Anda di halaman 1dari 6

Menuju Bebas

Sori Siregar

Nadya Salma Subekti


XI MIPA 2
31
2019
Dengan debar jantung seorang penderita aritmia, Hendar terus menatap ke luar
jendela dari lantai dua rumahnya. Cemas menghantuinya sejak sebulan lalu. Ia
tidak pernah membayangkan bahwa hari tuanya setelah ia pensiun akan terganggu
seperti ini.

“Ayah tidak boleh terus-menerus ketakutan seperti itu. Putusan yang ayah
jatuhkan benar-benar berdasarkan hati nurani dan sesuai dengan ketentuan
undang-undang,” ujar putranya Hamonangan.

Hendar tampaknya tidak mendengar kata-kata anaknya itu. Atau pura-pura tidak
mendengarnya. Ia terus menatap ke luar jendela. Kelihatannya ia menunggu
sesuatu atau seseorang yang entah kapan munculnya.

“Ia tidak sejahat seperti yang ayah katakan. Ayah adalah temannya sejak sekolah
dasar. Walaupun ia bekas kepala preman dan dikenal dengan sebutan Preman
Besar, aku yakin ia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri.
Kebebasan yang akan diperolehnya tidak akan membuatnya gegabah. Percayalah,
Ayah,” Hamongan melanjutkan.

Hendar mengalihkan tatapannya ke wajah anaknya. Namun, ia tidak mengucapkan


sepatah kata pun. Ia tetap yakin, Gorga akan datang menemuinya dan melakukan
sesuatu yang tidak diinginkannya. Itu yang tak pernah terpikirkan olehnya selama
lima tahun terakhir, selama Gorga disekap, sejak ia menjatuhkan putusannya.
Karena keputusan itu pula banyak pujian yang dilontarkan kepadanya, termasuk
dari berbagai media arus utama. Hendar dianggap berani, karena tokoh yang
dihadapinya adalah orang yang terkenal berdarah dingin dan berani berbuat apa
saja untuk kepentingannya.

Karena ayahnya tidak mengindahkan sarannya, Hamonangan meninggalkan


orangtuanya seorang diri di lantai dua itu. Hamonangan merasa ia harus
mengucapkan kata-kata yang sama keesokan harinya, keesokannya lagi dan hari-
hari seterusnya.

Gorga bukan hanya sekali diajukan ke pengadilan. Tetapi ia senantiasa lolos,


karena para hakim yang mengadilinya tetap mengeluarkan keputusan bebas
murni. Desas-desus pun tak terelakkan. Keputusan bebas murni itu diberikan
karena para hakim takut pada orang yang mereka adili. Hanya Hendar yang berani
menjatuhkan putusan lima tahun penjara kepada Gorga, temannya sejak sekolah
dasar itu.
Sebelum putusan mengejutkan itu diucapkan, Gorga sudah merasa Hendar akan
berani mengambil keputusan sesuai dengan tuntutan jaksa. Gorga merasa seperti
itu karena Hendar bukan orang mudah melumpuhkan hati nuraninya. Hati nurani
itu tidak mengenal kompromi, teman, famili, atau ancaman. Apalagi ia sadar,
putusan yang dijatuhkan bukanlah putusan yang diambilnya seorang diri, tetapi
keputusan bersama dengan empat hakim anggota lainnya. Karena itu Gorga tidak
berharap kali ini ia akan bebas dari hukuman. Ia akan menerima hukuman tersebut
dan tidak akan berupaya untuk mengajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali.

Hendar sendiri pun yakin, Gorga akan menerima hukuman seperti yang dijatuhkan
kepadanya. Karena itu ia tidak pernah sedikit pun merasa takut untuk
mengucapkan putusan yang telah disepakati bersama itu. Hendar sadar, ia dan
Gorga berteman sejak sekolah dasar. Tetapi perjalanan hidup telah membuat
mereka berada pada kutub yang berbeda dan tidak saling berkomunikasi selama
bertahun-tahun. Tidak berkomunikasi bukanlah berarti mereka saling melupakan
apalagi berseteru. Hendar tahu bahwa Gorga adalah raja dunia hitam yang ditakuti
di kota mereka. Begitu pula Gorga. Ia tahu Hendar adalah penegak hukum yang
tegas dan tidak jarang membuat terdakwa yang diadilinya gentar walaupun
mereka didampingi penasihat hukum yang punya nama besar yang selalu
memenangkan kliennya.

“Masih Gorga juga yang ditunggu?” tanya istrinya.

Hendar yang menghadapkan kursinya ke jendela rumahnya di lantai dua itu tidak
merasa perlu menjawab pertanyaan istrinya. Ia merasa anaknya, Hamonangan,
dan istrinya, Lumongga, hanya berupaya mengusir, paling tidak mengurangi rasa
takutnya. Bisa saja mereka juga takut, tapi itu tidak mereka perlihatkan.

“Bapak dan teman-teman hakim pernah menjatuhkan hukuman yang sama


beratnya kepada seorang tokoh politik, pemimpin partai dan pejabat penting. Tapi
Bapak tenang-tenang saja sampai bekas pejabat penting itu dibebaskan. Apa
bedanya dengan Gorga? Mengapa Gorga begitu menyiksa pikiran Bapak?”

Lalu lintas di jalan raya masih ramai dengan kekurangajaran pengguna jalan itu.
Masing-masing saling mendahului, saling serobot dan saling menyalib. Hendar
menyaksikan semua itu tanpa reaksi, karena hal itu memang telah menjadi
kebiasaan pengguna jalan. Tidak ada yang perlu dirisaukan karena lalu lintas yang
semrawut itu.

“Mengapa Bapak tidak menemui keempat hakim teman Bapak ketika


menjatuhkan hukuman itu untuk mengetahui apakah mereka juga gusar dan takut
karena Gorga akan bebas bulan depan? Bapak tidak perlu menanggung beban ini
seorang diri,” tutur istrinya lagi.

Pemikiran yang baik, ujar Hendar kepada dirinya. Bisa saja teman-temannya yang
menjatuhkan hukuman itu tidak merasa ada yang mengkhawatirkan yang akan
terjadi. Apalagi mereka adalah hakim-hakim yang baik, jujur dan terpuji
integritasnya. Tetapi mereka semua bukan teman Gorga sejak sekolah dasar.
Bahkan, mereka tidak mengenal Gorga secara pribadi. Perlukah aku menemui
mereka? Hendar bertanya kepada dirinya. Ah, tidak. Kerisauanku ini tidak perlu
diketahui orang lain, selain istri dan anakku.

Hari pembebasan Gorga semakin mendekat. Kegalauan Hendar juga meningkat.


Terkadang tengah malam ia membuka gorden jendela dan menatap jauh ke ujung
jalan. Waktu tidurnya semakin berkurang dan tubuhnya semakin kurus. Tanpa ada
yang menganjurkan akhirnya ia memutuskan untuk langsung menemui Gorga di
penjara dan menghentikan aktivitasnya menunggu di depan jendela di lantai dua
rumahnya.

“Aku akan ke penjara menemui Gorga,” katanya kepada istrinya setelah selesai
sarapan pagi.

Istrinya yang tidak percaya pada pendengarannya itu, berpaling dan bertanya.
“Menemui Gorga di penjara?”

“Ya.”

“Untuk apa?”

“Untuk meminta maaf.”

“Bapak tidak bersalah. Bapak telah mengambil putusan yang benar.”

“Ada wartawan yang mengatakan, Gorga menjadi korban peradilan sesat. Yang
bersalah sebenarnya bukan Gorga, tetapi orang lain yang sama sekali tidak
dikenalnya. Orang itulah yang membunuh hakim pemberani itu. Gorga hanya
menjadi korban dari orang yang akan menggantikannya.”

“Orang yang akan menggantikannya?”

“Ya, orang yang akan menggantikannya sebagai pelindung dan penyelamat orang-
orang penting di kota itu. Sebelum ini mereka membutuhkan Gorga, belakangan
mereka berpaling dari Gorga karena Preman Besar ini telah melanggar janji dan
bersekutu dengan aparat.”

“Aku harap setelah menemui Gorga dan meminta maaf Bapak akan merasa lebih
tenang.”

“Tidak jadi membesuk Gorga, Ayah?” tanya Hamonangan.

Hendar diam. Ia menunda kunjungan menemui Gorga diambilnya satu jam


sebelumnya. Ia tidak yakin Gorga disekap di penjara yang akan dikunjunginya itu.
Jangan-jangan Gorga telah dipindahkan entah ke mana, atau telah dilenyapkan.
Kata kerja pasif “dilenyapkan” tiba-tiba seakan memberikan kekuatan kepadanya.
Mudah-mudahan Gorga memang telah dilenyapkan. Dengan demikian sebuah
dendam juga tak terbalaskan. Hendar kelihatan tenang. Ia telah menemukan jalan
keluar. Mulai besok ia tidak akan duduk menunggu lagi di depan jendela di lantai
dua itu karena Gorga telah tiada. Yang pernah ada telah menjadi tiada. Yang
ditakutkan tidak pernah akan datang menyergapnya.

“Kan Ibu sudah lama mengatakan kepada Ayah, Gorga yang sering Ayah sebut itu
tidak pernah dijatuhi hukuman dan tidak pernah disekap dalam bui. Ia teman
Ayah, teman sejak sekolah dasar. Teman baik yang selalu datang bersilaturahim.”

“Kau yakin Gorga tidak pernah di penjara?”

“Sangat yakin. Lihat itu siapa yang datang.”

Hendar berpaling dan melihat ke halaman depan rumahnya.

“Gorga, ya Gorga.”

“Ayah dihantui pemikiran yang bukan-bukan setelah pensiun. Padahal Ayah tidak
pernah menjadi hakim seumur hidup Ayah. Ayah hanya bekerja di Kementerian
Kehakiman sebagai pegawai tata usaha.”

Hendar berupaya keras memanggil kembali ingatannya yang bersembunyi entah


ke mana. Begitu ingatan itu kembali ke tempatnya, Hendar langsung bertanya,
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?”

Mendengar pertanyaan Ayahnya itu Hamonangan dengan tenang berkata:

“Berbagai pemikiran dan khayalan sering kali timbul setelah seseorang pensiun.
Banyak yang seperti itu. Terutama buat orang yang tidak menjaga kejernihannya
berpikir. Mengurus bunga-bunga di halaman yang luasnya tidak seberapa hanya
dapat menolong sedikit. Kerja-kerja sepele juga tidak membantu banyak.
Mengobrol setiap hari dengan tetangga juga membosankan. Pensiun bukanlah
momok. Ini merupakan momen yang sangat baik untuk melakukan sesuatu yang
sebelumnya terlupakan, misalnya membaca. Ayah penggemar buku, tapi Ayah
jarang sekali membaca karena rutinitas di kantor. Aku lihat Ayah terlalu banyak
membuang waktu untuk menjelajah dunia khayalan yang begitu liar dan
menakutkan. Temuilah Gorga, ia sudah duduk di ruang tamu.”

Tanpa membantah ia memasuki ruang tamu menemui temannya sejak sekolah


dasar itu.

Gorga adalah satu-satunya temannya yang paling tidak seminggu sekali datang
menemuinya. Di luar waktu satu kali seminggu itulah Hendar berselancar dengan
khayalan-khayalan yang mengantarkannya kepada perilaku yang tidak biasa itu.
Termasuk duduk di depan jendela di lantai dua rumahnya setiap hari. Dan, semua
kata-kata anak dan istrinya yang menyusup ke telinganya adalah ciptaannya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai