(Bagian 1)
ShareTweet
Maka dia mendatangi bukit Shafa sebagai gunung yang paling dekat
keberadaannya dengannya. Dia berdiri di sana lalu menghadap ke arah
lembah dengan harapan dapat melihat orang di sana namun dia tidak
melihat seorang pun. Maka dia turun dari bukit Shafa dan ketika sampai di
lembah, dia menyingsingkan ujung pakaiannya lalu berusaha keras
layaknya seorang manusia yang berjuang keras, hingga ketika dia dapat
melewati lembah dan sampai di bukit Marwah lalu berdiri di sana sambil
melihat-lihat apakah ada orang di sana namun dia tidak melihat ada
seorang pun. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali (antara bukit Shafa
dan Marwah).
Saat dia berada di puncak Marwah, dia mendengar ada suara, lalu dia
berkata dalam hatinya “diamlah” yang Hajar maksud adalah dirinya sendiri.
Kemudian dia berusaha mendengarkannya maka dia dapat mendengar
suara itu lagi, maka dia berkata, “Engkau telah memperdengarkan suaramu
jika engkau bermaksud memberikan bantuan.” Ternyata suara itu adalah
suara malaikat Jibril ‘alaihissalam yang berada di dekat zamzam, lantas
Jibril mengais air dengan sayapnya hingga air keluar memancar. Akhirnya
Hajar dapat minum air dan menyusui anaknya kembali. Kemudian malaikat
Jibril berkata kepadanya, “Janganlah kamu takut ditelantarkan, karena di
sini adalah rumah Allah, yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya
dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.”
Hajar terus melalui hidup seperti itu hingga kemudian lewat serombongan
orang dari suku Jurhum atau keluarga Jurhum yang datang dari jalur bukit
Kadaa’ lalu singgah di bagian bawah Mekah kemudian mereka melihat ada
seekor burung sedang terbang berputar-putar. Mereka berkata, “Burung ini
pasti berputar karena mengelilingi air padahal kita mengetahui secara pasti
bahwa di lembah ini tidak ada air.” Akhirnya mereka mengutus satu atau
dua orang yang larinya cepat dan ternyata mereka menemukan ada air.
Mereka kembali dan mengabarkan keberadaan air lalu mereka mendatangi
air. Saat itu Hajar sedang berada di dekat air. Maka mereka berkata kepada
Hajar, “Apakah kamu mengizinkan kami untuk singgah bergabung
denganmu di sini?” Ibu Ismail berkata, “Ya boleh, tapi kalian tidak berhak
memiliki air.” Mereka berkata, “Baiklah.”
Ibu Ismail menjadi senang atas peristiwa ini karena ada orang-orang yang
tinggal bersamanya. Akhirnya mereka pun tinggal di sana dan mengirim
utusan kepada keluarga mereka untuk mengajak mereka tinggal bersama-
sama di sana. Ketika itu, Nabi Ismail belajar bahasa Arab dari mereka (suku
Jurhum), dan Hajar mendidik puteranya dengan pendidikan yang baik serta
menanamkan akhlak mulia sampai Ismail agak dewasa dan sudah mampu
berusaha bersama ayahnya; Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim berkunjung menemui Hajar dan anaknya untuk
menghilangkan rasa kangennya kepadanya. Maka pada suatu hari, saat
Nabi Ibrahim telah bersama anaknya, ia (Ibrahim) bermimpi bahwa dirinya
menyembelih puteranya, yaitu Ismail ‘alaihissalam. Setelah ia bangun dari
tidurnya, Ibrahim pun mengetahui bahwa mimpinya itu adalah perintah
dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala karena mimpi para nabi adalah hak
(benar), maka Nabi Ibrahim mendatangi anaknya dan berbicara berdua
bersamanya. Ibrahim berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!” Ismail menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar.” (QS. Ash Shaaffaat: 102)
Nabi Ibrahim membawa anaknya ke Mina, lalu ia taruh kain di atas muka
anaknya agar ia (Ibrahim) tidak melihat muka anaknya yang dapat
membuatnya terharu, sedangkan Nabi Ismail telah siap menerima
keputusan Allah. Ketika Nabi Ibrahim telah membaringkan anaknya di atas
pelipisnya dan keduanya telah menampakkan rasa pasrahnya kepada
Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka Ibrahim mendengar seruan
Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-
benar suatu ujian yang nyata.” (QS. Ash Shaafffat: 104-106)
Tidak lama setelah ada seruan itu, Nabi Ibrahim melihat malaikat Jibril
dengan membawa kambing yang besar. Maka Nabi Ibrahim mengambilnya
dan menyembelihnya sebagai ganti dari Ismail.
Dari sinilah asal permulaan sunah berkurban yang dilakukan oleh umat
Islam pada tiap hari raya Idul Adha di seluruh pelosok dunia.