DISUSUN OLEH:
Cicilia Viany Evanjelista G99190 / I22
Muhammad Thoriqur Rohman G991908014 / I23
PEMBIMBING:
H. Rustam Siregar, dr., Sp.A
Oleh :
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. JP
Tanggal Lahir/ Usia : 25 November 2018/ 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Surakarta
BB : 6,1 kg
PB : 62 cm
Tanggal Pemeriksaan : 28 Agustus 2019
Nomor Rekam Medis : 01 47 xx xx
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap saudara kandung pasien
(alloanamnesis) di IGD, dan Bangsal Melati 2 Kamar 5G hari
perawatan pertama di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta.
1. Keluhan Utama
Kejang
5. Riwayat Kehamilan
Status ibu pasien G6P5A0 saat usia 36 tahun, rutin kontrol
selama masa kehamilan di bidan dan menerima suplemen besi,
folat, dan kalsium. Kehamilan dalam batas normal.
6. Riwayat Persalinan
Ibu pasien melahirkan di usia kehamilan 40 minggu di
Rumah Sakit dr. Moewardi. Saat lahir, pasien menangis kuat, tidak
kebiruan, bergerak aktif, pasien dirawat bersama ibu dan
diperbolehkan pulang. Berat badan lahir pasien 2700 gr. Riwayat
persalinan normal.
7. Status Imunisasi
0 bulan : Hep B0
1 bulan : BCG
2 bulan : Hep B1
3 bulan :-
4 bulan :-
5 bulan :-
6 bulan :-
7 bulan :-
8 bulan :-
9 bulan :-
Kesan : Imunisasi tidak lengkap menurut Kemenkes 2017.
Berdasarkan hasil anamnesis, ibu pasien memberikan alasan
bahwa karena pasien sering mondok, sehingga tidak sempat
mendapatkan imunisasi.
9. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan asupan susu formula infantrini 6 x 60
cc setiap hari. Pasien juga mendapatkan makanan pendamping
berupa makanan yang dihaluskan berupa ati ayam, nasi, biskuit,
pisang, dan jeruk sebanyak 2 hingga 3 kali sehari. Namun, pasien
tidak mau makan dan minum cukup sejak 1 pekan sebelum masuk
rumah sakit. Kualitas dan kuantitas asupan gizi kurang.
Tn. M Ny. A
(40 thn) (37 thn)
An. JP
(9 bulan, 6,1 kg)
(18 thn) (16 thn) (14 thn) (10 thn) (5 thn)
Spastik - - klonus - -
- - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Tanggal 8 Agustus 2019 19.04
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hb 9,1 g/dl 9,4 – 13,0
Hct 30 % 28 – 42
PDW 15 % 25-65
D. DAFTAR MASALAH
Anak laki – laki berusia 9 bulan, berat badan 6,1 kg dengan :
1. Anamnesis:
- Kejang selama 3 menit, fokal to general
- Batuk pilek demam 3 hari sebelum masuk rumah sakit
- Status pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia
- Low intake
2. Pemeriksaan Fisik:
- Keadaan umum : tampak sakit sedang, lemas
- Vital sign : suhu 38 C
- faring hiperemis (+)
- Status gizi kurang, severy underweight, severely stunted
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium darah (8/8/19): anemia mikrositik hipokromik,
trombositosis.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : Juli 2019 dan Agustus 2019
Riwayat mondok : diakui
Maret 2019 dengan diagnosa pneumonia dan
laringotracheobrochitis
Juli 2019 dengan diagnosa kejang demam sederhana
Agustus 2019 dengan diagnosa kejang demam sederhana
Riwayat asma : disangkal
Riwayat atopi : disangkal
E. DIAGNOSIS BANDING
1. Kejang demam sederhana
2. Rhinofaringitis akut
3. DE : PJB asianotik
DA : ASD II, TR Mild
DF : Ross I
4. Gizi kurang
F. DIAGNOSIS KERJA
1. Kejang demam sederhana
2. Rhinofaringitis akut
3. DE : PJB asianotik
DA : ASD II, TR Mild
DF : Ross I
4. Gizi kurang
G. PENATALAKSANAAN
1. Rawat bangsal Neurologi
2. Diet nasi tim 700 kkal
3. Infus D 1/4 NS 20 ml/jam (maintenance)
4. Inj. Paracetamol (15mg/kgBB/8 jam) = 90mg/8 jam IV
5. Inj. Stesolid (0,3mg/kgBB/kali) = 1,5mg bila kejang
6. Furosemid 2mg/12jam PO
7. Spironolacton 3,125 mg/12 jam PO
8. Bisoprolol 0,25 mg/12jam PO
H. PLAN
1. Cek DL2
2. Cek GDS
3. Cek Elektrolit
I. MONITORING
1. KUVS/SiO2 per 8 jam
2. BCD per 8 jam
J. EDUKASI
Keluarga disarankan untuk memiliki termometer di rumah, agar
suhu tubuh dari pasien dapat terpantau dengan baik sehingga resiko
kejang dapat diketahui.
K. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia
Ad fungsionam : dubia
L. FOLLOW UP
DPH/tanggal S O A P
28 Agustus Anak masih mengalami KU : tampak sakit sedang - Epilepsi umum • O2 nasal kanul 1 lpm
2019 kejang jam 02.00, masih Kesadaran : CM idiopatik dd • Diet nasi tim 500 kkal/hari +
DPH-1 ada demam, ada batuk , Tanda vital : simptomatik ASI/ASB on cue
ada pilek. HR : 104x/menit - Rhinofaringitis • IVFD D5 ¼ NS 4 mL/jam IV
RR : 24x/menit akut • Inj. Paracetamol (15mg/kg/8 jam) =
T : 36,9 C - Anemia 90mg/8 jam IV
mikrositik • Inj. Diazepam (0,3 mg/kgBB/kali) =
BB :6,1 kg hipokromik ec 1,5 mg bila kejang IV
SpO2 ; 99% defisiensi Fedd • Asam valproat 1 ml/12 jam p.o = 15
Kepala : mesocephal, UUB cekung (-) infeksi kronis mg/kg/hari
Mata : CA (-/-) SI (-/-), reflek cahaya (+/+), - DE : PJB • Furosemide 2 mg/12 jam p.o
mata cowong (-/-), air mata (+/+) asianotik • Spironolakton 3,125 mg/12 jam p.o
Hidung : NCH (-/-) DA : ASD II, TR • Bisoprolol 0,25 mg/12 jam p.o
Mulut : mukosa basah ( + ), mild • Sidenafil 1 mg/12 jam
Leher : pembesaran KGB (-) DF : Ross I
Thorax : simetris (+), retraksi (-) - Gizi kurang Plan: CT-Scan kepala polos Senin (2/9/2019)
Cor : BJ I-II reguler, bising (-) Monitoring : KUVS/SiO2/BCD/ 8 jam
Pulmo : SDV (+/+) ST (-/-) Analisa diet :
Abdomen: - Kebutuhan kalori 1500
I: DP=DD kkal/24 jam
A: BU + normal
P: timpani
P: supel, turgor kembali cepat. Hepar lien
tidak teraba membesar
Ektremitas: akral hangat +, CRT<2s, Arteri
dorsalis pedis kuat
Status Neurologis
Reflek Fisiologis :
R biceps +2/+2
R triceps +2/+2
R patella +2/+2
R achilles +2/+2
Reflek Patologis :
R babinski (-/-)
R oppenheim (-/-)
R Gordon(-/-)
Tanda meningeal
Kaku kuduk (-)
Kernig (-/-)
29 Agustus Kejang (-) KU : tampak sakit sedang • Epilepsi • O2 nasal kanul 1 lpm
2019 Demam (+) 2 hari Kesadaran : CM umum • Diet nasi tim 700 kkal/hari +
DPH-2 Batuk (+) Tanda vital : idiopatik dd ASI/ASB on cue
Sesak nafas (-) HR : 115x/menit simptomatik • IVFD D5 ¼ NS 4 mL/jam IV
RR : 28x/menit • Rhinofaringit • Inj. Paracetamol (15mg/kg/8 jam) =
T : 36,9 C is akut 90mg/8 jam IV
• Anemia • Inj. Diazepam (0,3 mg/kgBB/kali) =
;
SpO2 99% mikrositik 1,5 mg bila kejang IV
Kepala : mesocephal, UUB cekung (-) hipokromik • Asam valproat 1 ml/12 jam p.o = 15
Mata : CA (-/-) SI (-/-), reflek cahaya (+/+), ec defisiensi mg/kg/hari
mata cowong (-/-), air mata (+/+) Fedd infeksi • Furosemide 2 mg/12 jam p.o
Hidung : NCH (-/-) kronis • Spironolakton 3,125 mg/12 jam p.o
Mulut : mukosa basah ( + ), • DE : PJB • Bisoprolol 0,25 mg/12 jam p.o
Leher : pembesaran KGB (-) asianotik • Sidenafil 1 mg/12 jam
Thorax : simetris (+), retraksi (-) DA : ASD II, TR
Cor : BJ I-II tunggal, intensitas normal, mild Plan: CT-Scan kepala polos Senin (2/9/2019)
reguler, bising (-) DF : Ross I Monitoring : KUVS/SiO2/BCD/ 8 jam
Pulmo : SDV (+/+) ST (-/-) • Gizi kurang Analisa diet :
Abdomen: - Kebutuhan kalori 1500
I: DP=DD kkal/24 jam
A: BU + normal Total kecukupan 60%
P: timpani
P: supel, turgor kembali cepat. Hepar lien
tidak teraba membesar
Ektremitas: akral hangat +, CRT<2s, Arteri
dorsalis pedis kuat
Status Neurologis
Reflek Fisiologis :
R biceps +2/+2
R triceps +2/+2
R patella +2/+2
R achilles +2/+2
Reflek Patologis :
R babinski (-/-)
R oppenheim (-/-)
R Gordon(-/-)
Tanda meningeal
Kaku kuduk (-)
Kernig (-/-)
Pada kasus ini, sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien dikeluhkan
batuk tidak berdahak, pilek, tidak ada demam, tidak ada muntah, tanpa kejang,
nafsu makan menurun, dan tidak ada diare. Pada 30 menit sebelum masuk rumah
sakit pasien mengalami kejang 1 kali dengan durasi ±3 menit dengan manifestasi
mata mendelik ke atas dan tangan kaku. Kejang berhenti dengan sendirinya,
kemudian pasien menangis. Pasien mengalami demam, namun suhu tubuh tidak
diukur oleh orang tua. Oleh keluarga pasien dibawa ke IGD RSDM.
Saat di IGD RSDM, pasien sadar, demam, namun tidak ada kejang dan tidak
ada sesak nafas. masih muntah sebanyak 2x. Pasien tampak sakit sedang dan
lemas, kesadaran pasien penuh, demam 38 C, tidak sesak. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan mata cekung (+), air mata berkurang
(+), mukosa mulut kering (+), faring hiperemis (+). Kemudian dari pemeriksaan
penunjang laboratorium darah didapatkan leukositosis (16.9) dan netrofilia
(87.00).
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
beberapa diagnosis banding penyebab yang mendasari terjadinya kejang pada
pasien ini, yakni karena kejang demam sederhana dd kejang demam kompleks.
Adanya anemia hipokromik mikrositik dapat diduga disebabkan oleh defisiensi Fe
ataupun proses kronis. Adanya faring hiperemis (+) pada pemeriksaan fisik juga
mendukung adanya faringitis. Kemudian dilakukan penilaian dengan Centor score
sebagai alat bantu diagnostic apakah faringitis disebabkan oleh Streptokokkus
beta hemolitikus grup A dan memerlukan antibiotik. Dari perhitungan centor
score didapatkan skor +3 yang menunjukkan pasien berisiko mengalami faringitis
et causa Streptokokkus beta hemolitikus grup A sebesar 11-17%. Untuk itu
diperlukan kultur swab tenggorokan untuk memastikan ada infeksi streptokokus
atau tidak. Apabila didapatkan hasil kultur positif maka diperlukan terapi
antibiotik.
Pasien telah mengalami muntah berulang dan pernah dilakukan pemeriksaan
endoskopi pada Maret 2019 untuk membantu penegakan diagnosis dan didapatkan
hasil gastritis anthrum (+) dan tidak ada infeksi H. pillory. Adanya gastritis dapat
menjadi salah satu penyebab terjadinya mual dan muntah pada pasien ini. selain
itu pasien juga memiliki cerebral palsy yang mana juga dicurigai sebagai salah
satu pencetus terjadinya muntah berulang pada pasien ini.
Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi. Diantaranya penyebab saluran
cerna dan non saluran cerna, dari saluran cerna bisa kita lihat apakah terdapat
obstruksi atau tidak, begitupula dari luar saluran cerna kita bisa melihat apakah
ada infeksi di saluran napas, saluran kemih dan yang lainnya (Ravelli, 2005). Pada
kasus ini didapatkan pasien mengalami faringitis. Pasien sudah mengalami
muntah berulang sampai mondok di RSDM +- sebanyak 15 kali sejak pasien
berusia 3 tahun. Pada cyclic vomiting terjadi kelainan fungsional gastrointestinal
yang dapat di identifikasi dengan adanya 3 atau lebih episode mual dan muntah
yang berlangsung selama hitungan jam hingga hari yang diselingi dengan masa
bebas gejala hingga beberapa minggu atau bulan. Pada sindrom ini tidak
didapatkan kelainan metabolic, neurologic, atau gastrointestinal. Frekuensi dari
serangan rata-rata berkisar 12 kali episode per tahun dengan batasan 1-70 kali
pertahun. Gejala lain yang menyertai yaitu letargi, pucat, demam ringan, sakit
kepala, jerawat atau bisul pada kulit, sakit kepala, nyeri abdomen juga dapat
terjadi, dan seringkali episode-episode ini timbul karena stres fisikal atau
emosional. Penyebab dari sindrom ini masih belum diketahui. Beberapa
penjelasan yang memungkinan penyebab ini seperti migran, disfungsi
hypothalamus/adrenal, disfungsi autonom, kegagalan neuroimun/alergi makanan,
kelainan oksidasi asam lemak, penyakit mitokondria, ion channelopathy, kelainan
motilitas gastrointestinal. Adanya stres menyebabkan meningkatnya sekresi dari
ACTH releasing hormone dan vasopresin dari hipotalamus dan pituitari yang
memediasi aktivasi dari refleks emetik yang membuat terjadinya mual dan muntah
(Shondeimer, 2004).
Kemudian dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik juga diketahui pasien
mengalami dehidrasi ringan-sedang. Dehidrasi dikategorikan sebagai derajat
dehidrasi ringan sedang apabila didapatkan keadaan umum gelisah atau cengeng,
ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata berkurang, mukosa
mulut dan bibir sedikit kering, turgor kurang dan akral masih hangat (WHO,
2009). Oleh karena itu pasien perlu ditatalaksana untuk rehidrasi dengan
pemberian cairan asering.
Saat ini pasien berusia 9 tahun dengan berat badan 7 kg dan panjang badan
112 cm. Pada antropometri didapatkan severely underweight, severely stunted,
dan gizi kurang, dengan lingkar kepala kecil (mikrocephal) dan LILA kurang.
Pasien tidak memiliki hambatan terkait minum dan makan namun nafsu makan
pasien sering menurun terutama bila pasien muntah, kualitas dan kuantitas asupan
gisi pasien juga kurang. Secara antropometri diduga pasien mengalami
kekurangan gizi secara kronis.
Status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi secara
langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian secara
langsung yaitu dengan pemeriksaan secara klinis, pengukuran antropometri,
pemeriksaan biokimiawi, dan biofisik. Kemudian untuk penilaian status gizi
secara tidak langsung dapat dinilai dari survey konsumsi makanan, statistik vital,
dan faktor ekologi.
Pada pasien juga didapatkan cerebral palsy tipe spastik. CP Spastik ini
merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot mengalami kekakuan dan secara
permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai mengalami spastisitas, maka
pada saat berjalan akan akan tampak bergerak kaku dan lurus. Gejala cerebral
palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3 tahun, yaitu
manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun dan
umumnya diikuti spastisitas.
1. Vomitus
Definisi
Epidemiologi
Gastroenteritis adalah penyebab utama muntah pada anak. Muntah bisa terjadi
akibat langsung gastroenteritis. Dalam keadaan ini muntah bisa mendahului
timbulnya diare sampai 48 jam. Tetapi gejala muntah juga menghilang lebih cepat
12-48 jam setelah diare muncul. Muntah juga bisa terjadi akibat gangguan
metabolik sebagai akibat diare/dehidrasi. Misalnya akibat asidosis.
Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi. Beberapa penyebab muntah yang
sering ditemukan pada anak, yaitu:
1. Saluran cerna:
a. Obstruksi: atresia esofagus, stenosis pilorus, antral web, morbus
hirschsprung, malrotasi usus, volvulus, hiatal hernia, akalasia,
ileus mekonium, intususepsi.
b. Non obstruksi: RGE, gastroenteritis, enterokolitis nefritikans,
kalasia
2. Luar saluran cerna : tekanan intrakranial meninggi, infeksi (SSP, saluran
napas, saluran kemih, THT), hidrosefalus, kelainan metabolik
3. Non organik : teknik pemberian minum yang tidak benar, iritasi cairan
amnion, obat, psikogenik, motion sicknes.
Patofisiologi
Patogenesis
Muntah berada dibawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula
oblongata, yaitu nukleus soliter dan formasi retikuler lateral yang dikenal sebagai
pusat muntah. Pusat muntah diaktivasi oleh impuls yang berasal dari
chemoreseptor trigger zone (CTZ), yaitutempat berkumpulnya berbagai impuls
aferen yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga ditemukan
berbagai neurotransmitter dan reseptor (salah satunya adalah reseptor dopamin).
Proses muntah mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea
merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus (organ visera,
labirin, atau emosi). Fase ini ditandai adanya rasa mual yang disertai gejala
otonom seperti produksi air liur bertambah, berkeringat, pucat, takikardi, atau
anoreksia. Gerakan peristaltik aktif berhenti, tekanan di fundus dan korpus
menurun sedangkan tekanan di antrum sampai pars desendens duodenum
meningkat. Pada fase retching terjadi inspirasi dalam dengan otot perut dan
diafragma serta relaksasi sfingter esofagus. Bawah. Fase emesis ditandai dengan
perubahan dengan tekanan intratoraks (dari negatif menjadi positif). Dan relaksasi
sfingter esofagus sehingga isi lambung dikelurkan dikeluarkan dari mulut.
Fase Muntah
Fase Nausea
Nausea atau mual merupakan sensasi psikis yang tidak nyaman tapi
bukan merupakan sensasi yang menyakitkan yang mendahului rasa atau
keinginan untuk muntah yang disebabkan oleh berbagai stimulus seperti
rangsangan organ visera, labirin, maupun emosi. Fase ini ditandai adanya
rasa mual yang disertai gejala otonom seperti produksi air liur bertambah,
berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Selama periode nausea, terjadi
penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus. Antrum dan
duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan bulbus duodeni relaksasi
sehingga terjadi refluks cairan duedenum kedalam lambung. Pada fase
nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak
didahului oleh fase nausea.
Fase Retching
Fase ini dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase ini terjadi
kekejangan dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara
glotis tertutup. Otot pernafasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan
tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi
kontraksi otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan
pilorus berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter
esofagus atas masih menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam
esofagus. Pada akhir fase ini terjadi relaksasi otot dinding perut dan
lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk kedalam esofagus
kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus.
Fase Emesis/ Ekspulsif/ Muntah
Apabila fase retching mencapai puncaknya dan didukung oleh
kontraksi otot abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah jika
tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme anti refluks dari sfingter
esofagus bagian bawah. Pada fase ini pilorus dan antrum berkontraksi
sedangkan fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini
juga terjadi perubahan tekanan intratorakal dan intraabdominal serta
kontraksi dari diafragma. Pada episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan
negatif intratorakal dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu
bersamaan terjadi kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan
fundus sehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi
sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke
posisi normal.
Sindroma Muntah
Muntah psikogenik
Ruminasi
Abdominal migraine
Berdasarkan gambaran dari isi lambung (yang dapat berubah sesuai waktu
dan perjalanan penyakit), maka tipe muntahan dapat diidentifikasi menjadi:
Alimentary Vomiting
Acid Vomiting
Bilious vomiting
Diagnosis
Anamnesis
Rangkaian pertanyaan yang dapat membimbing kita pada diagnosis yang
tepat, sebagai berikut:
- Usia dan jenis kelamin
- Tentukan lebih dulu, apakah yang dihadapi: spitting, regurgitasi atau
muntah
- Kapan mulai muntah
- Derajat/beratnya muntah, kekuatannya (projektil)
- Bagaimana keadaan kesehatan anak: apakah ia menjadi kurus atau
penambahan berat badan normal
- Adakah faktor predisposisi (yang lebih dikenal orang tua) yang
menyebabkan timbulnya muntah ini
- Apakah ada penyakit lain yang menyerang anak, seperti hidrosefalus,
intoleransi susu, riwayat operasi abdomen dll.
- Bagaimana bentuk/isi muntahan, apakah seperti susu/makanan asal (isi
dari esofagus), telah merupakan susu yang telah menggumpal (isi
lambung) atau mengandung empedu (isi duodenum) dan adakah darah
- Saat muntah berhubungan dengan saat makan/minum
- Apakah perubahan posisi tubuh mempengaruhi kejadian muntah
- Diperlukan informasi tentang diet: kualitas, kuantitas, ddan frekuensi
makan, penting terutama pada anak kecil
- Bagaimana teknik pemberian minum
- Bagaimana pula kondisi psikososial di rumah: bagaimana sifat ibu, ayah,
apakah pencemas, apakah ada nenek yang sering ngomel.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan urin: urin lengkap, reduksi, kultur
- Pemeriksaan darah: darah lengkap, BUN, serum kreatinin, serum
elektrolit, analisis gas darah, analisis asam amino, LFT, glukosa darah,
amonia
Pemeriksaan radiologis dan penunjang lainnya:
- kecurigaan terhadap atresia esofagus dapat dilakukan pemasangan pipa
nasogastrik dan pemeriksaan foto Roentgen toraks
- adanya gangguan gastric outlet dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
minum barium, sedangkan stenosis pilorus hipertrofi selain dengan
minum barium dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi
- kecurigaan terhadap Morbus Hirschprung dapat dilakukan pemeriksaan
barium enema dan biopsi hisap rektum
- adanya ileus (paralitik atau obstruksi) dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan foto polos abdomen 2 atau 3 posisi untuk melihat distribusi
udara
- adanya infeksi dapat dibuktikan dengan pemeriksaan darah perifer
lengkap dan urin lengkap
- kecurigaan adanya refluks esofagus dapat dibuktikan dengan melakukan
pemeriksaan pemantauan pH esofagus 24 jam
- konsultasi ke psikolog bila dicurigai adanya faktor psikogenik
- kecurigaan kelainan organ di luar saluran cerna dapat dilakukan
pemeriksaan sesuai SPM kelainan tersebut.
Pendekatan Diagnosis
1. Sifat Muntahan
- Bentuk: bentuk makanan yang masih dapat dikenali pada muntah yang
terjadi lama setelah makan, menunjukkan adanya statis pada lambung
- Bau: bau asam seringkali menandakan statis pada lambung, bau
busuk/tinja menunjukkan adanya obstruksi rendah
- Warna: jika ditemukan muntahan yang berwarna empedu harus
dipikirkan adanya gangguan di sebelah distal ampula Vateri.
Suharyono menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan obstruksi
usus pada setiap kejadian muntah dengan muntahan yang berwarna
hijau sampai terbukti tidak terdapat obstruksi usus
- Darah: pada muntahan neonatus kemungkinan terjadi akibat neonatus
menelan darah ibu saat dilahirkan atau bayi mengisap darah dari
puting yang pecah-pecah (fisura). Untuk membedakan perdarahan
yang berasal dari bayi, misalnya pada erosi esofagus atau defek
koagulasi, dapat dilakukan uji APT
2. Frekuensi Muntah
Muntah yang amat kuat (proyektil) pada bayi dan anak sering terdapat
pada stenosis pilorus dan peninggian tekanan intrakranial. Pada
peninggian tekanan intrakranial, muntah tidak disertai nausea.
Pada bayi muntah yang terjadi selama atau sesudah makan, hampir selalu
disebabkan oleh distensi lambung yang berlebihan akibat cara pemberian
makan yang salah (aerofragi).
5. Gejala Lain
Diagnosis Banding
Possetting
Ruminasi (merycism)
Child Adolescent
Common
Gastroenteritis Gastroenteritis
Systemic infection Syatemic infection
Toxic ingestion Toxic ingestion
Pertussis syndrome Inflammatory bowel disease
Medication Appendicitid
Migraine
Pregnancy
Medication
Ipecac abuse/bulimia
Rare
Reye syndrome Reye syndrome
Hepatitis Hepatitis
Peptic ulcer Peptic ulcer
Pancreatitis Pancratitis
Increased intracranial pressure Increased intracranial pressure
Middle ear disease Middle ear disease
Chemotherapy Chemotherapy
Achalasia Cyclic vomiting
Cyclic vomiting Biliary colic
Esophageal stricture Renal colic
Duodental hematoma
Inbern error of metabolism
Komplikasi
Komplikasi Fisik
Komplikasi Metabolik
Komplikasi Psikologis
Penatalaksanaan
1. Umum
a. Efek Lokal
b. Efek Metabolik
c. Aspirasi
Aspirasi isi lambung yang masif memerlukan pemberian
antibiotika dan kadang-kadang kortikosteroid. Pada inhalasi isi
lambung berupa susu dalam jumlah dikit demi sedikit dapat
menimbulkan sensitisasi terhadap protein susu sapi sehingga
menimbulkan bronkhitis alergik
d. Efek Nutrisi
2. Simptomatik
Obat Antiemetik
Golongan I.
Golongan II.
1. Metoklopramid
Cukup efektif, cara kerja adalah blokade reseptor dopamine di CTZ
(chemo receptive trigger zone), sehingga dapat mengontrol baik nause
maupun muntah secara sentral. Perlu diingat, obat ini dapat menyebabkan
reaksi distonia dan diskinetik serta krisis okulogirik
2. Domperidone
Dapat dikatakan lebih aman. Cara kerja blokade dopamin reseptor baik di
CTZ, maupun di usus. Dapat diberikan per oral atau supositoria.
Bioavalibity rendah sebab cepat mengalami metabolisme di dinding usus
dan hati, dan hanya sedikit masuk kedalam otak.Untuk mencegah nausea
dan muntah pada pengobatan sitostatika, dosis per oral 1 mg/kg bb/hari
(lebih efektif dari metoklopramid 0,5 mg/kg bb/hari). Dosis pada anak-
anak 0,2-0,4 mg/kg bb/hari per oral, interval 4-8 jam.
3. Cisapride
Obat prokinetik yang baru, meningkatkan pengeluaran asetilkoholin
secara fisiologis yang selektif pada tingkat post ganglionik dari syaraf
pada pleksus mienterikus. Tidak mempunyai sifat blokade pada reseptor
dopamin, tetapi meningkatkan peristaltik gastroduodenal. Pada anak juga
efektif untuk mencegah refluks dan memperbaiki klerens dari refluks
material di esofagus. Dosis 0,2-0,4 mg/kg bb/hari.
4. Betanekhol
Suatu kholinester dengan cara kerja selektif pada muskarinik reseptor,
efek kerjanya cukup panjang. Pada anak-anak dipakai untuk terapi RGE,
dosis 0,6 mg/kg bb/hari, dibagi 3 dosis, per oral atau 0,15-0,2 mg/kg
bb/hari sub kutan.
2. Dehidrasi
Tabel 5 . Klasifikasi tingkat dehidrasi anak
Untuk informasi lebih lanjut, lihat Rencana Terapi C, Hal ini mencakup pedoman
pemberian larutan oralit menggunakan pipa nasogastric atau melalui mulut bila
pemasangan infus tidak dapat dilakukan.
RENCANA TERAPI
Diare dengan Dehidrasi Sedang/Ringan
Pada umumnya, anak-anak dengan dehidrasi sedang/ringan harus diberilarutan
oralit, dalam waktu 3 jam pertama di klinik saat anak berada dalam pemantauan
dan ibunya diajari cara menyiapkan dan memberi larutan oralit.
Diagnosis
Jika anak memiliki dua atau lebih tanda berikut, anak menderita dehidrasi
ringan/sedang:
Gelisah/rewel
Haus dan minum dengan lahap
Mata cekung
Cubitan kulit perut kembalinya lambat
Tatalaksana
Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah
sesuai dengan berat badan anak (atau umur anak jika berat badan anak
tidak diketahui), seperti yang ditunjukkan dalam bagan 15 berikut ini.
Namun demikian, jika anak ingin minum lebih banyak, beri minum lebih
banyak.
Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak, satu sendokteh
setiap 1 – 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun; dan pada anak
yang lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering dengan
menggunakan cangkir.
Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah
• Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih
lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit)
• Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri
minum air matang atau ASI.
Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.
Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu
cara menyiapkan larutan oralit dan beri beberapa bungkus oralit
secukupnya kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi di rumah
ditambah untuk rehidrasi dua hari berikutnya.
Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang
terlihat sebelumnya
(Catatan: periksa kembali anak sebelum 3 jam bila anak tidak bisa minum
larutan oralit atau keadaannya terlihat memburuk.)
• Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk
perawatan di rumah
(i) beri cairan tambahan.
(ii) beri tablet Zinc selama 10 hari
(iii) lanjutkan pemberian minum/makan (lihat bab 10, halaman 281)
(iv) kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:
- anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu
- kondisi anak memburuk
- anak demam
- terdapat darah dalam tinja anak
• Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi
pengobatan untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas
dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering
mungkin
• Jika timbul tanda dehidrasi berat, lihat pengobatan di bagian dehidrasi
berat.
• Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak
bisa minum oralit misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan
infus dengan cara: beri cairan intravena secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB
cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan
larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut :
Rencana Terapi B
TANPA DEHIDRASI
Diagnosis
Diagnosis Diare tanpa dehidrasi dibuat bila anak tidak mempunyai dua atau lebih
tanda berikut yang dicirikan sebagai dehidrasi ringan/sedang atau berat.
Gelisah/ rewel
Letargis atau tidak sadar
Tidak bisa minum atau malas minum
Haus atau minum dengan lahap
Mata cekung
Cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat (Turgor jelek)
Tatalaksana
Anak dirawat jalan
Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:
- beri cairan tambahan
- beri tablet Zinc
- lanjutkan pemberian makan
- nasihati kapan harus kembali
Lihat Rencana Terapi A
Beri cairan tambahan, sebagai berikut:
- Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu untuk menyusui anaknya lebih
sering dan lebih lama pada setiap pemberian ASI. Jika anak mendapat ASI
eksklusif, beri larutan oralit atau air matang sebagai tambahan ASI dengan
menggunakan sendok. Setelah diare berhenti, lanjutkan kembali ASI eksklusif
kepada anak, sesuai dengan umur anak.
- Pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri satu atau lebih cairan
dibawah ini:
• larutan oralit
• cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah sayuran)
• air matang
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi, nasihati ibu untuk memberi cairan
tambahan – sebanyak yang anak dapat minum:
• untuk anak berumur < 2 tahun, beri + 50–100 ml setiap kali anak BAB
• untuk anak berumur 2 tahun atau lebih, beri + 100–200 ml setiap kali
anak BAB.
Ajari ibu untuk memberi minum anak sedikit demi sedikit dengan
menggunakan
cangkir. Jika anak muntah, tunggu 10 menit dan berikan kembali dengan
lebih lambat. Ibu harus terus memberi cairan tambahan sampai diare anak
berhenti.
Ajari ibu untuk menyiapkan larutan oralit dan beri 6 bungkus oralit (200 ml)
untuk dibawa pulang.
Beri tablet zinc
- Ajari ibu berapa banyak zinc yang harus diberikan kepada anaknya:
Di bawah umur 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari
Umur 6 bulan ke atas : 1 tablet (20 mg) per hari
Selama 10 hari
- Ajari ibu cara memberi tablet zinc:
• Pada bayi: larutkan tablet zinc pada sendok dengan sedikit air matang, ASI
perah atau larutan oralit.
• Pada anak-anak yang lebih besar: tablet dapat dikunyah atau dilarutkan
Ingatkan ibu untuk memberi tablet zinc kepada anaknya selama 10 hari
penuh.
Lanjutkan pemberian makan
Nasihati ibu kapan harus kembali untuk kunjungan ulang
Tindak lanjut
Nasihati ibu untuk membawa anaknya kembali jika anaknya bertambah parah,
atau tidak bisa minum atau menyusu, atau malas minum, atau timbul demam, atau
ada darah dalam tinja. Jika anak tidak menunjukkan
salah satu tanda ini namun tetap tidak menunjukkan perbaikan, nasihati ibu untuk
kunjungan ulang pada hari ke-5. Nasihati juga bahwa pengobatan yang sama
harus diberikan kepada anak di waktu yang akan datang jika anak mengalami
diare lagi.
Lihat Terapi A
,
3. Cerebral Palsy
Definisi
Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur
3 tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1
tahun dan umumnya diikuti spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang
tidak progresif. Pengaruh gangguan otak terhadap pergerakan dan postur tidak
hilang. Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau kurang jelas seiring
berjalannya waktu. Misalnya pada penderita cerebral palsy yang dapat menjadi
semakin lebih baik dalam mengelola kesulitan mereka sebagai hasil dari
intervensi terapi.
Epidemiologi
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000
kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara
maju, prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000
kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus
per 1.000 kelahiran hidup.
Klasifikasi
1. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari- hari
sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan
bantuan khusus.
2. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-
macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus
dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan
secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri,
berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di
tengah masyarakat dengan baik.
3. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak
mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau
pendidikan khusus yang diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya
penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus.
Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi
mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-emosional
baik bagi keluarganya maupun lingkungannya
Patofisiologi
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas
struktural yang mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal,
perinatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–
risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Bukti–bukti yang ada menunjukkan
bahwa faktor–faktor prenatal berperan dalam 70 – 80 % kasus cerebral palsy.
Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal,
pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas
yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency).
Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak.
Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik
yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di
daerah paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada
substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh
tergantung tempat yang terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur
seperti imaturitas pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti
yang menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan
terhadap kejadian cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah
janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan
periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada
matrik germinal yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak
dewasa, hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari
arteri cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik
quadriplegia. Ganglia basal juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal (seperti koreoatetoid atau
distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan seringkali terjadi
dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada hal–hal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi,
dan kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak
janin. Autoregulasi peredaran darah serebral pada neonatal sangat sensitif
terhadap asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral
hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan
vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan
pembentukkan sinaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa
kehamilan, area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles
sangat rentan terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung
jawab terhadap kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat
menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki,
dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang
lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini
dapat melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat
menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah
parenchymal. Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi
pendarahan ventrikular. Tetapi sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat
berhubungan dengan periventricular-intraventricular hemorrhage.
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk
cerebral palsy, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat
haemolitik pada bayi baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang
menjelaskan peningkatan insiden pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan
antenatal untuk memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan Rhesus negatif
setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada
seluruh bentuk cerebral palsy.
Manifestasi klinis
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus
dan refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap
dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian
tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu
tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur,
misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku, dan pergelangan
tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari
melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada
sendi paha dan lutut, kaki dalam plantar fleksi, dan telapak kaki berputar
ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada
waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis.
Golongan spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu:
Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu anggota
gerak lebih hebat dari yang lainnya.
Hemiplegia/hemiparesis
kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
Diplegia/diparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat
daripada lengan.
Tetraplegia/tetraparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau sama
hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
Diagnosis
Penatalaksanaan
Prinsip terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral
palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy
Intervensi:
Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu
program latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi
penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan
untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang
penderita hidup.
Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut.
Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreo-
atetosis yang berlebihan.
Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di
sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak
yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal,
yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak
merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi
anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat membantu di rumah
dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi
Pencegahan
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin
banyak gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan
penglihatan dan pendengaran) dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk
prognosisnya.
4. Status Gizi
Definisi Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya
manusia dan kualitas hidup. Untuk itu program perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi
masyarakat. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari
pemakaian, penyerapan, dan penggunaan makanan.
Status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi secara
langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi
secara langsung dapat dilakukan dengan empat cara yaitu :
a. Antopometri
Secara umum antopometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi maka antopometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Antopometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat
pada pola pertmbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan
jumlah air dalam tubuh.
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahanperubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan
epitel (superficial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral
atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical
surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi.
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan
tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak
gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat banyak
menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur
dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian
buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah
tes adaptasi gelap.
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survey
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.
d. Gizi buruk
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan karena kekurangan
asupan energi dan protein juga mikronutrien dalam jangka waktu lama. Anak
disebut gizi buruk apabila berat badan dibanding umur tidak sesuai (selama 3
bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai tanda-tanda bahaya. Dampak
gizi buruk pada anak terutama balita:
1) Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak sampai dewasa terhambat.
2) Mudah terkena penyakit ispa, diare, dan yang lebih sering terjadi.
3) Bisa menyebabkan kematian bila tidak dirawat secara intensif.
DAFTAR PUSTAKA