Anda di halaman 1dari 84

PRESENTASI KASUS

ANAK LAKI-LAKI USIA 9 BULAN DENGAN KEJANG DEMAM


SEDERHANA, RHINOFARINGITIS AKUT, PENYAKIT JANTUNG
ASIANOTIK (ASD II, TR MILD, ROSS I), GIZI KURANG

DISUSUN OLEH:
Cicilia Viany Evanjelista G99190 / I22
Muhammad Thoriqur Rohman G991908014 / I23

PEMBIMBING:
H. Rustam Siregar, dr., Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul :

ANAK LAKI-LAKI USIA 9 BULAN DENGAN KEJANG DEMAM


SEDERHANA, RHINOFARINGITIS AKUT, PENYAKIT JANTUNG
ASIANOTIK (ASD II, TR MILD, ROSS I), GIZI KURANG

Hari, tanggal : Agustus 2019

Oleh :

Cicilia Viany Evanjelista G99190______/ I22

Muhammad Thoriqur Rohman G991908014 / I23

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Presentasi Kasus

H. Rustam Siregar, dr., Sp.A(K)


BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. JP
Tanggal Lahir/ Usia : 25 November 2018/ 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Surakarta
BB : 6,1 kg
PB : 62 cm
Tanggal Pemeriksaan : 28 Agustus 2019
Nomor Rekam Medis : 01 47 xx xx
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap saudara kandung pasien
(alloanamnesis) di IGD, dan Bangsal Melati 2 Kamar 5G hari
perawatan pertama di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta.
1. Keluhan Utama
Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien batuk tidak
berdahak, pilek, tidak ada demam, tidak ada muntah, tanpa kejang,
nafsu makan menurun, dan tidak ada diare. Pada 30 menit sebelum
masuk rumah sakit pasien mengalami kejang 1 kali dengan durasi ±3
menit dengan manifestasi mata mendelik ke atas dan tangan kaku.
Kejang berhenti dengan sendirinya, kemudian pasien menangis.
Pasien mengalami demam, namun suhu tubuh tidak diukur oleh orang
tua. Oleh keluarga pasien dibawa ke IGD RSDM.
Saat di IGD RSDM, pasien sadar, demam, namun tidak ada
kejang dan tidak ada sesak nafas. masih muntah sebanyak 2x. Pasien
tampak sakit sedang dan lemas, kesadaran pasien penuh, demam 38
C, tidak sesak. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat mondok : (+) pasien mondok
pada bulan Maret 2019 dengan diagnosis pneumonia dan
laringotracheobronchitis. Pada bulan Juli 2019 dengan
diagnosis kejang demam sederhana. Pada bulan Agustus
2019 dengan diagnosis kejang demam sederhana.
b. Riwayat penyakit serupa (kejang) : (+) bulan Juli dan
Agustus 2019
c. Riwayat alergi obat/makanan : (-)
d. Riwayat rhinitis alergi : (-)
e. Riwayat dermatitis atopi : (-)
f. Riwayat penyakit saraf : (-)
g. Riwayat penyakit jantung :
 DE : PJB asianotik
 DA : ASD II, TR Mild
 DF : Ross I
h. Riwayat sirkumsisi :
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung di keluarga : disangkal
d. Riwayat kejang dan epilepsi di keluarga : disangkal

5. Riwayat Kehamilan
Status ibu pasien G6P5A0 saat usia 36 tahun, rutin kontrol
selama masa kehamilan di bidan dan menerima suplemen besi,
folat, dan kalsium. Kehamilan dalam batas normal.
6. Riwayat Persalinan
Ibu pasien melahirkan di usia kehamilan 40 minggu di
Rumah Sakit dr. Moewardi. Saat lahir, pasien menangis kuat, tidak
kebiruan, bergerak aktif, pasien dirawat bersama ibu dan
diperbolehkan pulang. Berat badan lahir pasien 2700 gr. Riwayat
persalinan normal.

7. Status Imunisasi
0 bulan : Hep B0
1 bulan : BCG
2 bulan : Hep B1
3 bulan :-
4 bulan :-
5 bulan :-
6 bulan :-
7 bulan :-
8 bulan :-
9 bulan :-
Kesan : Imunisasi tidak lengkap menurut Kemenkes 2017.
Berdasarkan hasil anamnesis, ibu pasien memberikan alasan
bahwa karena pasien sering mondok, sehingga tidak sempat
mendapatkan imunisasi.

8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pasien saat ini berusia 9 bulan, belum bisa berjalan maupun
duduk. Pasien hanya bisa tengkurap dan membalikkan badan.
Belum bisa mengoceh dan hanya mampu mengerang. Pertumbuhan
dan perkembangan tidak sesuai dengan usia. BB 6,1 kg, PB 62 cm.
Berdasarkan kurva WHO, untuk PB/U, pasien berada di bawah
kurva -3 SD (severely stunted). Pada kurva BB/U, pasien berada di
bawah kuraa -3 SD (severely underweight). Pada kurva BB/TB,
didapatkan pasien berada di antara kurva -1 SD dan 0 SD (gizi
baik).

9. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan asupan susu formula infantrini 6 x 60
cc setiap hari. Pasien juga mendapatkan makanan pendamping
berupa makanan yang dihaluskan berupa ati ayam, nasi, biskuit,
pisang, dan jeruk sebanyak 2 hingga 3 kali sehari. Namun, pasien
tidak mau makan dan minum cukup sejak 1 pekan sebelum masuk
rumah sakit. Kualitas dan kuantitas asupan gizi kurang.

10. Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai buruh, ibu sebagai ibu
rumah tangga. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS
kesehatan. Kesan riwayat sosial ekonomi cukup.

11. Pohon Keluarga

Tn. M Ny. A
(40 thn) (37 thn)

An. JP
(9 bulan, 6,1 kg)
(18 thn) (16 thn) (14 thn) (10 thn) (5 thn)

Gambar 1. Bagan pohon keluarga


PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang, lemas
Derajat kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Derajat gizi : kesan gizi kurang
2. Tanda vital
SiO2 : 99%
Nadi : 129 kali per menit, kuat
Pernafasan : 32 kali per menit
Suhu : 38º C per aksiler
3. Perhitungan Status Gizi
a. Secara klinis
Nafsu makan : kurang
Kepala : mesocephal
Mata : sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
conjungtiva anemis (-/-), reflek cahaya (+/+)
Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : NCH (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), gusi berdarah (-), bibir
sianosis (-)
Thoraks : Simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
b. Secara Antropometris
BB 6,1 kg | PB 62 cm | usia 9 bulan
BB/U < -3
Kesan : severely underweight
PB/U < -3
Kesan : severely underheight
-1 <BB/TB <0
Kesan : gizi baik
Lingkar kepala : 45,5 cm
LK < -2 SD Nellhaus (mikrocephal)
LILA = 16 cm
LILA < P5
4. Kepala
Mesocephal, UUB cekung (-)
5. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), palpebra edema (-/-), sklera ikterik (-
/-), pupil isokor (+2 mm/+2mm), reflek cahaya (+/+), air mata
berkurang (-/-)
6. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-),
gusi berdarah (-)
8. Telinga
Sekret (-/-), nyeri (-)
9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (+),
detritus (-)
10. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, nyeri tekan (-)
11. Thoraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : tidak ada massa abnormal, fremitus raba
sde
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara nafas
tambahan (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba kuat angkat
Perkusi : tidak ada pelebaran batas jantung
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas nomal, regular,
bising (+)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut = dinding dada
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali
Cepat, nyeri tekan epigastrium (-)
13. Urogenital : dalam batas normal
14. Anorektal : tidak ada laserasi
15. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -

Spastik - - klonus - -
- - - -

Arteri dorsalis pedis teraba kuat


Capillary Refill Time kurang dari 2 detik

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Tanggal 8 Agustus 2019 19.04
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hb 9,1 g/dl 9,4 – 13,0

Hct 30 % 28 – 42

AL 9,5 ribu/ul 5,0 – 19,5

AT 494 ribu/ul 150-450


AE 3,77 juta/ul 3,10 – 4,30

MCV 79,5 /um 80,0-96,0

MCH 24,1 Pg 28,0-33,0

MCHC 30,4 g/dl 33,0-36,0

RDW 15,5 % 11,6-14,6

MPV 7,0 Fl 7,2-11,1

PDW 15 % 25-65

Netrofil 38,60 % 18,00-74,00

Limfosit 49,50 % 60,00 – 66,00


Mono, Eos, Bas 10,30 % 0,00-11,00
GDS 127 Mg/dl 50 – 80
Natrium darah 132 mmol/l 129 -147
Kalium darah 4,0 mmol/L 3,6 – 6,1
Klorida darah 98 mmol/L 98 – 106
Kalsium ion 1,17 mmol/L 1,17 – 1,29

D. DAFTAR MASALAH
Anak laki – laki berusia 9 bulan, berat badan 6,1 kg dengan :
1. Anamnesis:
- Kejang selama 3 menit, fokal to general
- Batuk pilek demam 3 hari sebelum masuk rumah sakit
- Status pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia
- Low intake
2. Pemeriksaan Fisik:
- Keadaan umum : tampak sakit sedang, lemas
- Vital sign : suhu 38 C
- faring hiperemis (+)
- Status gizi kurang, severy underweight, severely stunted
3. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium darah (8/8/19): anemia mikrositik hipokromik,
trombositosis.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : Juli 2019 dan Agustus 2019
Riwayat mondok : diakui
 Maret 2019 dengan diagnosa pneumonia dan
laringotracheobrochitis
 Juli 2019 dengan diagnosa kejang demam sederhana
 Agustus 2019 dengan diagnosa kejang demam sederhana
Riwayat asma : disangkal
Riwayat atopi : disangkal

E. DIAGNOSIS BANDING
1. Kejang demam sederhana
2. Rhinofaringitis akut
3. DE : PJB asianotik
DA : ASD II, TR Mild
DF : Ross I
4. Gizi kurang

F. DIAGNOSIS KERJA
1. Kejang demam sederhana
2. Rhinofaringitis akut
3. DE : PJB asianotik
DA : ASD II, TR Mild
DF : Ross I
4. Gizi kurang

G. PENATALAKSANAAN
1. Rawat bangsal Neurologi
2. Diet nasi tim 700 kkal
3. Infus D 1/4 NS 20 ml/jam (maintenance)
4. Inj. Paracetamol (15mg/kgBB/8 jam) = 90mg/8 jam IV
5. Inj. Stesolid (0,3mg/kgBB/kali) = 1,5mg bila kejang
6. Furosemid 2mg/12jam PO
7. Spironolacton 3,125 mg/12 jam PO
8. Bisoprolol 0,25 mg/12jam PO
H. PLAN
1. Cek DL2
2. Cek GDS
3. Cek Elektrolit

I. MONITORING
1. KUVS/SiO2 per 8 jam
2. BCD per 8 jam

J. EDUKASI
Keluarga disarankan untuk memiliki termometer di rumah, agar
suhu tubuh dari pasien dapat terpantau dengan baik sehingga resiko
kejang dapat diketahui.

K. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia
Ad fungsionam : dubia
L. FOLLOW UP

DPH/tanggal S O A P

28 Agustus Anak masih mengalami KU : tampak sakit sedang - Epilepsi umum • O2 nasal kanul 1 lpm
2019 kejang jam 02.00, masih Kesadaran : CM idiopatik dd • Diet nasi tim 500 kkal/hari +
DPH-1 ada demam, ada batuk , Tanda vital : simptomatik ASI/ASB on cue
ada pilek. HR : 104x/menit - Rhinofaringitis • IVFD D5 ¼ NS 4 mL/jam IV
RR : 24x/menit akut • Inj. Paracetamol (15mg/kg/8 jam) =
T : 36,9 C - Anemia 90mg/8 jam IV
mikrositik • Inj. Diazepam (0,3 mg/kgBB/kali) =
BB :6,1 kg hipokromik ec 1,5 mg bila kejang IV
SpO2 ; 99% defisiensi Fedd • Asam valproat 1 ml/12 jam p.o = 15
Kepala : mesocephal, UUB cekung (-) infeksi kronis mg/kg/hari
Mata : CA (-/-) SI (-/-), reflek cahaya (+/+), - DE : PJB • Furosemide 2 mg/12 jam p.o
mata cowong (-/-), air mata (+/+) asianotik • Spironolakton 3,125 mg/12 jam p.o
Hidung : NCH (-/-) DA : ASD II, TR • Bisoprolol 0,25 mg/12 jam p.o
Mulut : mukosa basah ( + ), mild • Sidenafil 1 mg/12 jam
Leher : pembesaran KGB (-) DF : Ross I
Thorax : simetris (+), retraksi (-) - Gizi kurang Plan: CT-Scan kepala polos Senin (2/9/2019)
Cor : BJ I-II reguler, bising (-) Monitoring : KUVS/SiO2/BCD/ 8 jam
Pulmo : SDV (+/+) ST (-/-) Analisa diet :
Abdomen: - Kebutuhan kalori 1500
I: DP=DD kkal/24 jam
A: BU + normal
P: timpani
P: supel, turgor kembali cepat. Hepar lien
tidak teraba membesar
Ektremitas: akral hangat +, CRT<2s, Arteri
dorsalis pedis kuat

Status Neurologis
Reflek Fisiologis :
R biceps +2/+2
R triceps +2/+2
R patella +2/+2
R achilles +2/+2

Reflek Patologis :
R babinski (-/-)
R oppenheim (-/-)
R Gordon(-/-)

Tanda meningeal
Kaku kuduk (-)
Kernig (-/-)

29 Agustus Kejang (-) KU : tampak sakit sedang • Epilepsi • O2 nasal kanul 1 lpm
2019 Demam (+) 2 hari Kesadaran : CM umum • Diet nasi tim 700 kkal/hari +
DPH-2 Batuk (+) Tanda vital : idiopatik dd ASI/ASB on cue
Sesak nafas (-) HR : 115x/menit simptomatik • IVFD D5 ¼ NS 4 mL/jam IV
RR : 28x/menit • Rhinofaringit • Inj. Paracetamol (15mg/kg/8 jam) =
T : 36,9 C is akut 90mg/8 jam IV
• Anemia • Inj. Diazepam (0,3 mg/kgBB/kali) =
;
SpO2 99% mikrositik 1,5 mg bila kejang IV
Kepala : mesocephal, UUB cekung (-) hipokromik • Asam valproat 1 ml/12 jam p.o = 15
Mata : CA (-/-) SI (-/-), reflek cahaya (+/+), ec defisiensi mg/kg/hari
mata cowong (-/-), air mata (+/+) Fedd infeksi • Furosemide 2 mg/12 jam p.o
Hidung : NCH (-/-) kronis • Spironolakton 3,125 mg/12 jam p.o
Mulut : mukosa basah ( + ), • DE : PJB • Bisoprolol 0,25 mg/12 jam p.o
Leher : pembesaran KGB (-) asianotik • Sidenafil 1 mg/12 jam
Thorax : simetris (+), retraksi (-) DA : ASD II, TR
Cor : BJ I-II tunggal, intensitas normal, mild Plan: CT-Scan kepala polos Senin (2/9/2019)
reguler, bising (-) DF : Ross I Monitoring : KUVS/SiO2/BCD/ 8 jam
Pulmo : SDV (+/+) ST (-/-) • Gizi kurang Analisa diet :
Abdomen: - Kebutuhan kalori 1500
I: DP=DD kkal/24 jam
A: BU + normal Total kecukupan 60%
P: timpani
P: supel, turgor kembali cepat. Hepar lien
tidak teraba membesar
Ektremitas: akral hangat +, CRT<2s, Arteri
dorsalis pedis kuat

Status Neurologis
Reflek Fisiologis :
R biceps +2/+2
R triceps +2/+2
R patella +2/+2
R achilles +2/+2

Reflek Patologis :
R babinski (-/-)
R oppenheim (-/-)
R Gordon(-/-)

Tanda meningeal
Kaku kuduk (-)
Kernig (-/-)

30 Agustus Muntah (-) KU : tampak sakit sedang • Vomitus recurrent • O2 ruangan


2019 Demam (-) Kesadaran : CM intake sulit • Diet nasi lauk 1500 kkal/hari
DPH-3 Makan (-) Tanda vital : dehidrasi ringan • IVFD D5 ½ 56 mL/jam
Minum (-) HR : 108x/menit sedang • Omeprazole (0,1mg/kgB/12 jam= 2
RR : 22x/menit (perbaikan) ec mg/12 jam
T : 37,5 C faringitis akut • Sucralfat 5 mg/8 jam PO
SpO2 : 98% • Gastritis anthrum Paracetamol (10 mg/kgBB/kali) =
BB 17 kg • Cerebral palsy 170 mg PO kalau perlu
Kepala : mikrocephal, UUB cekung (-) tipe spastik Plan:
Mata : CA (-/-) SI (-/-), reflek cahaya (+/+), • Riwayat fimosis Monitoring : KUVS/ BCD/ 8 jam
mata cowong (-/-), air mata (+/+) • Gizi kurang Analisa diet :
Hidung : NCH (-/-) - Kebutuhan cairan 1350
Mulut : mukosa basah ( + ), faring ml/24 jam
hiperemis (-), tonsil T1-T1 - Kebutuhan kalori 1350
Leher : pembesaran KGB (-) kkal/24 jam
Thorax : simetris (+), retraksi (-) Total kecukupan 60%
Cor : BJ I-II reguler, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+) ST (-/-)
Abdomen:
I: DP=DD
A: BU + normal
P: timpani
P: supel, turgor kembali cepat. Hepar lien
tidak teraba membesar
Ektremitas: akral hangat +, CRT<2s, Arteri
dorsalis pedis kuat

Urinalisis: hasil : leukosit (-), nitrit (-),


keton (-)
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien dikeluhkan
batuk tidak berdahak, pilek, tidak ada demam, tidak ada muntah, tanpa kejang,
nafsu makan menurun, dan tidak ada diare. Pada 30 menit sebelum masuk rumah
sakit pasien mengalami kejang 1 kali dengan durasi ±3 menit dengan manifestasi
mata mendelik ke atas dan tangan kaku. Kejang berhenti dengan sendirinya,
kemudian pasien menangis. Pasien mengalami demam, namun suhu tubuh tidak
diukur oleh orang tua. Oleh keluarga pasien dibawa ke IGD RSDM.
Saat di IGD RSDM, pasien sadar, demam, namun tidak ada kejang dan tidak
ada sesak nafas. masih muntah sebanyak 2x. Pasien tampak sakit sedang dan
lemas, kesadaran pasien penuh, demam 38 C, tidak sesak. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan mata cekung (+), air mata berkurang
(+), mukosa mulut kering (+), faring hiperemis (+). Kemudian dari pemeriksaan
penunjang laboratorium darah didapatkan leukositosis (16.9) dan netrofilia
(87.00).
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
beberapa diagnosis banding penyebab yang mendasari terjadinya kejang pada
pasien ini, yakni karena kejang demam sederhana dd kejang demam kompleks.
Adanya anemia hipokromik mikrositik dapat diduga disebabkan oleh defisiensi Fe
ataupun proses kronis. Adanya faring hiperemis (+) pada pemeriksaan fisik juga
mendukung adanya faringitis. Kemudian dilakukan penilaian dengan Centor score
sebagai alat bantu diagnostic apakah faringitis disebabkan oleh Streptokokkus
beta hemolitikus grup A dan memerlukan antibiotik. Dari perhitungan centor
score didapatkan skor +3 yang menunjukkan pasien berisiko mengalami faringitis
et causa Streptokokkus beta hemolitikus grup A sebesar 11-17%. Untuk itu
diperlukan kultur swab tenggorokan untuk memastikan ada infeksi streptokokus
atau tidak. Apabila didapatkan hasil kultur positif maka diperlukan terapi
antibiotik.
Pasien telah mengalami muntah berulang dan pernah dilakukan pemeriksaan
endoskopi pada Maret 2019 untuk membantu penegakan diagnosis dan didapatkan
hasil gastritis anthrum (+) dan tidak ada infeksi H. pillory. Adanya gastritis dapat
menjadi salah satu penyebab terjadinya mual dan muntah pada pasien ini. selain
itu pasien juga memiliki cerebral palsy yang mana juga dicurigai sebagai salah
satu pencetus terjadinya muntah berulang pada pasien ini.
Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi. Diantaranya penyebab saluran
cerna dan non saluran cerna, dari saluran cerna bisa kita lihat apakah terdapat
obstruksi atau tidak, begitupula dari luar saluran cerna kita bisa melihat apakah
ada infeksi di saluran napas, saluran kemih dan yang lainnya (Ravelli, 2005). Pada
kasus ini didapatkan pasien mengalami faringitis. Pasien sudah mengalami
muntah berulang sampai mondok di RSDM +- sebanyak 15 kali sejak pasien
berusia 3 tahun. Pada cyclic vomiting terjadi kelainan fungsional gastrointestinal
yang dapat di identifikasi dengan adanya 3 atau lebih episode mual dan muntah
yang berlangsung selama hitungan jam hingga hari yang diselingi dengan masa
bebas gejala hingga beberapa minggu atau bulan. Pada sindrom ini tidak
didapatkan kelainan metabolic, neurologic, atau gastrointestinal. Frekuensi dari
serangan rata-rata berkisar 12 kali episode per tahun dengan batasan 1-70 kali
pertahun. Gejala lain yang menyertai yaitu letargi, pucat, demam ringan, sakit
kepala, jerawat atau bisul pada kulit, sakit kepala, nyeri abdomen juga dapat
terjadi, dan seringkali episode-episode ini timbul karena stres fisikal atau
emosional. Penyebab dari sindrom ini masih belum diketahui. Beberapa
penjelasan yang memungkinan penyebab ini seperti migran, disfungsi
hypothalamus/adrenal, disfungsi autonom, kegagalan neuroimun/alergi makanan,
kelainan oksidasi asam lemak, penyakit mitokondria, ion channelopathy, kelainan
motilitas gastrointestinal. Adanya stres menyebabkan meningkatnya sekresi dari
ACTH releasing hormone dan vasopresin dari hipotalamus dan pituitari yang
memediasi aktivasi dari refleks emetik yang membuat terjadinya mual dan muntah
(Shondeimer, 2004).
Kemudian dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik juga diketahui pasien
mengalami dehidrasi ringan-sedang. Dehidrasi dikategorikan sebagai derajat
dehidrasi ringan sedang apabila didapatkan keadaan umum gelisah atau cengeng,
ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata berkurang, mukosa
mulut dan bibir sedikit kering, turgor kurang dan akral masih hangat (WHO,
2009). Oleh karena itu pasien perlu ditatalaksana untuk rehidrasi dengan
pemberian cairan asering.

Saat ini pasien berusia 9 tahun dengan berat badan 7 kg dan panjang badan
112 cm. Pada antropometri didapatkan severely underweight, severely stunted,
dan gizi kurang, dengan lingkar kepala kecil (mikrocephal) dan LILA kurang.
Pasien tidak memiliki hambatan terkait minum dan makan namun nafsu makan
pasien sering menurun terutama bila pasien muntah, kualitas dan kuantitas asupan
gisi pasien juga kurang. Secara antropometri diduga pasien mengalami
kekurangan gizi secara kronis.

Status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi secara
langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian secara
langsung yaitu dengan pemeriksaan secara klinis, pengukuran antropometri,
pemeriksaan biokimiawi, dan biofisik. Kemudian untuk penilaian status gizi
secara tidak langsung dapat dinilai dari survey konsumsi makanan, statistik vital,
dan faktor ekologi.

Pada pasien juga didapatkan cerebral palsy tipe spastik. CP Spastik ini
merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot mengalami kekakuan dan secara
permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai mengalami spastisitas, maka
pada saat berjalan akan akan tampak bergerak kaku dan lurus. Gejala cerebral
palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3 tahun, yaitu
manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun dan
umumnya diikuti spastisitas.

Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan


pascanatal. Pada saat ibu pasien mengandung ibu sempat mengalami penyakit
thypoid namun riwayat persalinan, perinatal dan pascanatal pada pasien dalam
batas normal. Faktor resiko terjadinya CP diantaranya letak sungsang, proses
persalinan sulit, apgar score rendah, BBLR dan prematuritas, kehamilan ganda,
malformasi SSP, perdarahan maternal, kejang pada bayi baru lahir. Namun
berdasarkan anamnesis dengan keluarga pasien tidak didapatkan faktor resiko
tersebut dari pasien.
BAB III
Tinjauan Pustaka

1. Vomitus

Definisi

Muntah adalah dikeluarkannya isi lambung melalui mulut secara ekspulsif.


Usaha mengeluarkan isi lambung akan terlihat sebagai kontraksi otot dinding
perut. Secara klinis, kadang-kadang sulit dibedakan dengan refluks gastroesofagus
dan regurgitasi. Refluks gastroesofagus (RGE) didefinisikan sebagai kembalinya
isi lambung kedalam esofagus tanpa adanya usaha dari bayi atau anak. Apabila isi
lambung tersebut dikeluarkan melalui mulut, maka keadaan ini disebut sebagai
regurgitasi. Oleh karena itu, muntah pada bayi atau anak harus dipikirkan pula
kemungkinan suatu RGE.

Muntah merupakan reflek protektif tubuh karena dapat berfungsi melawan


toksin yang tidak sengaja tertelan. Muntah merupakan usaha mengeluarkan racun
dari tubuh dan bisa mengurangi tekanan akibat adanya sumbatan atau pembesaran
organ yang menyebabkan penekanan pada saluran pencernaan.

Epidemiologi

Sindrom Muntah Siklik terjadi sebanyak 1,9% pada anak-anak sekolah.


Tingkat prevalensi refluks gastroesofagus sangat bervariasi dari beberapa studi
yang telah dilakukan tetapi refluks gastroesofagus merupakan hal yang sangat
umum terjadi pada tahun pertama kehidupan. Angka kejadian refluks esophagus
mencapai 1:300 bayi pada tahun pertama kehidupan. Data menyebutkan sekitar
50% pada bayi berumur 2 bulan mengalami regurgitasi 2 kali sehari atau lebih.
Prevalensi tertinggi yaitu 67% terjadi sekitar bayi berumur 4 bulan dan kemudian
prevalensi menurun menjadi 1% pada saat bayi berumur 1 tahun.
Etiologi

Etiologi muntah sangat luas, seluruh kelainan yang menyangkut reseptor


muntah baik dari traktus gastrointestinal, berbagai visera (hati, ginjal, pankreas,
jantung, paru), canalis vestibularis, Chemoreceptive Trigger Zone (CTZ) maupun
Supraneuron akan dapat menimbulkan muntah.

Gastroenteritis adalah penyebab utama muntah pada anak. Muntah bisa terjadi
akibat langsung gastroenteritis. Dalam keadaan ini muntah bisa mendahului
timbulnya diare sampai 48 jam. Tetapi gejala muntah juga menghilang lebih cepat
12-48 jam setelah diare muncul. Muntah juga bisa terjadi akibat gangguan
metabolik sebagai akibat diare/dehidrasi. Misalnya akibat asidosis.

Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi. Beberapa penyebab muntah yang
sering ditemukan pada anak, yaitu:

1. Saluran cerna:
a. Obstruksi: atresia esofagus, stenosis pilorus, antral web, morbus
hirschsprung, malrotasi usus, volvulus, hiatal hernia, akalasia,
ileus mekonium, intususepsi.
b. Non obstruksi: RGE, gastroenteritis, enterokolitis nefritikans,
kalasia
2. Luar saluran cerna : tekanan intrakranial meninggi, infeksi (SSP, saluran
napas, saluran kemih, THT), hidrosefalus, kelainan metabolik
3. Non organik : teknik pemberian minum yang tidak benar, iritasi cairan
amnion, obat, psikogenik, motion sicknes.

Patofisiologi

Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan


karena memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah terjadi bila
terdapat rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre), suatu pusat
kendali di medulla berdekatan dengan pusat pernapasan atau Chemoreceptor
Trigger Zone (CTZ) di area postrema pada lantai ventrikel keempat Susunan
Saraf. Koordinasi pusat muntah dapat dirangsang melalui berbagai jaras.
Muntah dapat terjadi karena tekanan psikologis melalui jaras yang kortek
serebri dan system limbic menuju pusat muntah (VC). Pencegahan muntah
mungkin dapat melalui mekanisme ini. Muntah terjadi jika pusat muntah
terangsang melalui vestibular atau sistim vestibuloserebella dari labirint di
dalam telinga. Rangsangan bahan kimia melalui darah atau cairan otak (LCS
) akan terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini menjadi target dari banyak obat
anti emetik. Nervus vagal dan visceral merupakan jaras keempat yang dapat
menstimulasi muntah melalui iritasi saluran cerna disertai saluran cerna dan
pengosongan lambung yang lambat. Sekali pusat muntah terangsang maka
cascade ini akan berjalan dan akan menyebabkan timbulnya muntah.

Gambar 1. Anatomi Pusat Muntah

Muntah sebenarnya merupakan perilaku yang komplek, dimana


pada manusia muntah terdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea
(mual), retching, pengeluaran isi lambung. Ada 2 regio anatomi di
medulla yang mengontrol muntah, chemoreceptor trigger zone (CTZ)
dan central vomiting centre (CVC). CTZ yang terletak di area
postrema pada dasar ujung caudal ventrikel IV diluar blood brain
barrier (sawar otak). Reseptor didaerah ini diaktivasi oleh bahan-bahan
proemetik didalam sirkulasi darah atau di cairan cerebrospinal (CSF).
Eferen dari CTZ dikirim ke CVC selanjutnya terjadi serangkaian
kejadian yang dimulai melalui vagal eferen splanchnic. CVC terletak
dinukleus tractus solitarius dan disekitar formatio retikularis medulla
tepat dibawah CTZ. CTZ mengandung reseptor untuk bermacam-macam
sinyal neuroaktif yang dapat menyebabkan muntah. Reseptor untuk
dopamine (titik tangkap kerja dari apomorphine), acethylcholine,
vasopressine, enkephalin, angiotensin, insulin serotonin, endhorphin,
substance P, dan mediator-mediator yang lain. Mediator adenosine
3’,5’ cyclic monophosphate (cyclic AMP) mungkin terlibat dalam respon
eksitasi untuk semua peptide stimulator oleh karena theophylline dapat
menghambat aktivitas proemetik dari bahan neuropeptic tersebut.

Gambar 2. Refleks Emesis

Emesis sebagai respons terhadap gastrointestinal iritan misalnya


copper, radiasi abdomen, dilatasi gastrointestinal adalah sebagai akibat dari
signal aferen vagal ke central pattern generator yang dipicu oleh pelepasan
lokal mediator inflamasi, dari mukosa yang rusak, dengan pelepasan
sekunder neurotransmitters eksitasi yang paling penting adalah serotonin
dari sel entrochromaffin mukosa. Pada mabuk (motion sickness), signal
aferen ke central pattern generator berasal dari organ vestibular, visual
cortex, dan cortical centre yang lebih tinggi sebagai sensory input yang
terintegrasi lebih penting dari pada aferen dari gastrointestinal.

Rangsangan muntah berasal dari, gastrointestinal, vestibulo ocular,


aferen cortical yang lebih tinggi, yang menuju CVC dan kemudian dimulai
nausea, retching, ekpulsi isi lambung. Gejala gastrointestinal meliputi
peristaltik, salivasi, takhipnea, tachikardia.

Gambar 3. Refleks Muntah

Respons stereotipik vomiting dimediasi oleh eferen neural pada


vagus, phrenic, dan syaraf spinal. Input untuk syaraf ini berasal dari
brain stem “vomiting centre”. Centre ini tampaknya bukan merupakan
struktur anatomi tunggal, tetapi merupakan jalur akhir bersama dari reflex
yang diprogram secara sentral melalui interneuron medular di nukleus
solitarius dan berbagai-macam tempat disekitar formatio retikularis.
Interneuron tersebut menerima input dari cortical, vagal, vestibular, dan
input lain terutama dari area postrema. Area postrema adalah
chemoreceptor trigger zone yang terletak didasar ventrikel IV diluar
sawar otak dan diidentifikasi sebagai sumber yang crucial untuk input yang
menyebabkan vomiting, terutama respons terhadap obat atau toksin.

Patogenesis

Muntah berada dibawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula
oblongata, yaitu nukleus soliter dan formasi retikuler lateral yang dikenal sebagai
pusat muntah. Pusat muntah diaktivasi oleh impuls yang berasal dari
chemoreseptor trigger zone (CTZ), yaitutempat berkumpulnya berbagai impuls
aferen yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga ditemukan
berbagai neurotransmitter dan reseptor (salah satunya adalah reseptor dopamin).
Proses muntah mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea
merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus (organ visera,
labirin, atau emosi). Fase ini ditandai adanya rasa mual yang disertai gejala
otonom seperti produksi air liur bertambah, berkeringat, pucat, takikardi, atau
anoreksia. Gerakan peristaltik aktif berhenti, tekanan di fundus dan korpus
menurun sedangkan tekanan di antrum sampai pars desendens duodenum
meningkat. Pada fase retching terjadi inspirasi dalam dengan otot perut dan
diafragma serta relaksasi sfingter esofagus. Bawah. Fase emesis ditandai dengan
perubahan dengan tekanan intratoraks (dari negatif menjadi positif). Dan relaksasi
sfingter esofagus sehingga isi lambung dikelurkan dikeluarkan dari mulut.

Fase Muntah

Fase Nausea
Nausea atau mual merupakan sensasi psikis yang tidak nyaman tapi
bukan merupakan sensasi yang menyakitkan yang mendahului rasa atau
keinginan untuk muntah yang disebabkan oleh berbagai stimulus seperti
rangsangan organ visera, labirin, maupun emosi. Fase ini ditandai adanya
rasa mual yang disertai gejala otonom seperti produksi air liur bertambah,
berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Selama periode nausea, terjadi
penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus. Antrum dan
duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan bulbus duodeni relaksasi
sehingga terjadi refluks cairan duedenum kedalam lambung. Pada fase
nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak
didahului oleh fase nausea.
Fase Retching
Fase ini dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase ini terjadi
kekejangan dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara
glotis tertutup. Otot pernafasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan
tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi
kontraksi otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan
pilorus berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter
esofagus atas masih menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam
esofagus. Pada akhir fase ini terjadi relaksasi otot dinding perut dan
lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk kedalam esofagus
kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus.
Fase Emesis/ Ekspulsif/ Muntah
Apabila fase retching mencapai puncaknya dan didukung oleh
kontraksi otot abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah jika
tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme anti refluks dari sfingter
esofagus bagian bawah. Pada fase ini pilorus dan antrum berkontraksi
sedangkan fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini
juga terjadi perubahan tekanan intratorakal dan intraabdominal serta
kontraksi dari diafragma. Pada episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan
negatif intratorakal dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu
bersamaan terjadi kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan
fundus sehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi
sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke
posisi normal.

Sindroma Muntah

Muntah siklik (Cyclic vomiting)

Merupakan kelainan fungsional gastrointestinal yang dapat di


identifikasi dengan adanya 3 atau lebih episode mual dan muntah yang
berlangsung selama hitungan jam hingga hari yang diselingi dengan masa
bebas gejala hingga beberapa minggu atau bulan. Pada sindrom ini tidak
didapatkan kelainan metabolic, neurologic, atau gastrointestinal. Frekuensi
dari serangan rata-rata berkisar 12 kali episode per tahun dengan batasan
1-70 kali pertahun. Gejala lain yang menyertai yaitu letargi, pucat, demam
ringan, sakit kepala, jerawat atau bisul pada kulit, sakit kepala, nyeri
abdomen juga dapat terjadi, dan seringkali episode-episode ini timbul
karena stres fisikal atau emosional. Penyebab dari sindrom ini masih
belum diketahui. Beberapa penjelasan yang memungkinan penyebab ini
seperti migran, disfungsi hypothalamus/adrenal, disfungsi autonom,
kegagalan neuroimun/alergi makanan, kelainan oksidasi asam lemak,
penyakit mitokondria, ion channelopathy, kelainan motilitas
gastrointestinal. Adanya stres menyebabkan meningkatnya sekresi dari
ACTH releasing hormone dan vasopresin dari hipotalamus dan pituitari
yang memediasi aktivasi dari refleks emetik yang membuat terjadinya
mual dan muntah.

Muntah psikogenik

Penyebab kelainan organik tak ditemukan, sindroma ini


menekankan pengaruh yang kuat dari kortek, faktor psikologi yang
merangsang mual (nausea) dan muntah. Ciri-ciri muntah psikogenik
adalah berjalan kronis, terkait dengan stres atau makan, tidak ada
nausea dan anoreksia, muntah dapat dipicu oleh dirinya sendiri dengan
memaksakan muntah atau memasukan tangannya kedalam mulut. Muntah
sembuh setelah dirawat di rumah sakit.

Ruminasi

Kejadian yang secara sadar dan menyenangkan memuntahkan


makanan dari lambung, dikunyah-kunyah dan ditelan kembali. Anak
besar atau dewasa meregurgitasikan makanan dengan cara kontraksi
otot abdomen, sedang pada bayi melogok kedalam mulutnya dengan
jari dalam upaya untuk menimbulkan regurgitasi. Faktor psikologis
memainkan peranan penting pada kejadian tersebut, tetapi perilaku
tersebut berhenti dengan mengobati esofagitisnya. Hal tersebut diduga
untuk menimbulkan gag reflek adalah sebagai respons terhadap nyeri
tenggorokannya. Dikatakan bahwa ruminasi sebagai manifestasi dari
GER, sehingga diagnosis dan pengobatannya perlu mempertimbangkan
faktor psikologis dan esofagitisnya. Terdapat 2 bentuk ruminasi psikogenik
dan self stimulating. Psikogenik biasanya terjadi pada anak normal
dengan ganguan hubungan orang tua anak, sedangkan self stimulating
sering terjadi pada anak dengan keterlambatan mental.

Abdominal migraine

Suatu sindrom dengan gejala abdominal periodik. Nyeri


epigastrik atau periumbilical disertai nause, muntah, diare, panas dan
menggigil, vertigo, iritabel serta poliuria. Bilamana gejala abdominal
disertai sakit kepala yang terjadi pada 30-40% patien dengan migraine
kepala diagnosis akan mudah dibuat, tetapi bila kejadian tersebut
tersendiri isolated abdominal migraine yang biasanya pada 3% penderita,
diagnosis jadi lebih sukar belakangan memang dapat timbul migraine.
Isolated abdominal pain serangan biasanya mendadak berakhir dalam
jam sampai hari, dan ciri-cirinya selalu sama pada setiap serangan
tampak normal diluar serangan. Biasanya terdapat famili dengan riwayat
migraine.
Jenis-Jenis Bahan Muntahan

Berdasarkan gambaran dari isi lambung (yang dapat berubah sesuai waktu
dan perjalanan penyakit), maka tipe muntahan dapat diidentifikasi menjadi:

Alimentary Vomiting

Merupakan muntahan yang berisi makanan yang belum dicerna atau


baru sebagian dicerna, terkadang dalam jumlah yang berlebih. Tipe ini yang
paling sering didapatkan dan dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah
makan. Muntahan ini paling sering disebabkan karena refluks esofagus,
malformasi anatomi dari saluran cerna bagian atas, atau karena intoleransi
makanan. Komplikasi utama akibat tipe muntahan ini adalah malnutrisi.

Acid Vomiting

Biasanya tampak sebagai sejumlah kecil cairan mukus berwarna


keputihan dan mengandung material busa dengan pH<5, yang mungkin
terjadi selama atau selesai makan dan terkadang terjadi pada waktu malam
hari. Biasanya disertai dengan adanya gangguan berupa iritabilitas, kurang
istirahat, bayi menangis, dan nyeri epigastrium atau rasa panas dalam perut
pada anak-anak. Tipe ini lebih merupakan penyakit refluk esofagus dengan
komplikasi berupa esofagitis dan striktur peptik (jarang terjadi).

Bilious vomiting

Karakteristik dari tipe muntahan ini adalah ekspulsi dari cairan


berwarna hijau kekuningan yang tebal. Pada bayi dan neonatus, muntahan
tipe ini selalu merupakan tanda yang penting untuk memikirkan adanya total
(atresia) atau sebagian (stenosis) obstruksi saluran cerna yang berada di
distal dari ampulla Vater yang membutuhkan diagnosa pasti dan
intensif/subintensif terapi.
Bloody vomiting

Muntah berwarna merah terang atau seperti kopi yang dapat


diakibatkan oleh adanya perdarahan yang baru terjadi maupun sedang
terjadi pada saluran cerna bagian atas (esofagus, lambung, atau duodenum).
Muntah ini lebih banyak merupakan komplikasi dari pada manifestasi klinis
awal. Intake nonsteroidal anti-inflamatory drugs (NSAIDs) dapat juga
menyebabkan terjadinya muntah ini. Hematemesis merupakan
kegawatdaruratan yang potensial dan selalu harus dievaluasi di rumah sakit.
Apabila perdarahan ringan dan tidak menimbulkan anemia atau perubahan
hemodinamik dapat diberikan obat anti sekretori. Perdarahan dari varises
esofagus dapat terjadi sangat masif yang juga merupakan kegawatdaruratan
dan harus segera mendapatkan terapi. Hematemesis tidak selalu berasal dari
traktus gastrointestinal, tetapi dapat juga berasal dari perdarahan tonsil,
laring, atau trakea dengan gejala biasanya darahnya yang keluar sedikit dan
disertai gejala sakit tenggorok dan batuk. Bila muntahan berupa bekuan
darah dan berwarna hitam seringkali berasal dari perdarahan hidung bagian
posterior biasanya di indikasi dari lapisan tipis dari darah di dalam
orofaring.

Diagnosis

Mengingat bahwa muntah adalah gejala dari berbagai macam


penyakit, maka evaluasi diagnosis muntah tergantung pada diferensial
diagnosis yang dibuat berdasarkan faktor lokasi stimulus, umur dan gejala
gastrointestinal yang lain. Setelah dilakukan anamnesis lengkap mengenai
muntahnya, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik penderita,
maka untuk membantu penegakan diagnosis dilakukan pemeriksaan
penunjang. Jenis pemeriksaan penunjang dipilih sesuai dengan dugaan
diagnosis berdasarkan data anamnesis dan manifestasi klinis.

Anamnesis
Rangkaian pertanyaan yang dapat membimbing kita pada diagnosis yang
tepat, sebagai berikut:
- Usia dan jenis kelamin
- Tentukan lebih dulu, apakah yang dihadapi: spitting, regurgitasi atau
muntah
- Kapan mulai muntah
- Derajat/beratnya muntah, kekuatannya (projektil)
- Bagaimana keadaan kesehatan anak: apakah ia menjadi kurus atau
penambahan berat badan normal
- Adakah faktor predisposisi (yang lebih dikenal orang tua) yang
menyebabkan timbulnya muntah ini
- Apakah ada penyakit lain yang menyerang anak, seperti hidrosefalus,
intoleransi susu, riwayat operasi abdomen dll.
- Bagaimana bentuk/isi muntahan, apakah seperti susu/makanan asal (isi
dari esofagus), telah merupakan susu yang telah menggumpal (isi
lambung) atau mengandung empedu (isi duodenum) dan adakah darah
- Saat muntah berhubungan dengan saat makan/minum
- Apakah perubahan posisi tubuh mempengaruhi kejadian muntah
- Diperlukan informasi tentang diet: kualitas, kuantitas, ddan frekuensi
makan, penting terutama pada anak kecil
- Bagaimana teknik pemberian minum
- Bagaimana pula kondisi psikososial di rumah: bagaimana sifat ibu, ayah,
apakah pencemas, apakah ada nenek yang sering ngomel.

Anamnesa tambahan dapat berupa sebagai berikut:


- Muntah yang terjadi saat makanan atau minuman baru sampai di dalam
rongga mulut, pikirkan adanya infeksi rongga mulut.
- Adanya riwayat hidramnion selama kehamilan, pikirkan kemungkinan
atresia esofagus
- Bayi dengan muntah menyemprot beberapa saat setelah diberi minum
pikirkan adanya gangguan gastric outlet
- Muntah dengan riwayat keterlambatan pengeluaran mekonium atau
konstipasi sejak lahir perlu dipikirkan adanya Morbus Hirschprung
- Muntah didahului nyeri perut dan perut kembung perlu dipikirkan adanya
obstruksi saluran cerna
- Muntah pada bayi yang terjadi beberapa saat setelah minum sedangkan
faktor lain yang disebut di atas tidak ada, perlu dipikirkan kemungkinan
RGE atau faktor non-organik sebagai penyebab muntah
- Muntah pada anak yang selalu terjadi pada keadaan tertentu yang sama,
perlu dipikirkan faktor psikogenik sebagai dasar keluhan tersebut

Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum: kompos mentis, lethargi, kejang, gejala neurologi yang


lain
- Ikterus, rhinitis, moniliasis
- Status hidrasi/sirkulasi: nadi, tensi, berat badan, lingkaran lengan,
lingkaran kepala, KMS
- Bila ada tanda infeksi, pikirkan muntah sebagai salah satu gejala infeksi
tersebut
- Bercak putih dengan dasar merah pada rongga mulut perlu dipikirkan
suatu kandidiasis oral
- Hipersalivasi pada bayi baru lahir, pikirkan adanya aresia esofagus
- Muntah yang didahului gambaran gerakan peristaltik lambung setelah
diberi minum, pikirkan stenosis pilorus hipertrofik.
- Distensi perut dan pada pemeriksaan colok dubur ditemukan ampula
kolaps, perlu dipikirkan kemungkinan adanya morbus hirschsprung.
- Obstruksi saluran cerna perlu dipikirkan bila ditemukan perut distensi
dan bising usus meningkat pada daerah proksimal dan menurun pada
daerah distal.
- Muntah pada bayi yang disertai gejala klinis lainnya seperti diare,
kembung, eritema perianal, dan sering flatus, perlu dipikirkan adanya
intoleransi laktosa.
- Muntah yang terjadi pada bayi ”sehat” dan tidak ditemukan gejala seperti
yang disebut diatas, perlu dipikirkan adanya faktor organik, seperti teknik
pemberian minum atau iritasi cairan amnion(bayi baru lahir).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan urin: urin lengkap, reduksi, kultur
- Pemeriksaan darah: darah lengkap, BUN, serum kreatinin, serum
elektrolit, analisis gas darah, analisis asam amino, LFT, glukosa darah,
amonia
Pemeriksaan radiologis dan penunjang lainnya:
- kecurigaan terhadap atresia esofagus dapat dilakukan pemasangan pipa
nasogastrik dan pemeriksaan foto Roentgen toraks
- adanya gangguan gastric outlet dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
minum barium, sedangkan stenosis pilorus hipertrofi selain dengan
minum barium dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi
- kecurigaan terhadap Morbus Hirschprung dapat dilakukan pemeriksaan
barium enema dan biopsi hisap rektum
- adanya ileus (paralitik atau obstruksi) dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan foto polos abdomen 2 atau 3 posisi untuk melihat distribusi
udara
- adanya infeksi dapat dibuktikan dengan pemeriksaan darah perifer
lengkap dan urin lengkap
- kecurigaan adanya refluks esofagus dapat dibuktikan dengan melakukan
pemeriksaan pemantauan pH esofagus 24 jam
- konsultasi ke psikolog bila dicurigai adanya faktor psikogenik
- kecurigaan kelainan organ di luar saluran cerna dapat dilakukan
pemeriksaan sesuai SPM kelainan tersebut.
Pendekatan Diagnosis

Mengadakan diagnosis banding dengan memikirkan semua penyebab


muntah dalam prakteknya sulit dilaksanakan karena penyebab muntah
sangat luas dan seringkali tidak mudah ditemukan. Pendekatan diagnosis
berdasarkan usia anak seringkali dapat mempermudah dan bermanfaat
dalam upaya mencari penyebab muntah.

Beberapa gejala penting yang perlu diperhatikan dalam pendekatan


diagnosis muntah pada bayi dan anak adalah sebagai berikut:

1. Sifat Muntahan

- Bentuk: bentuk makanan yang masih dapat dikenali pada muntah yang
terjadi lama setelah makan, menunjukkan adanya statis pada lambung
- Bau: bau asam seringkali menandakan statis pada lambung, bau
busuk/tinja menunjukkan adanya obstruksi rendah
- Warna: jika ditemukan muntahan yang berwarna empedu harus
dipikirkan adanya gangguan di sebelah distal ampula Vateri.
Suharyono menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan obstruksi
usus pada setiap kejadian muntah dengan muntahan yang berwarna
hijau sampai terbukti tidak terdapat obstruksi usus
- Darah: pada muntahan neonatus kemungkinan terjadi akibat neonatus
menelan darah ibu saat dilahirkan atau bayi mengisap darah dari
puting yang pecah-pecah (fisura). Untuk membedakan perdarahan
yang berasal dari bayi, misalnya pada erosi esofagus atau defek
koagulasi, dapat dilakukan uji APT

2. Frekuensi Muntah

Muntah yang sangat sering dan menetap menunjukkan faktor atau


kelainan yang permanen.
3. Kekuatan Muntah

Muntah yang amat kuat (proyektil) pada bayi dan anak sering terdapat
pada stenosis pilorus dan peninggian tekanan intrakranial. Pada
peninggian tekanan intrakranial, muntah tidak disertai nausea.

4. Hubungan dengan Makanan

Pada bayi muntah yang terjadi selama atau sesudah makan, hampir selalu
disebabkan oleh distensi lambung yang berlebihan akibat cara pemberian
makan yang salah (aerofragi).

5. Gejala Lain

- Bila dijumpai ubun-ubun yang menonjol atau gejala neurologis lain,


harus dipikirkan adanya proses intrakranial
- Sepsis dan infeksi lain seperti gastroenteritis, meningitis dan infeksi
saluran air kemih merupakan penyebab muntah yang sering ditemukan
pada neonatus
- Riwayat hidraamnion dapat berhubungan dengan atresia saluran
pencernaan
- Mekoneum yang tidak keluar dalam 24 jam sering dijumpai pada
penyakit Hirschprung atau ileus mekoneum

Ada yang membedakan muntah atas kelainan medis dan muntah


bedah, tetapi sebenarnya batasan ini tidak selalu tegas. Yang lebih penting
adalah bila menemukan gejala muntah, harus ditetapkan apakah muntah
disebabkan kelainan yang harus segera ditolong secara bedah atau tidak.
Umumnya kasus semacam ini mencakup kelainan yang digologkan
abdomen akut. Ada beberapa pegangan untuk menduga abdomen akut:

- Nyeri perut muncul mendahului muntah dan/atau berlangsung


lebih dari 3 jam
- Muntah bercampur empedu
- Distensi abdomen.
Gambar 4. Pendekatan Diagnosis Muntah pada Neonatus
Gambar 5. Algoritma pendekatan untuk mengevaluasi pasien dengan Muntah

Diagnosis Banding

Pada dasarnya penyebab muntah sangat banyak. Pendekatan


muntah pada anak merupakan problem yang sulit, diagnosa banding bukan
hanya menyangkut masalah gastrointestinal tetapi juga masalah emergensi
pada anak. Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi dan tergantung
usia. Beberapa keadaan dapat sebagai pencetus terjadinya muntah seperti
infeksi, iritasi makanan, trauma, alergi, gangguan pada pendengaran seperti
dizziness dan motin sickes, kelainan pada saraf seperti trauma dan
infeksi.Klasifikasi muntah biasanya didasarkan pada lokus anatomi, umur
penderita, adanya gejala dan tanda asosiasi yang lain. Muntah harus
dibedakan dengan:

Possetting

Pengeluaran sedikit isi lambung sehabis makan, biasanya meleleh keluar


dari mulut. Sering didahului oleh bersendawa. Tidak berbahaya. Akan
hilang dengan sendirinya.

Ruminasi (merycism)

Suatu kebiasaan abnormal, mengeluarkan isi lambung, mengunyahnya,


kemudian menelannya kembali. Kadang-kadang dirangsang secara sadar
dengan mengorek faring dengan jari. Tidak berbahaya. Kebiasaan sadar
yang sulit untuk dihilangkan. Membutuhkan bimbingan
psikologik/psikoterapi yang intensif.

Regurgitasi (gumoh, spitting)

Disebabkan inkompetensi spinkter kardioesofageal dan/atau memanjangnya


waktu pengosongan lambung. Dapat mengganggu pertumbuhan dan
menimbulkan infeksi traktus respiratorius berulang akibat aspirasi. Malahan
diperkirakan bisa merupakan salah satu penyebab sudden infant death
syndrome. Tapi sebagian besar akan menghilang sendiri dengan
bertambahnya umur bayi.

Refluks gastroesofageal (RGE)

RGE adalah keluarnya isi lambung ke dalam esofagus. Keadaan ini


mungkin normal atau dapat pula abnormal. Setiap refluks tidak selalu
disertai regurgitasi atau muntah, tetapi setiap regurgitasi pasti disertai
refluks.

Tabel 1. Diagnosis Banding Muntah pada Bayi


Common Rare
Anatomic obstruction Adrenogenital syndrome
Brain tumor (increased intracranial
Gastroenteritis
pressure )
Gastroesophageal reflux Food poisoning
Overfeeding Inborn error of metabolism
Systemic infection Renal tubular acidosis
Rumination
Subdural hemorrhage

Tabel 2. Diagnosis Banding Muntah pada Anak dan Remaja

Child Adolescent
Common
Gastroenteritis Gastroenteritis
Systemic infection Syatemic infection
Toxic ingestion Toxic ingestion
Pertussis syndrome Inflammatory bowel disease
Medication Appendicitid
Migraine
Pregnancy
Medication
Ipecac abuse/bulimia
Rare
Reye syndrome Reye syndrome
Hepatitis Hepatitis
Peptic ulcer Peptic ulcer
Pancreatitis Pancratitis
Increased intracranial pressure Increased intracranial pressure
Middle ear disease Middle ear disease
Chemotherapy Chemotherapy
Achalasia Cyclic vomiting
Cyclic vomiting Biliary colic
Esophageal stricture Renal colic
Duodental hematoma
Inbern error of metabolism

Komplikasi

Komplikasi Fisik

Salah satu konsekuensi akibat muntah yang berlangsung terus


menerus adalah rupturnya dinding kapiler dan mengakibatkan perdarahan
pada jaringan subkutan yang tampak pada wajah dan leher berbentuk seperti
kepala peniti. Dapat juga terjadi Mallory-Weiss Syndrome diakibatkan
karena terjadi herniasi fundus pada fase retching dan ekspulsi kadang-
kadang dapat menimbulkan robekan-robekan longitudinal pada mukosa.
Keadaan ini ditandai dengan bahan muntahan yang mengandung darah
setelah beberapa siklus recthing dan ekspulsi. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan endoskopi dan kelainan ini biasanya sembuh tanpa
komplikasi. Komplikasi berikutnya yang mungkin didapatkan adalah
aspirasi isi lambung. Aspirasi bahan muntahan dapat menyebabkan asfiksia.
Episode aspirasi ringan berulang-ulang dapat menyebabkan infeksi saluran
nafas berulang. Selain yang disebutkan diatas komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah gagal tumbuh kembang. Muntah yang berulang-ulang dan
cukup hebat akan menyebabkan gangguan gizi oleh karena intake menjadi
sangat berkurang dan bila hal ini terjadi cukup lama. Trauma iga dan otot
abdomen yang dapat sangat serius tetapi jarang terjadi.

Komplikasi Metabolik

Dehidrasi/ gangguan elektrolit dan asam-basa dapat terjadi. Muntah-


muntah yang hebat dan berulang-ulang akan menyebabkan hilangnya H+
dan CI- yang manifest sebagai alkalosis metabolik, yang dapat
menyebabkan terjadinya cardiac arrest.

Komplikasi Psikologis

Komplikasi ini terjadi akibat pengalaman masa lalu yang berhubungan


dengan mual muntah dan nyeri perut atau rasa terbakar pada epigastrium
yang hebat yang cenderung menimbulkan kondisi aversi di kemudian hari,
penempatan situasi serupa, atau sensitiasi berlebihan terhadap stimulus yang
seringkali tidak sama. Ini dapat mencetuskan timbulnya perilaku anoreksia
pada anak-anak, mereka memilih untuk tidak makan karena takut akan
mengalami hal yang sama seperti yang pernah dialami sebelumnya. Reaksi
tersebut diperkirakan timbul akibat stimulus pada korteks akan pengalaman
muntah sebelumnya, tetapi jaringan saraf yang turut bekerja dan bagaimana
polanya masih banyak belum diketahui secara pasti.

Penatalaksanaan

1. Umum

a. Efek Lokal

Robekan Mallory-Weiss biasanya hanya menimbulkan


perdarahan kecil sehingga tidak diperlukan suatu tindakan. Sebaliknya
robekan esofagus (sindroma Burhave) memerlukan tindakan radikal.

b. Efek Metabolik

Pada penderita muntah berulang dan berkepanjangan dapat


terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
memerlukan cairan dan elektrolit pengganti (Ringer laktat), kemudian
disusul dengan pemberian cairan dan elektrolit untuk rumatan

c. Aspirasi
Aspirasi isi lambung yang masif memerlukan pemberian
antibiotika dan kadang-kadang kortikosteroid. Pada inhalasi isi
lambung berupa susu dalam jumlah dikit demi sedikit dapat
menimbulkan sensitisasi terhadap protein susu sapi sehingga
menimbulkan bronkhitis alergik

d. Efek Nutrisi

Menjelaskan kepada orang tua mengenai cara-cara pembuatan


minuman/ makanan, dan teknik pemberian makanan. Dan yang tak
kalah pentingnya adalah menekankan hubungan yang harmonis antara
bayi dengan ibu dan ayah. Bila muntah terus menerus dan
diperkirakan akan menimbulkan terjadinya gangguan gizi atau
penyembuhan muntah akan berlangsung lama, kadang-kadang
diperlukan pemberian nutrisi parenteral

2. Simptomatik

Obat Antiemetik

Walaupun tujuan utama penatalaksanaan muntah adalah


menghilangkan kausa spesifiknya, namun penatalaksanaan simptomatik
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala muntah acapkali perlu
dilakukan terlebih dahulu. Perlu diingat bahwa pada keadaan yang akut
dan muntah yang hebat, obat anti muntah hanya bermanfaat jika obat
tersebut dapat diserap dalam jumlah yang cukup. Menghentikan
makan/minum untuk beberapa jam dapat membantu mengurangi
hebatnya muntah sehingga memungkinkan pemberian obat-obat per oral.

Titik tangkap kerja obat anti muntah

Titik tangkap kerja obat anti muntah dapat terletak di beberapa


bagian tubuh, misalnya reseptor kimia terutama dipengaruhi oleh
golongan fenotiasin, anti histamin dan antagonis dopamin.
Pusat muntah dipengaruhi secara langsung oleh golongan anti
kholinergik. Reseptor di vestibulum oleh golongan antihistamin,
sedangkan reseptor perifer dipengaruhi secara berbeda-beda oleh
golongan fenotiasin, antagonis dopamin, betanekhol, peningkatan
asetilkholin oleh golongan metoklopramide, domperidone dan cicaprid.
Secara umum dapat dikatakan, antihistamin terutama baik dipergunakan
untuk anti mabuk (motion sickness), antagonis dopamin untuk motilitas
gastrointestinal dan golongan fenotiazin untuk efek samping dari obat
sitostatika, radiasi dan uremia.

Tabel 3. Golongan obat antiemetik3

Antikolinergik Hyocine, Buskopan, Holopon,


Atropin

Antihistamin Dimenhydrinate (Dramamin,


Antimo), Meclozine (Tavegyl),
Promethazine (fenergan, Avropeg)

Fenotiazin Proklorperazine (Stemetil),


Pervenazin (Avomit), Tietilperazine
maleat (Torecan)

Antagonis dopamin Metoklopramid (Vomitrol),


Domperidone (Motilium)

Meningkatkan asetilkolin Metoklopramid

Langsung pada reseptor Betanechol


muskarinik
Berdasarkan pengaruhnya terhadap motilitas usus, obat yang biasa
diberikan sebagai obat simptomatik untuk muntah dapat dibagi menjadi 2
golongan:

Golongan I.

Golongan stimulan motor gastrointestinal


Merupakan bahan (seringkali neurotransmiter atau sejenis) yang
meningkatkan aktifitas otot polos. Selain merangsang motilitas juga
merangsang sekresi yang tidak terbatas pada usus saja.
Contoh: Betanechol, yang pada anak hanya digunakan pada RGE

Golongan II.

Golongan obat prokinetik


Obat ini menormalisir gangguan motilitas otot sehingga mempunyai
sifat memperbaiki koordinasi aktifitas peristaltik. Protipe dari
golongan ini adalah metoklopramide yang mempunyai efek antagonis
terhadap reseptor dopamin (antagonis terhadap inhibisi motorik oleh
dopamin) yang tidak saja terbatas pada tingkat gastrointestinal, tetapi
juga mempunyai pengaruh pada tingkat susunan syaraf pusat sehingga
dapat terjadi efek samping neurologik.
Obat golongan Domperidone (Motilium) dikatakan mempunyai efek
sama tetapi tanpa mempengaruhi susunan syaraf pusat, walaupun
tidak spesifik.

Kedua obat antagonis dompamin ini daya prokinetikya adalah


dengan cara antagonistik terhadap inhibisi motorik oleh dopamin.

Akhir-akhir ini diproduksi obat yang mempunyai daya prokinetik


tanpa efek antagonistik, mempunyai efek langsung merangsang
pengeluaran asetilkolin secara fisiologik dalam pleksus mienterikus, dan
dengan demikian mempunyai efek spesifik motorik pada tingkat usus
bagian distal.

Tabel 4. Obat-obat yang mempengaruhi motilitas usus

Mekanisme aksi Stimultan motilitas Obat prokinetik

Efek langsung pada Betanechol ---


reseptor muskarinik

Antagonis reseptor --- Metoklopramid,


Dopamin Domperidone

Meningkatkan asetilkolin --- Metoklopramid, Cisaprid

Obat yang sering dipakai mengobati muntah dan gangguan motilitas


lambung:

1. Metoklopramid
Cukup efektif, cara kerja adalah blokade reseptor dopamine di CTZ
(chemo receptive trigger zone), sehingga dapat mengontrol baik nause
maupun muntah secara sentral. Perlu diingat, obat ini dapat menyebabkan
reaksi distonia dan diskinetik serta krisis okulogirik

2. Domperidone
Dapat dikatakan lebih aman. Cara kerja blokade dopamin reseptor baik di
CTZ, maupun di usus. Dapat diberikan per oral atau supositoria.
Bioavalibity rendah sebab cepat mengalami metabolisme di dinding usus
dan hati, dan hanya sedikit masuk kedalam otak.Untuk mencegah nausea
dan muntah pada pengobatan sitostatika, dosis per oral 1 mg/kg bb/hari
(lebih efektif dari metoklopramid 0,5 mg/kg bb/hari). Dosis pada anak-
anak 0,2-0,4 mg/kg bb/hari per oral, interval 4-8 jam.
3. Cisapride
Obat prokinetik yang baru, meningkatkan pengeluaran asetilkoholin
secara fisiologis yang selektif pada tingkat post ganglionik dari syaraf
pada pleksus mienterikus. Tidak mempunyai sifat blokade pada reseptor
dopamin, tetapi meningkatkan peristaltik gastroduodenal. Pada anak juga
efektif untuk mencegah refluks dan memperbaiki klerens dari refluks
material di esofagus. Dosis 0,2-0,4 mg/kg bb/hari.

4. Betanekhol
Suatu kholinester dengan cara kerja selektif pada muskarinik reseptor,
efek kerjanya cukup panjang. Pada anak-anak dipakai untuk terapi RGE,
dosis 0,6 mg/kg bb/hari, dibagi 3 dosis, per oral atau 0,15-0,2 mg/kg
bb/hari sub kutan.

Pencegahan dan pendidikan

1. Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa lebih enak


2. Minuman diberikan dengan menggunakan sendok, sedikit demi sedikit
yang dinaikkan secara bertahap setiap 15 menit
3. Dapat diberikan minuman manis seperti jus (kecuali jeruk dan anggur
karena terlalu asam), sirup, atau madu (umur di atas 1 tahun)
4. Hindarkan makanan padat selama 6 jam
5. Berikan rasa nyaman (turunkan suhu tubuh)
6. Hindarkan aktivitas berlebihan setelah makan

2. Dehidrasi
Tabel 5 . Klasifikasi tingkat dehidrasi anak

KLASIFIKASI TANDA-TANDA ATAU GEJALA PENGOBATAN


Diare dengan Dehidrasi Berat
Anak yang menderita dehidrasi berat memerlukan rehidrasi intravena secara cepat
dengan pengawasan yang ketat dan dilanjutkan dengan rehidrasi oral segera
setelah anak membaik.
Diagnosis
Jika terdapat dua atau lebih tanda berikut:
 Letargis atau tidak sadar
 Mata cekung
 Cubitan kulit perut kembali sangat
 lambat (≥ 2 detik)
 Tidak bisa minum atau malas minum.
Tatalaksana
Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat yang
diikuti dengan terapi rehidasi oral.
 Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat infus disiapkan, beri
larutan oralit jika anak bisa minum
Catatan: larutan intravena terbaik adalah larutan Ringer Laktat (disebut
pula larutan Hartman untuk penyuntikan). Tersedia juga larutan Ringer
Asetat. Jika larutan Ringer Laktat tidak tersedia, larutan garam normal
(NaCl 0.9%) dapat digunakan. Larutan glukosa 5% (dextrosa) tunggal
tidak efektif dan jangan digunakan.
 Beri 100 ml/kg larutan yang dipilih dan dibagi sesuai Tabel 18 berikut ini.
Tabel 5. Pemberian Cairan Intravena bagi anak dengan Dehidrasi Berat

Untuk informasi lebih lanjut, lihat Rencana Terapi C, Hal ini mencakup pedoman
pemberian larutan oralit menggunakan pipa nasogastric atau melalui mulut bila
pemasangan infus tidak dapat dilakukan.

RENCANA TERAPI
Diare dengan Dehidrasi Sedang/Ringan
Pada umumnya, anak-anak dengan dehidrasi sedang/ringan harus diberilarutan
oralit, dalam waktu 3 jam pertama di klinik saat anak berada dalam pemantauan
dan ibunya diajari cara menyiapkan dan memberi larutan oralit.
Diagnosis
Jika anak memiliki dua atau lebih tanda berikut, anak menderita dehidrasi
ringan/sedang:
 Gelisah/rewel
 Haus dan minum dengan lahap
 Mata cekung
 Cubitan kulit perut kembalinya lambat
Tatalaksana
 Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah
sesuai dengan berat badan anak (atau umur anak jika berat badan anak
tidak diketahui), seperti yang ditunjukkan dalam bagan 15 berikut ini.
Namun demikian, jika anak ingin minum lebih banyak, beri minum lebih
banyak.
 Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak, satu sendokteh
setiap 1 – 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun; dan pada anak
yang lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering dengan
menggunakan cangkir.
 Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah
• Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih
lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit)
• Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri
minum air matang atau ASI.
 Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.
 Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu
cara menyiapkan larutan oralit dan beri beberapa bungkus oralit
secukupnya kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi di rumah
ditambah untuk rehidrasi dua hari berikutnya.
 Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang
terlihat sebelumnya
(Catatan: periksa kembali anak sebelum 3 jam bila anak tidak bisa minum
larutan oralit atau keadaannya terlihat memburuk.)
• Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk
perawatan di rumah
(i) beri cairan tambahan.
(ii) beri tablet Zinc selama 10 hari
(iii) lanjutkan pemberian minum/makan (lihat bab 10, halaman 281)
(iv) kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:
- anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu
- kondisi anak memburuk
- anak demam
- terdapat darah dalam tinja anak
• Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi
pengobatan untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas
dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering
mungkin
• Jika timbul tanda dehidrasi berat, lihat pengobatan di bagian dehidrasi
berat.
• Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak
bisa minum oralit misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan
infus dengan cara: beri cairan intravena secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB
cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan
larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut :

UMUR• Periksa kembali anak setiap 1-2 jam.


• Juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.
• Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam.
Klasifikasikan Dehidrasi. Kemudian pilih rencana terapi yang sesuai (A,
B, atau C) untuk melanjutkan penanganan.
• Rencana Terapi B and A memberikan penjelasan lebih rinci:

Rencana Terapi B
TANPA DEHIDRASI
Diagnosis
Diagnosis Diare tanpa dehidrasi dibuat bila anak tidak mempunyai dua atau lebih
tanda berikut yang dicirikan sebagai dehidrasi ringan/sedang atau berat.
 Gelisah/ rewel
 Letargis atau tidak sadar
 Tidak bisa minum atau malas minum
 Haus atau minum dengan lahap
 Mata cekung
 Cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat (Turgor jelek)
Tatalaksana
 Anak dirawat jalan
 Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:
- beri cairan tambahan
- beri tablet Zinc
- lanjutkan pemberian makan
- nasihati kapan harus kembali
 Lihat Rencana Terapi A
 Beri cairan tambahan, sebagai berikut:
- Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu untuk menyusui anaknya lebih
sering dan lebih lama pada setiap pemberian ASI. Jika anak mendapat ASI
eksklusif, beri larutan oralit atau air matang sebagai tambahan ASI dengan
menggunakan sendok. Setelah diare berhenti, lanjutkan kembali ASI eksklusif
kepada anak, sesuai dengan umur anak.
- Pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri satu atau lebih cairan
dibawah ini:
• larutan oralit
• cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah sayuran)
• air matang
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi, nasihati ibu untuk memberi cairan
tambahan – sebanyak yang anak dapat minum:
• untuk anak berumur < 2 tahun, beri + 50–100 ml setiap kali anak BAB
• untuk anak berumur 2 tahun atau lebih, beri + 100–200 ml setiap kali
anak BAB.

Ajari ibu untuk memberi minum anak sedikit demi sedikit dengan
menggunakan
cangkir. Jika anak muntah, tunggu 10 menit dan berikan kembali dengan
lebih lambat. Ibu harus terus memberi cairan tambahan sampai diare anak
berhenti.

Ajari ibu untuk menyiapkan larutan oralit dan beri 6 bungkus oralit (200 ml)
untuk dibawa pulang.
 Beri tablet zinc
- Ajari ibu berapa banyak zinc yang harus diberikan kepada anaknya:
Di bawah umur 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari
Umur 6 bulan ke atas : 1 tablet (20 mg) per hari
Selama 10 hari
- Ajari ibu cara memberi tablet zinc:
• Pada bayi: larutkan tablet zinc pada sendok dengan sedikit air matang, ASI
perah atau larutan oralit.
• Pada anak-anak yang lebih besar: tablet dapat dikunyah atau dilarutkan
Ingatkan ibu untuk memberi tablet zinc kepada anaknya selama 10 hari
penuh.
 Lanjutkan pemberian makan
 Nasihati ibu kapan harus kembali untuk kunjungan ulang
Tindak lanjut
Nasihati ibu untuk membawa anaknya kembali jika anaknya bertambah parah,
atau tidak bisa minum atau menyusu, atau malas minum, atau timbul demam, atau
ada darah dalam tinja. Jika anak tidak menunjukkan
salah satu tanda ini namun tetap tidak menunjukkan perbaikan, nasihati ibu untuk
kunjungan ulang pada hari ke-5. Nasihati juga bahwa pengobatan yang sama
harus diberikan kepada anak di waktu yang akan datang jika anak mengalami
diare lagi.

Lihat Terapi A
,
3. Cerebral Palsy
Definisi

Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan


motorik dan postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak
sejak dalam kandungan atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya
disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku,
epilepsi, dan masalah muskuloskeletal. Cerebral berarti bahwa penyebab
kesulitannya berada di otak, bukan di otot. Palsy dapat berarti memiliki kesulitan
dengan pergerakan dan postur tubuh.

Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur
3 tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1
tahun dan umumnya diikuti spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang
tidak progresif. Pengaruh gangguan otak terhadap pergerakan dan postur tidak
hilang. Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau kurang jelas seiring
berjalannya waktu. Misalnya pada penderita cerebral palsy yang dapat menjadi
semakin lebih baik dalam mengelola kesulitan mereka sebagai hasil dari
intervensi terapi.

Epidemiologi

Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000
kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara
maju, prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000
kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus
per 1.000 kelahiran hidup.

Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus


cerebral palsy, antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang
Surakarta jumlah anak dengan kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah
313 anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak, tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun
2004 berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005 berjumlah 118 anak, tahun 2006
sampai dengan bulan Desember berjumlah 112 anak, sedangkan tahun 2007
sampai dengan bulan Desember yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh
kembang Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat
kunjungan pasien anak dengan diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.

Etiologi dan Faktor resiko


Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan
pascanatal.
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan menyebabkan kelainan pada
janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella, dan penyakit inklusi
sitomegalik. Kelainan yang mencolok biasanya gangguan pergerakan dan
retardasi mental. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar x, dan
intoksikasi kehamilan dapat menimbulkan cerebral palsy.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah
trauma kepala. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia.
Hal ini terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi
sefalo-pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus
menggunakan instrumen tertentu, dan lahir dengan seksio kaesar.
b. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan, dan peredaran darah sehingga terjadi
anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subarakhnoid akan
menyebabkan penyumbatan cairan serebrospinal sehingga
mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat
menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spatis.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan
otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan karena pembuluh
darah, enzim, faktor pembekuan darah, dan lain-lain masih belum
sempurna.
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya
pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa cerebral palsy.
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan
dapat menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada trauma kapitis,
meningitis, ensefalitis, dan luka parut pada otak pasca-operasi.

Faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin


besar antara lain adalah:
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan
tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak
bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen.
c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan
bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat
sesuai dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan
malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal
(mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada
saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir
kehamilan. Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan
dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
Kejang pada bayi baru lahir

Klasifikasi

a. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:


1. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang
terjadi).
2. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu
sisi.
3. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu
kaki.
4. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat
pada bagian di bawah pinggang.
5. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.

b. Berdasarkan karakteristik disfungsi neurologis, yaitu


1. Spastik
Spastik merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot mengalami
kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai
mengalami spastisitas, maka pada saat berjalan akan akan tampak bergerak
kaku dan lurus.
2. Atetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan-gerakan yang involunteer dengan ayunan
yang melebar. Atetosis dibagi menjadi:
a. Distonik, umumnya menyerang kaki dan lengan bagian proksimal.
Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang-ulang.
b. Diskinetik, didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-
gerakan involunteer, tidak terkontrol, berulang-ulang, dan biasanya
melakukan gerakan stereotype.
3. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebellum dan yang berhuungan dengannya.
Cerebral palsy tipe ini mengalami abnormalitas bentuk postur tubuh
dan/atau disertai dengan abnormalitas gerakan.
4. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
atetosis.

c. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)


GMFCS terdiri dari 5 level yang menggambarkan gerak motorik kasar
pada anak-anak dengan cerebral palsy.
 Level 1
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki tangga tanpa
hambatan. Anak-anak juga bisa berlari dan melompat namun kecepatan,
keseimbangan, dan koordinasinya terganggu.
 Level 2
Anak-anak mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki
tangga dengan berpegangan pada alat bantu tetapi memiliki
keterbatasan berjalan di permukaan yang tidak rata maupun pada
tempat yang ramai atau sempit. Anak-anak tersebut memiliki
kemampuan yang minimum untuk berlari dan melompat.
 Level 3
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah menggunakan alat bantu,
menaiki tangga dengan berpegangan, dan bisa menggunakan kursi roda
sendiri atau ditransportasikan pada jarak yang jauh dan di luar rumah
pada permukaan yang tidak rata.
 Level 4
Anak-anak bisa berjalan pada jarak yang dekat dengan menggunalan
walker atau dengan kursi roda di rumah, sekolah, dan komunitas.
 Level 5
Memiliki pergerakan yang sangat terbatas dan kemampuan untuk
mempertahankan postur kepala dan badan terganggu. Semua fungsi
motorik terganggu. Anak-anak ini tidak bisa bergerak sendiri dan harus
ditransportasikan.

d. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional.

1. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari- hari
sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan
bantuan khusus.
2. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-
macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus
dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan
secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri,
berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di
tengah masyarakat dengan baik.

3. Berat

Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak
mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau
pendidikan khusus yang diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya
penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus.
Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi
mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-emosional
baik bagi keluarganya maupun lingkungannya

Patofisiologi
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas
struktural yang mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal,
perinatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–
risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Bukti–bukti yang ada menunjukkan
bahwa faktor–faktor prenatal berperan dalam 70 – 80 % kasus cerebral palsy.
Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal,
pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas
yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency).

Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa


waktu penting, dan waktu–waktu puncak terjadinya, sebagai berikut:

1. Primary neurulation – terjadi pada 3 – 4 minggu kehamilan.

2. Prosencephalic development – terjadi pada 2 – 3 minggu kehamilan.

3. Neuronal proliferation – penambahan maksimal jumlah neuron terjadi


pada bulan ke 3 – 4 kehamilan.

4. Organization – pembentukan cabang, mengadakan sinaps, kematian sel,


eliminasi selektif, proliferasi, dan diferensiasi sel glia terjadi bulan ke 5
kehamilan sampai beberapa tahun setelah kelahiran.

5. Myelination – penyempurnaan sel–sel neuron yang terjadi sejak


kelahiran sampai beberapa tahun setelah kelahiran.

Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya,


menyebabkan otak sebagai subjek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral
ischemia yang terjadi sebelum minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan
defisit migrasi neuronal, antara minggu ke–24 sampai ke–34 menyebabkan
periventricular leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke–34 sampai ke–40
menyebabkan focal atau multifocal cerebral injury.
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor
saat terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah
ke otak dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap
penurunan oksigenasi.

Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak.
Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik
yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di
daerah paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada
substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh
tergantung tempat yang terkena.

Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur
seperti imaturitas pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti
yang menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan
terhadap kejadian cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah
janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan
periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada
matrik germinal yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.

Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak
dewasa, hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari
arteri cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik
quadriplegia. Ganglia basal juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal (seperti koreoatetoid atau
distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan seringkali terjadi
dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia.

Tidak ada hal–hal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi,
dan kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak
janin. Autoregulasi peredaran darah serebral pada neonatal sangat sensitif
terhadap asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral
hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan
vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan
pembentukkan sinaps.

Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa
kehamilan, area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles
sangat rentan terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung
jawab terhadap kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat
menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki,
dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang
lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini
dapat melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat
menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.

Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak


janin, dapat ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan
tentang kelainan migrasi (disordered migration), seperti lissencephaly atau
heterotopia grey matter, mengindikasikan bahwa kerusakan yang terjadi sebelum
22 minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi neuronal normal.
Periventricular leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white matter.
PVL pada umumnya simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white matter
pada anak–anak prematur. Cedera asimetrik pada periventrikular white matter
dapat menyebabkan salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada yang lainnya.
Keadaan ini menyebabkan gejala yang menyerupai spastik hemiplegia tetapi
karakteristiknya lebih menyerupai spastik diplegia. Matriks kapiler germinal
dalam daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap cedera akibat hipoksik-
iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona batas
vaskular di antara zona akhir striate dan arteri thalamik.

Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia


gestasi, mencapai puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah
penurunan pada awal kematian postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak
sebagai diplegia dan sekitar 70% bayi yang mengalami cerebral palsy dilahirkan
sebelum usia gestasi mencapai 32 minggu dan 30% bayi yang mengalami
cerebral palsy lahir tepat waktu (cukup bulan).

Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricular-


intraventricular hemorrhages, sebagai berikut :

a. Grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada


subependymal (<10% dari area periventrikular terisi dengan darah).

b. Grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 – 50% area


periventrikular.

c. Grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area


periventrikular

d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah
parenchymal. Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi
pendarahan ventrikular. Tetapi sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat
berhubungan dengan periventricular-intraventricular hemorrhage.

Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk cerebral


palsy diskinetik (atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir
cukup bulan yang ditandai dengan hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur
tanpa ditandai hiperbilirubinemia. Kern ikterus mengacu pada encephalopathy
dari hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda kelompok nuclear yang
spesifik dan nekrosis neuronal. Efek–efek ini utamanya melibatkan ganglia
basalia, sebagian globus pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus;
substantia nigra; beberapa nervus cranial nuclei – sebagian oculomotor,
vestibular, cochlear dan facial nerve nuclei; saraf batang otak seperti formasi
retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf cerebellar seperti pada dentate
dan horn cells anterior dari tulang belakang.

Hal–hal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus,


kehilangan pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau
distonia) adalah ciri–ciri utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan
dalam manajemen awal hiperbilirubinemia, banyak kasus cerebral palsy
diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak berhubungan dengan riwayat
hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga berhubungan dengan hypoxic injury
pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia, prematuritas, atau
hipoksia, kemungkinan suatu kelainan metabolik atau neurodegeneratif sebagai
dasar fenotip perlu dipertimbangkan.

Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk
cerebral palsy, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat
haemolitik pada bayi baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang
menjelaskan peningkatan insiden pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan
antenatal untuk memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan Rhesus negatif
setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada
seluruh bentuk cerebral palsy.

Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan


oleh neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi
pada bayi cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus
munculnya gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini
merusak ganglia basal dan thalamus yang menyebabkan fenotip cerebral palsy
diskinetik.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinisnya tampak gangguan motorik berupa kelainan fungsi


dan lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis
cerebral palsy. Kelainan fungsi morik terdiri dari:

1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus
dan refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap
dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian
tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu
tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur,
misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku, dan pergelangan
tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari
melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada
sendi paha dan lutut, kaki dalam plantar fleksi, dan telapak kaki berputar
ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada
waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis.
Golongan spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu:
 Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu anggota
gerak lebih hebat dari yang lainnya.
 Hemiplegia/hemiparesis
kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
 Diplegia/diparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat
daripada lengan.
 Tetraplegia/tetraparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau sama
hebatnya dibandingkan dengan tungkai.

2. Tonus otot yang berubah


Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid dan
berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada
lower motor neuron. Menjelang usia 1 tahun barulah terjadi perubahan
tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak
flaksid dan sikapnya seperti kodok terlentang tetapi bila dirangsang atau
mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastik. Refleks otot yang
normal dan refleks Babinski negatif tetapi yang khas ialah refleks neonatal
dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak
dan disebabkan oleh asfiksia perinatal atau ikterus. Golongan ini meliputi
10-20% dari kasus cerebral palsy.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang
terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama
tampak bayi flaksid tetapi sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut.
Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat
timbul juga gejala spastisitas dan ataksia. Kerusakan terletak pada ganglia
basal dan disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa
neonatus. Golongan ini meliputi 5-15% dari kasus cerebral palsy.
4. Ataksia
Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya
flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat.
Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai
berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku.
Kerusakan terletak di cerebellum. Terdapat kira-kira 5% dari kasus
cerebral palsy.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi
sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-
atetosis dan pada 5-10% anak dengan cerebral palsy.
6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan
yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar
mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata
dan sering tampak anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan
refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir
25% penderita cerebral palsy menderita kelainan mata.

Diagnosis

Cerebral palsy merupakan diagnosis klinis yang dibuat berdasarkan


kewaspadaan terhadap faktor risiko, screening perkembangan regular pada bayi-
bayi yang berisiko tinggi, dan pemeriksaan neurologis. Seperti dalam semua
kondisi medis, pendekatan yang sistemastis berfokus pada riwayat maternal,
obstetrik, dan perinatal, tinjau perkembangan mental dan fisik anak
(developmental milestones), dan pemeriksaan neurologi seara menyeluruh serta
observasi anak dalam berbagai posisi seperti tengkurap, telentang, duduk, berdiri,
berjalan, dan berlari.

Tidak memungkinkan untuk mendiagnosis cerebral palsy pada bayi


berusia kurang dari 6 bulan kecuali pada kasus yang sangat parah. Pola dari
berbagai bentuk cerebral palsy muncul perlahan-lahan dengan petunjuk awal
adanya keterlambatan dalam perkembangan mental dan fisik anak dan tonus otot
yang abnormal. Pada cerebral palsy, riwayatnya tidak progresif. Milestones sekali
mendapatkan tidak ditemukan adanya regresi pada cerebral palsy. Tonus bisa
hipertonik atau hipotonia. Banyak hipotonia dini berubah menjadi spastisitas atau
distonia pada usia 2-3 tahun.

Tanda-tanda awal meliputi adanya preferensi tangan pada tahun pertama,


kelainan tonus berupa spastisitas atau hipotonia dengan berbagai distribusi,
adanya refleks neonatus yang abnormal, keterlambatan dalam refleks melindungi
dan postural, dan pergerakan yang tidak simetris. Refleks primitif seharusnya
menghilang secara bertahap pada usia 6 bulan. Di antara refleks primitif yang
paling berguna secara klinis adalah Moro, Tonic labyrinthine, dan Asymmetric
Tonic Neck Reflex (ATNR). Pada banyak kasus, diagnosis cerebral palsy tidak
memungkinkan hingga usia 12 bulan.
Pada pemeriksaan lebih lanjut pada anak-anak dengan cerebral palsy, EEG
dilakukan apabila terdapat riwayat epilepsi. Neuroimaging dilakukan jika belum
dilakukan pada masa nenonatus yang mendukung etiologi cerebral palsy. MRI
lebih dianjurkan disbanding CT-scan Pemeriksaan genetik dan metabolik jika
terdapat bukti kemunduran atau kompensasi metabolik, riwayat keluarga dengan
gangguan neurologis di masa kanak-kanak berhubungan dengan cerebral palsy.
Pemeriksaan untuk menentukan koagulopati pada anak-anak dengan strok juga
penting.

Evaluasi lengkap pada anak dengan cerebral palsy meliputi pemeriksaan


penglihatan, berbicara, pendengaran, sensoris, epilepsi, dan fungsi kognitif.
Evaluasi ortopedi suatu keharusan karena ketidakseimbangan otot dan spastisitas
menyebabkan subluksasi/dislokasi panggul, deformitas equina, kontraktur, dan
skoliosis.

Penatalaksanaan

Prinsip terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral
palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy

Intervensi:

- Mengurangi spastisitas otot


- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan
antiepilepsi yang konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis,
deformitas equina, dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan
yang lebih baik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu
kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog,
psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi,
occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa, dan orang tua
penderita.

Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu
program latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi
penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan
untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang
penderita hidup.

Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut.
Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreo-
atetosis yang berlebihan.

Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di
sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak
yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal,
yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak
merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi
anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat membantu di rumah
dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi

Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang


sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya.
Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine
dapat menolong, misalnya diazepam, klordiazepoksid (Librium), nitrazepam
(mogadon). Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan. Imipramine (tofranil)
diberikan kepada penderita dengan depresi.

Pencegahan

Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP


pun bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara
lain:
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat
pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat
bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan,
pengamatan optimal selama mandi dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru
lahir dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan
transfusi tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan
pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak
selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, karena secara
umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus, serum
khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi antibodi
tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada ibu hamil antibodi
tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi antibodi
tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi
dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau
melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi sebelum hamil.
Prognosis

Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin
banyak gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan
penglihatan dan pendengaran) dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk
prognosisnya.
4. Status Gizi
Definisi Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya
manusia dan kualitas hidup. Untuk itu program perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi
masyarakat. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari
pemakaian, penyerapan, dan penggunaan makanan.
Status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi secara
langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi
secara langsung dapat dilakukan dengan empat cara yaitu :
a. Antopometri
Secara umum antopometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi maka antopometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Antopometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat
pada pola pertmbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan
jumlah air dalam tubuh.
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahanperubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan
epitel (superficial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral
atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical
surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi.
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan
tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak
gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat banyak
menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur
dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian
buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah
tes adaptasi gelap.

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survey
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

Klasifikasi Status Gizi


Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang
sering disebut reference. Berdasarkan baku WHONCHS status gizi dibagi menjadi
empat, yaitu:
a. Gizi lebih
Gizi lebih terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara konsumsi energi dan
pengeluaran energi. Asupan energi yang berlebihan secara kronis akan
menimbulkan kenaikan berat badan, berat badan lebih (overweight) dan obesitas.
Makanan dengan kepadatan energi yang tinggi (banyak mengandung lemak atau
gula yang ditambahkan dan kurang mengandung serat) turut menyebabkan
sebagian besar keseimbangan energi yang positif ini. Selanjutnya penurunan
pengeluaran energi akan meningkatkan keseimbangan energi yang positif.
Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu, terutama di
perkotaan menyebabkan perubahan dalam gaya hidup, terutama pola makan. Pola
makan berubah ke pola makan baru yang rendah karbohidat, rendah serat kasar,
dan tinggi lemak sehingga menjadikan mutu makanan ke arah tidak seimbang.
Dampak masalah gizi tampak dengan semakin meningkatnya penyakit
degeneratif, seperti jantung koroner, diabetes mellitus (DM), hipertensi, dan
penyakit hati. Penanggulangan masalah gizi lebih adalah dengan
menyeimbangkan masukan dan keluaran energi melalui pengurangan makan dan
penambahan latihan fisik. Penyeimbangan masukan energy dilakukan dengan
membatasi konsumsi karbohidrat dan lemak serta menghindari konsumsi alkohol.
b. Gizi baik
Gizi baik adalah gizi yang seimbang. Gizi seimbang adalah makanan yang
dikonsumsi oleh individu sehari-hari yang beraneka ragamdan memenuhi 5
kelompok zat gizi dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan tidak
kekurangan. Sekjen Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Dr. dr.
Saptawati Bardosono (2009) memberikan 10 tanda umum gizi baik, yaitu:
1) Bertambah umur, bertambah padat, bertambah tinggi. Tubuh dengan asupan
gizi baik akan mempunyai tulang dan otot yang sehat dan kuat karena konsumsi
protein dan kalsiumnya cukup. Jika kebutuhan protein dan kalsium terpenuhi
maka massa tubuh akan bertambah dan tubuh akan bertambah tinggi.
2) Postur tubuh tegap dan otot padat. Tubuh yang memiliki massa otot yang padat
dan tegap berarti tidak kekurangan protein dan kalsium. Mengonsumsi susu dapat
membantu mencapai postur ideal.
3) Rambut berkilau dan kuat. Protein dari daging, ayam, ikan dan kacang-
kacangan dapat membuat rambut menjadi lebih sehat dan kuat.
4) Kulit dan kuku bersih dan tidak pucat. Kulit dan kuku bersih menandakan
asupan vitamin A, C, E dan mineral terpenuhi.
5) Wajah ceria, mata bening dan bibir segar. Mata yang sehat dan bening didapat
dari konsumsi vitamin A dan C seperti tomat dan wortel. Bibir segar didapat dari
vitamin B, C dan E seperti yang
terdapat dalam wortel, kentang, udang, mangga, jeruk.
6) Gigi bersih dan gusi merah muda. Gigi dan gusi sehat dibutuhkan untuk
membantu menceerna makanan dengan baik. Untuk itu, asupan kalsium dan
vitamin B pun diperlukan.
7) Nafsu makan baik dan buang air besar teratur. Nafsu makan baik dilihat dari
intensitas anak makan, idealnya yaitu 3 kali sehari. Buang air besar pun harusnya
setiap hari agar sisa makanan dalam usus besat tidak menjadi racun bagi tubuh
yang dapat mengganggu nafsu makan.
8) Bergerak aktif dan berbicara lancar sesuai umur.
9) Penuh perhatian dan bereaksi aktif
10) Tidur nyenyak
c. Gizi kurang
Gizi kurang adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi seperti protein, karbohidrat,
lemak dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Persatuan Ahli Gizi Indonesia
(Persagi) pada tahun 1999, telah merumuskan faktor yang menyebabkan gizi
kurang seperti pada bagan di bawah ini.

Gambar 6. Faktor penyebab gizi kurang


Empat masalah gizi kurang yang mendominasi di Indonesia, yaitu :
1) Kurang Energi Protein (KEP)
Kurang Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makan sumber energi
secara umum dan kekurangan sumber protein. Pada anak-anak, KEP dapat
menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi
dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Pada orang dewasa, KEP bisa
menurunkan produktivitas kerja dan derajat kesehatan sehingga rentan terhadap
penyakit. Kemiskinan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi terjadinya
KEP, namun selain kemiskinan faktor lain yang berpengaruh adalah kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang makanan pendamping serta tentang pemeliharaan
lingungan yang sehat.
2) Anemia Gizi Besi (AGB)
Masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan kekurangan zat
besi (AGB). Penyebab masalah AGB adalah kurangnya daya beli masyarakat
untuk mengkonsumsi makanan sumber zat besi, terutama dengan ketersediaan
biologik tinggi (asal hewan), dan pada perempuan ditambah dengan kehilangan
darah melalui haid atau persalinan. AGB menyebabkan penurunan kemampuan
fisik dan produktivitas kerja, penurunan kemampuan berpikir dan penurunan
antibodi sehingga mudah terserang infeksi. Penanggulangannya dilakukan melalui
pemberian tablet atau sirup besi kepada kelompok sasaran.
3) Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
Kekurangan iodium umumnya banyak ditemukan di daerah pegunungan dimana
tanah kurang mengandung iodium. GAKI menyebabkan pembesaran kelenjar
gondok (tiroid). Pada anak-anak menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan
jasmani, maupun mental. Ini menampakkan diri berupa keadaan tubuh yang cebol,
dungu, terbelakang atau bodoh. Penanggulangan masalah GAKI secara khusus
dilakukan melalui pemberian kapsul minyak beriodium/iodized oil capsule kepada
semua wanita usia subur dan anak sekolah di daerah endemik. Secara umum
pencegahan GAKI dilakukan melalui iodisasi garam dapur.
4) Kurang Vitamin A (KVA)
KVA merupakan suatu ganguan yang disebabkan karena kurangnya asupan
vitamin A dalam tubuh. KVA dapat mengakibatkan kebutaan, mengurangi daya
tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi, yang sering menyebabkan
kematian khususnya pada anak-anak. Selain itu KVA dapat menurunkan
epitelisme sel-sel kulit . Faktor yang menyebabkan timbulnya KVA adalah
kemiskinan dan minim pengetahuan akan gizi.

d. Gizi buruk
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan karena kekurangan
asupan energi dan protein juga mikronutrien dalam jangka waktu lama. Anak
disebut gizi buruk apabila berat badan dibanding umur tidak sesuai (selama 3
bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai tanda-tanda bahaya. Dampak
gizi buruk pada anak terutama balita:
1) Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak sampai dewasa terhambat.
2) Mudah terkena penyakit ispa, diare, dan yang lebih sering terjadi.
3) Bisa menyebabkan kematian bila tidak dirawat secara intensif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail R dan Wahyu H. Muntah Pada Anak. Dalam: Suharyo, ed.


Gastroenterologi Anak Praktis. 1988. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal.
109-115.
2. Markum AH, Ismael S, Alatas H. Muntah Pada Bayi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Jakarta: Infomedika. Hal. 311.
3. Suraatmaja, Sudaryat. Gastroenterologi Anak. 2005. Jakarta: Sagung Seto.
Hal. 155-169.
4. Ravelli, Alberto. Recurrent Vomiting. Dalam: Guandalini, Stefano ed.
Essential Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. 2005.
USA: McGraw-Hill Medical Publishing. Hal. 3-14.
5. Laney, Wayne. The Gastrointestinal Tract & Liver. Dalam: Rudolph,
Abraham ed. Rudolph’s Fundamentals of Pediatrics. 2002. USA:
McGraw-Hill Medical Publishing. Hal. 466-472.
6. Sondheimer, Judith. Vomiting. Dalam: Walker, Allan ed. Pediatrics
Gastrointestinal Disease. 2004. USA: BC Decker. Hal. 203-209.
7. Tim Adaptasi Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta :
WHO Indonesia.
8. Netter, F. H. 2011. Atlas of Human Anatomy . 5th edition. Philadelphia:
Saunders. 104-114
9. Wibowo, Alinda R., & Saputra, Deddy R., 2012. Prevalens dan Profil
Klinis pada Anak Palsi Serebral Spastik dengan Epilepsi. Sari
Pediatri.Volume 14.
10. Merlina, M., Kusnadi, Y., & Artati. 2012. Prospek Terapi Sel Punca untuk
Cerebral Palsy. Cermin Dunia Kedokteran 198. Volume 39.
11. Jan, M. M. S. 2006. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Update.
Ann Saudi Med. Volume 26.
12. Oxford University Student Union(OUSU). Cerebral Palsy Fact Sheet.
United Kingdom: University of Oxford.
13. Maimunah, S. 2014. Studi Eksploratif tentang Konsep Diri dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhi pada Remaja Cerebral Palsy. Pendidikan yang
Memberdayakan. Jakarta.
14. Selina, H., Priambodo, W. S., & Sakundarno, M. 2012. Gangguan Tidur
pada Anak Palsi Serebral. Medica Hospitalia.Volume 1.
15. Dahlan, A. & Aminullah, A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Volume 11.
16. Poetry, R. V., Ramli, A. H. & Pratiwi, A. Resiliensi pada Mahasiswa Baru
Penyandang Cerebral Palsy(CP). Universitas Brawijaya. Malang.
17. Graham, H. K. 2005. Classifying Cerebral Palsy. Asia-Pacific Childhood
Disability Update.
18. Mardiani, E. 2006. Faktor-faktor Risiko Prenatal dan Perinatal Kejadian
Cerebral Palsy. Semarang: Universitas Diponegoro.
19. Sankar, C. & Mundkur, N. 2005. Cerebral Palsy−Definition,
Classification, Etiology and Early Diagnosis. Indian J. Pediatric. Volume
72.
20. Kuldeep, C. R. 2014. Recent Advances in Ayuverdic Management of
Cerebral Palsy Affected Children. Int. J. Res. Ayurveda Pharm. Volume 5.

Anda mungkin juga menyukai