Anda di halaman 1dari 8

Kisah Nabi Ismail, Cermin Ketaatan Seorang Anak

by ADMIN on OCTOBER 28, 2010


Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim dengan istrinya, Siti Hajar. Siti hajar berasal dari budak
kecil Raja Mesir yang diberikan kepada Siti Sarah, dan setelah besar lalu dijadikan istri oleh Nabi
Ibrahim. Dari istrinya inilah Nabi Ibrahim memperoleh anak yang bernama Ismail. Adapun
istrinya yang pertama, yaitu Siti Sarah, sedari muda sudah mandul (tidak mempunyai anak)
dan karena ia ingin sekali mempunyai keturunan, maka setelah usianya sudah agak lanjut,
barulah ia dikaruniahi Allah seorang anak laki-laki yang bernama Ishak. Rupanya Siti Sarah
kurang senang apabila selalu berdekatan dengan madunya, seperti halnya watak wanita pada
umumnya, apalagi madunya itu sudah mempunyai anak, sedangkan ia sendiri masih belum.
Kemudian Nabi Ibrahim membawa pindah istrinya (Siti Hajar) bersama bayinya, Ismail ke
negeri Mekah yang pada saat itu masih berupa lautan padang pasir yang belum ada seorang
manusia pun disana. Seperti diceritakan dalam Al-Qur’an: surah Ibrahim ayat, 37:

“Hai Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah menempatkan anak keturunan kami di lembah yang
tidak ada tanaman sama sekali (Mekah) pada tempat rumah-Mu (Ka’bah) yang terhormat. Hai
Tuhan kami! Semoga mereka tetap mendirikan salat. Hendaklah Engkau jadikan hati manusia
rindu kepada mereka. Berilah mereka rezeki yang berupa buah-buahan, mudah-mudahan
mereka mengucapkan syukur kepada Tuhan.”

Nabi Ibrahim kembali ke Negeri Syam. Ketika Siti Hajar telah kehabisan air, ia merasa sangat
haus, karena itu air susunya terasa berkurang, dan bayinya (Ismail) ikut menderita karena
kekurangan air susu.

Siti Hajar mencari air kemana-mana, mondar mandir antara bukit Sofa dan Bukit Marwa, kalau-
kalau ada air di situ. Perbuatan Siti Hajar ini sampai sekarang dijadikan sebagian dari rukun
“Ibadah haji” yang dinamakan Sa’i (pulang balik antara Sofa dan Marwa) sebanyak tujuh kali,
dengan membacakan nama kebesaran Allah, mensucikan dan mengagungkan Allah.

Tak lama kemudian Siti Hajar mendengar suara


(suara Jibril) yang membawa dan menunjukkan Siti Hajar ke suatu tempat, dan disana di
hentakkan kakinya ke bumi, maka terpancarlah mata air yang sangat jernih dari dalamnya. Maka
dengan segera Siti Hajar mengambil air itu untuk memberi minum anaknya.. mata air itu semula
meluap kemana-mana, kemudian Malaikat berkata, “Zamzam” artinya, berkumpullah.” Maka,
mata air itu pun berkumpul, dan sampai sekarang mata air itu dinamakan sebagai Air Zam zam.
Berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, air zamzam itu tidak pernah kering sampai sekarang
walau pun dipergunakan oleh sangat banyak manusia yang mengambilnya.
Pada suatu hari lewatlah di sana serombongan orang Arab Jurhum, yang kebetulan mereka
sangat memerlukan air, mereka sudah mencari kesana kemari, tapi belum menemukannya
Tiba-tiba terlihat oleh mereka burung-burung yang sedang berterbangan di atas suatu bukit,
biasanya ini suatu pertanda bahwa disana ada mata air. Karena burung itu biasanya senang
terbang di atas mata air. Maka pergilah mereka ke sana, dan ternyata benar disana ada mata air,
yang disana ada Siti Hajar dan Bayinya, Ismail. Karena kebaikan hati Siti Hajar kepada mereka
dengan memberi air zamzam itu sekehendak yang mereka butuhkan, sehingga mereka tertarik
hatinya untuk tinggal di sana bersama Siti Hajar.

Atas kebaikan hati Siti Hajar pula, maka rombongan orang Arab Jurhum itu memberikan
sebagian barang dagangannya kepada Siti Hajar, sehingga Siti Hajar merasa senang dan bahagia
hidupnya di sana. Lama-kelamaan, bertambahlah penduduknya dan jadilah suatu desa yang
aman tentram serta subur dan makmur.

Setelah Ibrahim kembali ke Mekah untuk menemui istri dan anaknya, alangkah terkejutnya
beliau melihat tempat itu sudah menjadi sebuah desa yang subur dan makmur, dan meliahat Siti
Hajar hidup senang dan bahagia karena hidupnya berkecukupan. Siti Hajar menceritakan semua
kejadian yang dialaminya kepada suaminya. Nabi Ibrahim memuji kebesaran Allah, yang telah
mengabulkan doanya yang lalu.

Mendirikan Ka’bah

Pada suatu hari Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk mendirikan Ka’bah di dekat telaga
Zamzam. Hal itu diberitahukan kepada anaknya Ismail. Maka keduanya sepakat untuk
membangun rumah Allah yang akan digunakan untuk beribadah.

Mereka membangun Ka’bah tersebut dengan tangan-tangan mereka sendiri. Mengangkut batu
dan pasir serta bahan-bahan lainnya dengan tenaga yang ada padanya. Setiap selesai bekerja
Nabi Ibrahim bersama anaknya, Ismail, keduanya berdoa, “Ya Tuhan! Terimalah kerja kami ini,
sungguh Engkau maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

“Ya Tuhan! Jadikanlah kami dan keturunan kami umat yang menyerahkan diri kepada-Mu, dan
perlihatkanlah kepada kami, Ibadah kami, dan beri tobatlah kami, sesungguhnya Tuhan Maha
Pemberi Tobat dan amat Pengasih.”

Pada saat membangun rumah suci itu, Ibrahim dan Ismail meletakkan sebuah Batu Besar
berwarna Hitam mengkilat. Sebelum meletakkan batu itu diciumnya sambil mengelilingi
bangunan Ka’bah. Batu tersebut sampai sekarang masih ada, itulah Hajar Aswad. Setelah
bangunan itu selesai, Allah mengajarkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail tata cara beribadah
menyembah Allah.
Tata cara beribadah yang diajarkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail inilah yang juga diajarkan
kepada Nabi-nabi dan Rasul yang sesudahnya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.

“Ya Tuhan, bangkitkanlah seorang utusan dari mereka itu yang mengajarkan ayat  dan kitab
serta segala hikmah dan yang akan membersihkan dari dosa-dosa, Engkaulah Tuhan Yang Maha
Mulia lagi Perkasa.”
Nabi Ismail, Cermin Anak yang Patuh

Pada suatu hari Nabi Ibrahim bermimpi diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya (Ismail).
Maka Nabi Ibrahim bermusyawarah dengan anak-istrinya (Siti Hajar dan Ismail), bagaimana
pendapat keduanya tentang mimpinya itu. Siti Hajar berkata, “Barangkali mimpi itu hanya
permainan tidur belaka, maka janganlah engkau melakukannya, akan tetapi apabila mimpi itu
merupakan wahyu Tuhan yang harus di taati, maka saya berserah diri kepada-Nya yang sangat
pengasih dan Penyayang terhadap hambanya.”

Ismail berkata, “Ayahku! Apabila ini merupakan wahyu yang harus kita taati, maka saya rela
untuk disembelih.”

Ketiga orang anak beranak itu sudah ikhlas melakukan perintah Tuhannya, maka keesokan
harinya dilaksanakan perintah itu.

Selanjutnya Ismail usul kepada ayahnya, Ibrahim: “Sebaiknya saya disembelih dengan keadaan
menelungkup, tapi mata ayah hendaklah di tutup, kemudian ayah harus dapat mengira-ngira
arah mana pedang yang tajam itu ayah pukulkan, supaya tepat pada leher saya.”

Maka Nabi Ibrahim melaksanakan usul anaknya itu, beliau mengucapkan kalimat atas nama
Allah, seraya memancungkan pedangnya yang tajam itu ke leher anaknya.

Salah satu kisah nabi yang selalu terngiang adalah kisah Nabi Ismail AS. Kisahnya yang
mengandung pesan mendalam tentang haji dan kurban kerap diceritakan secara turun temurun.

Nabi Ismail merupakan anak dari Bapak Para Nabi, yakni Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Karena
kisahnya yang penuh kebijaksanaan, maka sudah seharusnya umat Islam tahu kisah Nabi Ismail
secara lengkap.

Allah SWT berfirman dalam surat Maryam ayat 54:

‫ق ْٱل َو ْع ِد َو َكانَ َر ُسواًل نَّبِيًّا‬ َ َ‫يل ۚ ِإنَّهۥُ َكان‬


َ ‫صا ِد‬ ِ َ‫َو ْٱذ ُكرْ فِى ْٱل ِك ٰت‬
َ ‫ب ِإ ْس ٰ َم ِع‬

Artinya:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al
Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan
nabi.”

Kelahiran Nabi Ismail menjadi tonggak sejarah peradaban umat Islam di Mekkah yang semula
tidak berpenghuni menjadi tempat yang paling dirindukan. Sudah banyak yang membahas
sejarah kurban dari sudut pandang Nabi Ibrahim. Lantas, bagaimana dari sudut pandang
anaknya? Inilah rangkuman kisah Nabi Ismail yang lengkap supaya Sahabat jadi tahu asal mula
ibadah haji dan kurban.

Daftar Isi

Di Mana Nabi Ismail Lahir sebagai Awal Mula Haji?

Peristiwa Keluarnya Air Zam Zam

Kapan Perintah Berkurban Turun?

Hewan Apa yang Menggantikan Nabi Ismail?

Nabi Ibrahim dan Ismail Membangun Kabah

Di Mana Nabi Ismail dan Ibunda Siti Hajar Wafat?

Hikmah Kisah Nabi Ismail dan Implementasi Kurban

Di Mana Nabi Ismail Lahir sebagai Awal Mula Haji?

Kisah Nabi Ismail, Kelahiran Anak Shaleh

Ismail lahir di Kanaan. Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar awalnya tinggal bersama di Palestina.
Suatu hari Allah menguji Nabi Ibrahim untuk memboyong Ismail kecil dan Siti Hajar ke tempat
tandus. Hajar yang penasaran bertanya kepada Nabi Ibrahim mereka akan pergi ke mana,
sedangkan lembah tidak berpenghuni. Ia terus mengulang pertanyaan hingga akhirnya keluar
perkataan pamungkas,

“apakah Allah yang memerintahkan kamu?”

Nabi Ibrahim pun mengiyakan, lalu Hajar jawab dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan
menelantarkan mereka.

Nabi Ibrahim meninggalkan mereka dengan perasaan kalut sambil berdoa agar Allah senantiasa
melindungi mereka. Demikian Hajar yang terus meyakinkan dirinya bahwa Allah tidak akan
meninggalkannya sendiri. Ia bertahan hidup dari bekal air yang dibawa dari Syam (Palestina).
Lama kelamaan persediaan bekal habis. Hajar haus, begitupula Ismail kecil yang menangis
untuk meminta minum. Hajar pun berusaha mencari sumber mata air dengan berlari dari Bukit
Shafa dan Bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Hasilnya nihil karena tempat tersebut tidak ada
penghuni selain mereka berdua.

Tiba-tiba ada yang menyapa Hajar saat ia berada di puncak bukit Marwah. Ia dengarkan dengan
seksama bahwa seseorang akan menolong Hajar dan anaknya. Ternyata, Allah menurunkan
malaikat Jibril untuk membuat sumber mata air yang kelak menjadi buah tangan favorit para
jamaah haji.

Peristiwa Keluarnya Air Zam Zam

Asal Mula Air Zam Zam dari Nabi Ismail dan Ibunda Siti Hajar

Sambil menangis, Ismail kecil menghentakkan kakinya dan keluarlah air jernih dari tanah yang
tandus. Hajar senang sekali hingga bergumam,

“zam, zam, zam,” yang artinya berkumpul.

Itulah asal mula Sa’i sebagai salah satu tahapan saat haji dan segarnya Air Zamzam yang
dirindukan oleh jamaah haji di seluruh dunia.

BACA JUGA: SERBA-SERBI APA ITU KURBAN DALAM ISLAM?

Allah SWT mencatat kisah Hajar bolak-balik bukit Shafa dan Marwa dalam Surat Al-Baqarah
ayat 158:

‫صفَا َو ْٱل َمرْ َوةَ ِمن َش َعآِئ ِر ٱهَّلل ِ ۖ فَ َم ْن َح َّج ْٱلبَيْتَ َأ ِو ٱ ْعتَ َم َر فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َأن يَطَّوَّفَ بِ ِه َما ۚ َو َمن تَطَ َّو َع َخ ْيرًا فَِإ َّن ٱهَّلل َ شَا ِك ٌر َعلِي ٌم‬
َّ ‫ِإ َّن ٱل‬

Artinya:

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang
beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i
antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,
maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”
Pelan-pelan, Hajar dan Ismail menemukan kehidupan di Makkah berkat Air Zamzam. Suatu
ketika, datang suku Jurhum yang sedang mencari air. Mereka melihat ada burung berputar-
putar dan berharap itu tanda adanya sumber air. Mereka menebak-nebak sambil berharap.

Dugaan mereka benar dan akhirnya bertemu Hajar serta anaknya. Hajar membuat perjanjian
untuk tidak merebut sumber air tersebut. Mereka setuju, kemudian hidup bertetangga dengan
rukun.

Ismail belajar bahasa Arab dari suku Jurhum dan tumbuh menjadi anak yang cerdas,
berperilaku baik, sopan, dan taat kepada Allah seperti yang ibunya ajarkan. Tahun demi tahun
berlalu, Ismail tumbuh dewasa hingga akhirnya siap bertemu ayahnya, Nabi Ibrahim, untuk
melepas rindu.

Kapan Perintah Berkurban Turun?

Sejarah Kurban atau Qurban Idul Adha

Nabi Ibrahim rutin berkunjung ke Mekkah untuk bertemu anak tercinta. Lalu, Allah menguji
kembali keimanan Nabi Ibrahim dengan memberinya mimpi untuk menyembelih anaknya.
Mimpi nabi merupakan pertanda wahyu atau perintah kurban akan turun. Ia meminta pendapat
anaknya. Tak butuh waktu lama, Ismail meminta bapaknya untuk patuh pada perintah Allah.

ِ َ‫ى ِإنِّ ٓى َأ َر ٰى فِى ْٱل َمن َِام َأنِّ ٓى َأ ْذبَحُكَ فَٱنظُرْ َما َذا تَ َر ٰى ۚ قَا َل ٰيََٓأب‬
َ‫ت ٱ ْف َعلْ َما تُْؤ َم ُر ۖ َستَ ِج ُدنِ ٓى ِإن شَآ َء ٱهَّلل ُ ِمن‬ َّ َ‫ال ٰيَبُن‬
َ َ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ٱل َّس ْع َى ق‬
َ‫صبِ ِرين‬ ٰ
َّ ‫ٱل‬

Artinya:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar.”

(QS As Shaafaat:102)

Nabi Ibrahim membawa Ismail ke perbatasan Mina dan Muzdalifah. Menurut catatan sejarah,
lokasi penyembelihan berada di Jabal Qurban. Masih dekat dari tempat peristiwa, iblis
menggoda Nabi Ibrahim supaya penyembelihan batal. Tak tinggal diam, ia menyambitnya
dengan batu yang kini dikenal dengan sebutan lempar jumroh saat prosesi haji.

BACA JUGA: SEJARAH KURBAN ZAMAN NABI

Setelah sampai di Jabal Qurban, Nabi Ibrahim membaringkan Ismail dan tutup matanya dengan
kain putih. Saat pisaunya siap menyembelih anaknya, malaikat Jibril gantikan dengan seekor
sembelihan yang besar. Kejadian tersebut Allah catat dalam surat As-Shafaat ayat 107.

ٍ ‫َوفَ َد ْينَاهُ بِ ِذب‬


‫ْح َع ِظ ٍيم‬

Artinya:

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Hewan Apa yang Menggantikan Nabi Ismail?

Menurut tafsir dari Ibnu Abbas bahwa hewan yang menggantikan Nabi Ismail ketika akan
disembelih sejenis Kibas atau kambing spesial yang berasal dari surga.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Kibas adalah hewan persembahan dari Habil saat ia
berkompetisi dengan Qabil. Tujuannya yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah
menerima kurbannya, lalu kambing tersebut dipelihara di surga untuk menebus Ismail.

Peristiwa yang dialami Nabi Ismail menjadi awal mula turunnya perintah berkurban untuk
umat Islam yang memiliki kemampuan lebih dari segi finansial.

Nabi Ibrahim dan Ismail Membangun Kabah

Siapa Nabi yang Mendirikan Kabah

Kisah petualangan anak dan bapak yang Allah istimewakan ini masih berlanjut. Allah
memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangun kabah sebagai rumah ibadah pertama bagi
manusia. Ia membangun kabah langsung di bawah bimbingan Allah melalui perantara awan.

Usai menentukan derajat posisi, Nabi Ibrahim membangun pondasi. Lalu, ia meminta tolong
kepada Ismail untuk mencari batu paling bagus sebagai penanda manusia. Ismail bertemu Jibril
dan memberikannya batu hitam yang dikenal sebagai Hajar Aswad. Ia berlari menemui ayahnya
untuk memberikan batu cantik tersebut. Betapa senangnya Nabi Ibrahim hingga mencium batu
tersebut berkali-kali.

Usai peletakan batu, Nabi Ibrahim dan Ismail berdoa kepada Allah agar banyak yang berkunjung
ke Mekkah untuk melihat Kabah. Allah mengabulkan doanya hingga masuk ke dalam rukun
Islam kelima, menunaikan haji jika mampu. Bekas pijakan Nabi Ibrahim saat membangun Kabah
diabadikan dengan sebutan Maqam Ibrahim.

Di Mana Nabi Ismail dan Ibunda Siti Hajar Wafat?

Ismail diangkat menjadi nabi dan berdakwah di Mekkah untuk menyembah dan bertakwa
kepada Allah. Nabi Ismail wafat di Mekkah dan dimakamkan di Hijr Ismail. Menurut catatan
sejarah, lokasi makam Nabi Ismail sama seperti makam ibunya, Siti Hajar.

Hikmah Kisah Nabi Ismail dan Implementasi Kurban

Nabi Ismail adalah anak shaleh yang percaya dengan kekuasaan Allah. Tanpanya, umat Islam
tidak akan mengetahui esensi kurban agar manusia saling berbagi satu sama lain. Selain itu,
Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Selama manusia berusaha
mencari solusi, maka Allah akan bantu hambaNya keluar dari krisis.

Hikmah dari Kisah Nabi Ismail

Demikian kisah Nabi Ismail AS secara singkat. Dari kisah di atas, terdapat pelajaran berharga
bagi kehidupan kita di antaranya:

Untuk menjadi orang besar, butuh perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa.

Kita harus meyakini bahwa Allah swt tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya
dengan pertolongan yang di luar kemampuan kita.

Kita harus ingat bahwa dibalik kesulitan akan datang kemudahan, dibalik kesedihan akan
datang kebahagiaan dan dibalik kesengsaraan akan datang kenikmatan.

Dalam kehidupan ini, semua manusia pasti mengalami ujian dan cobaan dan satu-satunya cara
mengatasi semuanya adalah dengan cara menyerahkan semuanya kepada Allah swt dengan
penuh keyakinan dan kesabaran.

Sebagai orang tua yang arif dan bijak, dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan anak-anak, harus tetap mengajak mereka untuk berdiskusi dalam memutuskan
hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as.

Bersabar bukan berarti berputus asa tetapi harus tetap berikhtiar semaksimal kemampuan kita
dan buah dari kesabaran adalah anugerah dan kemenangan yang besar sebagai bentuk balasan
dari Allah swt bagi hamba-Nya yang bersabar.

Anda mungkin juga menyukai