Anda di halaman 1dari 2

Nama : Yuni Nur Rohman

NIM : 1800400
Kelas : PPB-A 2018
Mata Kuliah : Karakteristik dan Kompetensi Remaja

Resume
Santrock, J. W. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

Buku Adolescence : Perkembangan Remaja karangan John W. Santrock ini terdiri dari 16
bab, yang dimana salah satu babnya membahas tentang: perkembangan moral, nilai dan agama pada
remaja. Bab ini membahas tentang perkembangan moral, tingkah laku moral, perasaan moral,
altruisme, pendidikan moral, dan nilai, agama, serta sekte pemujaan pada remaja.
Pertama, perkembangan moral. Perkembangan moral pada remaja berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan kesempatan mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam
interaksinya dengan orang lain. Ada tiga domain utama dalam perkembangan moral, yaitu:
bagaimana remaja mempertimbangkan atau memikirkan peraturan-peraturan untuk melakukan
tingkah laku (pemikiran), bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya
(tingkah laku), dan bagaimana perasaan remaja mengenai masalah moral (perasaan).
Selanjutnya Piaget mengatakan bahwa sejak umur 4 sampai 7 tahun, anak-anak berada dalam
tahap moralitas heteronom, dan anak-anak yang berusia 10 tahun ke atas berada dalam tahap moralitas
otonom. Piaget mengemukakan bahwa ketika anak-anak berkembang, mereka menjadi lebih baik
dalam memikirkan masalah-masalah sosial, terutama mengenai kemungkinan dan kondisi untuk
bekerja sama. Berbeda halnya dengan Piaget, Kohlberg mengembangkan teori perkembangan
provokatif. Dimana dia mengatakan bahwa perkembangan moral didasarkan kepada penalaran moral
dan terdiri dari tiga tingkatan, yaitu: prakonvensional, konvensional, dan postkonvensional. Dan
setiap tingkatan itu terdiri dari dua tahapan. Kohlberg percaya bahwa seluruh tingkatan dan tahapan
tersebut terjadi secara berurutan sesuai dengan usia.
Kedua, tingkah laku moral. Para ahli teori tingkah laku dan pembelajaran sosial menyatakan
bahwa tingkah laku moral remaja itu ditentukan oleh proses penguatan (reinforcement), hukuman,
dan imitasi. Ketika remaja mendapatkan penguatan untuk melakukan suatu tingkah laku yang sesuai
dengan hukum dan konvensi sosial mereka cenderung untuk mengulang tingkah laku tersebut. Ketika
mereka dihadapkan pada model yang bertingkah laku ‘secara moral’, para remaja pun cenderung
meniru tingkah laku tersebut. Dan ketika remaja dihukum karena tingkah laku yang tidak bermoral
atau tidak dapat diterima, tingkah laku ini dapat dihilangkan, namun memberikan sanksi berupa
hukuman dapat mengakibatkan efek samping emosional pada remaja. Jadi, efektivitas penguat dan
hukuman tergantung pada seberapa konsisten kedua hal tersebut diberikan dan jadwal yang
diterapkan.
Ketiga, perasaan moral. Beberapa diantara gagasan-gagasan yang muncul mengenai
perkembangan perasaan moral adalah konsep yang dibuat oleh ahli teori psikoanalisa, peranan teknik
pengasuhan anak, sifat dasar dari empati, dan peranan emosi dalam perkembangan moral.
Keempat, altruisme. Altruisme adalah ketertarikan yang tidak mementingkan diri sendiri
untuk menolong orang lain. Walaupun remaja seringkali digambarkan sebagai seseorang yang
egosentris dan egois atau mementingkan diri sendiri, tingkah laku altruisme pada remaja juga
terhitung cukup banyak. Kondisi yang biasanya melibatkan altruisme oleh remaja adalah emosi
empati dan simpati terhadap orang lain yang membutuhkan atau adanya hubungan dekat antara si
pemberi dengan si penerima. Sikap memaafkan (forgiveness) adalah salah satu aspek altruisme yang
muncul ketika orang yang terluka tidak melakukan tingkah laku balas dendam terhadap orang yang
melukainya.
Kelima, pendidikan moral. Pendidikan moral dapat digolongkan menjadi pendidikan moral
langsung (memberikan penekanan pada nilai dan juga sifat karakter selama jangka waktu tertentu
atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut kedalam kurikulum) dan pendidikan moral tidak
langsung (mendorong remaja untuk menentukan nilai mereka sendiri dan nilai orang lain serta
membantu mereka menentukan perspektif moral yang akan mendukung nilai-nilai tersebut.
Klarifikasi nilai (values clarification) adalah salah satu pendekatan pendidikan moral tidak langsung
yang fokusnya adalah membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka
dan apa yang berharga untuk dicari. Tujuannya adalah untuk menolong siswa menentukan nilai
mereka sendiri dan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang lain.
Keenam, nilai, agama dan sekte pemujaan. Remaja membawa serangkaian nilai yang dapat
mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan mereka. Selain itu, remaja lebih merasa tertarik
kepada agama dan keyakinan spiritual daripada anak-anak. Pemikiran abstrak mereka yang semakin
meningkat dan pencarian identitas yang mereka lakukan membawa mereka pada masalah-masalah
agama dan spiritual. Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah
kegiatan seksual. Selanjutnya, beberapa remaja meninggalkan rumahnya dan kemudian menjadi
anggota sekte pemujaan. Beberapa ahli percaya bahwa penyebabnya adalah kegagalan agama yang
telah diatur dan juga gereja, serta melemahnya kehidupan keluarga.
Pertanyaan
1. “memberikan sanksi berupa hukuman dapat mengakibatkan efek samping emosional
pada remaja” , lalu apakah ada cara atau bagaimana caranya agar pemberian sanksi berupa
hukuman itu tidak mengakibatkan efek samping emosional pada remaja?
2. Bagaimana dampak dari altruisme yang berlebih pada remaja?

Anda mungkin juga menyukai