Anda di halaman 1dari 12

Perancangan Konstruksi Jalan Raya

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Perencanaan Geometrik Jalan


Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang
dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi
dasar dari jalan, yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas
dan sebagai akses ke rumah-rumah. Ruang, bentuk, dan ukuran jalan dikatakan
baik, jika dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengguna jalan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya adalah
kelas jalan, kecepatan rencana, keadaan topografi, standar perencanaan, penampang
melintang, volume lalu lintas,alinyemen horizontal, alinyemen vertikal, dan bentuk
tikungan.

2.1.1 Kelas jalan


Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penempatannya didasarkan pada
fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang
diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.

2.1.2 Kecepatan rencana


Kecepatan rencana yang dimaksud adalah kecepatan maksimum yang
diizinkan pada jalan yang akan direncanakan sehingga tidak menimbulkan bahaya
bagi pemakai jalan tersebut. Dalam hal ini harus disesuaikan dengan tipe jalan yang
direncanakan.

2.1.3 Keadaan topografi


Untuk memperkecil biaya pembangunan, maka suatu standar perlu
disesuaikan dengan keadaan topografi. Dalam hal ini, jenis medan dibagi dalamtiga
golongan umum yang dibedakan menurut besarnya lereng melintang dalam arah
kurang lebih tegak lurus sumbu jalan.

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118

5
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |6

Tabel 2.1 Klasifikasi Medan dan Besarnya Lereng Melintang

Golongan Medan Lereng Melintang

Datar (D) 0 sampai 9%

Perbukitan (B) 10 sampai 24,9%

Pegunungan (G) > 25%

Adapun pengaruh keadaan medan terhadap perencanaan suatu jalan raya


meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Tikungan : Jari-jari tikungan pada pelebaran perkerasan diambil sedemikian
rupa sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan jalannya kendaraan dan
pandangan bebas harus cukup luas.
b. Tanjakan : Dalam perencanaan diusahakan agar tanjakan dibuat dengan
kelandaian sekecil mungkin.

2.1.4 Volume lalu lintas


Volume lalu lintas dinyatakan dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) yang
besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua
jurusan. Dalam perencanaan ini volume lalu lintas berhubungan dengan penentuan
kelas jalan yang bermuara pada ukuran penampang melintang jalan.

2.2 Penentuan Lintasan


Berdasarkan peta topografi yang disediakan, dimana titik asal (origin) dan
tujuan (destination) telah ditentukan, dilakukan pencarian lintasan dengan
memperhatikan situasi medan. Kontur terus ditelusuri untuk mencari lintasan yang
sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR) No.13 tahun
1970 serta ketentuan-ketentuan lain yang diberikan pada perencanaan ini.
Rumus-rumus yang digunakan dalam penentuan lintasan ini berdasarkan
buku ”Perencanaan Trase Jalan Raya” oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun
2005.

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |7

2.2.1 Jarak lintasan

d A–Z = ( xZ  xA) 2  ( yZ  yA) 2 …………………………..(2.1)

dengan:
d A – Z = jarak dari titik A ke titik Z
xA = koordinat titik A terhadap sumbu x
xZ = koordinat titik Z terhadap sumbu x
yA = koordinat titik A terhadap sumbu y
yZ = koordinat titik Z terhadap sumbu y

2.2.2 Sudut azimut


( xZ  xM ) ( xM  xA)
ΔM = arc tan  arc tan
( yZ  yM ) ( yM  yA) ……………....……(2.2)

dengan:
ΔM = sudut di titik M (yang akan di cari)
xM = koordinat titik M terhadap sumbu x
yM = koordinat titik M terhadap sumbu y
xA = koordinat titik pada awal lintasan sebelum titik M, terhadap
sumbu x
yA = koordinat titik pada awal lintasan sebelum titik M, terhadap
sumbu y
xM = koordinat titik pada akhir lintasan sesudah titik M, terhadap
sumbu x
yM= koordinat titik pada akhir lintasan sesudah titik M, terhadap
sumbu

2.2.3 Kemiringan jalan


eZ  eA
iA-Z= x100%
d A Z ……………………………………………(2.3)

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |8

dengan:
i A-Z = kemiringan jalan dari titik awal ke titik akhir
eA = elevasi jalan pada titik awal
eZ = elevasi jalan pada titik akhir
d A-Z = jarak lintasan dari titik awal ke titik akhir

2.2.4 Elevasi jalan pada titik kritis


ek = eT + i x L................................................................................(2.4)
dengan:
ek = Elevasi muka jalan pada titik kritis
eT = elevasi muka jalan pada titik tinjauan
i = kemiringan lintasan pada titik kritis
L = jarak lintasan dari titik tinjauan ke titik kritis

2.2.5 Luas tampang


Untuk menghitung luas tampang digunakan rumus-rumus luas segitiga, segi
empat, dan trapesium.

2.3 Alinyemen Horizontal


Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus
pada bidang peta yang terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-
garis lengkung yang dapat berupa busur lingkaran ditambah busur peralihan
ataupun lingkaran saja.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian
tikungan, dimana terdapat gaya yang dapat melemparkan kendaraan ke luar daerah
tikungan yang disebut gaya sentrifugal. Atas dasar itu maka perencanaan tikungan
diusahakan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan, sehingga perlu
dipertimbangkan hal-hal berikut:
a. Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecapatan rencana ditentukan
berdasarkan miring maksimum dengan koefisien gesekan melintang maksimum.

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |9

b. Lengkung peralihan adalah lengkung pada tikungan yang dipergunakan untuk


mengadakan peralihan dari bagian lurus ke bagian lengkung atau sebaliknya.
c. Pelebaran perkerasan pada tikungan sangat bergantung pada:
R = Jari-jari tikungan
β = Sudut tikungan
Vr = Kecepatan rencana

Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan alinyemen horizontal ini


berdasarkan buku ”Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan” oleh Silvia
Sukirman, tahun 1999.

2.3.1 Jenis lengkung horizontal


fmaks = -0,00065v + 0,192 ……………………………………….(2.5)
v2
Rmin =
127(emaks  f maks ) ……………………………………….....(2.6)

2.3.1.1 Full circle


Rumus yang digunakan:
TC = RC tan ½  .........................................................................(2.7)
EC = TC tan 1/4 .........................................................................(2.8)
LC = 0,01745  RC .........................................................................(2.9)
dengan:
R = Jari–jari lengkung minimum (m)
 = Sudut tangen
Ec = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang bagian tikungan (m)
Tc = Jarak antara TC dan PI (m)
Untuk lebih jelasnya, lengkung horizontal tipe full circle dapat dilihat pada
Gambar 2.1 berikut.

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |10

1/2 1/2

Gambar 2.1 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana

2.3.1.2 Spiral circle spiral


Rumus yang digunakan:

Ls.90
θs =  .Rc .........................................................................(2.10)
θc =  - 2 θs .........................................................................(2.11)
c
Lc = 2Rc
360 0 .........................................................................(2.12)
L = Lc + 2Ls .........................................................................(2.13)
Ls 2
p =  Rc (1  cos s)
6 Rc .........................................................(2.14)
Ls 3
k = Ls   Rc sin s
40 Rc 2 ..........................................................(2.15)
Ts = (Rc + p) tan ½  + k ..........................................................(2.16)
Es = ( Rc  p) sec 1 / 2   Rc ..........................................................(2.17)

dengan:
Rc = jari–jari lengkung yang direncanakan (m)
 = sudut tangen
θs = sudut putar

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |11

Es = jarak PI ke lengkung peralihan (m)


Ls = panjang lengkung spiral (m)
Lc = panjang lengkung circle (m)

Untuk lebih jelasnya, lengkung horizontal tipe spiral-circle-spiral dapat


dilihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Lengkung Spiral Lingkaran Spiral

2.3.1.3 Spiral-spiral
Rumus yang digunakan :
1
s   ……………………………………….………(2.18)
2
 . .Rc
Ls = s ……………………………………….….……(2.19)
90
Ls 3
Xc = Ls  ………………………………………..………(2.20)
40R 2
L = 2Ls ………………………………………..………(2.21)
 Ls 3 
k = Ls -  2
 RSin s ……………………….….……(2.22)
 40.R 
Ls 2
p  Rc (1  cos s) ……………………………….….……(2.23)
6Rc

Ts = (R + P) tan + k ...........................................…….......…(2.24)
2

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |12


Es = (R + P) Sec -R ...........................................….......……(2.25)
2

dengan:
Rc = jari–jari lengkung yang direncanakan (m)
∆ = sudut tangen
θs = sudut putar
Es = jarak PI ke lengkung peralihan (m)

Untuk lebih jelasnya, lengkung horizontal tipe spiral-spiral dapat dilihat


pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3Lengkung Spiral-Spiral (S-S)

2.3.2 Stasioning
Penomoran (stasioning) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah
memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Nomor jalan
(Sta jalan) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat mengenal
lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu
tempat. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan perencanaan.
Di samping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi tentang panjang
jalan secara keseluruhan. Setiap Sta jalan dilengkapi dengan gambar potongan
melintang.

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |13

Sta jalan dimulai dari 0+000 m yang berarti 0 km dan 0 m dari awal
pekerjaan. Sta 14 + 150 berarti lokasi jalan terletak pada jarak 14 km dan 150 meter
dari awal pekerjaan. Jika tidak terjadi perubahan arah tangen pada alinyemen
horizontal maupun alinyemen vertikal, maka penomoran selanjutnya dilakukan:
 setiap 100 m pada medan datar
 setiap 50 m pada medan bukit
 setiap 25 m pada medan pengunungan
Jika terjadi perubahan arah tangen atau pada tikungan maka penomoran
dilakukan sebagai berikut:

T T ST
CS
SC
TS
d1
CT
Lc Ts
TC
d2
A

Gambar 2.4 Perhitungan Stasioning


Sta TC = Sta titik A + d1 – T
Sta CT = Sta TC + Lc
Sta TS = Sta CT + (d2 – T – Ts)
Sta SC = Sta TS + Ls
Sta CS = Sta SC + Lc
Sta ST = Sta CS + L

2.4 Alinyemen Vertikal


Menurut Sukirman (1999:153), “Alinyemen vertikal adalah perpotongan
bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan
untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam masing-masing untuk jalan dengan
median”. Penarikan alinyemen vertikal sangat dipengaruhi oleh berbagai
pertimbangan seperti: kondisi tanah dasar, keadaan medan, fungsi jalan, muka air
banjir, muka air tanah, dan kelandaian yang masih memungkinkan.

Pada gambar alinyemen vertikal, akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa
kelandaian, mendaki atau menurun. Pada perencanaan ini, dipertimbangkan
Muhammad Rizky Mulya 1404101010118
P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |14

bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai dengan kondisi medan dengan


memperhatikan fungsi-fungsi dasar dari jalan tersebut. Pemilihan alinyemen
vertikal berkaitan pula dengan pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat adanya
galian dan timbunan yang harus dilakukan.
Pergantian dari suatu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan
menggunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal tersebut direncanakan
sedemikian rupa sehingga memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase.

2.4.1 Jenis lengkung vertikal


Lengkung vertikal terbagi atas lengkung vertikal cembung dan lengkung
vertikal cekung. Perhitungan alinyemen vertikal ini didasarkan pada rumus-rumus
di buku ”Perencanaan Trase Jalan Raya” oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun
2005.

2.4.1.1 Lengkung vertikal cembung


Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan
antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
Rumus-rumus yang digunakan:
A = g1- g2 ......................................................................................(2.46)
AxLv
Ev = ………………………………………………………..(2.47)
800
Lv diambil berdasarkan gambar 5.1 (Buku: Perencanaan Trase Jalan Raya
oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun 2005, hal: 34)
dengan:
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung
g1 = aljabar kelandaian lintasan pertama
g2 = aljabar kelandaian lintasan kedua
A = perbedaan aljabar kelandaian (%)
Lv = panjang lengkung (m)

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |15

2.4.1.2 Lengkung vertikal cekung


Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada di bawah permukaan jalan. Rumus-rumus yang digunakan
pada perhitungan lengkung vertikal cekung sama dengan lengkung vertikal
cembung, namun pada saat penentuan Lv digunakan gambar 5.2 (Buku:
Perencanaan Trase Jalan Raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah,tahun 2005, hal:
34).

2.5 Penampang Melintang Jalan


Penampang melintang jalan adalah pemotongan suatu jalan tegak lurus
sumbu jalan yang menunjukan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan dalam arah
melintang. Penampang melintang jalan yang digunakan harus sesuai dengan kelas
jalan dan kebutuhan lalu lintas yang dilayaninya.

2.6 Galian (cut) dan Timbunan (fill)


Rumus – rumus yang digunakan adalah rumus-rumus luas segitiga,
segiempat, trapesium dan untuk keadaan tertentu dipakai rumus interpolasi serta
untuk perhitungan volume digunakan rumus kubus dan kerucut
a. Luas segiempat
A= P x L ……………………………………………….(2.56)
dengan:
A = luas segiempat (m2)
P = panjang (m)
L = lebar (m)
b. Luas segitiga
A = ½axt …………………………...…………………(2.57)
dengan:
A = luas segitiga (m2)
a = panjang sisi alas (m)
t = panjang sisi tegak (m)

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118


P e r e n c a n a a n K o n s t r u k s i J a l a n R a y a |16

c. Luas trapesium
A = ½ (a + b) x t .........................................................................(2.58)
dengan:
A = luas segitiga (m2)
a = panjang sisi atas (m)
b = panjang sisi bawah (m)
t = panjang sisi tegak (m)
d. Interpolasi

Timbunan

a:b = (L-x) : x
ax = b. L – b . x
ax + bx = b. L
(a + b)x = b. L
bxL
x =
ab

Muhammad Rizky Mulya 1404101010118

Anda mungkin juga menyukai