Anda di halaman 1dari 8

B.

Tujuan Hukum Islam (Maqās ̣id al-Syarī`ah)

Tujuan Hukum Islam dalam istilah lain biasa dikenal dengan istilah Maqās ̣id al-
Syarī`ah. Pengertian Maqās ̣id al-Syarī`ah secara bahasa (Lughawi) terdiri dari dua kata, yaitu
Maqās ̣id dan al-Syarī`ah. Maqās ̣id sendiri memiliki arti tujuan atau kesengajaan.1 Sedangkan
al-Syarī`ah memiliki arti jalan yang ditempuh untuk menuju sumber air, dengan kata lain al-
Syarī`ah dapat diartikan jalan yang ditempuh untuk menuju sumber kehidupan.2

Pengertian dari Maqashidus Syari`ah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,


memberikan efek pemicu terhadap para ahli hukum islam untuk memberikan batasan
pengartian secara istilah yang menyebut secara langsung tujuan syariah secara umum. Hal ini
dapat diketahui dengan adanya batasan yang telah dikemukakan oleh Syaltut. Menurutnya,
Syariah merupakan segala suatu aturan yang diciptakan oleh Allah sebagai pedoman manusia
dalam mengatur kehidupannya, berupa mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan
sesama manusia, baik terhadap orang muslim maupun orang non-muslim, beserta hubungan
manusia dengan seluruh alam.3 Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Ali al-Sayis
mengenai definisi dari Syariah. Menurutnya Syariah merupakan hukum-hukum yang diberikan
oleh Allah kepada hamba-hambanya agar mereka dapat percaya pada-Nya dan
mengamalkannya. Semua itu hanya untuk kepentingan hamba-hambanya di dunia maupun di
akhirat. Dari kedua definisi dari Syariah tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan
makna Syariah dan air dalam arti keterkaitan cara dan tujuan.4

Jika dipelajari dan dicermati secara seksama, apa yang telah ditetapkan oleh Allah
dalam firman-Nya berupa al-Qur`an dan juga ketentuan dari Nabi Muhammad yang tercantum
dalam kitab-kitab hadis shahih, akan dapat ditemukan tujuan dari hukum Islam yang telah
dirumuskan secara umum. Bahwasannya tujuan hukum Islam merupakan terwujudnya
kebahagiaan seluruh umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia maupun di akhirat
kelak, dengan mengambil segala sesuatu yang bermanfaat dan mencegah atau meninggalkan
segala sesuatu yang madharat, yaitu segala sesuatu yang tidak berguna dan bermanfaat bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam merupakan
terwujudnya kemaslahatan kehidupan umat manusia, baik di kehidupan dunia maupun

1
Ali Mutakin, “Teori Maqās ̣id al-Syarī`ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbat Hukum”, Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, vol. 19, no. 3 (Agustus, 2017), 550.
2
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013), cet. 3, 105.
3
Ibid.
4
Ibid.

2
kehidupan akhirat. Kemaslahatan kehidupan manusia tersebut berupa kemaslahatan jasmani
dan rohani, baik secara individual maupun secara lingkungan sosial.5

Dalam pembahasan maqās ̣id al-syarī`ah, al-Syatibi menggunakan kata-kata yang


berbeda, namun memiliki arti dan makna yang sama dengan maqās ̣id al-syarī`ah, yaitu
maqās ̣id al-syarī`ah fī al-syarī`ah dan maqāshid min syarī` al-hukm.6 Menurutnya, maqāṣid al-
syarī`ah merupakan hukum-hukum yang telah ditetapkan untuk tujuan kemaslahatan kehidupan
manusia di dunia maupun di akhirat. Dari pengertian yang dikemukakan oleh al-Syatibi
tersebut, memberikan sebuah gambaran bahwa setiap kewajiban yang telah diberikan oleh
Allah kepada hamba-hambanya, dalam rangka merealisasikan kemaslahatan bagi umat
manusia. Menurut al-Syatibi, sebuah hukum yang tidak memiliki sebuah tujuan sama halnya
dengan taklif mā lā yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dikerjakannya) dan hal ini tidak
mungkin ada pada hukum-hukum yang telah Allah berikan. Pandangan tersebut juga diperkuat
dengan pendapat dari Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwasannya tujuan hukum
islam yang hakiki adalah untuk kemaslahatan seluruh umat manusia dan tidak ada satupun
hukum yang telah di tetapkan, baik dalam al-Qur`an maupun sunnah yang tidak bertujuan untuk
kemaslahatan umat manusia.

Tujuan hukum Islam yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat dari sudut pandang yang
berbeda, yaitu: pertama, “Pembuat Hukum Islam” yakni Allah dan Rasulnya; dan kedua,
manusia yang menjadi penerima hukum Islam dan yang melaksanakannya. Jika dilihat dari
sudut pandang “Pembuat Hukum Islam”, terdapat tiga rumusan tujuan hukum Islam, yaitu:
pertama, untuk memenuhi kebutuhan kehidupan seluruh umat manusia yang bersifat primer,
sekunder, dan tersier. 7 Dalam keperpustakaan ketiga kebutuhan hidup manusia tersebut, biasa
disebut dengan istilah, daruriyyāt, hajjiyāt, dan tahsiniyyāt.8 Kebutuhan primer atau biasa yang
disebut dengan daruriyyāt merupakan sebuah kebutuhan utama yang bertujuan untuk
kemaslahatan kehidupan umat manusia. Sehingga perlu adanya perlindungan dan pemeliharaan
dari hukum Islam. Sedangkan kebutuhan sekunder atau yang biasa disebut dengan hajjiyāt
merupakan seluruh kebutuhan hidup manusia yang menunjang kebutuhan primer (daruriyyāt),
sehingga kebutuhan primer bisa benar-benar didapatkan, seperti kemerdekaan, persamaan dan
kedudukan.

5
Manan, Reformasi Hukum Islam,106.
6
Ibid.
7
Ali, Hukum Islam, 61.
8
Siska Lis Sulistiani, “Analisis Maqās ̣id al-Syarī`ah dalam Pengembangan Hukum Industri Halal di Indonesia”,
Law and Justice Jurnal, vol. 3, no. 2 (Oktober, 2018), 95.

3
Kebutuhan hidup manusia yang terakhir adalah kebutuhan tersier atau yang biasa
disebut dengan tahsiniyyāt. Kebutuhan tersier (tahsiniyyāt) merupakan kebutuhan hidup umat
manusia selain dari kebutuhan primer (daruriyyāt) dan sekunder (hajjiyāt), seperti sandang,
pangan dan papan. Kedua, tujuan dari hukum Islam adalah agar setiap umat manusia menaati
dan melaksanakan apa saja ketentuan yang ada pada hukum Islam dalam setiap unsur
kehidupannya sehari-hari. Ketiga, agar umat manusia dapat dan mampu mentaati dan
melaksanakannya, perlu adanya peningkatan kualitas pemahamannya dalam hukum Islam
dengan mempelajari ushūl fiqh. Ushūl fiqh adalah metodologi dasar pembentukan dan
pemahaman hukum Islam.9

Jika dilihat dari sudut pandang manusia sendiri yang sebagai pelaku, penerima, dan
pelaksana hukum Islam. Tujuan hukum Islam adalah untuk tercapainya kebahagiaan dan
kesejahteraan bagi umat manusia itu sendiri, dengan cara yang telah sedikit disinggung dari
pemaparan sebelumnya, yaitu dengan mengambil setiap hal yang bermanfaat dan meninggalkan
atau menolak setial hal yang madharat. Dengan demikian, jika dirumuskan kembali dari
pemaparan di atas, tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai ridha Allah dalam
berkehidupan di dunia maupun di akhirat kelak demi kepentingan umat manusia sendiri.10

Kepentingan umat manusia yang paling penting adalah kepentingan yang bersifat
primer atau yang biasa disebut dengan daruriyyāt, kepentingan tersebut merupakan tujuan
utama yang perlu dilindungi dan dipelihara oleh hukum Islam. Kepentingan-kepentingan yang
perlu dilindungi dan dipelihara tersebut juga telah disinggung di pemaparan di atas yang disebut
al-maqāṣid al-khamsah, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, harta.11
Pemeliharaan agama merupakan tujuan dari hukum Islam yang pertama, karena agama
merupakan landasan dan juga pedoman umat manusia dalam menjalani setiap kehidupannya.
Dalam agama Islam, terdapat beberapa komponen, seperti akidah yang merupakan tiang atau
pegangan umat muslim dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, terdapat juga akhlak yang
merupakan pedoman dan tata cara dalam berperilaku, bersikap dan komponen yang terakhir
yang tidak kalah pentingnya yaitu syariat. Syariat merupakan jalan yang dipilih oleh umat
muslim untuk berkehidupan dengan sesama manusia lainnya maupun hubungan dengan Allah
SWT. Ketiga komponen tersebut memiliki peranan masing-masing yang saling berhubungan.
Maka dari itu hukum Islam perlu melindungi kepentingan umat manusia dalam beragama sesuai

9
Ali, Hukum Islam, 62.
10
Ibid.
11
Ibid., 63.

4
dengan kepercayaan yang dianutnya dan menjamin kebebasan seseorang dalam beribadah demi
terwujudnya kemaslahatan dalam berkehidupan dan bermasyarakat.12

Tujuan dari hukum Islam yang kedua adalah pemeliharaan jiwa. Setiap manusia
memiliki hak untuk hidup dan bertahan hidup, dengan demikian hukum Islam perlu melindungi
hak setiap manusia tersebut. Maka dari itu, hukum Islam melarang adanya pembunuhan
terhadap seseorang, dengan dalih menghilangkan jiwa seseorang. Sarana dan prasarana yang
digunakan manusia untuk menjalani kehidupan dan bertahan hidup juga harus dilindungi oleh
hukum Islam, agar manusia mampu menjalani kehidupannya dengan baik dan mencegah
adanya kehilangan jiwa akibat dari kelalaian seseorang.13

Tujuan dari hukum Islam yang ketiga adalah pemeliharaan akal. Pentingnya hukum
Islam melindungi pemeliharaan akal dikarenakan akal digunakan manusia untuk berfikir
mengenai Allah alam semesta, dan juga dirinya. Dengan adanya akal, manusia dapat
mengembangkan pemahaman mengenai agama Islam, sains dan juga untuk mengembangkan
teknologi. Ketika seorang manusia tidak memiliki akal, manusia tersebut tidak akan dapat
melaksanakan hukum Islam, dan juga tidak mungkin bisa menjadi pelaku hukum Islam. Dengan
demikian, itulah yang menjadi penyebab pemeliharaan akal menjadi salah satu dari tujuan
hukum Islam. Perlu juga adanya arahan dalam penggunaan akal untuk di salurkan ke berbagai
hal yang bermanfaat bagi kehidupannya, bukan untuk hal-hal yang dapat menghancurkan
kehidupannya sendiri. Maka dari itu hukum Islam mengatur larangan meminum minuman yang
memabukkan atau biasa disebut dengan khamr, dan menghukum setiap perbuatan yang dapat
merusak akal. Ketentuan tersebut merupakan bentuk upaya untuk mencegah rusaknya akal
manusia.14

Pemeliharaan keturunan merupakan tujuan hukum Islam yang keempat. Pemeliharaan


keturunan ditujukan agar kemurnian hubungan darah dan gen dapat dijaga, selain itu untuk
meneruskan kehidupan umat manusia. Perlunya pemeliharaan keturunan karena hubungan
darah menjadi persyaratan dalam hal waris, baik dalam hal harta, mandat maupun jabatan.15
Adapun juga larangan-larangan perkawinan yang dijelaskan secara terperinci di dalam al-
Qur`an. Hukum Islam juga melarang adanya perzinaan, demi terealisasinya pemeliharaan

12
Rohidin, Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia (Yogyakarta: Lintang Rasi
Aksara Books, 2016), cet. 1, 31.
13
Ibid., 33.
14
Ali, Hukum Islam, 64.
15
Ibid.

5
keturunan.16 Hukum kekeluargaan dan kewarisan merupakan hukum yang telah ditetapkan
Allah secara khusus demi terwujudnya kemaslahatan keturunan dan kemurnian hubungan
darah.

Tujuan hukum Islam yang terakhir adalah pemeliharaan harta. Menurut kaca mata
Islam, harta merupakan segala sesuatu pemberian Allah SWT. kepada manusia yang dapat
dicari, disimpan, dan dimanfaatkan, agar manusia dapat mempertahankan dan menjalani
kehidupannya dengan baik. Maka dari itu, hukum Islam mengatur cara mendapatkan harta yang
halal dan melarang pencurian, korupsi, penipuan dan perampokan.17 Hukum Islam juga
melindungi hak manusia untuk mendapatkan harta, serta melindungi hak kepemilikan harta
seseorang. Dalam hal peralihan harta, hukum Islam juga mengaturnya secara terperinci agar
peralihan harta dan berlangsung dengan baik dan adil sesuai dengan ketentuan hukum Islam
yang berlaku.18

Dalam arti syara', maqās ̣id al-syarī`ah memiliki empat aspek, antara lain: pertama,
tujuan yang hakiki dari syariat, merupakan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia,
maupun di akhirat kelak. Hal tersebut berkaitan dengan hakikat dan muatan dari maqās ̣id al-
syarī`ah. Kedua, syariat dianggap sebagai sesuatu yang harus dapat dipahami dengan jelas. Hal
tersebut berkaitan dengan tata bahasa agar tidak adanya diksi yang memberdakan pengartian,
sehingga dapat terwujud kemaslahatan yang di dambakan. Ketiga, syariat sebagai hukum yang
dibebankan kepada subyek hukum yang harus dilakukan. Keempat, tujuan dari syariah adalah
untuk menuntun manusia agar berada di bawah perlindungan hukum. Agar manusia dapat
memenuhi kepatuhannya terhadap hukum Allah. Dengan demikian, jika digunakan istilah yang
lebih tegas, bahwa aspek tujuan syariah merupakan upaya agar manusia tidak mendapat
kekangan dari hawa nafsu.19

Al-Imam al-Haramain al-Junaini merupakan salah satu tokoh yang mempopulerkan


istilah maqās ̣id al-syarī`ah dalam beberapa kitab yang beliau tulis. Beliau juga yang orang yang
pertama kali merumuskan klasifikasi maqās ̣id al-syarī`ah dalam tiga kategori besar, yaitu:
dharuriyāh, hajjiyāh, dan tahsiniyyāh. Namun, teori maqās ̣id al-syarī`ah baru pertama kali
muncul dan dikenal pada abad keempat hijriyah. Istilah maqās ̣id al-syarī`ah pertama kali
digunakan oleh Abu Abdallah al-Tirmidzi al-Hakim dalam buku yang telah ditulisnya.

16
Rohidin, Pengantar Hukum Islam, 34.
17
Ibid., 35.
18
Ali, Hukum Islam, 65.
19
Manan, Reformasi Hukum Islam,107.

6
Pemikiran maqashid syari’ah mengenai klasifikasinya dalam tiga rumusan besar yang telah
dicetuskan oleh al-Junain, dikembangkan lagi oleh Abu Hamid Al-Ghazali (505 H) yang
dituliskan secara panjang lebar dan lebih terperinci tentang maqās ̣id al-syarī`ah dalam kitabnya
yang berjudul Shifa al-Ghalīl dan al-Musthafa min 'Ilmi al-Ushūl. Kemudian muncul prinsip
dasar syariah berupa, kehidupan, intelektual, agama, garis keturunan atau silsilah dan harta
kekayaan, prinsip dasar syariah tersebut merupakan penjabaran dari teori maqās ̣id al-syarī`ah
yang dicetuskan oleh al-Amidi.20 Selanjutnya Maliki Shihab al-Din al-Qarafi juga memberikan
pendapatnya mengenai prinsip dasar syariah selain yang telah dicetuskan al-Amidi berupa
prinsip perlindungan kehormatan (al-'ird). Pendapat dari Maliki Shihab tersebut, juga mendapat
dukungan dari Taj al-Din Abdul Wahab Ibn al-Subqi (771 H) dan Muhammad Ibn Ali al-
Shoukani (1255 H).21

Menurut Ibn Taimiyah (728 H), dharuriyāh merupakan tujuan hukum Islam yang
pertama, dan beliau juga memperluas gagasan maqās ̣id al-syarī`ah menjadi lima aspek pokok.
Menurut beliau, maqās ̣id al-syarī`ah juga meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan bidang
muamalah. Contohnya seperti pemenuhan janji atau kontrak, pemeliharaan ikatan antar anggota
keluarga dan menghormati hak-hak setiap anggota keluarga.22 Beliau juga menambahkan
peningkatan kualitas rasa cinta kepada Allah, ketulusan hati, kujujuran dan kemurnian moral,23
hal tersebut merupakan maqās ̣id al-syarī`ah dalam bidang hablum minallāh atau hubungan
dengan Allah. Teori pendekatan yang telah dikemukakan oleh Ibn Taimiyah (728 H), kemudian
dikembangkan lagi oleh para ahli hukum Islam kontemporer, seperti Yusuf al-Qardhawi dan
Ahmad al-Raisuni. Mereka berdua menambahkan harga diri, martabat seseorang, kebebasan,
kesejahteraan social dan persaudaraan sesama manusia, termasuk ke dalam maqās ̣id al-syarī`ah
juga.24

Walaupun para ahli Hukum Islam klasik, maupun para ahli hukum Islam kontemporer
menyetujui pengembangan maqās ̣id al-syarī`ah sebagaimana yang telah dipaparkan
sebelumnya, pada dasarnya prinsip dari maqās ̣id al-syarī`ah terbagi menjadi tiga. Pertama,
maqāṣid al-dharuriyyāt yang merupakan tujuan hukum Islam yang ditujukan untuk
pemeliharaan lima pokok unsur kehidupan, seperti pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa,
pemeliharaan keturunan, pemeliharaan akal dan pemeliharaan harta. Kedua, maqāṣid al-

20
Manan, Reformasi Hukum Islam, 107.
21
Ibid.
22
Ibid., 108.
23
Ibid., 108.
24
Ibid., 108.

7
hajjiyāt yang merupakan tujuan hukum Islam yang ditujukan untuk memelihara lima unsur
pokok kehidupan atau maqāṣid al-dharuriyyāt, agar hal tersebut bisa terwujud dan
terealisasikan. Ketiga, maqāṣid al-tahsiniyāt yang merupakan tujuan hukum Islam yang
dimaksudkan agar manusia melakukan daya upaya terbaik dalam melaksanakan lima unsur
pokok kehidupan, sehingga dapat terwujudnya kemaslahatan umat manusia.25 Ketika lima
unsur pokok kehidupan tersebut tidak dapat tercapai, maka akan timbul ketidakseimbangan dan
rusaknya kehidupan di dunia sehingga berdampak pada kehidupan di akhirat kelak. Perlu
adanya pengabdian dari setiap umat manusia terhadap aspek hajjiyāt, agar tidak sampai terjadi
kerusakan pada keberadaan lima unsur pokok. Sedangkan pengabdian terhadap aspek
tahsiniyāt, diperlukan untuk menjadikan upaya pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan
menjadi lebih sempurna.26

Menurut Ahmad Azmar Basyir, tujuan hukum Islam terperinci lagi menjadi tiga
kelompok bebas, yaitu; pertama, pendidikan pribadi, hukum Islam memberikan pendidikan
pada pribadi-pribadi, agar manusia dapat memanfaatkan ilmunya pada hal-hal positif untuk
keberlangsungan hidup, bukan untuk kehancuran yang bisa merugikan pribadi lain; kedua,
menegakkan keadilan, keadilan harus selalu bisa ditegakkan baik keadilan dibidang hukum,
keadilan bagi diri sendiri dan keadilan sosial; ketiga, memelihara kebaikan hidup, yang
dimaksud kebaikan hidup adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan kehidupan
manusia, harus dipelihara dengan baik, yaitu kepentingan primer (pokok), kebutuhan sekunder
(bukan pokok), tersier (pelengkap).27 Kepentingan-kepentingan pokok tersebut harus
dilindungi dengan sebaik-baiknya, karena apabila kepentingan tersebut hanya dibiarkan,
keseimbangan kehidupan manusia akan rusak dan hancur.

Menurut Ibnu Qayyim, tujuan dari hukum Islam adalah untuk kebahagiaan,
kesejahteraan seluruh umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.28 Hukum Islam berdiri
atas asas kehikmatan dan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Sedangkan Syariah Islam
adalah terwujudnya keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan bagi
seluruh makhluknya. Hukum Islam bukanlah hukum yang setiap permasalahan ataupun
persoalan yang menyimpang dari kasih sayang, menyimpang dari kemaslahatan dan menuju
kefasadan, menyimpang dari kebijaksanaan menuju hal-hal yang sia-sia dan tidak berfaedah.

25
Manan, Reformasi Hukum Islam, 108.
26
Ibid.
27
Ibid., 110.
28
Ibid., 110.

8
Hukum Islam itu bersifat adil secara objektif, hukum Islam juga menempatkan keadilan Allah
SWT. di tengah-tengah hambanya dan kasih sayang Allah kepada seluruh makhluknya.

Anda mungkin juga menyukai