Anda di halaman 1dari 6

SELAYANG PANDANG

Asal muasal Seni pada awalnya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu
merupakan sinonim dari suatu ilmu. Term-term abad ini banyak menyandarkan seni
sebagai intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni memiliki nilai relatif sehingga
sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu pekerja seni
(seniman) dengan leluasa dapat memilih batasan dan parameter yang menuntunnya atau
kerjanya. Namun demikian, banyak pekerja seni (seniman) mendapat pengaruh dari
orang lain dari masa lalu, dan juga beberapa pedoman yang telah muncul untuk
mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk, misalnya media bakung
yang bermakna kematian dan mawar merah yang bermakna cinta.

ari segi kebahasaan, Istilah senipada mulanya berasal dari kata Ars (latin) atau Art
(Inggris) yang artinya kemahiran. Ada juga yang menyatakan kata seni berasal dari
bahasa Belanda yang artinya genius atau jenius. Sementara kata seni dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata sangsekerta yang berarti pemujaan. Sementara itu dalam
bahasa tradisional Jawa, seni artinya Rawit (pekerjaan yang rumit- rumit/kecil).

Konsep seni terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan

kehidupan masyarakat yang dinamis. Beberapa pendapat tentang pengertian seni:

1.Ensiklopedia Indonesia: Seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena
kendahan bentuknya, orang senang melihat dan mendengar,

2.Aristoteles: seni adalah kemampuan membuat sesuatu dalam hubungannya dengan


upaya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu,

3.Ki Hajar Dewantara: seni adalah indah, menurutnya seni adalah segala perbuatan
manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat
menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya,

4.Akhdiat K. Mihardja: seni adalah kegiatan manusia yang merefleksikan kenyataan


dalam sesuatu karya, yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk
membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani sipenerimanya.

5.Erich Kahler: seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi, menciptakan
realitas itu dengan symbol atau kiasan tentang keutuhan “dunia kecil” yang
mencerminkan “dunia besar”.

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seni pada hakikatnya adalah hasil karya
manusia yang bernilaikan estetik yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan sebagai
produk dari kreativitas manusia dalam memadukan potensi akal dan perasaan sehingga
dapat dipelajari dan dinikmati umat manusia.

Bernyanyi dan bermain musik merupakan bagian dari cabang seni, karenanya tinjauan
terhadap definisi seni diperlukan sebagai proses pendahuluan untuk memahami secara
komprehensif mengenai seni musik. Menurut Al-Baghdadi (1991), seni adalah
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan
perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera

1
pendengar (seni suara), indera pengamatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan
perantaraan gerak (seni tari, drama).

Estetika pada dasarnya merupakan salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika
adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana
seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah
sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai
penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat
dengan filosofi seni. Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis
dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan
turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di
Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa
realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya.
Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan
mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

Berkaitan dengan seni musik (instrumental art), seni musik selalu dihubungkan dengan
alat-alat musik dan irama yang dihasilkan oleh alat-alat musik tersebut. Seni musik
membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi
bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai
seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni
instrumentalia adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik.

Sedangkan seni vokal adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair
melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut
dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal seperti: gitar, biola, piano, dan lain-
lain. Atau pula dapat digabungkan dengan alat-alat musik kombinatif seperti band,
orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. Sementara musik itu sendiri adalah bunyi
yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan
selera seseorang. Definisi hakiki tentang musik juga bermacam-macam, antara lain:

 Bunyi/kesan terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indera pendengar


 Suatu karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya.
 Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan
disajikan sebagai musik.

Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa seni dan musik sangat bertalian erat karena
seni musik itu sendiri merupakan cabang dari seni. Seni dan musik keduanya
mengandung nilai estetik sebagai buah dari kreativitas manusia yang pada akhirnya
merupakan bagian dari kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karya dan karsa umat
manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, seni musik sering digunakan oleh sebagian
orang untuk menyampaikan ide-idenya, mengusung pesan-pesan kritis yang bernilai
edukatif, religi, nasionalisme, bahkan propaganda misi-misi tertentu dan sebagainya,
disamping dengan maksud menyuguhkan sisi-sisi entertainnya.

2
SENI MUSIK DALAM PANDANGAN ISLAM

Bagaimana Islam memandang seni musik? Pembahasan kearah ini aka difokuskan pada
dua hal, yakni: Pertama, bagaimana pandangan Islamtentang nyanyian (lagu), dan
kedua, bagaimana pandangan Islam tentang musik.

Pertama, pandangan Islam tentang nyanyian

Berkaitan dengan hukum menyanyikan lagu, para ulama berbeda pendapat dalam
menghukuminya, sebagian mengharamkan dan sebagian lagi menghalalkannya dengan
berpegang kepada dalilnya masing-masing. Dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian
disandarkan pada QS. Luqman: 6 yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang
yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah
itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqmân: 6)

Di samping dalil yang disandarkan pada Al-Qur’an, terdapat beberapa dalil yang
disandarkan pada beberapa Hadits yaitu: Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang
menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” Dan Hadits dari
Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq,
seperti air menumbuhkan kembang.”

Sedangkan dalil-dalil yang menghalalkan nyanyian di antaranya di dasarkan pada QS.


Al-Maidah: 87 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu
melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”
(QS. al-Mâ’idah: 87). Hukum halalnya menyanyikan lagu juga disandarkan pada
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori yang berbunyi :

‫ار‬ُ ‫ث فَقَا َل أَبُو َب ْك ٍر ِم ْز َم‬ ٍ ‫ار َي ْو َم بُ َعا‬ َ ‫ت ْاْل َ ْن‬


ُ ‫ص‬ ْ َ‫ان ِب َما تَقَاذَف‬ ِ َ‫ان ت ُ َغنِِّي‬
ِ َ ‫َو ِع ْندَهَا َق ْي َنت‬
‫سلَّ َم دَ ْع ُه َما يَا أَبَا َب ْك ٍر إِ َّن ِل ُك ِِّل قَ ْو ٍم ِعيدًا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫ان َم َّرتَي ِْن فَقَا َل النَّب‬ ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ال‬
‫َو ِإ َّن ِعيدَنَا َهذَا ْاليَ ْو ُم‬
Artinya:“Saat itu di hadapan 'Aisyah radliallahu 'anha terdapat dua budak perempuan
hasil tawanan kaum Anshar dalam perang Bu'ats sedang bernyanyi. Maka Abu Bakar
berkata; "Seruling-seruling syetan." Dia mengucapkannya dua kali. Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Sesungguhnya
setiap kaum memiliki hari raya dan hari raya kita adalah hari ini." (HR. Bukhari,
Hadits No: 3638)

Dalam hadits yang lain riwayat Ahmad disebutkan:

‫ش ْع َر ِفي ْال َمس ِْج ِد َف َقا َل ِفي َمس ِْج ِد‬ ِّ ِ ‫يُ ْن ِشد ُ ال‬ ‫ع َلى َحسَّانَ َو ُه َو‬ َ ُ‫ع ْنه‬ َّ
َ ُ‫َّللا‬ ‫ي‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ع َم ُر َر‬
ُ ‫َم َّر‬
‫قَا َل ُك ْنتُ أ ُ ْن ِشدُ َوفِي ِه َم ْن ُه َو َخي ٌْر ِم ْن َك أ َ ْو‬ ‫ش ْع َر‬ِّ ِ ‫سلَّ َم ت ُ ْن ِشد ُ ال‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ
َ ُ‫َّللا‬ ‫صلَّى‬ ِ َّ ‫سو ِل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫َر‬
‫ُك ْنتُ أ ُ ْن ِشد ُ فِي ِه َوفِي ِه َم ْن ُه َو َخي ٌْر ِم ْن َك‬

3
Artinya: “Umar Radliyallahu'anhu melawati Hassan saat tengah bersyair di masjid
kemudian 'Umar berkata; Di masjid Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam syair
disenandungkan? Hassan berkata; 'Saya pernah bersyair dan di dalam masjid ada
orang yang lebih baik darimu (yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam).” (HR.
Ahmad, Hadits No. 20927)

Uraian tentang dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya) menunjukkan bahwa
kedua pendapat baik yang mengharamkan maupun yang menghalalkan memperlihatkan
adanya kontradiksi (ta’arudh) antara satu dalil dengan dalil lainnya. Untuk menyikapi
kontradiksi ini diperlukan telaah atas kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah populer di
kalangan jumhur ulama dalam rangka menyikapi secara arif beberapa dalil yang tampak
kontadiktif tersebut. Imam asy-Syafi’i (dalam asy-Syaukani) menyatakan bahwa tidak
dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana
salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat
dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah
satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya
terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai
nasakh itu.

Menyikapi kontradiksi antara kedua kelompok dalil hadits di atas, keduanya


seyogyanya dikompromikan, dengan tidak bermaksud mengkesampingkan salah
satunya. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, kedua dalil yang “kontradiktif” di atas
keduanya dapat diberikan tempat dan penginterpretasian yang proporsional. Keputusan
ini dapat dianggap lebih tawazun daripada harus mengakomodir salah satu kelompok
dalil tetapi diiringi dengan menyingkirkan kelompok dalil yang lain. Berkaitan dengan
hal ini, Syaikh Dr. Muhamad Husain Abdullah mengambil suatu diktum
fiqih:“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih
utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min
wajhin— awlâ min ihmali ahadihima).

Pengambilan diktum fiqih ini menurut an-Nahbani (1953) didasarkan pada sebuah
alasan bahwa: “suatu dalil itu pada dasarnya adalah untuk diamalkan dan bukan untuk
ditanggalkan (Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal)”.

Dari kedua dalil tentang hukum nyanyian di atas, baik yang mengharamkan maupun
menghalalkan dapat ditarik sebuah konklusi bahwa dalil yang mengharamkan masih
berkisar pada hukum umum (ijmal) nyanyian. Sedangkan dalil yang membolehkan
terfokus pada hukum khusus atau pengecualian (tkahsis), yakni nyanyian dibolehkan
sesuai dengan tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan oleh syara’,
seperti pada hari raya. Dengan ungkapan lain, bahwa dalil yang mengharamkan
nyanyian merujuk kepada keharaman nyanyian secara mutlak. Sementara itu, dalil yang
menghalalkan merujuk kepada bolehnya nyanyian didasarkan pada keharusan adanya
batasan atau kriteria yang membolehkannya (muqayyad).

Dengan demikian dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan secara moderat
bahwa nyayian itu ada yang diharamkan dan ada pula yang dihalalkan (baca:
dibolehkan), sebuah nyanyian dihukumi haram apabila di dalam nyanyian itu
terkandung unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, baik dalam bentuk perkataan
(qouliyah), perbuatan (fi’liyah), atau dalam bentuk sarana (asy-yâ’), misalnya dalam
praktek nyanyian itu disertai dengan minuman-minuman keras (khamr), zina,

4
penampakan aurat, campur baur pria-wanita (ikhtilath), atau pesan-pesan dalam
syairnya bertentangan dengan syara’, misalnya mempropagandakan ajakan berpacaran,
mendorong pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme dan
sebagainya.

Sedangkan nyanyian yang dihukumi halal adalah nyanyian yang mengandung kriteria
bersih dari unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, misalnya syair-syair yang
mengandung pujian atas sifat-sifat Allah SWT, memotivasi untuk meneladani akhlak
Rasulullah SAW, mengajak bertaubat kembali ke jalan Allah SWT dari perbuatan-
perbuatan maksiat, mendorong orang untuk menuntut ilmu, menceritakan keagungan
Allah dalam penciptaan alam semesta, dan sebagainya.

Kedua, pandangan Islam tentang musik

Bagaimana Islam memandang musik? Secara tekstual (nash) terdapat satu jenis alat
musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya, yaitu alat musik berupa rebana (ad-
duff atau al-ghirbal) berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
sebagai berikut:

‫ع ْن‬
َ ‫س‬ َ ُ‫سى ب ُْن يُون‬ َ ‫ي َو ْال َخ ِلي ُل ب ُْن َع ْم ٍرو َق َاَل َحدَّثَنَا ِعي‬ َ ‫ي ْال َج ْه‬
ُّ ‫ض ِم‬ ٍِّ ‫ع ِل‬َ ‫ص ُر ب ُْن‬ْ َ‫َحدَّثَنَا ن‬
‫ي‬ َ َ ‫شة‬
ِِّ ‫ع ْن النَّ ِب‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫عا ِئ‬ َ ‫ع ْن ْالقَا ِس ِم‬ َ ‫الر ْح َم ِن‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع ْن َر ِبي َعةَ ب ِْن أ َ ِبي‬ َ ‫خَا ِل ِد ب ِْن ِإ ْل َي‬
َ ‫اس‬
‫علَ ْي ِه ِب ْال ِغ ْربَا ِل‬
َ ‫ض ِربُوا‬ ْ ‫سلَّ َم قَا َل أ َ ْع ِلنُوا َهذَا النِِّ َكا َح َوا‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami dan Al Khalil
bin Amru keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus dari Khalid
bin Ilyas dari Rabi'ah bin Abu 'Abdurrahman dari Al Qasim dari 'Aisyah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Umumkanlah pernikahan ini, dan
tabuhlah rebana." (HR. Ibnu Majah, Hadits No. 1885)

Selain alat musik berupa rebana, seperti gitar, piano, drum, gamelan dan sebagainya,
ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya. Pendapat ulama tentang alat musik
rebana itu terbelah menjadi dua kelompok, yakni ada sebagian ulama yang
mengharamkan dan ada sebagian pula yang membolehkannya. Bagi kelompok hadits
yang mengharamkan alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya menurut
Syaikh al-Albani adalah dha’if. Menurut al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-
Mufrad menyetujui pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang
mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu
Hazm (dalam al-Baghdadi, 1991):“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun
Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah
nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau
boleh secara mutlak.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memainkan alat musik jenis apapun hukum
dasarnya adalah mubah(dibolehkan). Kecuali jika ada dalil tertentu yang
mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak
ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

Selanjutnya mengenai hukum mendengarkan musik, Islam memandang bahwa


mendengarkan musik hukumnya adalah mubah, baik itu berupa musik yang

5
dikombinasikan dengan nyanyian (vokal), mendengar secara langsung melalui
pertunjukan atau konser sepanjang tidak ada unsur kemaksiatan dan kemunkaran yang
terkandung di dalamnya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya
syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka
hukumnya adalah haram. Akan tetapi jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah.

KESIMPULAN

Seni dan musik keduanya mengandung nilai estetik sebagai buah dari kreativitas
manusia yang pada akhirnya merupakan bagian dari kebudayaan sebagai hasil dari
cipta, karya dan karsa umat manusia.

Dalam Islam, nyayian ada yang diharamkan dan ada pula yang dihalalkan.Sebuah
nyanyian dinyatakan haram apabila di dalam nyanyian itu terkandung unsur-unsur
kemaksiatan atau kemunkaran, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau dalam
bentuk sarana, misalnya dalam praktek nyanyian itu disertai dengan minuman-minuman
keras, zina, penampakan aurat, adanya campur baur pria-wanita, atau pesan-pesan
dalam syairnya bertentangan dengan syara’, misalnya mempropagandakan ajakan
berpacaran, mendorong pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme
dan sebagainya. Sementara itu, nyanyian dihalalkan adalah nyanyian yang mengandung
kriteria bersih dari unsur-unsur kemaksiatan atau kemunkaran, misalnya syair-syair
yang mengandung pujian atas sifat-sifat Allah SWT, memotivasi untuk meneladani
akhlak Rasulullah SAW, mengajak bertaubat kembali ke jalan Allah SWT dari
perbuatan-perbuatan maksiat, mendorong orang untuk menuntut ilmu, menceritakan
keagungan Allah dalam penciptaan alam semesta, dan sebagainya

Berkaitan dengan mendengarkan musik, Islam memandang hukumnya adalah mubah,


baik itu berupa musik yang dikombinasikan dengan nyanyian (vokal), mendengar
secara langsung melalui pertunjukan atau konser sepanjang tidak ada unsur kemaksiatan
dan kemunkaran yang terkandung di dalamnya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi
penampakan aurat, maka hukumnya adalah haram. Akan tetapi jika tidak terdapat unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah atau dibolehkan.

Wallahu ‘alam bishawab

Anda mungkin juga menyukai