agar manusia
memenuhi kepatuhannya terhadap hukum Allah. Dengan demikian, jika digunakan istilah yang
lebih tegas, bahwa aspek tujuan syariah merupakan upaya agar manusia tidak mendapat
kekangan dari hawa nafsu.

Al-Imam al-Haramain al-Junaini merupakan salah satu tokoh yang mempopulerkan


istilah maqashid syari'ah dalam beberapa kitab yang beliau tulis dan beliau juga yang orang
yang pertama kali merumuskan klasifikasi maqashid syari'ah dalam tiga kategori besar, yaitu:
dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Namun, teori maqashid syari’ah baru pertama kali
muncul dan dikenal pada abad keempat hijriyah, dan pertama kali digunakan istilah maqashid
syari’ah oleh Abu Abdallah al-Tirmidzi al-Hakim dalam buku yang telah ditulisnya. Pemikiran
maqashid syari’ah mengenai klasifikasinya dalam tiga rumusan besar yang telah dicetuskan
oleh al-Junain, dikembangkan lagi oleh Abu Hamid Al-Ghazali (505 H) yang dituliskan secara
panjang lebar dan lebih terperinci tentang maqashid syari’ah dalam kitabnya yang berjudul

6
Shifa al-Ghalil dan al-Musthafa min 'Ilmi al-Ushul. Kemudian muncul prinsip dasar syariah
berupa, kehidupan, intelektual, agama, garis keturunan atau silsilah dan harta kekayaan, prinsip
dasar syariah tersebut merupakan penjabaran dari teori maqashid syariah yang dicetuskan oleh
al-Amidi.24 Selanjutnya Maliki Shihab al-Din al-Qarafi juga memberikan pendapatnya
mengenai prinsip dasar syariah selain yang telah dicetuskan al-Amidi berupa prinsip
perlindungan kehormatan (al-'ird), pendapat dari Maliki Shihab tersebut juga mendapat
dukungan dari Taj al-Din Abdul Wahab Ibn al-Subqi (771 H) dan Muhammad Ibn Ali al-
Shoukani (1255 H).25

Menurut Ibn Taimiyah (728 H), dharuriyah merupakan tujuan hukum Islam yang
pertama, dan beliau juga memperluas gagasan maqashid syari`ah menjadi lima aspek pokok.
Menurut beliau, maqashid syari`ah juga meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan bidang
muamalah, seperti pemenuhan janji atau kontrak, pemeliharaan ikatan antar anggota keluarga
dan menghormati hak-hak setiap anggota keluarga.26 Beliau juga menambahkan peningkatan
kualitas rasa cinta kepada Allah SWT, ketulusan hati, kujujuran dan kemurnian moral,27 hal
tersebut merupakan maqashid syari`ah dalam bidang hablum minallah atau hubungan dengan
Allah SWT. Teori pendekatan yang telah dikemukakan oleh Ibn Taimiyah (728 H), kemudian
dikembangkan lagi oleh para ahli hukum Islam kontemporer, seperti Yusuf al-Qardhawi dan
Ahmad al-Raisuni. Mereka berdua menambahkan harga diri, martabat seseorang, kebebasan,
kesejahteraan social dan persaudaraan sesama manusia, termasuk ke dalam maqashid Syariah
juga.28

Walaupun para ahli Hukum Islam klasik, maupun para ahli hukum Islam kontemporer
menyetujui pengembangan maqashid syari`ah sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, pada dasarnya prinsip dari maqashid syari`ah yaitu: pertama maqashid al-
dharuriyyat yang merupakan tujuan hukum Islam yang ditujukan untuk pemeliharaan lima
pokok unsur kehidupan, seperti pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan
keturunan, pemeliharaan akal dan pemeliharaan harta; kedua, maqashid al-hajjiyat yang
merupakan tujuan hukum Islam yang ditujukan untuk memelihara lima unsur pokok kehidupan
atau maqashid al-dharuriyyat, agar hal tersebut bisa terwujud dan terealisasikan.; ketiga,
maqashid al-tahsiniyah yang merupakan tujuan hukum Islam yang dimaksudkan agar manusia

24
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), cet. 1, 107.
25
Ibid.
26
Ibid., 108.
27
Ibid., 108.
28
Ibid., 108.

7
melakukan daya upaya terbaik dalam melaksanakan lima unsur pokok kehidupan, sehingga
dapat terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Ketika lima unsur pokok kehidupan tersebut
tidak dapat tercapai, maka akan timbul ketidakseimbangan dan rusaknya kehidupan di dunia
sehingga berdampak pada kehidupan di akhirat kelak. Perlu adanya pengabdian dari setiap
umat manusia terhadap aspek hajjiyat, agar tidak sampai terjadi kerusakan pada keberadaan
lima unsur pokok. Sedangkan pengabdian terhadap aspek tahsiniyat, diperlukan untuk
menjadikan upaya pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan menjadi lebih sempurna.

Menurut Ahmad Azmar Basyir, tujuan hukum Islam terperinci lagi menjadi tiga
kelompok bebas, yaitu; pertama, pendidikan pribadi, hukum Islam memberikan pendidikan
pada pribadi-pribadi, agar manusia dapat memanfaatkan ilmunya pada hal-hal positif untuk
keberlangsungan hidup, bukan untuk kehancuran yang bisa merugikan pribadi lain; kedua,
menegakkan keadilan, keadilan harus selalu bisa ditegakkan baik keadilan dibidang hukum,
keadilan bagi diri sendiri dan keadilan sosial; ketiga, memelihara kebaikan hidup, yang
dimaksud kebaikan hidup adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan kehidupan
manusia, harus dipelihara dengan baik, yaitu kepentingan primer (pokok), kebutuhan sekunder
(bukan pokok), tersier (pelengkap).29 Kepentingan-kepentingan pokok tersebut harus
dilindungi dengan sebaik-baiknya, karena apabila kepentingan tersebut hanya dibiarkan,
keseimbangan kehidupan manusia akan rusak dan hancur.

Menurut Ibnu Qayyim, tujuan dari hukum Islam adalah untuk kebahagiaan,
kesejahteraan seluruh umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.30 Hukum Islam berdiri
atas asas kehikmatan dan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Sedangkan Syariah Islam
adalah terwujudnya keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan bagi
seluruh makhluknya. Hukum Islam bukanlah hukum yang setiap permasalahan ataupun
persoalan yang menyimpang dari kasih sayang, menyimpang dari kemaslahatan dan menuju
kefasadan, menyimpang dari kebijaksanaan menuju hal-hal yang sia-sia dan tidak berfaedah.
Hukum Islam itu bersifat adil secara objektif, hukum Islam juga menempatkan keadilan Allah
SWT. di tengah-tengah hambanya dan kasih sayang Allah kepada seluruh makhluknya.

29
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), cet. 1, 110.
30
Ibid.

8
C. Karakteristik Hukum Islam

Karakteristik dari Hukum Islam berbeda dengan karakteristik dari hukum lain yang ada
di dunia, karakteristik dari Hukum Islam memiliki corak tersendiri, sangat membedakan antara
yang mana Hukum Islam dan yang mana hukum selain hukum Islam. Berbedanya Hukum
Islam dikarenakan bersumber langsung dari firman Allah SWT. tanpa adanya campur tangan
manusia. Hukum-hukum selain hukum Islam yang ada di dunia ini, terdapat campur tangan
manusia yang tidak luput dari kepentingan perseorangan atau individu dan hawa nafsu.
Menyedikitkan beban yang akan di tanggung subjek hukum merupakan salah satu karakteristik
dari hukum Islam, agar umat muslim sebagai subjek hukum Islam dapat melaksanakan dan
mentaati hukum Islam sebaik-baiknya, demi terwujudkan kehidupan yang bahagia dan
maslahah.

Karakteristik dari hukum Islam telah banyak dibahas oleh beberapa pakar hukum Islam
yang dituliskan dalam setiap bukunya atau literatur lainnya. Para pakar hukum Islam
sependapat dengan pedoman Al-Qur`an yang dijadikan patokan dalam menentukan
karakteristik hukum Islam, pedoman tersebut adalah Q.S. Al-A`raf (7): 157 yang artinya
sebagai berikut:

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca dan tulis) yang
(Namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang
menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan yang menghalalkan
segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan
membebaskan beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang
beriman padanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”31

Berdasarkan pada Q.S. Al-A`raf (7): 157 yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada mulanya Allah SWT. tidak memberikan batasan umat manusia dalam
berperilaku, kemudian Allah SWT. memberikan batasan umat manusia dapat berperilaku
dengan baik dan terarah, baik dalam beribadah kepada maupun dalam berperilaku di kehidupan
sehari-hari. Bagi subjek hukum Islam yaitu umat manusia, mungkin dengan adanya batasan-
batasan tertentu akan memberikan dampak terkekangnya umat manusia. namun, Allah SWT.
juga memberikan kelonggaran dan kemudahan, hal demikian dimaksudkan agar umat manusia
sebagai subjek hukum Islam dapat menjalankan dan menaati apa saja yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT. dengan semestinya.

31
Q.S. al-A`raf: 157.

9
Menurut Hasbi ash-Shiddedy beberapa karakteristik dari hukum Islam, yaitu: pertama,
sempurna (ta`amul); kedua, harmonis (wasathiyah); ketiga, dinamis (harakah).32 Menurut
Muhammad Ali al-Sayih karakteristik dari hukum Islam yang paling menunjol itu ada tiga,
yaitu: pertama, tidak menyusahkan, dengan kata lain karakteristik hukum Islam selalu selalu
menghindari kesusahan dalam hal pelaksanaanya; kedua, menjaga tujuan dari hukum Islam,
berupa kemaslahatan kehidupan umat manusia; ketiga, selalu menjunjung tinggi dan
melaksakan keadilan dalam hal penerapannya.33 Sedangakan menurut Abdul Basir bin
Muhammad, beberapa ahli hukum Islam terdapat beberapa perbedaan mengenai macam-
macam dari karakteristik hukum Islam, namun maksud dan tujuannya sama dan tidak keluar
dari prinsip-prinsip yang ada di Al-Qur`an. Prinsip-prinsip tercantum dalam Q.S. Al-A`raf (7):
157 yang intinya yaitu, tidak susah, sedikit beban, berangsur-angsur, terdapat kelonggaran dan
sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Dari uraian beberapa pakar hukum Islam di atas, berikut ini penjelasan dan penguraian
dari macam-macam karakteristik hukum Islam sebagai berikut:

1. Ketuhanan (Rabbaniyah)

Hukum Islam memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh hukum-hukum selain hukum Islam
yang dibuat oleh manusia dalam berbagai segi dan makna. Hukum-hukum yang dibuat oleh
manusia hanya seperangkat aturan yang bersifat keduniawian dan materil semata. Aturan-
aturan yang terkandung pada hukum-hukum selain hukum Islam hanya terbatas pada hal-hal
yang berkaitan dengan sifat zahir, tidak terdapat istilah halal dan haram, tidak ada hal-hal yang
berkaitan dengan sifat batin dalam mengatur tata cara hubungan dengan sang pencipta (Khaliq).
Dengan demikian, jika saja Lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif bersifat pasif dan
lemah, atau Lembaga hukum yang berwenang melakukan kesalahan, sementara pada waktu
terdakwa dapat meloloskan diri dari tuduhan yang didapatkannya, maka kejadian yang
demikian itu, terdakwa akan terbebas tanpa dosa dan keadilan tidak ditegakkan.

Hukum Islam adalah hukum yang diciptakan oleh Allah SWT. kepada umat manusia,
untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, baik kebutuhan jasmani atau pun rohani dan
kebutuhan untuk hidup di dunia ataupun di akhirat. Dalam pelaksanaan hukum Islam, kualiatas
keimanan, ketaqwaan dan akhlak sangat dibutuhkan, walaupun juga bergantung pada kekuatan
dan kekuasaaan. Hukum Islam memberikan balasan atau sanksi atas apa yang telah diperbuat

32
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), cet. 1, 95.
33
Ibid.

10
seseorang, baik di dunia maupun di akhirat, berbeda dengan hukum-hukum di dunia ini yang
hanya memberikan balasan atas perbuatannya di dunia. Oleh karena itu, kualitas penghormatan
dan ketaatan terhadap syariat secara baik, tidak hanya ketaatan pada hukum-hukum yang nash
bersumber dari al-Qur`an dan Hadits, tetapi juga menaati hukum-hukum yang bersumber dari
ijtihad ulama, serta peraturan-peraturan lainnya yang ditetapkan oleh sebuah negara demi
seperti, peraturan lalu lintas, peraturan perpajakan dan lain sebagainya, hal demikian dilakukan
demi terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Mentaati dan melaksanakan aturan-aturan
yang dibuat oleh negara juga termasuk hal yang diwajibkan oleh Allah SWT. hal tersebut
tercantum jelas dalam firman Allah SWT. pada Q.S. An-Nisa` (4): 59 yang artinya sebagai
berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taati Rasul (Muhammad), ulil amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.” 34

Jika ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa hukum Islam selalu menjaga dan
memelihara segala aspek bagi kehidupan umat manusia, pernyataan tersebut bukanlah hal yang
salah. Dengan demikian, hukum Islam juga termasuk dalam syariat Islam, hukum Islam adalah
salah satu perwujudan hukum yang ada di dunia ini yang tidak mungkin mengandung unsur
kebatilan di dalamnya, dan Allah SWT juga telah menjamin bahwa hukum Islam itu akan
sesuai dengan keadaan dan kondisi umat manusia di manapun, kapan pun dan dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi. Hukum Islam juga tidak mengandung
unsur kepicikan, tidak memperberat, selalu memberikan kemudahan dan menjauhkan
kesuliatan dalam melaksakan hukum Islam. Sehingga umat manusia dapat mentaati dan
melaksanakan semua hukum Islam. Hukum Islam selalu menjaga dan mementingkan
kemaslahatan umat manusia dan merealisasikan keadilan yang merata bagi umat manusia.

Dalam pelaksanaannya, hukum Islam sangat mementingkan akhlak dan moral dalam
setiap aspek kehidupan umat manusia, hal tersebut adalah bentuk akibat dari karakteristik
hukum Islam yaitu ketuhanan (Rabbaniyah) ini. Dengan demikian peran aktif hukum Islam
dalam memajukan kualitas umat manusia, menyelamatkan umat manusia dari egoistis
perorangan dan hawa nafsu yang mengikat manusia, melepaskan umat manusia dari jeratan
adat istiadat ataupun kebiasaan yang menyimpang dan menjaga ketertiban dan keamanan

34
Q.s. an-Nisa`: 59.

11
dalam berkehidupan dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat dengan mengacu ataupun
berpedoman pada akhlak-akhlak yang baik dan mulia. Oleh karena itu, hukum Islam sangat
tidak setuju dan tidak mengakui pemisahan antara peraturan atau undang-undang dengan
akhlak (moral), hal tersebut hampir sama dengan tidak setujunya hukum Islam atas pemisahan
antara politik dan ekonomi.

2. Universal (Syumul)

Salah satu fakta mengenai hukum Islam yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa hukum
Islam adalah hukum telah berlaku hampir pada seluruh penjuru dunia dengan berbagai
kelebihan dan kekurangannya, berbagai keragaman bangsanya dan peradabannya dan sesuai
dengan perubahan waktu dan zamannya. Hukum Islam juga telah mampu memenuhi berbagai
macam kebutuhan umat manusia dengan memecahkan berbagai macam masalah dan
problematika yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai masalah yang timbul di
selesaikan oleh hukum Islam dengan cara yang aman, tertib dan adil yang merata. Hukum Islam
telah tampil sebagai bentuk perundang-undangan yang digunakan oleh negara-negara Islam
dalam kurun waktu sekitar 13 abad lamanya sampai datangnya imperialisme barat yang
menggantikan hukum Islam sebagai perundang-undangan yang dibuat oleh tangan manusia.

Hal-hal yang telah disampaikan di atas, dapat terwujud dan terlaksana dengan sebaik-
baiknya karena hukum Islam memiliki keteguhan dasar dan akar yang cukup kuat terhadap
akal dan keluhuran fitrah. Selain itu hukum Islam juga memiliki unsur pemeliharaan realita,
pemeliharaan terhadap keseimbangan antara hak dan kewajiban, pemelihaaan jasmani dan
rohani, baik di dunia maupun di akhirat yang berfondasi dari sifat keadilan. Hukum Islam juga
memiliki sifat elastisitas (murunah), dengan kata lain hukum Islam bisa menjadi fleksibel
terhadap permasalahan baru yang muncul dan mampu mengatasi berbagai permasalahan pada
zaman modern ini. Hukum Islam memiliki karakter universal (syumul), sehingga hukum Islam
dapat digunakan pada berbagai zaman dalam kehidupan dan eksistensi manusia. hukum Islam
merupakan salah satu hukum yang dapat digunakan pada setiap zaman dan generasi, hukum
Islam bukanlah hukum yang terbatas dengan masa dan tempat yang penerapannya akan terkikis
dan berakhir seiring dengan berakhirnya zaman tersebut, seperti pada hukum-hukum yang
dibawa oleh nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi Rasul.

As-Syahid Hassan al-Banna meengungkapkan pendapatnya mengenai jangkauan


universal (syumul) dalam karakteristik hukum Islam. Menurutnya, jangkauan universal
(Syumul) dalam risalah Islam (termasuk hukum-hukum yang ada di dalamnya) adalah risalah

12
yang memberikan perintah atau yang menyuruh yang mencakup setiap abad sepanjang zaman,
terhampar sangat luas, sehingga mampu mencakup semua lapisan umat manusia, sangat
mendalam dan mendetail sehingga mampu memuat segala hal yang berkaitan dengan urusan
umat manusia di dunia maupun di akhirat dan mengatur jalannya kehidupan manusia di dunia.35

Berdasarkan pendapat As-Syahid Hassan al-Banna mengenai jangkauan syumul dalam


risalah Islam, Yusuf al-Qardhawi juga mengemukakan pendapat yang sejalan dengan
ketentuan di atas. Menurut Yusuf al-Qardhawi makna syumul dalam risalah Islam adalah
memberikan pengertian kepada seluruh umat manusia bahwa Islam adalah risalah bagi seluruh
umat manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, maupun dalam menjalani aktivitasnya di
dunia.36 Tidak ada satupun aspek yang tertinggal pada aspek kehidupan manusia dari Islam,
kecuali di dalam aspek tersebut ada yang harus dilakukannya. Aspek-aspek kehidupan manusia
tersebut terkadang muncul atau lahir dari penetapan atau keputusan dalam bentuk pelurusan
dan perbaikan. Aspek-aspek kehidupan manusia juga muncul dari penyempurnaan dan
perubahan melalui sebuah nasihat dan pengarahan, melalui qanun dan peraturan negara
lainnya, terkadang juga muncul dengan cara hukuman bagi seseorang yang semuanya
diletakkan pada tempatnya dengan proporsional.

Hukum Islam dapat dikatakan berkarakteristik universal (syumul) karena hukum Islam
mampu mencakup apa saja yang berkaitan dengan permaslahan yang ada dalam keluarga,
seperti pernikahan, perceraian, nafkah, penyusuan, kewarisan, hak penguasaan terhadap diri
sendiri dan harta, semua hal yang telah disebutkan sebelumnya, dicakup menjadi salah satu
bidang hukum Islam yang biasa disebut dengan al-ahwal asy-syahsiyah atau masalah-masalah
individu dan keluarga. Selain itu, hukum Islam juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan
pedagangan, moneter, bisnis dan apa saja yang berkaitan dengan ketentuan tukar menukar harta
benda, baik dengan sebuah imbalan maupun tanpa imbalan, seperti jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam, utang piutang, gadai, wesel, jaminan, asuransi dan sebagainya. Hukum
Islam juga mencakup apa saja yang berkaitan dengan jinayah, krimanalitas, hudud, qiyas dan
sebagainya. Hukum Islam juga memberikan ketentuan pada hal-hal yang berkaitan kewajiban
sebuah negara terhadap rakyatnya maupun sebaliknya rakyat terhadap negara, serta mengatur
tata cara komusikasi di antara keduanya, termasuk juga hukum-hukum internasional dan politik
negara.

35
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), cet. 1, 98.
36
Ibid.

13
3. Harmonis (al-Wasthiyyah)

Karakteristik dari hukum Islam yang ketiga adalah Harmonis (al-Wasthiyyah). Dalam
segi arti, al-wasthiyyah memiliki arti yang hamper sama dengan keseimbangan (at-tawazun)
yang memiliki arti keseimbangan antara dua jalan ataupun keseimbangan antara dua arah yang
berbeda dan saling bertentangan, di mana salah satu arah tersebut tidak dapat memberikan
dampak yang signikan tanpa adanya arah yang lain dan mengabaikan arah yang lainnya, serta
tidak dapat mengambil hak yang lebih besar melampui hak dari arah yang lainnya. Maksud
dari dua arah yang berbeda dan berlawanan adalah seperti spiritualisme (nuhhiyyah) dengan
materialism (maddiyah), individualisme (fardhiyah) dengan kolektif (jama`iyah), kontekstual
(waqi`iyah) dengan idealisme (mitsaliyyah), konsisten (satbat) dengan perubahan (taqhayyun),
dan lain sebagainya.37

Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa hukum Islam mengambil jalan tengah
(wasathan) dalam setiap permasalahan yang muncul dan harus dihadapi, jalan tengah yang
dimaksudkan adalah jalan yang seimbang, tidak terlalu dominan ke kiri karena tidak
mementingkan hal-hal materialistis, dan tidak condong ke kanan juga, karena mementingkan
hal-hal kerohanian. Hukum Islam selalu mampu menyelaraskan antara fakta ideal yang terjadi,
dengan impian yang di damba-dambakan seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadits.
Hukum Islam menempuh suatu pilihan yang terletak antara pemikiran-pemikiran yang
dominan ke hal-hal material dengan pemikiran-pemikiran yang dominan ke hal-hal kerohanian.
Hukum Islam tidak terlalu mementingkan individu dan hukum Islam juga tidak terlalu
mementingkan rohaniah. Hukum Islam tidak bersifat kapitalis dan hukum Islam juga tidak
bersifat marxisme. Hukum Islam mampu memposisikan dirinya pada letak yang proposional,
yaitu tengah-tengah antara kecenderungan hal-hal yang berkaitan dengan maddiyah dengan
kecenderungan hal-hal yang berkaitan dengan rohaniah.

Hukum Islam memberikan keleluasaan dan harapan kepada umat manusia untuk
memperoleh kesuksesan dalam kehidupannya, baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di
akhirat. Hukum Islam juga mempertemukan antara dua arah yang berlainan dan bertentangan,
yaitu arah idealism dengan arah materialism, hal tersebut juga tercantum dalam firman Allah
SWT. pada Q.S. Al-Qashash (28): 77, sebagai berikut:

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada

37
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), cet. 1, 100.

14
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”38

4. Manusiawi (Insaniyah)

Karakteristik dari hukum Islam yang bersifat manusiawi (insaniyah) memeliki makna bahwa
hukum Islam ada ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat manusia,
memberikan bimbingan dan pemeliharaan pada sifat-sifat kemanusiaan, serta menjaga manusia
agar sifat-sifat jahat hewani tidak dapat mengalahkan sifat kemanusiaannya. Hukum Islam
memformulasikan dirinya dalam bentuk ibadah kepada sang pencipta untuk memenuhi
kebutuhan kerohanian umat manusia. Hal tersebut dilakukan agar sifat-sifat kemanusiaan tidak
kalah dengan sifat-sifat jahat hewani. Ketika hukum Islam memberikan perhatian pada aspek-
aspek rohani manusia, hukum Islam juga tidak pernah melupakan aspek-aspek raga dan
keperluannya. Hukum Islam memberikan dorongan dan juga motivasi kepada umat manusia
agar manusia menjalani kehidupannya di muka bumi ini untuk mencari karunia Allah SWT.
serta untuk memakmurkan kehidupannya di dunia ini dengan memberikan anjuran kepada
manusia agar melakukan perbuatan yang baik, tidak saling bermusuhan, apalagi saling
membunuh.

38
Q.S. al-Qashash: 77.

15
D. Asas-Asas Hukum Islam
1. Pengertian Asas

Pengertian asas secara etimologi adalah pondasi, alas dan dasar. Sedangkan secara
terminologi adalah dasar berfikir yang mendasar. Jika kata asas dihubungkan dengan hukum
maka memiliki arti sebuah kebenaran yang digunakan untuk berpikir dan berupa alasan
pendapat, bertujuan untuk pelaksanaan hukum. Jadi asas-asas hukum adalah suatu kebenaran
yang menjadi dasar atau tumpuhan dalam hukum.39

2. Asas-Asas Umum Hukum Islam


a. Asas Keadilan
Seorang muslim dituntun harus berlaku adil dalam menegakkan suatu keadilan.
Dalam al-qur’an banyak ayat yang telah menjelaskan dan menyebutkan tentang
keadilan. Hukum islam juga menetapkan suatu asas keadilan sebagai asas umum
yang harus sangat diterapkan di dalam semua bidang maupun keagamaan.
Penyebutan ayat untuk asas keadilan yaitu lebih dari seribu kata.
Etika keadilan yaitu berlaku adil dalam menjatuhkan hukuman, menjauhkan
suap menyuap maupun hadiah dan suatu kewajiban dalam menggunakan hukum
agama. Berlaku adil dalam Al-Qur’an disebutkan salah satunya yaitu didalam surat
An-Nisa ayat 135 yang artinya sebagai berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum
kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa
yang kamu kerjakan.”40

b. Asas Kemanfaatan

Asas kemanfaatan adalah asas yang bertujuan untuk mengiringi pelaksananan


asas kepastian hukum dan asas keadilan. Untuk menegakkan hukum, harus dengan
mempertimbangkan keadilan dan dapat menjamin kepastian, maka di perlukannya
perhatian untuk kemanfaatan dalam menerapkan hukum tersebut, yang berguna baik
untuk masyarakat maupun diri kita sendiri. Misalnya, menerapkan hukuman mati

39
Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016), cet. 1, 37.
40
Q.S. an-Nisa`: 135.

16
kepada seseorang yang telah melakukan pembunuhan berencana, hukuman tersebut
dapat dipertambangkan kemanfaatannya untuk jatuhan hukuman kepada terdakwah
maupun dikalangan masyarakat. Jika bermanfaat di kalangan masyarkat maka hukuman
tersebut dijatuhkan, kalau tidak dijatuhkan hukuman mati kepada terdakwah dan dapat
menimbulkan kemanfaatan kepada terdakwah, keluarga dan saksi, maka hukuman mati
digantikannya dengan membayarnya denda kepada keluarga yang telah dibunuhnya.
Asas ini terdapat pada Al-Qur’an surat Al- Baqarah ayat 178 yang artinya sebagai
berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu
dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih.”41

c. Asas Tauhid

Sebagai seorang muslim prinsip tauhid atau mengesakan tuhan memiliki


dampak yang sangat luas terhadap bagaimana cara seseorang untuk memahami
tuhan beserta firman-Nya. Keesaan Allah melambangkan kedaulatan tuhan, maka
tidak ada satupun pihak yang dapat menyerupai maupun menyamai kedaulatannya.
Disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Ikhlas: 4.

“ Dan tiada sesuatu pun yang sebanding dengan dia”42

d. Asas Kebebasan dan Kemerdekaan


Islam memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi pemeluknya yang tidak
bertentangan dengan syariat islam. Asas ini menunjukkan bahwa terdapatnya
kebebasan yang meliputi, kebebasan berbuat sesuatu, kebebasan beragama, dan
kebebasan iindividu dalam mentati batas-batas norma yang dibenarkan oleh hukum.
Bahkan Allah menyebutkan dalam firman-Nya didalamnya dijelaskan bahwa
ketidak adaan sifat paksaan bagi setiap individu untuk memasuki agama islam.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang artinya sebagai berikut:

41
Q.S. al-Baqarah: 178.
42
Q.S. al-Ikhlas: 4.

17
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa
ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah
berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.”43

3. Asas-asas Hukum Pidana


a. Asas Legalitas
Surat al- Isra’: 15
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya
dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat
maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab
sebelum Kami mengutus seorang rasul.”44
Asas legalitas adalah asas ini menyatakan bahwa tidak adanya suatu
pelanggaran maupun hukuman sebelum terdapat peraturan atau undang-undang
yang telah ditetapkan untuk mengatur asas tersebut.
b. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain
Asas ini disebutkan di dalam beberapa ayat al-Qur’an, misalnya pada surat al-
An’am ayat 164 yang artinya sebagai berikut:
“Katakanlah (Muhammad), “Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah,
padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa seseorang,
dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban
dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.”45
Maksud dari asas ini adalah pertanggung jawaban pidana yang bersifat individu,
sehingga keselahan setiap individu tidak bisa dipindahkan kepada orang lain bahkan
untuk menggatinya itupun tidak bisa. Siapapun yang telah berbuat dosa, maka ia
sendiri yang akan menanggung pertanggung jawabannya.
c. Asas-asas Praduga Tak Bersalah
Asas ini menjelaskan bahwa seperti hal nya dengan asas legalitas. Misalnya
pada asas ini, yaitu seseorang yang telah dituduh melakukan suatu kejahatan bisa
dianggap tidak bersalah sebelum para hakim telah membuktikannya dengan
memaparkan bukti-bukti yang tegas atas kesalahan yang dilakukan orang tersebut.

43
Q.S. al-Baqarah: 256.
44
Q.S. al-Isra`: 15.
45
Q.S. al-An`an: 164.

18
4. Asas-Asas Hukum Perdata
a. Asas Kebolehan atau Mubah
Asas ini menunjukkan adanya kebolehan untuk melakukan hubungan perdata,
kareta hukum asal hubungan perdata adalah boleh (muamalah), jika tidak ada
ketentuan mapun dalil, Al-Qur’an dan As- Sunnah yang melarangnya. Bahwa
islam sangat memberikan kesempatan yang sangat luas kepada orang yang
mempunyai kepentingan untuk melakukan maupum mengembangkan hukum
perdata . Hal ini sudah jelas karena Allah jelas menerangkan di al- Qur’an bahwa
akan memudahkan dan tidak akan menyempitkan kehidupan manusia sesuai
Firman-Nya surat al- Baqarah ayat 185 yang artinya sebagai berikut:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”46

46
Q.S. Al-Baqarah: 185.

19
b. Asas Menolak Mudarat dan Mengambil Manfaat
Asas ini mempunyai makna bahwa segala bentuk hubungan perdata yang harus
dicegah dan dihindari yaitu kerusakan karena lebih diutamakan daripada untuk
mendatangkan keuntungan, apalagi dilakukannya dengan melanggar aturan agama
seperti prostitusi, perdagangan narkotika dan perjudian. Sedangkan jika hubungan
pertdata tersebut mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat maka
lebih baiknya dikembangkan.
c. Asas Kekeluargaan atau Asas Kebersamaan yang Sederajat
Hubungan perdata harus dilandasi dengan asas kekeluargaan, karena asas ini
melahirkan sebuah hubungan kekeluargaan, misalnya kasih-mengasihi, hormat
menghormati, tolong-menolong untuk mencapai suatu tujuan bersama. Adapula
hadist yang menyatakan bahwa umat manusia berasal dari satu keluarga.
d. Asas Adil dan berimbang
Asas ini menjelaskan bahwa pihat pelaku yang berhubungan dengan perdata
harus berlaku secara adil tanpa mengandung unsur-unsur penindasaan, penipuan
dan merugikan pada salah satu pihak.
e. Asas Mendahulukan Kewajiban dari Hak
Untuk menghindari salah satu pihak mengalami kerugian, maka dalam
pelaksaanaan hibungan perdata, para kedua pihak harus mengutamakan dan
mendahulukan kewajiban terlebih dahulu daripada hak yang harus dilakukan.
f. Asas Larangan Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain
Para pihak yang melakukan hubungan perdata tidak boleh adanya unsur
merugikan orang lain maupun diri sendiri dalam hubungan perdatanya. Misalnya
memusnahkan barang salah satu pihak untuk dapat mencapai keseimbangan pasar,
maka didalam islam tidak dibenarkannya.
g. Asas Kemampuan Bertindak atau Berbuat
Didalam asas ini manusia berperan menjadi subjek. Tetapi manusia tersebut
yaitu mereka yang mukallaf yaitu mereka yang sudah akhil balig, dapat memikul
suatu beban kewajiban dan hak, serta dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani.
h. Asas Tertulis atau Diucapkan di Depan Saksi
Asas ini mempunyai pedoman yaitu jika adanya suatu hubungan perdata
seharusnya dituangkan kedalah sebuah perjanjian yang tertulis dihadapan saksi atau

20
bisa juga dilakukan dengan lisan tetapi ada syaratnya, yaitu harus disertai dengan
adanya para saksi-saksi yang memenuhi syarat baik maupun kualitas saksinya.

5. Asas-Asas Hukum Perkawinan


Didalam perkawinan mempunyai ikatan perkawinan sebagai bentuk perjanjian
yang suci antara seorang pria dan wanita, sehingga mempunyai segi-segi perdata
diantaranya, yaitu :
a. Asas Kesukarelaan
Asas ini merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan islam, karena
perkawinan harus dilandasi dengan adanya asas ini diantara kedua belah pihak,
bukan hanya suami dan istri saja tetapi orangtua maupun keluarga kedua mempelai.
Kesukarelaan orang tua wanita untuk menjadi walinya yang merepukan ketentuan
perkawinan islam.
b. Asas Persetujuan
Asas persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan seorang wanita untuk
dinikahi oleh seorang pria, misalnya yaitu diminta nya terlebih dahulu oleh seorang
wali atau orang tua. Menurut sunnahnya nabi, diamnya seorang wanita menandakan
adanya persetujuan. Jika perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya persetujuan
dari kedua belah pihak, maka dapat dibatalkan oleh pengadilan.
c. Asas Kemitraan Suami Istri
Kemitraan oleh pasangan suami istri menjadi asas yang paling penting untuk
menjalin kehidupan rumah tangga. Kemitraan ini juga menyebabkan adanya
kedudukam suami istri mengalami perbedaan dan kesamaan, hal yang berbeda,
yaitu dalam perkawinan suami menjadi kepala rumah tangga sedangkan istri
menjadi penanggung jawab peraturan didalam rumah tangga. Penerapan asas ini
berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’: 19.
d. Asas Perkawinan Selama-lamanya
Asas ini menunujukkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk
melangsungkan keturunan dan membina cinta maupun kasih sayang selama hidup.
Yang dimaksud asas perkawinan selama-lamanya adalah suatu tujuan dan landasan
yang harus ditanamkan semenjak berniat untuk melangsungkan suatu perkawinan.

21
Surat as-Rum: 21 juga menjelaskan tentang kebesaran Allah yang menciptakan
manusia untuk berpasang-pasangan.

e. Monogami Terbuka
Monogami diperbolehkan jika dalam keadaan darurat saja. Al- Qur’an juga
membolehkan seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu, tetapi harus
memenuhi syarat tertentu. Landasan diperbolehkan mempunyai istri lebih dari satu,
yaitu didalam surat an- Nisa’ ayat 3, tetapi ayat tersebut memberikan penekanan
bahwa seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap semua istrinya.

22
E. Kesimpulan

Tujuan hukum Islam atau biasa juga disebut dengan maqashidus syari`ah secara
Bahasa berarti tujuan dan jalan yang ditempuh. Dengan kata lain, maqashid al-syari`ah
merupakan tujuan dari jalan yang ditempuh untuk menuju sumber kehidupan atau bisa
dikatakan dengan tujuan-tujuan dari penetapan suatu hukum atau aturan-aturan. Tujuan
dari hukum Islam secara umum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan umat
manusia, baik, kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. Menurut beberapa
pendapat pakar ahli hukum Islam, maqashid al-syari`ah terbagi lagi menjadi lima rumusan
besar, yaitu: pertama, pemeliharaan agama; kedua, pemeliharaan jiwa; ketiga,
pemeliharaan akal; keempat, pemeliharaan keturunan; kelima, pemeliharaan harta. Dari
beberapa pemabagian lima rumusan tersebut, akan dapat diketahui mengapa suatu hukum
itu ditetapkan, sehingga kemaslahatan kehidupan umat manusia bisa terwujud dengan
sebaik-baiknya.

Hukum Islam memiliki karakteristik yang berbeda dari hukum-hukum yang berlaku di
muka bumi ini. Perbedaan mendasarnya karena hukum Islam bersumber langsung dari
firman Allah SWT. tanpa adanya campur tangan umat manusia. Hukum-hukum selain
hukum Islam yang berlaku di muka bumi ini, ditetapkan berdasarkan pemikiran manusia,
yang tidak luput dari kepentingan perseorangan atau individu dan hawa nafsu. Dari
beberapa literatur yang berbeda, karakteristik hukum Islam kurang lebihnya terbagi
menjadi empat, yaitu: pertama, Ketuhanan (Rabbaniyah); kedua, Universal (Syumul);
ketiga, Harmonis (al-Wasthiyyah); keempat, Harmonis (al-Wasthiyyah). Dari keempat
karakteristik hukum Islam tersebut, akan dapat diketahui beberapa hal mendasar yang dapat
membedakan antara hukum Islam dengan hukum-hukum selain Islam.

Asas-asas hukum Islam merupakan landasan atau pondasi yang digunakan untuk
menetapkan sebuah hukum Islam. Asas-asas hukum Islam memiliki percabangan tersendiri
yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum dari bentuk percabangan hukum Islam.

23
Daftar Pustaka

Ali, Mohammad Daud. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Depok: Rajawali Pers, 2017.

Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2006.

Rohidin. Buku Ajar Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,
2016.

24

Anda mungkin juga menyukai