Sori Siregar
“Ayah tidak boleh terus-menerus ketakutan seperti itu. Putusan yang ayah
jatuhkan benar-benar berdasarkan hati nurani dan sesuai dengan ketentuan
undang-undang,” ujar putranya Hamonangan.
Hendar tampaknya tidak mendengar kata-kata anaknya itu. Atau pura-pura tidak
mendengarnya. Ia terus menatap ke luar jendela. Kelihatannya ia menunggu
sesuatu atau seseorang yang entah kapan munculnya.
“Ia tidak sejahat seperti yang ayah katakan. Ayah adalah temannya sejak sekolah
dasar. Walaupun ia bekas kepala preman dan dikenal dengan sebutan Preman
Besar, aku yakin ia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri.
Kebebasan yang akan diperolehnya tidak akan membuatnya gegabah. Percayalah,
Ayah,” Hamongan melanjutkan.
Hendar sendiri pun yakin, Gorga akan menerima hukuman seperti yang dijatuhkan
kepadanya. Karena itu ia tidak pernah sedikit pun merasa takut untuk
mengucapkan putusan yang telah disepakati bersama itu. Hendar sadar, ia dan
Gorga berteman sejak sekolah dasar. Tetapi perjalanan hidup telah membuat
mereka berada pada kutub yang berbeda dan tidak saling berkomunikasi selama
bertahun-tahun. Tidak berkomunikasi bukanlah berarti mereka saling melupakan
apalagi berseteru. Hendar tahu bahwa Gorga adalah raja dunia hitam yang ditakuti
di kota mereka. Begitu pula Gorga. Ia tahu Hendar adalah penegak hukum yang
tegas dan tidak jarang membuat terdakwa yang diadilinya gentar walaupun
mereka didampingi penasihat hukum yang punya nama besar yang selalu
memenangkan kliennya.
Hendar yang menghadapkan kursinya ke jendela rumahnya di lantai dua itu tidak
merasa perlu menjawab pertanyaan istrinya. Ia merasa anaknya, Hamonangan,
dan istrinya, Lumongga, hanya berupaya mengusir, paling tidak mengurangi rasa
takutnya. Bisa saja mereka juga takut, tapi itu tidak mereka perlihatkan.
Lalu lintas di jalan raya masih ramai dengan kekurangajaran pengguna jalan itu.
Masing-masing saling mendahului, saling serobot dan saling menyalib. Hendar
menyaksikan semua itu tanpa reaksi, karena hal itu memang telah menjadi
kebiasaan pengguna jalan. Tidak ada yang perlu dirisaukan karena lalu lintas yang
semrawut itu.
Pemikiran yang baik, ujar Hendar kepada dirinya. Bisa saja teman-temannya yang
menjatuhkan hukuman itu tidak merasa ada yang mengkhawatirkan yang akan
terjadi. Apalagi mereka adalah hakim-hakim yang baik, jujur dan terpuji
integritasnya. Tetapi mereka semua bukan teman Gorga sejak sekolah dasar.
Bahkan, mereka tidak mengenal Gorga secara pribadi. Perlukah aku menemui
mereka? Hendar bertanya kepada dirinya. Ah, tidak. Kerisauanku ini tidak perlu
diketahui orang lain, selain istri dan anakku.
“Aku akan ke penjara menemui Gorga,” katanya kepada istrinya setelah selesai
sarapan pagi.
Istrinya yang tidak percaya pada pendengarannya itu, berpaling dan bertanya.
“Menemui Gorga di penjara?”
“Ya.”
“Untuk apa?”
“Ada wartawan yang mengatakan, Gorga menjadi korban peradilan sesat. Yang
bersalah sebenarnya bukan Gorga, tetapi orang lain yang sama sekali tidak
dikenalnya. Orang itulah yang membunuh hakim pemberani itu. Gorga hanya
menjadi korban dari orang yang akan menggantikannya.”
“Ya, orang yang akan menggantikannya sebagai pelindung dan penyelamat orang-
orang penting di kota itu. Sebelum ini mereka membutuhkan Gorga, belakangan
mereka berpaling dari Gorga karena Preman Besar ini telah melanggar janji dan
bersekutu dengan aparat.”
“Aku harap setelah menemui Gorga dan meminta maaf Bapak akan merasa lebih
tenang.”
“Kan Ibu sudah lama mengatakan kepada Ayah, Gorga yang sering Ayah sebut itu
tidak pernah dijatuhi hukuman dan tidak pernah disekap dalam bui. Ia teman
Ayah, teman sejak sekolah dasar. Teman baik yang selalu datang bersilaturahim.”
“Gorga, ya Gorga.”
“Ayah dihantui pemikiran yang bukan-bukan setelah pensiun. Padahal Ayah tidak
pernah menjadi hakim seumur hidup Ayah. Ayah hanya bekerja di Kementerian
Kehakiman sebagai pegawai tata usaha.”
“Berbagai pemikiran dan khayalan sering kali timbul setelah seseorang pensiun.
Banyak yang seperti itu. Terutama buat orang yang tidak menjaga kejernihannya
berpikir. Mengurus bunga-bunga di halaman yang luasnya tidak seberapa hanya
dapat menolong sedikit. Kerja-kerja sepele juga tidak membantu banyak.
Mengobrol setiap hari dengan tetangga juga membosankan. Pensiun bukanlah
momok. Ini merupakan momen yang sangat baik untuk melakukan sesuatu yang
sebelumnya terlupakan, misalnya membaca. Ayah penggemar buku, tapi Ayah
jarang sekali membaca karena rutinitas di kantor. Aku lihat Ayah terlalu banyak
membuang waktu untuk menjelajah dunia khayalan yang begitu liar dan
menakutkan. Temuilah Gorga, ia sudah duduk di ruang tamu.”
Gorga adalah satu-satunya temannya yang paling tidak seminggu sekali datang
menemuinya. Di luar waktu satu kali seminggu itulah Hendar berselancar dengan
khayalan-khayalan yang mengantarkannya kepada perilaku yang tidak biasa itu.
Termasuk duduk di depan jendela di lantai dua rumahnya setiap hari. Dan, semua
kata-kata anak dan istrinya yang menyusup ke telinganya adalah ciptaannya
sendiri.