Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN PERTAMA

PENDANAAN KESEHATAN DAN SISTEM PELAYANAN RUMAH SAKIT


YANG MEMISKINKAN

PENDABAAN KESEHATAN DI INDONESIA : PENYAKIT KRONIS YANG


BERKOMPLIKASI KEBODOHAN DAN KEMISKINAN

Manusia Indonesia yang menjalani proses peningkatan kualitas pendidikan,


alias para guru dan dosen, juga sudah tertebak dalam pemikiran kepentingan jangka
pendek diri sendiri, kurang mengedepankan kepentingan bangsa kedepan. Akibatnya,
kualitas proses pendidikan kita juga w. Ini adalah ancaman bangsa di masa depan.
Salah satu akar masalah terpenting adalah pendanaan (financing) program dan
pelayanan kesehatan di Indonesia yang jauh dari memadai. Sela ini kita mengucurkan
dana publik maupun dana privat hanya sekedar untuk mengatakan “saya sudah danai”.
Mangambul contoh pemberian obat sakit kepala yang seharusnya diminum satu tablet,
tetapi kita hanya minum seperlima tablet, maka sakit kepala tidak akan sembuh. Ada
beberapa masalah pokok yang menjadi penyebab rendahnya pendanaan kesehatan di
Indonesia yang kemudian berakibat rendahnya mutu manusia Indonesia, yang tambak
jelas dalam IPM.

Pola pikir kebanyakan kita memang masih didominadi kepentingan sendiri,


baik perorangan maupun kelompok, belum benar-benar memikirkan krprntingan
bangsa dan generasi di masa depan. Membangun SDM memakan waktu panjang,
apalagi memulai dari persiapan bahan baku yaitu otak yang tumbuh baik yang hanya
dapat dibentuk jika gizu ibu hamil, anak balita, dan tubuh ibu hamil dan anak balita
selalu sehat, tidak terserang penyakit. Investasi SDM yang kuat memang
mrmbutuhkan waktu lama dan banyak orang tidak melihat manfaat jangka panjang,
mereka tidak tertarik untuk menanam manusia . Karena memang pihak swasta
meskipun memiliki visi jangka panjang umumnya berorientasi keprntingan sendiri.
Indonesia adalah negara keempat dalam urutan penduduk terbanyak, tetapi negara ke-
108 dalam IPM dan urutan ke-74 dari 117 negara dalam urutan daya saing bangsa.
Lima tahun lalu, daya saing Indonesia adalah ke-49 dari 49 negara yang disurvei.
Masalah terbesar Indonesia adalah penduduk yang besar. Ini merupakan indikasi
pengakuan bahwa penduduk adalah beban bukan modal.

Menurut data Perbandingan Belnaja Kesehatan per Orang per Orang per Tahun
di Beberapa Negara Berkembang Asia tahun 1998-2002 dari UNDP tahun 2005
menunjukkan bahwa Indonesia belum memprioritaskan kesehatan sebagaimana
mestinya, yang berdampak amat buruk bagi kualitas sumber daya manusia Indoensia.
Pada umumnya negara berkembang mengeluarkan dana, baik dari sumber pemerintah
maupun dari sumber masyarakat, yang tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan
kebanyakan negara memandang pendanaan kesehatan dengan keliru, yaitu hanya
sebagai beban pegeluaran jangka pendek. Padahal pengeluaran tersebut merupakan
investasi modal manusia jangka panjang yang sangat strategis dan memiliki nilai
politis yang tinggi.

Karena banyaknya faktor yang menentukan kesehatan seseorang atau


masyarakat, para pengambil keputusan sering berdebat akan tanggung jawan
pemerintah dan masyarakat. Menurut Hendrik Blum (1982) secara umum menjelaskan
bahwa faktor terbesar yang mempegaruhi kesehatan seseorang adalah perilakunya,
lingkungan (baik fisik biologis, maupun kimiaw), genetik atau sifat turunannya dan
yang terakhir adalah pelayanan kesehatan. Apabila seseorang sakit suatu ketika,
seluruh biya menjadi tanggungan badan penyelenggara. Iilah konsep asuransi
kesehatan nasional yang terjangkau semua orang, karena yang harus dibayar setiap
bulan hanyalah persentase tertentu dari penghasulan atau gajinya. Hal ini harus
berlaku bagi seluruh rakyat, jangan sampai ada ego desentralisasi yang menolak hal
ini. Pendanaan promosi dan prevensi, termasuk edukasi dan peringatan dini, haruslah
didanai publik. Hal ini terkait dengan sifat edukasi, promosi dan prevensi yang
mempunyai nilai eksternalis tinggi sehingga masing-masing orang ataupun pihak
swasta tidak cukup mamadai mendanai program-program tersebut. Penduduk yang
terjamn kesehatan dan pendidikannya akan hidup tenang, produktif dan senang,
pemerintahnya akan menang dan kuat.

JAMINAN KESEHATAN BAGI SEMUA MENCEGAH RAKYAT JATUH


MISKIN

Di Indonesia pendanaan kesehatan yang berkeadilan masih jauh dari harapan


karena masih tingginya belanja kesehatan yang menjadi beban masing-masing RT.
Dari belanja kesehatan Indoesia yang hanya 26 dollar AS perkapita pada tahun 2002,
kontribusi pemrintah Cuma 9,4 dollar AS perkapita per tahun atau 36 persen saja.
Lahirnya Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
diharapkan dapat mengoreksi kebijakan sistem jaminan sosial, khususnya asuransi
kesehatan sosial, agar terwujud ekuitas pendanaan kesehatan. Upaya yang dapat
mencegah katastropik di negara yang tidak menyediakan pelayanan kesehatan gratis
secara teori adalah pengembangan asuransi kesehatan sosial. Namun, jumlah RT yang
terlindungi oleh asuransi kesehatan di Indonesia baru mencapai 50 persen pada tahun
2008 dengan program Askesin/Jamkesmas dan program serupa oleh beberapa
Pemerintah Daerah.

Hasil analisis Susenas 2004 menunjukkan bahwa RT yang berpotensi


mengalami belanja katastropik adalah RT yang memiliki anggota yang sakit kronik,
kepala rumah tangga penganggur, memiliki balita dan tidak berhak atas jaminan
kesehatan. Rumah tangga hampir miskin memiliki 10 kali lebih besar untuk jatuh
miskin dibandingkan dengan kelompok kaya. Untuk mencegah kelompok menengah
dan hampir miskin tidak jatuh miskin, pemerintah dapat mengambil kebijakan
membayar iuran jaminan kesehatan bagi pekerja di sektor informal sepenuhnya atau
separuhnya untuk jaminan perawatan di kelas III di seluruh RS publik/swasta. Jaminan
program Askseskin pada kasus-kasus kronis misalnya hemodialisa, kanker dan lainnya
merupakan kebijakan yang sangat tepat dan sangat berbeda dengan program pelayanan
penduduk miskin sebelumnya.

Jenis pekerjaan kepala RT juga berpengaruh besar terhadap terjadinya penyakit


kronis.Undnag-undang SJSN sudah menampung masalah kekosongan jaminan yang
terkait dengan pekerjaan RT. Berbeda harapan dan teori, data Susenas 2004
menunjukkan bahwa RT yang memiliki Askes Sosial memiliki probabilitas kejadian
katastropik lebih besar dibanding dengan RT yang tidak memiliki jaminan kesehatan,
hal ini berhubungan dengan tingginya urun biaya untuk menutupi selisih tarif yang
dibayarkan Askes, pembatasan atau pengecualian beberapa jenis bahan/alat/ obat di
luar daftar yang dijamin, Kepatuhan peserta Askes Sosial, dan kurang empati dokter
beserta petugas rumah sakit lainnya.

Data Susenas menunukkan bahwa rumah tangga uang dikepalai seorang bujang dan
cerai lebih terlindungi dari belanja katastropik dibandingan dengan RT utuh. Fakta
pendidikan kepala RT yang rendah tidak meningkatkan belanja kesehatan katastropik
karena biasanya di Indonesia mereka yang berpendidikan rendah juga mencari biaya
berobat yang murah. Rumah Tangga yang memiliki balita memiliki resiko mengalami
belanja kesehatan katastropik yang lebih tinggi. Hasil analisis data Susenas 2001
menunjukkan bahwa angka kesakitan dan kematian lebih tinggi pada kelompok
miskin, hal ini terjadi karena keluarga miskin memiliki kondisi gizi, lingkungan,
pendidikan, perilaku, keterjangkauan ke fasilitas kesehatan yang lebih rendah.

RANCANGAN RUMAH SAKIT PUBLIK YANG MEMISKINKAN RAKYAT

Pemda Jakarta yang membangun RSUD dengan uang rakyat, membeli


peralatan medis mahal, membayar gaji pegawai dan lain-lain malah mengubah RS
tersebut untuk mencari untung dari rakyat. Perubahan RSUD menjadi PT masih bisa
diterima apabila Pemda membayar semua tagihan RS kepada pasien penduduk Jakarta
yang dilayani. Seharusnya pemprov DKI menjamin dulu gak semua rakyat DKI atas
pelayanan kesehatan, dengan meniadakan hambatan finansial, baru pemprov bisa
membuat PT unruk mencari dana tambahan, kalai memang tidak ada lagi lahan yang
bisa digunakan untuk mencari uang bagi pemprov.

KITA (BUKAN HANYA YANG MISKIN) MEMBUTUHKAN ASURANSI


KESEHATAN

Keadaan sakit dapat mempengaruhi rumah tangga sacara negatif dalam dua
bentuk. Pertama, menghilangkan pendapatan keluarga karena kepala keluarga jatuh
sakit atau jika anggota keluarga lain jatuh sakit. Kedua, biaya perawatan sangat besar
jika sakit, hal ini bisa membuat mereka yang tidak miskin menjadi miskin serta
membua penduduk miskin tidak mampu meningkatkan status ekonominya. Bagi
kelompok ekonomi yang lebih rendah, perawatan di rumah sakit meupakan barsng
mewah yang jauh dari jangkauan mereka. Masalah utama yang dihadapai penduduk
miskin adalah biaya pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau. Disamping itu
kualitas pelayanan di fasilitas pemerintah seringkali tidak memadai karena tidak cukup
sumber daya manusia, obat dan alat untuk pelayanan kesehatan.

BAGIAN PERTAMA KASUS-KASUS: PENGALAMAN SEORANG DOKTER


NUGROHO SOEHARNO

Beberapa kasus yang akan disampaikan berikut ini terkait masalah biaya
layanan kesehatan yang mahal dan memberatkan masyarakat. Kasus 1 Suatu ketika
penulis bertugas di UGD di sebuali rumah sakit swasta di Jakarta Pusat. Datang dua
orang buruh banganan yang membawa pasien (juga seorang buruh bangunan) dengan
luka parah dan tidak sadarkan diri. Pasien terluka karena tertimpa tembok yang runtuh
di tempat dia bekerja. Seketika itu juga, kami sebagai petugas medis langsung
menangani sebagaimana mestinya. Sementara itu teman pasien diharuskan mengurus
administrasi di bagian pendaftaran dan harus membayar uang muka. Singkat kata,
pasien tidak raampu membayar uang muka, sehingga dirujuk ke RSCM, dengan
harapan di RS publik terbesar tersebut uang muka tidak jadi masalah. Biaya ambulan
pun tidak sanggup dibayar para buruh miskin tersebut. Nasib malang bagi pasie, dalam
perjalanan ke RSCM, pasien telah mnenghembuskan nafasnya. Nasib buruk, buruh
tersebut juga tidak dijaninkan oleh majikannya melalui program Jamsostek yang
seharusnya wajib. Kisah cerita belum berhenti. Rupanya kebijakan ru- mah sakit tidak
berpihak pada yaug miskin dan membutuhkan. Keesokan harinya seluruh petugas
UGD yang jaga pada saat kejadian dipanggil oleh pimpinan. Semua petugas
diwajibkan menanggung seluruh biaya peng- obatan dan ambulan untuk merujuk, dan
tanpa sepeser pun. Beberapa Keluhan Lain Beberapa ilustrasi kasus tadi, sedikit
banyak menggambarkan kondisi pelayanan kesehatan di negeri ter cinta ini. Biaya
yang mahal, pelayanan yang kurang profesional, dan segalanya dihitung dengan uang
dengan mengesampingkan kemanusiaan. Karena semua diniiai dengan uang, meskipun
di RS publik, pasien yang tidak miskin yang memang tidak mampu juga imembayar
tagihan RS yang mahal, terpaksa mencari SKTM. Tetapi petugas di RS tidak
memahami dan merasa pemilik SKTM, tanpa menilai perbedaan antara upah/ gaji dan
biaya RS, juga mengeluh.

Perlu dipahami bahwa tidak semua fasilitas kesehatan berperilaku buruk .


Masih banyak rumah sakit ataupun dokter yang memiliki toleransi. Sebagai misal,
sewaktu penulis masih menjadi dokter PTT di Yogyakarta. Ketika istri harus menjalani
operasi sectio di salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta, semua biaya medis
digratiskan oleh dokter kandungan maupun dokter anestesi. Penulis hanya membayar
obat, kamar, dan ruang biaya operasi (tanpa jasa dokter), dan itu pun sebagian masih
ditanggung oleh Askes. Karena penulis juga adalah seorang dokter, maka wajar jika
jasa medis di rumah sakit dihapuskan. Bukankah, pegawai Garuda juga imendapat
jatah terbang gratis atau dengan diskon be- sar? Kini mulai ada keluarga dokter yang
dipungut jasa me- dis, seperti pada contoh pada kasus 6. Jika keluarga dokter saja tidak
dijamin mendapatkan pelayanan yang me- muaskan, apalagi masyarakat umum. Ada
keluarga pasien yang komplain atas mahalnya bia- ya operasi dari yang diperkirakan
Rp 7 juta menjadi Rp 14 juta (Kompas, 25 Maret 2o08). Setelah dicek pada rin- cian
tagihan dan dikomplain ternyata ada kesalahan per- hitungan oleh pihak rumah sakit.
Cukup beruntung ke- luarga pasien tanggap dan mau menelaah tagihan yang ada.
Bagaimana bila kasus tersebut dialami oleh pasien dari keluarga yang tidak tahu
tentang rincian tagihan, dan langsung melunasinya? Biasanya kasus seperti tersebut
sering terjadi pada pasien yang ditanggung/dijamin oleh asuransi, baik asuransi
komersial bahkan Askeskin.

Perang Tarif Pelayanan Kesehatan Kini banyak provider telepon seluler


mengiklankan tarifnya yang paling murah di media elektronik, radio dan billboard.
Semua berlomba untuk mengaku tarifnya yang paling murah. Lain halnya dengan tarif
layanan kesehatan. Di kota-kota besar banyak rumah sakit baru yang diba- ngun, dan
bukan hanya rumah sakit namun juga klinik-klinik swasta yang baru dibuka. Perang
tarif pada industri rumah sakit yang dibangun beriomba menjadi mewah' de- ngan tarif
yang tidak diumumkan, tetapi pasti mahal. Se- lain tarif di rumah sakit dihitung per
jenis layanan yang didukung penuh oleh pemerintah dan daerah (peraturan daerah).
Bukan hanya jenis tindakan yang secara rinci di- hitung, tetapi juga jenis layanan,
menyebabkan jumlah tagihan semakin mahal. Beberapa contoh tindakan yang dikutip
dari salah satu Peraturan Daerah yang ditagihkan kepada pasien sebagai berikut, (di
luar obatnya, ini jasa menyuntikannya): Suntikan (IV/IM/SC/IC) dikenakan tarif Rp
6.000-7.500 Ambil darah dikenakan vena/arteri tarif Rp 5.000 12.500 Angkat hidung
dikenakan tampon tarif Rp.4.000 Rp.6.000 Ganti perban (1-2 lokasi; 3-5 lokasi; > 6
lokasi), tarif: Rp 5.000- Rp 10.000 Ini luar biasa. Hal ini dapat disamakan dengan
upaya hotel menarik jasa per permintaan tamu, misalnya me- minta diteleponkan taksi,
yang biasanya sudah jadi satu paket. Bisa dibayangkan, seandainya seseorang harus
dirawat di rumah sakit, dengan luka disekujur tubuhnya. Luka ada di lebih dari enam
lokasi. Ganti verban harus setiap hari, dan juga harus mendapat suntikan tiga kali
sehari. Dari sejumlah tindakan tersebut maka tagihan ekstra mencapai Rp 38.000
(ganti verban, suntik tiga kai, pasang infus, dan ambil darah). Biaya tersebut belum
termasuk obat, biaya kamar dan konsul dokter.

Pemerintah (pusat dan daerah) sudah seharusnya menjadi regulator dan


pengawas tarif layanan kesehatan untuk melindungi penduduk. Bahkan, di Malaysia
dan Singapura, tarif maksimum RS swasta dipatok pemerin- tah. Paket atau satuan
tarif juga sudah ditetapkan. De- ngan begitu, penduduk tidak menjadi korban
keserakahan rumah sakit atau dokter tertentu yang akan merusak citra sistem
kesehatan. Penentuan besaran tarif ataupun paket tarif seharusnya diatur oleh
pemerintah, bukan dilepas kepada mekanisme pasar seperti saat ini. Sebab, layanan
kesehatan tidak cocok diperlakukan sebagai ko- moditas ekonomi. Ada informasi
asimetri yang besar. Jika tarif pesawat dan tarif taksi saja diatur Pemerintah, mengapa
tarif RS tidak. Padahal, ketika orang sakit, pasien sering tidak punya pilihan.

BAGIAN KEDUA UPAYA PENJAMINAN DAN BERBAGAI


PERMASALAHAN

DARI JPSBK, ASKESKIN, SAMPAI JAMKESMAS SOEWARTA KOSEN

Berbagai hasil studi sistem kesehatan menunjukkan bahwa ketidakadilan dan


tidak meratanya pelayanan kesehatan terus berlangsung di banyak negara. Akses dan
subsidi pelayanan kesehatan berkualitas, lebih banyak dinikmati oleh mereka yang
mampu dibandingkan dengan mereka yang miskin atau kurang mampu. Program
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBI0, yang dilaksanakan di Indonesia
sejak rerjadinya krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1998, dimaksudkan untuk
membantu masyarakat miskin mendapatkan akses pelayanan kesehatan berkualitas
daiam situasi krisis Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan bahwa dari 16,7 persen
masyarakat tergolong miskin; hanya 8,6 per- sen yang berhasil dicakup program
JPSBK. Data Susenas pada tahun yang sama, menunjukkan hanya 13,6 persen dari 20
persen penduduk termiskin (kwintil I) dicakup oleh program dan hanya 3,8 persen
yang menggunakan program JPSBK ketika membutuhkan rawat jalan; serta 41,1
persen menggunakannya ketika mereka memerlu- kan rawat inap. Artinya, program
yang terdengar bagus tidak cukup banyak digunakan (utilisasi rendah). Faktor yang
memengaruhi rendahnya utilisasi pelayanan kesehatan pada program Jaminan
Kesehatan Masyarakat Miskin adalah antara lain hambatan keuangan berupa biaya
transpor- tasi ke fasilitas kesehatan dan hambatan geografis; kare- na terbatasnya
jumlah fasilitas kesehatan pada daerahnya 36 juta jiwa masyarakat Indonesia tergolong
miskin).

Penyebab Kemiskinan Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:

 Penyebab individual (akibat perilaku, pilihan atau kemampuan) Penyebab


keluarga (biasanya terkait dengan pendidikan) Penyebab sub-budaya (terkait
dengan kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar) Penyebab struktural
(hasil dari struktur sosial)
 Penyebab institusi (kebijakan pemerintah, keadaan konflik, krisis ekonomi)
Kemiskinan tidak hanya dijumpai di negara berkembang seperti Indonesia,
tetapi juga di negara maju seperti di Amerika Serikat; di mana terdapat
keluarga penerima bantuan sosial yang hidup di bawah garis kemiskinan (versi
Amerika Serikat).
 Upaya Pengentasan Orang Miskin Bantuan langsung untuk masyarakat miskin,
telah dilakukan di Eropa sejak zaman pertengahan. Bantuan untuk masyarakat
rentan umumnya ditujukan bagi keluarga dengan ibu hamil, orang tua, orang
dengan cacat fisik dan atau cacat mental. Di Indonesia, bantuan selektif
dilakukan melalui program padat karya, bantuan beasiswa, bantuan langsung
tunai, Program Keluarga Harapan (PKH, bantuan tunai bersyarat), dan bantuan
beras miskin.

Undang-Undang Dasar 1945 yang telah disempurnakan, mengamanatkan


bahwa setiap penduduk, termasuk masyarakat miskin, berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Kesehatan dan kemiskinan merupakan hal yang tidak terpisahkan. Keadaan
sakit akan mengurangi peng- hasilan dan menambah beban keluarga atau menambah
kemiskinan, apabila keluarga terpaksa menambah utang baru untuk berobat. Program
JPSBK merupakan program jaminan kesehatan penduduk miskin yang disalurkan
melalui fasilitas kesehatan (supply oriented). Pada waktu yang bersa- maan, beberapa
pemerintah daerah juga mengembangkan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskiu
melalui sisi permintaan (demand oriented). Pada akhir tahun 2004 hingga akhir tahun
2007, Departemen Kesehatan telah menugaskan PT Askes Indo- nesia untuk
mengelola program pemeliharaan keseliatan penduduk miskin sebagai "third party
administrator" program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin dan ke- mudian diberi
nama Asuransi Kesehatan Orang Miskin (Askeskin).

Untuk tahun 2008 program jaminan kese- hatan penduduk miskin dan kurang
mampu diberi nama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan pengelolaan
yang agak berbeda, yaitu diurus oleh dinas kesehatan di kabupaten kota setempat.
Diperbesarnya cakupan program Askeskin dan Jam- kesmas hingga 76,4 juta jiwa
pada tahun 2008, telah berhasil mengatasi masalah cakupan peserta; karena jumlah
tersebut juga mencakup masyarakat yang tergolong hampir miskin (perhitungan Bank
Dunia menunjukkan : tinggi dibandingkan dengan angka kesakitan masyarakat
lainnya. Dalam hal ini prinsip adil dan merata (equity, ekuitas) harus tetap dilakukan,
walaupun sebenarnya pelayanan di daerah terpencil menurunkan efisiensi program
secara keseluruhan. Mungkin karena tinggal di daerah yang sulit dan terpencil, banyak
masyarakat miskin kurang memperoleh sosialisasi dan penyuluhan; dengan akibat
jumlah peserta miskin dari daerah-daerah tersebut (pulau terpencil, daerah terisolasi,
dan daerah perbatasan) kurang terjangkau Program Askeskin.
Hal yang sama juga dijumpai di berbagai daerah perkotaan, khususnya bagian
kota yang kumuh. Penduduk miskin perkotaan tersebut banyak yang hanya imenetap
sementara untuk bekerja lepas (sebagai buruh konstruksi, buruh industri, pemulung,
pengemis) dan umumnya tidak mempunyai tempat ting- gal permanen ataupun tidak
memiliki Kartu Identitas Diri/Kartu Tanda Penduduk. Maka mereka tidak dicakup
dalam program JKMM/Askeskin atau program lainnya (SKTM, Kartu Sehat). Dengan
demikian keberadaan mereka sering diabaikan oleh banyak pemerintahan kota; banyak
fasilitas dan pelayanan publik tidak menjangkau mereka, serta data kesakitan atau
keinatian mereka tidak dimasukkan sebagai bagian statistik kesehatan kota tersebut.
Sebenarnya merekalah yang paling membutuhkan pelayanan kesehatan dan merekalah
yang seharusnya menjadi target program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Miskin/Askeskin ataupun program promotif dan preventif lainnya. Banyak kasus
terdengar seperti "takut pergi ke rumah sakit atau tidak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak karena mereka tidak mampu membayar atau puskesmas,
pelayanan rawat lanjutan di RS dan pelayan- an rawat inap kelas III di RS. Dana
program dialokasikan untuk untuk membiayai kegiatan pelayanan kesehatan sebesar
90 persen dari dana total.

Untuk pelayanan kesehatan tidak langsung disediakan dana 5 persen yaitu


untuk sosialisasi dan pe- nyuluhan, koordinasi pelaksanaan dan pembinaan prog- ram,
Untuk administrasi kartu peserta, manajemen kepesertaan, manajemen klaim,
manajemen keuengan, pengorganisasian, monitoring dan evaluasi termasuk Sistem
Informasi Manajemen yang dikelola PT Askes disediakan dana operasional PT Askes
sebesar 5 persen dari seluruh dana yang tersedia. Pembayaran fasilitas kesehatan
primer di puskesmas dan jaringannya dilakukan dengan cara kapitasi. Sedangkan
pelayanan lainnya di puskesmas (gawat darurat, spesialistik, penunjang diagnostik,
persalinan) dibayar dengan sistem klaim sesuai tarif paket. Pembayaran pelayanan RS
dilakukan dengan tarif paket sesuai kesepakatan bersama antara PT Askes dan RS
setempat aiau menggunakan sistem pembayaran prospektif/sistem anggaran, di mana
biaya pelayanan peserta program di suatu RS dianggarkan secara prospektif untuk
periode satu taben Utilisasi Program Askeskin di daerah sulit, terpenci! dan kumuh
perkotaan. Pelayanan kesehatan di daerah sulit dan terpencil membutuhkan upaya dan
biaya yang lebih mahal dari biaya di daerah lainnya, sehingga menurunkan efisiensi
dari sistem kesehatan. Prevalensi kesakitan masyarakat miskin yang berdiam di daerah
sulit dan terpencil.

Disayangkan bahwa upaya pengentasan orang miskin yang dilakukan oleh


pemerintah pada berbagai tingkat pemerintahan masih kurang terpadu, sehingga basil
identifikasi penerima bantuan program pengentasan crang miskin di suatu daerah
dapat berbeda-beda, ber- gantung pada sumber pendataan. Hal tersebut terjadi karena
kriteria yang digunakan juga tidak sama. Data kemiskinan BPS hanya menyajikan
proporsi masyarakat miskin di suatu daerah (data makro). Pemantapan data
masyarakat miskin sangat penting dilakukan, untuk mengurangi terjadinya "salah
sasaran" dalam pelaksanaan Program Pengentasan Orang Miskin, termasuk program
Jaminan Kesehatan Masyarakat. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan Masyarakat Miskin Program JKMM diselenggarakan secara nasional de-
ngan tujuan untuk memungkinkan subsidi silang antar berbagai daerah di Indonesia.
Pada hakikatnya disepakati bahwa tanggung jawab pelayanan kesehatan merupakan
tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Prinsip-prinsip yang diacu adalah:

1. Pengelolaan dana dengan prinsip nirlaba, dilakukaa untuk meningkatkan kesehatan


masyarakat miskin

2. Pelayanan kesehatan bersifat menyeluruh dengan terstruktur dan berjenjang, harus


melalui sistem rujukan

3. Prinsip portabilitas dan ekuitas dalam pemberian pelayanan

4. Menggunakan mekanisme asuransi sosial, dengan iuran peserta dibayar oleh


pemerintah

5. Sifat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan 90 pun pihak rumah sakit mau
membantu atau meringankan.

Semua ditagihkan kepada kami sesuai tarifyang berlaku. Di negara kapitalis Amerika
Serikat saja, hal seperti ini tidak boleh terjadi. Pimpinan RS seperti itu bisa masuk
penjara karena lalai berbuat sesuatu yang menyebabkan nyawa seseorang melayang.
Tetapi, sebagian biaya yang tidak bisa diklaim ke pasien (bad debt) dapat diklaim ke
pemerintah negara bagian. Di Indonesia?

Kasus 1

Sekitar pukul o5.45 pagi hari, penulis kedatangan se- orang tetangga (sebut saja
namanya Jojo) yang tinggal di satu komplek perumahan. Ia minta dibuatkan surat kete-
rangan tidak mampu untuk mengurus istrinya yang perlu pengobatan kemoterapi.
Dilematis bagi penulis. Di satu pihak penulis iba, karena Pak Jojo hanya seorang pen-
siunan, dengan anak dua, dan istri perlu pengobatan ke- moterapi yang berulang-ulang
dan mahal. Di sisi lain, penulis beranggapan bahwa pak Jojo termasuk orang mampu
(karena tinggal di kompleks perumahan), jadi kurang layak bila diberikan SKTM
(Surat Keterangan Tidak Mampu). Setelah mendengarkan kisah panjang lebar
mengapa Pak Jojo yang sangat membutuhkan SKTM, dengan (tetap memiliki) rasa
bersalah, akhirnya SKTM diberikan. Beban Pak Jojo bukan hanya karena istrinya sakit
kanker yang perla kemo terapi berulang, namun rupanya salah satu anak Pak Jojo
sedang menghadapi kasus narkoba. Kasus narkoba membutuhkan biaya yang sangat
tinggi. Harta benda pak Jojo telah banyak dijual, yang tersisa hanya tinggal rumah dan
perabot ala kadarnya.

Namun demikian, berbagai masalah berikut menjadi masalah besar:

1. Sosialisasi program masih dirasakan kurang baik, sehingga sering menimbulkan


ketidakjelasan ataupun masalah dalam pelaksanaan.

2. Perbedaan akses pada pelayanan kesehatan bagi ma- syarakat miskin yang berdiam
di daerah sulit dan terpencil menyebabkan terjadinya variasi dalam tingkat utilisasi.
Upaya untuk mengikutsertakan fasilitas kesehatan swasta masih terbatas, sehingga
belum memecahkan masalah

3. Terdapatnya urun biaya pelayanan yang dibebankan kepada peserta.

4. Fasilitas kesehatan yang terpencil memerlukan perhatian khusus untuk perbaikan


ketersediaan dan mutu layanan agar akses masyarakat miskin tetap baik

5. Portabilitas kartu program jaminan harus ditingkat- kan agar memudahkan peserta,
khususnya mereka yang berdiam di batas kecamatan/kabupaten/kota untuk
menggunakan fasilitas kesehatan di wilayah lain yang sebenarnya lebih dekat.

6. Peningkatan upaya kesehatan yang dilakukan para bi- dan di polindes ataupun
penggunaan posyandu/poliklinik Desa untuk melakukan upaya pengobatan di daerah
sulit dan terpencil, dalam jangka pendek akan dapat meningkatkan utilisasi pelayanan.

7. Perlu penataan kembali upaya rujukan mulai dari pelayanan primer (puskesmas atau
dokter praktik dan jaringannya), pelayanan sekunder (rumah sakit kabu- paten/kota)
dan pelayanan tersier (rumah sakit provinsi dan nasional, termasuk rumah sakit
spesialistik). Diharapkan peserta tidak diberikan pelayanan kesehatan primer di rumah
sakit rujukan dan rumab sakit juga dapat menata kembali perannya sebagai unit
rujukan bagi pelayanan kesehatan primer yang ada diwilayahnya.

8. Mekanisme penyampaian keluhan dan tindak lanjut perbaikan pelayanan yang


dikeluhkan perlu diperbaiki untuk perbaikan kualitas pelayanan program janinan,
termasuk kepuasan peserta terhadap pelayanan di fasilitas kesehatan. Kesimpulan Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa program jaminan kesehatan masyarakat
miskin telah menunjukkan perbaikan yang berarti. Banyak masyarakat miskin yang
telah tertolong oleh program tersebut. Secara umum akses masyarakat miskin terhadap
pe- layanan kesehatan telah meningkat secara bermakna. Upaya perbaikan masih
diperlukan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan masyarakat miskin di daerah
sulit dan terpencil, di mana jumiah fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, situasi fisik
geografis sulit, dan kurangnya sarana transportasi yang terjangkau oleh ma- syarakat.
Untuk meningkatkan pelayanan, upaya terobosan da- pat dilakukan seperti: menambah
jam buka fasilitas pelayanan kesehatan, kunjungan oleh puskesmas keliling secara
berkala, melengkapi sarana Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat seperti posyandu
dan polindes agar mampu memberikan pelayanan yang memadai secara menyeluruh
termasuk upaya pengobatan dan penyediaan obat yang memadai.

Namun demikian, kehidupan masyarakat Indonesia dari segi ekonomi secara umum
lebih menyedihkan ketimbang kondisi sebelum tahun 1998. Badan Pusat Statistik
(BPS) pada 1 September 2006 justru melapor- kan adanya kenaikan penduduk miskin
yang berarti, yakni dari 15,97 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada
Maret 2006 (BPS 2006). Pendapatan mengalami kenaikan yang tidak berarti. Harga-
harga barang kebutuhan pokok semakin tidak terjangkau. Membaca kisah warga
miskin bisa membuat air mata menetes Tidak sanggup membeli beras berkualitas
membuat warga miskin tak peduli menyantap nasi dari hasil olahan beras yang
beraroma tidak sedap dan bercanmpur "kutu" (Kompas, 26/3/2008). Kecukupan gizi
sudah tidak dipedulikan, yang penting perut terisi. Kebiasaan makan sayur tidak bisa
dilakukan lagi. Hobi melahap sambal pun terpaksa ditinggalkan. Semua ini gara-gara
harga yang tidak terjangkau. Potret ini menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan
ekonomi tidak serta merta membawa peningkatan standar hidup masyarakat secara
keseluruhan maupun individu. Apa yang salah? Beberapa kemungkinan bisa menjadi
faktor penyebabnya. Pertama adalah mencuatnya ketidakadilan dan struktur ekonomi
yang hanya berpihak kepada penduduk kaya.

Kondisi ini membuat hasil atau luaran (output) pertumbuhan ekonomi tidak dapat
dinikmati secara merata. Kemakmuran hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat
tertentu. Yaitu orang kaya yang biasanya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
daya saing serta kapasitas penyerapan yang lebih baik ketim- bang orang miskin.
Sementara itu, mereka yang notabene masuk dalanı kelompok warga miskin jarang
menikmati berbagai hasil pembangunan. Pembangunan justru membuat warga miskin
termarginalisasi baik secara fisik mau- pun sosial. Menggusur pedagang kaki lima,
tanpa ada alternatif, demi mengejar pembangunan pusat perbelanjaan, dan mal
merupakan contoh marginalisasi warga miskin akibat pembangunan. Kedua adalah
mengakarnya korupsi. Laporan Bank Dunia (2003)4 menycbutkan bahwa korupsi
terbesar di Indonesia terjadi di bidang pengadaan barang dan jasa, yakni mencapai 77
persen dari total jumlah korupsi. Jumlah yang dikorup dari bidang ini setiap tahunnya
diperkirakan mencapai Rp 70 triliun. Suatu angka yang luar biasa tingginya.
Bandingkan dengan anggaran pemerintah untuk alokasi biaya kesehatan bagi
masyarakat miskin pada 2007 yang hanya Rp 3.6 triliun. Hitungan matematik kasar
yang dilakukan oleh Belvy B (2007) lebih mencengangkan lagi. Hasilnya
menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya bisa bangkit dan memajukan 70.611 desa
tertinggal dengan hanya 12,5 persen (atau Rp 262,8 triliun) dari uang yang dikorupsi
selama 30 tahun yang jumlahnya mencapai Rp 2.100 triliun. Ketiga adaiah
pertumbuhan ekonomi relatif lebih kecil ketimbang pertumbuhan penduduk.
Akibatnya, secara komparatif kurang memberikan peningkatan taraf hidup yang
bermakna. Dan keempat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dihasilkan oleh sektor
padat karya seperti pertanian, industri. Pertumbuhan ekonominya lebih banyak terjadi
karena dipicu oleh sektor padat modal dari teknologi se- perti telekomunikasi,
keuangan, bidang jasa. Alhasil, pertumbuhan ekonomi tersebut hingga kini ternyata
belum bisa dinikmati secara langsung oleh sebagian besar masyarakat. Merasa gagal
dengan hanya berkiblat pada teori tricle-down effect, moda baru penanggulangan
kemiskinan lalu dikembangkan. Strateginya diubah 180 derajat, dari hanya pendekatan
tidak langsung menjadi pendekatan langsung. Penanggulangan kemiskinan dengan
memberi bantuan atau subsidi langsung kepada orang miskin mulai dirintis. Saat ini
kita bisa temui adanya dua varian program subsidi di berbagai negara. Pertama adalah
subsidi langsung tunai (unconditional cash transjfers. UCT), dan kedua adalah subsidi
tunai bersyarat (conditional cash transfers, CCT). Varian pertama program subsidi,
yakni subsici lang sung tunai (SLT), pernah diadopsi pemerintah Indonesia pada tahun
2006.

SLT merupakan program terbesar di dunia, dengan menyediakan dana tunai kepada
19,2 juta penduduk miskin dan hampir-miskin diseluruh pelosok tanah air. Tujuannya
adalah untuk meredam gejolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1
Oktober 2005. Mulai Juli 2007, Indonesia juga meluncurkan program CCT. Dua jenis
program CCT kini sedang dilaksanakan. Pertama adalah Program Keluarga Harapan
atau disingkat PKH, dan kedua adalah program bantuan tunai bersyarat sebagai bagian
dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program terakhir ini
dilkenal dengan PNPM-Generasi. Kedua jenis program CCT tersebut (PKH dan
PNPM-Generasi) memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi kemiskinan dan
mening- katkan kualitas sumberdaya manusia (Kominfo, 2007).6 Kedua program
tersebut juga sama-sama menetapkan persyaratan bagi warga miskin untuk
menggunakan pelayanan kesehatan dasar serta pendidikan. Perbedaannya terletak pada
mekanisme pemberian bantuan. Dana bantuan PKH diberikan secara langsung kepada
rumah tangga sangat miskin (RTSM). Sedangkan pada PNPM-Generasi, dana bantuan
diberikan kepada masyarakat atau komunitas. Masyarakat sendirilah yang mengelola
dana bantuan tersebut. Apakah program kemiskinan melalui subsidi langsung kepada
target sasaran lebih rmenjanjikan? Evaluasi program SLT menunjukkan korelasi atau
hubungan negatif terhadap angka kemiskinan. Artinya, program SLT mampu
mengerem jumlah warga miskin di Indonesia. Nihillnya program SLT, Bank Dunia
(2006)7 memperkirakan bahwa "kenaikan harga BBM akan mengurangi kesejah-
teraan penduduk miskin dan penduduk hampir-miskin kira-kira sebesar 5 persen dan
akan meningkatkan angka kemiskinan secara substansial akibat kenaikan tiga kali lipat
harga minyak tanah dan dampak inflasi secara keselurahan" Lebih lanjut, hasil
simulasi tentang dampak program SLT digabungkan dengan kenaikan harga BBM
yang dilakukan oleh staf Bank Dunia tersebut menunjukkan adanya "kenaikan
pendapatan bersih bagi 20 persen kelompok penduduk termiskin". Bagaimana dengan
program CCT. Fakta empiris di Indonesia belum bisa terdeteksi mengingat
pelaksanaan PKH masih seumur jagung.

Statistik Kemiskinan di Indonesia Secara umum Indonesia memiliki dua jenis statistik
kemiskinan, yaitu statistik kemiskinan makro dan statistik kemiskinan mikro. Kedua
jenis statistik tersebut dihasilkan dari sistem serta mekanisme pendataan yang berbeda.
Statistik kemiskinan makro diperoleh dari hasil anali- sis data Susenas3. Sedangkan
statistik mikro diperoleh dari dua hasil pendataan yaitu: Pendataan Sosial Ekonomi
2005 (PSE-05) dan Pendataan Program Keluarga Harapan (PKH). Data kemiskinan
mikro lain yang kini tersedia di Indenesia adalah data Keluarga Sejahtera dan
Prasejahtera I yang dikurmpulkan oleh oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN). Jumlah penduduk miskin yang diperoleh dari statistik kemiskinan
makro berbeda dengan yang dihasilkan oleh statistik kemiskinan mikro. Perbedaan
tersebut antara lain disebabkan tujuan dan waktu pendataan yang berbeda, serta
kriteria penetapan kemiskinan. Statistik Kemiskinan Makro Statistik kemiskinan
makro menyediakan data tentang jumlah penduduk miskin. Data tersebut merupakan
data agregat (nasional) yang dihitung dari hasil estimasi atau perkiraan sampel data
Susenas. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dalam menghitung penduduk
miskin (BPS 2006; BPS 20079).

KONSEP PENDUDUK MISKIN DAN MISKIN MEDIS MUNOIHARNO

Data kemiskinan di Indonesia sudah mulai dikumpu'an sajak tahun 1984 (BPS) dan
program pernerintan tentarg pengen- tasan orang miskin juga sucdah dilakukan sejak
lama retapi implementasi dan penetapan sasaran terhadap penduduk miskin masih
menjadi masalah. Masih ada kritik buinwa prcg- ram pemerintah berkaitan dengan
penduduk miskin tenaci duplikasi dan tumpang tindih baik dalam ha jenis program
maup in sasarannva. Bantuan sosial kemiskinan yang dilakukan melalu program JPS
baik JPS-BK, JPS-Pendidikan, JPS-Raskin seringkali menghadapi kendala serius
ketika harus menetapkan siapa sebenarnya penduduk miskin yang patut untuk
diberikan bantuan. Di tingkat teknis penetapan sasaran yang menerima bantuan sosial
masih menghadapi banyak kendala. Data yang ada selama ini yang di- gunakan untuk
perencanaan tidak cukup untuk memberikan pedoman sampai ke tingkat pelaksanaan
program.

Konsep dan Pengukuran Kemiskinan

a. Pengertian Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam


memenuhi kebutuhannya di mana kebutuhan di sini diartikan secara relatif sesuai
dengan persepsi dirinya. Kebutuhan yang tidak dapat dipenubi tersebut mencakup
berbagai aspek baik kebutuhau ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual.

Pengertian miskin dalam arti luas tersebut tidak cukup operasional untuk digunakan
dalam analisis program kebijakan. Jika kemiskinan diartikan dalam pengertian luas
seperti itu, akan ada kesulitan teknis ketika harus menentukan siapa sebenarnya yang
masuk kategori penduduk miskin. Oleh karena itu, dalam banyak analisis, kemiskinan
lebih diartikan secara sempit yaitu miskin secara ekonomis. Dalam kaitan ini miskin
diartikan sebagai ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya. Kebutuhan dasar di sini lebih pada kebutuhan fisik (baik makanan maupun
nonmakanan). Dengan demikian yang disebut sebagai penduduk miskin adalah
penduduk yg secara ekonomis tidak mampu me- menuhi kebutuhan minimumnya atau
kebutuhan dasarnya (baik makanan maupun nonmakanan) Kemiskinan diartikan
sebagai ketidakmampuan ru- mah tangga atau seseorang dalam memenuhi secara
cukup kebutuhan dasarnya. Kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan
(deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang di mana setiap manusia
berhak memperoleh untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan dapat dilihat
dari sudut pandang moneter dan non moneter. Kemiskinan juga dapat dilihat dari
berbagai aspek/dimensi. Di samping dilihat dari aspek pen- dapatan, kemiskinan juga
dapat dilihat dari aspek kese- hatan, pendidikan dan status sosial. Dalam kaitan ini
kemiskinan dikaitkan dengan outcome" yang tidak cukup dalam hubungannnya
dengan (i) kesehatan, gizi dan angka melek huruf; (ii) kurangnya hubungan sosial; (ii)
kerawanan, dan; Gv) kepercayaan diri yang rendah dan ketidakberdayaan.

Terkait dengan konsep kemiskinan ada pula konsep ketimpangan (yaitu


ketidakseimbangan atau ketidakmerataan distribusi) dan kerentanan (yaitu risilko
menjadi miskin atau lebih miskin). Dalam membahas kemiskinan kedua konsep
tersebut saling terkait. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengukur
kemiskinan untuk mengetahui siapa yang termasuk kate-gori penduduk miskin.

b. Mengukur Kemiskinan Untuk mengukur kemiskinan dalam arti luas, jelas su lit
dilakukan. Sulit untuk menentukan siapakah yaug masuk kategori miskin secara
politik, sosial, apalagi spiritual. Oleh karena itu, pembahasan dalam ukuran
kemiskinan di sini diartikan secara sempit, kemiskinan dalam arti ekonomis yaitu
ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pendekatan yang umum dipakai dalam mengukur kemiskinan (dalam arti sempit)
adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Kebutuhan dasar diukur dari
pengeluaran (sebagai proksi dari pendapatan) rumah tangga atas sejumlah (bundel)
komoditas baik hberupa komiditas makanan maupun nonmakanan. Dari sejumlah
komoditas terpilih tersebut keinudian ditentukan ukuran kebutuhan minimumnya.
Kemudian jumlah minimum komoditas tersebut dikalikan dengan harga komiditas
yang bersangkutan. Dengan begitu diperoleh angka yang menunjukkan harga dari
bundel komoditas minimum yang diperlukan. Angka itulah yang kemudian dijadikan
sebagai batas atau garis (poveriy line) yang membagi penduduk miskin dan penduduk
tidak miskin.

Garis kemiskinan (poverty line) bisa dibedakan antara garis kemiskinan makanan
(food poverty line) maupun garis kemiskinan nonmakanan (non food poverty line).
Yang karena perbedaan harga dan jenis komoditas yang dipakai maka letak garis
kemiskinan bisa pula berbeda antar daerah dan antar desa-kota. Garis kemiskinan itu
sendiri adalah suatu index. Secara statistik ada beberapa cara dalam menghitung garis
kemiskinan seperti Headcount Index, Poverty Gap Index, Poverty Severity Index dan
sebagainya.

c. Kategori Penduduk Miskin Melalui garis kemiskinan sebagaimana dikemukakan di


atas kemudian pendud penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk miskin
adalah penduduk yang pengeluarannya berada pada dan di bawah garis kemiskinan.
Sedang penduduk tidak miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada di atas
garis kemiskinan. Akan tetapi pengategorian penduduk hanya menjadi miskin dan
tidak miskin seperti itu dianggap masih kurang memenuhi kebutuhan analisis. Dalam
hal perlindungan sosial (jaminan dan bantuan sosial) di samping penduduk miskin
perlu juga diperhatikan penduduk rentan (vulnerable people). Oleh karena itu,
dilakukan penajaman lagi dalam melakukan pengelompokan penduduk miskin. Di
samping penduduk miskin dikategorikan juga apa yang disebut sebagai penduduk
rentan, yaitu penduduk yang meskipun saat ini tidak miskin tetapi di masa mendatang
rentan untuk menjadi miskin.

Bagian II

KONSEP PENDUDUK MISKIN DAN MISKIN MEDIS

Konsep dan Pengukuran Kemiskinan

a. Pengertian

Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam


memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relative
sesuai dengan dirinya. Kebutuhan ekonomi, social, polituik, emosional maupun
spiritual.
Pengertian miskin dalam artin luas tersebut tidak cukup operasional untuk
digunakan dalam analisis program kebijakan. Jika kemiskinan diartikan dalam
pengertian luas seperti itu, aka nada kesulitan teknis ketika harus menetukan
siapa sebenarnya yang masuk kategori penduduk miskin. Oleh karena itu,
dalam banyak analisis kemiskinan lebih diartikan secara sempit yaitu miskin
secara ekonomis. Dalam kaitan ini miskin diartikan sebagai ketidakmampuan
ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar
disini lebih pada kebutuhan fisik (baik makanan maupun nonmakanan).
Kemiskinan juga dapat dilihat dari berbagai aspek/dimensi. Disamping dilihat
dari aspek pendapatan, kemiskinan juga dapat dilihat dari aspek kesehatan,
Pendidikan dan status social. Dalam kaitan ini dengan “outcome” yang tidak
cukup dalam hubungannya dengan kesehatan, gizi gdan angka melek huruf;
kurang nya hubungan social; kerawanan dan kepercayaan diri yang rendah dan
ketidakberdayaan.
Terkait dengan konsep kemiskinan ada pula konsep ketimpangan (yaitu
ketidakseimbangan atau ketidakmerataan distribusi) dan kerentanan (yaitu
resiko menjadi miskin atau lebih miskin). Dalam membahas kemiskinan kedua
konsep tersebut saling terkait.

b. Mengukur Kemiskinan

Pendekatan yang umum dipakai dalam mengukur kemiskinan


(dalam arti sempit) adalaj pendekatan kebutuhan dasar. Kebutuhan
dasar diukur sebagai pengeluaran (sebagai proksi dari pendapatan)
rumah tangga atas sejumlah (bundel) komoditas baik berupa komoditas
makanan maupun nonmakanan.
Dari sejumlah komoditas terpilih tersebut kemudian ditentukan ukuran
kebutuhan minimumnya. Kemudian jumlah minimum komoditas
tersebut dikalikan dengan harga komoditas yang bersangkutan. Dengan
begitu diperoleh angka yang menunjukan harga dari bundel komoditas
minimum yang diperlukan. Angka itulah yang kemudian dijadikan
sebagai batas atau garis (proverty line) yang membagi penduduk miskin
dan peduduk tidak miskin. Garis kemiskinan (proverty line) bisa
dibedakan antara garis kemiskinan makanan (food proverty line)
maupun garis kemiskinan nonmakanan (non food proverty line).
Karena perbedaan harga dan jenis komoditas yang dipakai maka letak
garis kemiskinan bisa pula berbeda antar daerah dan antar desa-kota.

c. Kategori Penduduk Miskin

Melalui garis kemiskinan sebagaimana dikemukakan di atas


kemudian penduduk dikelompokan menjadi penduduk miskinm dan
penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang
pengeluarannya di bawah garis kemiskinan. Sedangkan penduduk tidak
miskin adalah penduduk yang pengeluarannya beraada di atas garis
kemiskinan. Risiko seseorang menjadi miskin disebabkan oleh berbagai
factor baik individual, social maupun faktor alamiah. Secara umum
seseorang dapat menjadi miskin karena penghasilan (income) nya
mendadak berkurang dalam jumlah yang signifikan jauh melebihi nilai
pengeluaran kebutuhannya atau pengeluarannya yang meningkat tinggi
secara signifikan jauh melebihi penghasilan selama ini diperoleh.
Singkatnya, gunvcangan financial (financial shock) baik dari sisi
penghasilan maupun dari sisi pengeluaran akan mengakibatkan
seseorang jatuh miskin.
Ada nya factor-faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi
miskin antara lain hilangnya atau berkurangnya penghasilan atau
pendapat (baik karena PHK, rugi atau pailit usahanya, jatuh sakit berat,
dsb) hilangnya atau berkurangnya asset yang dimiliki (akibat bencana
alam atau bencana social), meningkatkan pengeluaran (akibat tingginya
biaya kesehatan,kecelakaan, dsb). Jika seseorang tidak lagi memiliki
pendapatan maka dalam jangka waktu tertentu besar kemungkinan
orang tersebut jatuh miskin, tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya.

Demikian pula pengusaha, pedagang atau petani yang usahanya


bangkrut atau gagal panen, tidak mampu melunasi utang-utangnya
berisiko menjadi miskin. Para korban bencana alam baik karena gempa
bumi, banjir, kebakaran dan sebagainya dapa tiba-tiba menjadi miskin
karena asset-aset yang dimiliki hilang dalam waktu seketika. Orang
yang semula tidak mampu tetapi memiliki penyakit kronis (katastropik)
yang memerlukan biaya pengobatan yang besar sangat berisiko menjadi
miskin.

Penduduk yang mengalami bencana tersebut diatas yang tidak


memiliki asset sendiri sebagai cadangan atau tidak memiliki jaminan
social, baik dari majikan atau dari system jaminan social lain seperti
Akses dan Taspen bagi pegawai negri, memiliki resiko besar untuk
jatuh miskin.

Dalam pengertian seperti itu pada dasarnya setiap orang rentan


menjadi miskin, akibat berbagai musibah yang mungkin menimpanya.
Karena prinsip resiko yang dapat menimpa setiap orang itulah maka
jaminan social sebagai bagian dari perlindungan social ( yang antara
lain diselenggarakan melalui mekanisme asuransi social, tabungan, atau
bantuan social) perlu bagi setiap orang. Mengapa? Karena pada
dasarnya setiap orang itu rentan untuk menjadi miskin, setiap orang
pada dasarnya rentan untuk tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya. Lagi pula setiap orang tidak mampu mengenvdalikan
sepenuhnya berbagai factor resiko yang menyebabkan dirinya jatuh
miskin. Dalam kehudpan manusia terdapat faktor0faktor yang diluar
kendali orang tersebut.

Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa penduduk rentan


adalah penduduk yang sangat berisiko menjadi miskin karena berbagai
factor yang terjadi dalam jangka relative pendek. Mereka adalah orang
yang penghasilannya menutun atau hialng, mereka yang memliki
kemampuan ekonomis tidak tinggi, orang yang memliki tingkat
kesehatan rendah dan orang yang berada didaerah bencana. Termasuk
dalam pengertian penduduk rentan disini adalah penduduk “miskin
kronis” , penduduk miskin dan penduduk hampir miskin sebagaimana
selama ini dikategorikan oleh BPS.
d. Konsep Medically Poor

Produk pelayanan kesehatan memiliki karakteristik tersendiri


yang berbeda dengan produk lain-lain. Sebagaimana diketahui bahwa
pelayanan kesehatan memiliki beberapa ciri utama. Beberapa ciri utama
yang menonjol diantaranya adalah sifat nya yang tidak pasti (uncertain)
dan informasinya yang tidak simetris (asymetri information).
Ketidakpastian (uncertainty) tersebut mencakup tidak saja dalam jenis
pelayanan kesehatan yang diperlukan tetapi juga dalam besarnya biaya
kesehatan yang dibutuhkan. Sulit untuk menentukan secara lebih pasti
pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkan oleh seseorang pada suatu
waktu tertentu. Juga sulit dipastikan berapa jumlah biaya kesehatan
yang dibutuhkan seseorang pada suatu waktu tertentu. Kesulitan seperti
itu tentu berbeda dengan kebutuhan pangan atau papan atau sandang
yang relatif mudah ditentukan sebelumnya.
Asymetri information juga terjadi di produk kesehatan.
Informasi yang diperoleh users tidak sebanding dengan informasi yang
dimiliki oleh providers. Bahkan sesama providers sekalipun sering
sekali tidak memiliki informasi yang setara dengan akibat kemampuan
diagnosisnya yang berbeda-beda. Kondisi asymetri information ini
berpengaruh pada perilaku client dalam menentukan besarnya biaya
kesehatan yang harus dikeluarkan.
Dari sisi ini maka konsep kemiskinan tidak bias dilihat dari
suatu sudut absolut tertentu melainkan menjadi amat relative. Dalam
kaitan ini lah maka berkembang konsep apa yang disebut sebagai
“Medically Poor” (miskin ketika memenuhi biaya kesehatan). Konsep
medically poor sebenernya mengacu pada ketidakmampuan penduduk
dalam membayar biaya kesehatan ketika dirinya mengalami masalah
kesehatan.
Sepuluh tahun belakangan ini dalam ekonomi kesehatan
berkembang konsep ability to pay (kemampuan membayar). Konsep
tersebut pada dasarnya juga bisa dijadikan sebagai proksy dalam
mengukur medically poor. Jika kemampuan membayar (ability to pay)
seseorang lebuh rendah dibanding tarif atau biaya pelayanan kesehatan
yang harus dikeluaran, orang tersebut dapat dikatakan miskin
(medically poor). Sebaliknya jika ability to pay orang tersebut lebih
besar disbanding dengan tarif pelayanan kesehatan maka orang tersebut
tidak termasuk miskin (dari aspek kesehatan).
Banyak pendekatan untuk menghitung ability to pay di sektor
kesehatan. Salah satunya adalah menghitung non essential expenditure
rumah tangga (pengeluran tidak penting seperti untuk rokok, alkoho,
pesta , rekreasi, dsb).
Untuk menghindari banyaknya jumlah relatif medically poor,
mau tidak mau perlu dikembangkan asuransi social. Dengan adanya
asuransi social, resiko kesehatan yang ditanggung oleh seseorang dapat
dialihkan dan di share secara bersama dengan peserta asuransi social
lainnya. Dengan mekanisme asuransi social ini, subsidi pemerintah
menjadi lebih focus yaitu kepada mereka yang tidak mampu membayar
premi asuransi dan tidak melebar kepada orang-orang yang secara
“tiba-tiba” miskin akibat besarnya biaya yang harus ditanggung. Orang-
orang yang tiba-tiba miskin karena biaya kesehatannya begitu besar
relative dibanding asetnya tetapi mereka menjadi peserta asuransi social
dan mampu membayar premi asuransi maka resiko tersebut tidak lagi
menjadi beban pemerintah melainkan menjadi tanggungan Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial yang mengelola.

e. Determinan Kemiskinan

Di samping mengenai ukuran, hal penting lain yang perlu


diperhatikan dalam analisis kemiskinan adalah factor-factor yang
menyebabkan penduduk menjadi miskin (determinan miskin). Dengan
mengetahui penyebab kemiskinan maka akan lebih mudah dalam
menentukan tindakan apa yang oerlu dilakukan untuk mengurangi
tingkat kemiskinan.
Berkaitan dengan determinan kemiskinan, ada istilah
kemiskinan structural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan structural
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur atu system (polotik,
ekonomi, keamanan) yang tidak memungkinkan bagi penduduk untuk
sejahtera. Sedangkan kemiskinan kulturan adalah kimiskinan yang
disebabkan oleh budaya penduduk yang malas, tidak mau kerja keras,
tidak disiplin dan sebagainya.
Determinan kemiskinan dapat dilihat baik dari tingkat regional,
tingkat komunitas mauun tingkat individu dan rumah tangga. BKKBN
misalnya menyebut beberapa determinan kemiskinan sebagai berikut:
1. Factor internal:
a. Kesakitan
b. Kebodohan
c. Ketidaktahuan
d. Ketidakterampilan
e. Ketertinggalan teknologi
f. Ketidakpunyaan modal
2. Factor eksternal:
a. Stuktur social ekonomi yang menghambat peluan untuk
berusaha untuk meningkatkan pendapatan.
b. Nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang
mendukung upaya penigkatan kualitas keluarga
c. Kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas
pembangunan.

Sumber Data Kemiskinan

Selama ini ada dua sumber data kemiskinan yang seringkali dipakai dalam
menganalisis kemiskinan secara nasional yaitu data kemiskinan yang bersumber dari
Badan dan Pusat Statistik (BPS) Menneg Kependudukan/BKKBN. Uraian pada bagian
akan membahas tentang bagaimana pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh
kedua instansi tersebut dan data mana yang lebih relevan digunakan dalam melakukan
kajian dan penyelenggaraan perlindungan social bagi penduduk miskin.
A. Data Kemiskinan Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan perhitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, perhitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data
modul konsumsi Susenas.

Sejak tahun 1981, setiap tiga tahunsekali, dengan data konsumsi Susenas,BPS
secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin yang hanya
disajikan untuk tingkat nasional, dengan dipisahkan antara daerah perkotaan dan
perdesaan. Pada tahun 1990, informasi mengenai penduduk miskin sudah dapat
disajikan sampai tingkat provinsi meskipun beberapa provinsi masih digabung. Sejak
tahun1993 informasi mengenai jumlah dan presentase penduduk miskin sudah dapat
disajikan untuk seluruh provinsi.

Data yang dihitung oleh BPS adalah data yang diambil melalui survei atas
sampel sejumlah rumah tangga. Jumlah sampek tersebut makin meningkat bdari tahun
ketahun. Kalau pada tahun 1990 jumlah sampelnya hanya 49.000 rumah tangga maka
sejak tahun 1993 jumlah sampel telah meningkat menjadi 65.000 rumah tangga.
Kekecualian terjadi pada tahun 1998 karena survei dilakukan untuk mengukur dampak
krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997.

Meskipun jumlah sampel tersebut terjadi peningkatan tetapi tetap saja porsinya
masih kecil disbanding jumlah rumah tangga secara keseleruhan. Namun, jika dilihat
lebih jauh indicator yang digunakan untuk menetukan sebuah rumah tangga termasuk
kategori miskin atau tidak, bervariasi di masing-masing sensus ekonomi tersebut.
Sesus kemiskinan di DKI Jakarta misalnya, menentukan suatu rumah tangga
dikategorikan sebagai rumah tangga miskin apabila memilki tiga ciri/variable dari 7
variabel kemiskinan rumah tangga yaitu:

1. Luas lantai hunian kurang dari 8m per anggota rumah tangga


2. Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya
3. Fasilitas air bersih: tidak ada
4. Fasilitas jamban/WC: tidak ada dan atau WC umum
5. Kepemilikan asset (kursi tamu): tidak tersedia
6. Konsumsi laukpauk dalam seminggu: tidak bervariasi
7. Kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun untuk setiap
anggota rumah tangga: tidak ada

B. Data Kemiskinan Menneg Kependudukan/BKKBN

Menneg Kependudukan/BKKBN mendefinisikan kemiskinan sebagai


suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri
dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan
tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk mengukur keberadaan keluarga meneurut tingkat
kesekjateraannya telah dikembangkan 23 indikator operasional yang
menggambarkan tingkat pemenuhan dan kebutuhan pengembangannya. Tahap
keluarga menurut tingkat kesejahteraannya adalah sebagai berikut.
1. Keluarga pra-sejahtera, yaitu keluarga-keluarga yg belum dapat
memenuhui kebutuhan dasarnya (basic-needs) secara minimal, seperti
kebutuhan spiritual, pangan, dan kesehatan.
2. Keluarga sejahtera 1, yaitu keluarga-keluarga yang dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi
kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan akan Pendidikan, KB, interaksi
dalam keluarga, interkasi dengan lingkungan tempat tinggal dan
transportasi.
3. Keluarga sejahtera 2, yaitu yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan social-
psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya
seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
4. Keluarga sejahtera 3, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhan dasar, social psikologis, dan pengembangan
keluarganya, tetapi belum dapat memberi sumbangan materi, dan berperan
aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
5. Keluarjga sejahtera 3 plus, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhan dasar, social-psikologis dan
pengembangannya serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur
dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
Menurut konsep BKKBN sebuah keluarga disebut miskin atau kurang
sejahtera apabila masuk kategori pra sehahtera hdan sejahtera 1. Adapun
indicator-indikator yang dipakai untuk mengukurnya adalah sebagai berikut:

1. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat


memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual,
pangan, sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana. Secara
operasional mereka tampak ketidakmampuan untuk memenuhi salah satu
indicator sebagai berikut:
a. Menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya
b. Makan minimal 2kali perhari
c. Pakaian lebih dari 1 pasang
d. Sebagian besar lantai rumahnya tidak dari tanah
e. Jika sakit dibawa ke sarana kesehatan
2. Keluarga sejahtera I, adalah keluarga-keluarga yang dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, tetspi belum dapat memenuhu
kebutuhan social dan psikologis seperti kebutuhan Pendidikan, interaksi
danlam keluarga, interaksi dengan lingkunga tempat tinggal dan
transportasi. Secara operasional mereka tampak tidak mampu memenuhi
salah satu indicator sebgai berikut:
a. Menjalankan ibadah secara teratur
b. Minimal seminggu seklai makan daging/telur/ikan
c. Minimal memiliki baju baru sekali dalam setahun
d. Luas lantai rumah rata-rata 8m persegi per anggota keluarga
e. Tidak ada anggota keluarga yang berusia 10-60 tahun yang buta huruf
latin
f. Semua anak berusia 5-15 tahun bersekolah
g. Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap
h. Dalam 3 blulan terakhir tidak dan masih dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik
C. Perbandingan Data Kemiskinan

Dengan adanya dua jenis data kemiskinan sebagaimana diuraikan diatas


kemudian timbul pertanyaan tentang data manakah yang sebaiknya dipakai
dalam pengelolaan kebijakan tentang penduduk miskin, apakah data dari BPS
atau dari data BKKBN.

Konsep dan pendekatan. Dari segi konsep dan pendekatannya data


kemiskinan yang dikumpulakn oleh BPS berbeda dengan data kemiskinan yang
dibuat oleh BKKBN. Data kemiskinan yang dikumpulkan oleh BPS,
sebagaimana dijelaskan diatas, menggunakan pendekatan basic-needs dimana
seseorang disebut miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya
yang kebutuhan dasar tersebut dikelompokan menjadi dua yaitu, kebutuhan
pangan dan nonpangan ( pakaian, petumahan, Pendidikan, kesehata, dsb).
Secara konsep BBKBN juga menggunakan pendekatan basic needs hanya
dalam merumuskan basic needs tersebut memasukan aspek spiritual.

Indicator dan Komoditas yang diukur. Perbadaan yang paling mendasar


antara data dari BPS dan BKKBN dalah didalam menentukan indicator untuk
menetukan kebutuhan dasar dan komoditas yang diukur. Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa pada data BPS kebutuhan dasar baik pangan
maupun nonpangan, diukur melalu sebuah bundel (kelompok) komoditas yang
jenis-jenis komoditas tersebut ditentukan secara spesifik sesuai hasil survei.

Sedang pada data BKKBN tidak ditentukan jenis dan jumlah


komoditasnya melainkan ditentukan secara subyektif dnegan kalimat “makan
minimal 2x pehari” tanpa merici jenis makanan apa yang dimakan. Kalaupun
menentukan jenisnya dirumuskan dalam kalimat “minimal seminggu sekali
makan daging/ikan/telur”. Indicator untuk mengukur aspek spiritual juga tidak
jelas karena hanya dirumuskan dengan “menjalankan ibadah secara teratur”.
Tigdak dirinci ibadah aman, padahal pengertian ibadah sendiri memiliki makna
yang luas. Dari sini terlihat bahwa indicator dan komoditas yang diukur, data
dari BPS lebih jelas dan obyektif dari pada data BKKBN.

D. Data Sensus Kemiskinan BPS

Perkembangan terbaru adalah data hasil Pendataan Sosial Ekonomi


Pendudk 2005 (PSE05) atau yang dikenal dengan Sensus Kemiskinan yang
dilakukan oleh BPS. Tujuan Sensus Kemiskinan adalah membangun basis data
rumah tangga miskin yang berisi
(a) Direktori rumah tangga miskin berupa daftar nama, alamat dan jumlah
anggota rumah tangga
(b) Urutan rumah tangga miskin berdasarkan tingkat keparahannya (nilai skor
tertinggi sampai yang terkecil) untuk masing-masing kabupaten/kota
(c) Mengelompokkan rumah tangga miskin menurut kategori yang dibuat oleh
BPS (mendekati miskin dan sangat miskin)
Secara khusus tujuan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 adalah
untuk memfasilitasi pemerintah dalam menyalurkan program Bantuan
Langsung Tunai (BLT) kepada rumah tangga miskin sebagai kompensasi
penaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah.

Dalam pendataan tersebut digunakan 14 variabel untuk menentukan


apakah suatu rumah tangga layak tidak dikategorikan miskin sekaligus
menentukan skor tingkat keparahn kemiskinannya. Keempat belas variable
tersebut adalah:

1. Luas bangunan
2. Jenis lantai
3. Jenis dinding
4. Fasilitas air besar
5. Sumber air minum
6. Sumber penerangan
7. Jenis bahan bakar untuk memasak
8. Frekuensi untuk membeli daging ayam, dan susu selama sepekan
9. Frekuensi makan sehari
10. Jimlah (stel) pakaian baru yang dibeli setahun
11. Akses kepuskesmas atu poliklinik
12. Lapangan pekerjaan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, serta
14. Kepemilikan beberapa aset
MANFAAT ASKESKIN BAGI IBU HAMIL DAN BIDAN DI
DESA

Sejumlah upaya dilakukan untuk menurunkan AKI. Seperti Program Asuransi


Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin), yang tagetnya antara lain
meningkatkan persalinan oleh tenaga terampil. Melalui Program Bidan di Desa,
Departemen Kesehatan (DEPSKES) telah melatih lebih dari 54.000 bidan dan
menepatkannya di berbagai pelosok desa di seluruh Indonesia.

Masih ditolong dukun

Di Serang dan Pandeglang, ketika penelitian dilakukan, masyarakat


mengetahuin Askeskin, namun pemnfaatan untuk pemeriksaan kehamilan dan rujukan
kerumah sakit masih rendah. Bisa dikatakan bidan didesa dan pendanaan Askeskin
belum optimal mendorong para ibu yang tidak mampu memanfaatkan layanan
kesehatan maternal dari tenaga terlatih. Pada tingkat individu, akses warga miskin
terhadap pelayanan kesehatab ibu hamil yang tersedia di masyarakat maupun dirumah
sakit jauh di bawah warga mampu. Kelompok terkaya memanfaatkan sekitar 40% dari
pembiayaan pelayanan kesehatan ibu dibandingkan kelompok termiskin.

Peningkatan Klaim

Selain bermanfaat membantu biaya ketika dirawat dirumah sakit, pembayaran


melalu jaminan kesehatan, termasuk Askeskin ternyata meningkatkan biaya pelayanan
rumah sakit.

Bidan di Desa

Bidan yang memberikan pertolongan persalinan maupun pemeriksaan


kehamilan mendapatkan sejumlah dana dari pemerintah melalui dinas kesehatan dan
puskesmas. Berapa banyak dari dana tersebut yang diterima oleh bidan tergantung
pada jumlah pemeriksaan dan persalinan yang ditolongnya, termasuk juga biaya
transport untuk merujuk pasien.

Status Bidan

Status bidan berpengaruh terhadap rasa aman untuk terus bekerja di desa
terpencil. Status sebagai pegawai tidak tetap (PTT), apalagi PTT yang mendapatkan
gaji dari pemerintah daerah setempat, menyebabkan pendapatan yang diterima kurang
memadai untuk menutup kebutuhan bidan sehari-hari.
KINERJA PROGRAM ASKESKIN TAHUN 2005-2007

1. Pendahuluan
Sebagai BUMN, penugasan penugasan Menkes kepada PT Askes (Persero)
tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan juga dengan pasal 66 UU nomor 19
tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan, “ pemerintah dapat memberikan
penguasaan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan
umum dengan tetap memperhatikan maksut dan tujuan kegiatan BUMN “.

Penugasan kepada PT Askes kemudian dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama


dengan Depkes yang pada tahun 2007 menetapkan bahwa 92% dana yang diterima
Askes dipergunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan langsung (antara lain
administrasi kepersertaan, kegiatan sosialisas, monitoring dan evaluasi) dan 5% untuk
dana operasional untuk PT Askes. Apabila terjadi kekurangan dana, Pemerintah akan
menanggung dan apabila terjadi kelebihan, maka dana akan diluncurkan untuk tahun
berikutnya. Jadi Askes TIDAK BOLEH membukukan dana yang belum digunakan
pada akhir tahun sebagai laba perusahaan. Ini fair.

2. Pengaturan Umum Askeskin

Penyelenggaraan program Asakeskin bertujuan meningkatkan akses pelayanan


kesehatan bagi 66,4 juta masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat
masyarakat kesehatan yang optimal. Program diselenggarakan dengan prinsip berikut:

1. Program dilaksanakan secara nasional serentak diseluruh


2. Program berdasarkan prinsip asuransi social, uyaitu kegotongroyongan
antara yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang beresiko
tinggi dan rendah, sehingga terjadi “pooling of risk” nasional
3. Bersihfat nirlaba dimana dana dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
untuk kepentingan peserta.
4. Menjamin adanya asas ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh
pelayanan sesuai kebutuhan medis peserta.
5. Menjamin adanya portabilitas yaitu pelayanan yang tidak dibatasi oleh
batas administrasi wilayah atau geografis.
6. Pelayanan kesehatan bersifat komprenshif (promotive, preventif,
kuratif, dan rehabilitative) sesuai dengan standar pelayanan medik yang
“cost effective” dan rasional.
7. Pengelolaan dana bersifat transparan, akuntable, dengan menganut
prinsip kehati-hatian, effesien dan effektif.

PELAKSANAAN PROGRAM Asketin

TAHUN 2005-2007

Kepersertaan
Berdasarkan nama-nama penduduk yang diserahkan oleh bupati/walikota, PT
Askes (Persero) menerbitkan kartu Askekin bagi peserta. Pada tahun 2005, pemerintah
kabupaten/kota menetapkan nama-nama miskin berdasarkan data BKKBN.
Pemerintahan Pusat menetapkan jumlah penduduk miskin berdasar sensus BPS tahun
2005. Agar akurasi data terjaga, penerbitan dan distribusi kartu Askekin maka
dihentikan sementara, sambal menunggu hasil sinkronisasi data masyarakat miskin
pemerintah kabupaten/lota. Sebelum kartu Askekin terdistribusikan, masyarakat
miskin dapat menggunakan Surat Keterangan Miskin (SKM) atau Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM) yang diterbitkan oleh apparat kelurahan/desa.

Pelayanan Kesehatan

Manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan bersifat komprenshif meliputi


promotive, preventif, kuratif, rehabilitative. Pelayanan rawat jalan dokter
umum/puskesmas, rawat jalan spesialis di RS, rawat inap, persalinan oleh
bidan/dokter, tingdakan medik bedah, obat essensial, bdan transfuse darah.

Keuangan

Pengelolaan keuangan dilakukan terpisah dari program Akses Sosial dan Akses
Komersial dengan menggunakan cah management system (CMS) pada Bank Mandiri
dan Bank BNI. Bungan yang diperoleh giro dan penerimaan jasa giro menjadi
tambahan dan program Askekin, tidak dibukukan sebagai laba atau penerimaan lain
perusahaan. Hal ini sejalan dengan prinsip nirlaba bagi perusahaan.

Permasalahan, Dampak, dan Solusi

Masalah terbesar vdari penyelenggaraan program Askekin adalah bahwa isi


penugasan oleh Pemerintah cq. Departemen Kesehatan terhadap peran, tugas, dan
tanggungjawan Badamn Penyelenggaraan cq. PT Askes berubah-ubah. Pada semester I
tahun 2005, PT Askes berperan serta mempunyai tugas ndan tanggungjawab pelayanan
dan pembiayaan terhadap pelayanan dari tingkat puskesmas sampai denagn rumah
sakit. Pada semester II tahun 2005, pembayaran dipuskesmas dilakukan langsung dari
Depkes. Pada tahun 2006, skema pelayanan dan pembiayaan mulai dari puskesmas
sampai rumah sakit diserahkan kepada PT Askekin. Pada tahun 20007, pembayaran ke
puskesmas dilakukan langsung oleh Depkes, sedangkan PT Askes hanya menangani
pelayanan dan pembiayaan di RS. Namun pada tahun 2007, PT Askes juga ditugaskan
untuk melakukan verivikasi terhadap pelayanan yang diberikan oleh puskesmas. Di
tahun 2008, PT Askes bertugas hanya mendata peserta Jamkesmas. Perubahan-
perubahan tersebut menyebabkan PT Askes tidak dapat melaksanakan program secara
konsisten menjalankan prosedur baku. Hal ini menyulitkan berbagai pihak seperti
gfasilitas kesehatan.

Masalah lain yang dihadapin oleh PT Askekin adalah variasi mutu dan
prosedur pelayanan yang ditagihkan oleh fasilitas kesehatan karena ketiadaan standar.
Standar-standar pelayanan kesehatan yaitu: standar pelayanan medik, standar
terapi/obat, standar alkes yang digunakan RS belum tersedia. Saat ini masing-masing
RS menyusun standar sendiri yang menyulitkan proses varifikasi klaim dan dapat
berpotensi menjadi perselisihan.

Masalah yang menjadi sumber masalah lain adalah besaran alokasi anggaran
Departemen Kesehatan untuk program Askekin pada tahun 2007 yang jauh lebih kecil
dari kebutuhan. Alokasi anggaran yang tersedia Rp 1,7 triliun sementara jumalah
target penduduk yang dijamin naik dari 60juta jiwa menjadi 76,4 juta jiwa. Akibatnya
terpaksa pembayaran klaim tertunda yang menimbulkan heboh di media masa.

“DUH… SUSAHNYA MENJADI PASIEN ASKEKIN…”

Menurut Rasmin, dia sedang mengurus ibunya, Darini (58) yang di rawat di RS
Fatmawati. Warga Jalan Sarmili RT 02/ RW 02 Juramangu Timur Tangerang ini harus
mengurus surat-surat agar baiya pengobatan ibunya di tanggung Askeskin. Ini terkait
dengan perubahan mekanisme Program Askeskin sejak 1 febuari 2008. Perubahan
terjadi pada peran PT Askes yang tidak lagi sebagai juru bayar dan verifikator.

Rasmin khawatir boiaya pengobatan ibunya tidak ditanggung Askeskin dengan


perubahan mekanisme itu. Padahal ibunya menjalani rawat inap sejak 24 januari
karena kakinya tertusuk paku dan sulit sembuh akibat penyakit diabetes mellitus (DM)
yang dideritanya. Bial dtanggung sendiri, Rasmin yang sehari-hari bekerja sebagai
pemulung tidak akan sanggup. Dia dan ayah nya serta saudara-saudara nya bekerja
sebagai pemulung dengan penghasilan 100.000/2minggu.

Pemuda asal Indaramayu ini tidak mengetahui cara mendapatkan pengobatan gratis
lewat Progarm Askekin. Oelh karena itu Marselia membantunya. Berbekal surat
keterangan tidak mampu, dirujuk ke RS Fatmawati

Namun, dalam prakteknya pelaksanaan Askekin tidak segampang mengampanyekan


pesan pelayanan kesehatan gratis tersebut.

Beberapa orang lain yang juga mengurus surat-surat kelengkapan pasien Askekin
mengatakan, bila pelayanan lamma, memungkinkan kondisi pasien yang parah tidak
bisa segera diatasi.

Biaya Obat

Selain ditengarai ada jual beli kartu Askekin, masalah lain yang dihadapi oleh
pasien Askeskin adalah baiya obat yang ditanggung Askeskin menjadi tanggungan
pasien. Beruntung dia bisa membantu para pasien Askeskin ini dengan keberadaan
para donator, baik perorangan dan organisasi semacam Layanan Kesehatan Cuma-
Cuma (LKC) Dompet Dhu’afa Rebpublik. Pebgobatan yang tidak ditangggung, seperti
kemoterapi, CT Scan dibantu para donator.

Bagian III

Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia


dalam SJSN

Sadikin: Sakit Sedikit Menjadi Miskin


Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity, ketidak-
adilan/ketidak-setaraan) hanya dapat diperkecil dengan memperbesar porsi pendanaan
publik, baik melalui APBN (tax funded) maupun melalui sistem asuransi kesehatan
sosial. Porsi pendanaan publik yang dialokasikan oleh pemerintah selama periode
1999 - 2000 berkisar 28,1% - 35,9% (WHO, 2006)

Jaminan/Asuransi Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (AKN)


Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan bertujuan untuk menjamin hak-hak
kesehatan yang fundamental sesuai dengan deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB di
tahun 1947. Penjaminan hak tersebut diperkuat dengan amendemen UUD 45 tanggal
11 Agustus 2002 pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh
rakyat” dan ayat 3 “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan.
Dalam realisasi amanat pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden
Megawati telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang membentuk Tim
Sistem Jaminan Sosial Nasional, sebelum dikeluarkan Keppres tersebut, tim sudah
dibentuk dibawah SK Menko Kesra.

Konsep Dasar

Disepakati konsep jaminan sosial berdiri diatas tiga pilar yaitu:


1. Pilar pertama yang tebawah adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi
mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
2. Pilar kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi
yang wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan (diatas
garis kemiskinan) dengan membayar iuran yang proporsional terhadap
penghasilannya/upahnya.
3. Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang
menginginkan jaminan yang lebih besar dari jaminan kebutuhan standar hidup
yang layak dan mereka yang mampu membeli jaminan tersebut (pilar jaminan
swasta/privat yang berbasis sukarela/dagang).

Esensi AKN dalam SJSN

Undang-undang ini mengatur program jaminan kesehatan, kecelakaan kerja,


jaminan hari tua termasuk pensiun, dan jaminan kematian yang labih adil dan merata
bagi seluruh rakyat.
1. Esensi pertama konsep SJSN merupakan upaya membuat platform yang sama
bagi pegawai negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal (yang
tidak menerima upah dari pihak lain, tetapi menghasilkan sendiri) dalam
menghadapi risiko sosial ekonomi di masa depan.
2. Esensi kedua dari SJSN adalah mengubah status badan hukum Badan
Penyelenggara yang ada sekarang, PT Taspen, PT ASABRI, PT Askes dan PT
Jamsostek, menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak
bertujuan mencari laba (not for profit) untuk kas negara.
3. Esensi ketiga dari SJSN adalah memastikan bahwa dana yang terkumpul dari
iuran dan hasil pengembangannya dikelola HANYA untuk kepentingan peserta.
4. Esensi keempat adalah memastikan agar pihak kontributor atau pengiur atau
tripartit (yaitu tenaga kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali
kebijakan tertinggi yang diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial
Nasional (semacam Majelis Wali Amanat atau lembaga tripartit) yang diwakili
2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat pemberi kerja, 5 orang wakil
pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh masyarakat/ahli.
5. Esensi kelima adalah bahwa program jaminan harus bersekala nasional untuk
menjamin portabilitas dan seluruh penduduk Indonesia (di daerah manapun ia
tinggal) memperoleh jaminan.
Mengapa Tidak Diserahkan ke Swasta?
Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh
pemerintah yang melindungi golongan ekonomi lemah dan yang tidak lemah yang
menjamin keadilan yang merata (equity). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu
asuransi sosial haruslah didasari pada suatu undang-undang dengan pembayaran
iuran/premi dan paket jaminan yang memungkinkan terjadinya pemerataan.
Perusahaan asuransi swasta diberikan peluang untuk menjual produk asuransi
kesehatan/JPKM sebagai suplemen atau asuransi tambahan.

Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri


a. Kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk,
b. Besaran iuran/premi ditetapkan oleh undang-undang/peraturan pemerintah,
umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan
c. Paketnya ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya
sesuai dengan kebutuhan medis (Thabrany, 1999).

Askeskin: Implementasi Awal

Dalam Keputusan MK tersebut, Pasal 52 yang mengharuskan ke-empat BPJS


secara bertahap menyesuaikan diri dengan UU SJSN tetap berlaku dan karenanya
program nasional dapat terus dijalankan. Tantangan implementasi awal UU SJSN,
khususnya dalam bidang jaminan kesehatan, masih belum reda meskipun lebih dari
setahun setelah MK menetapkan keputusan yang sesungguhnya memperkuat UU
SJSN.

Manfaat Askes bagi Masyarakat Miskin Telah Jelas

Dari segi pendanaan, sebagaimana diatur dalam UU SJSN, program jaminan


kesehatan dikelola secara nirlaba. Artinya, apabila terjadi surplus dana, maka surplus
tersebut tidak boleh dibukukan sebagai laba PT Askes, tetapi harus diakumulasi untuk
pendanaan program tahun berikutnya. Inilah hakikat Dana Amanat, dana yang
diamanatkan hanya untuk pendanaan program. Secara rinci penggunanaan dana diatur
dalam pedoman menurut SK Menkes nomor 56/2005. Askes hanya menerima
management fee sebesar 5% dari dana.

Tantangan

Data penyerapan dana dan naiknya tingkat penggunaan tempat tidur kelas III
mencapai 100% di hampir semua rumah sakit menunjukkan bahwa program Askeskin,
yang cukup heboh pada awalnya dan kontroversial, telah memberikan manfaat cukup
berarti bagi penduduk miskin. Akan tetapi beberapa LSM bahkan lembaga
internasional sering mengkritik program ini dengan alasan monopolistik dan
kekhawatiran terjadi penyimpangan dana dan mungkin juga hal itu timbul karena
adanya persepsi bahwa pelayanan Askes untuk selama ini dinilai kurang baik.
Perkembangan Terakhir

Sebagaimana dijelaskan diatas, segera setelah UU SJSN ditempatkan dalam


lembaran negara, Pemerintahan SBY memulai program penjaminan penduduk miskin
yang kini dikenal dengan Askeskin. Meskipun, harus diakui, bahwa inisiatif tersebut
awalnya bukan untuk implementasi UU SJSN, tetapi nafasnya sama. Karenanya,
pengaturan dan pembahasan pengaturan Askeskin kemudian dikaitkan dengan UU
SJSN dan peraturan pelaksanaan yang tentang program bantuan iuran, sebagaimana
diatur UU SJSN diterapkan dalam Askeskin, sedang disiapkan Kantor Menko Kesra.

Undang-undang mengamanatkan bahwa pengaturan lebih lanjut tentang


penerima bantuan iuran diatur dengan PP. Kantor Menko Kesra telah membentuk
Pokja penyelesaian PP dan Perpres yang sekarang dalam proses.

Fungsi DJSN dalam pengambilan kebijakan umum dan sinkronisasi


penyelenggaraan SJSN merupakan fungsi yang berat mengingat ketika UU SJSN
dibahas, terjadi resistensi dari manajemen badan penyelenggara yang ada, yang merasa
khawatir atas perubahan penyelenggaraan. Karena alotnya pembahasan UU untuk
mengubah ketiga esensi utama, sebagaimana dibahas dimuka, maka diputuskan agar
perubahan dilakukan secara bertahap dan DJSN ditugaskan untuk mengawal
perubahan tersebut.

Strategi Ke Depan

strategi umum yang paling rasional dalam tahun 2009-2014 adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan tahun ini DJSN dilantik Presiden dan mulai bekerja untuk
menghasilan peraturan perundangan (cukup dua peraturan pemerintah dan dua
perpres). Draft PP dan Perpres sesungguhnya sudah dirumuskan dan hampir
selesai.

2. Dalam lima tahun ke depan, program Askes PNS, Jaminan Kesehatan


Jamsostek, dan jaminan kesehatan penduduk miskin harus diharmonisasikan
dan disinkronkan agar manfaatnya (benefit) sama. Dalam hal pemenuhan
kebutuhan pelayanan medis, tidak boleh ada diskriminasi antar kelompok
penduduk. Seluruh penduduk harus mendapat jaminan kesehatan sesuai
kebutuhan medisnya.

3. Kedua BPJS, yang kini PT Persero, harus segera dikonversi menjadi BPJS
yang nirlaba.

4. Dalam lima tahun ke depan, penegakan hukum harus dilakukan kepada


organiasi pemberi kerja, baik pemerintah maupun swasta, yang belum
menjamin karyawannya (beserta anggota keluarganya).

5. Program Askeskin diteruskan dalam lima tahun ke depan harus diteruskan


dengan perbaikan dan perhitungan iuran yang layak dan wajar. Pendanaannya
ditanggung bersama antara Pemerintah dan Pemda, sesuai kapasitas fiskal
Pemda.

6. Agar pelayanan di fasilitas kesehatan dapat memuaskan peserta, maka fasilitas


kesehatan pemerintah harus dikonversi menjadi BLU Fasilitas Kesehatan
Daerah. Bisa digabungkan antara Puskesmas dan RSUD agar terjadi
kesinambungan pelayanan. Pembayaran BPJS kepada fasilitas kesehatan
dilakukan secara prospektif, besarannya ditentukan dimuka, dengan besaran at
reasonable market economic costs.

7. Setalah lima tahun (RPJMN berikutnya), harus dijamin bahwa biaya


administrasi AKN (setara dengan loading factor, biaya manajemen) harus tidak
lebih dari 5% iuran yang terkumpul.

Kesimpulan

Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mampu memberikan perlindungan


pada seluruh rakyatnya dalam menghadapi risiko penyakit yang berdampak pada
kerugian finansial yang sangat besar bagi rumah tangga. Bahkan, hampir di seluruh
pemerintah daerah, sistem yang diberlakukan adalah sistem jual-beli pelayanan
rumah sakit dengan mengharuskan rakyat yang sakit membayar berbagai pelayanan
yang tarifnya ditetapkan dengan suatu Perda. Akibatnya, seluruh rakyat tidak
memiliki kepastian bisa berobat apabila ia sakit. Di tahun 2004 sebagian besar (83%)
rakyat yang membutuhkan perawatan mengalami ganggunan finansial rumah tangga
karena harus membayar biaya perawatan di rumah sakit di luar kapasitasnya
membayar. Sementara di negara tetangga seperti Malaysia, Srilanka, dan Muangtai
seluruh penduduknya telah terbebas dari beban finansial ketika musibah sakit
menimpa mereka.
Reformasi sistem jaminan sosial telah menetapkan arah ke depan Indonesia
dengan mengharuskan negara mengembangkan jaminan sosial, termasuk jaminan
kesehatan untuk seluruh rakyat. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
telah dikukuhkan MK dalam penyediaan lima program jaminan yaitu jaminan
kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Tahap awal perluasan
jaminan kesehatan telah dimulai tahun 2005 melalui program yang dikenal dengan
Askeskin, tetapi diubah tahun 2008 karena konflik kepentingan. Mahkamah
Konstitusi menetapkan bahwa UU SJSN sudah sesuai dengan amanat Pasal 34 ayat 2
UUD 45. Program SJSN bersekala nasional, dan bukan dikelola oleh Pemerintah atau
Pemda—tetapi dikelola oleh BPJS, suatu badan khusus kuasi pemerintah atau
parastatal.
Dengan rancangan ini, manfaat terbesar dan kemudahan akan diterima oleh
rakyat di seluruh tanah air. Pemda dapat mengembangkan program jaminan sosial
tambahan atau komplemen program nasional. Selain itu, pemda mempunyai
kewajiban dan kewenangan penuh dalam mengatur, membangun dan menyediakan
fasilitas kesehatan. Rumah sakit tersebut dapat menarik pasien dari kota atau provinsi
lain yang pembayarannya dilakukan oleh BPJS nasional (money follow patient).
Pemda tidak perlu membangun BPJS sendiri yang eksklusif, karena hal itu tidak
praktis dan tidak memberi kemudahan bagi peserta di daerah itu sendiri.
Meskipun telah ada keputusan MK, tantangan ketidak-fahaman pengambil
keputusan, akademisi, pelaku bisnis, bahkan aktifis berbagai organisasi
kemasyarakatan merupakan pekerjaan rumah yang harus dihadapi dalam menuju
cakupan universal.

Dalam 2-3 tahun ke depan, penataan sistem jaminan sosial seperti sinkronisasi
perbedaan manfaat (benefit) antara program maupun penyelenggaraan JPK Jamsostek
dan Askes PNS harus sudah bisa dimulai. Bersamaan dengan itu, status badan hukum
BPJS harus sudah diubah menjadi suatu badan khusus, untuk menggalang
kepercayaan publik. Penduduk miskin akan terus dijamin melalui program bantuan
iuran, dengan iuran yang dibayar bersama antara Pemerintah dan Pemda. Pemda yang
mampu dapat memperluas cakupan universal dengan membayar iuran bagi penduduk
sektor informal. Sementara penduduk di sektor formal yang kini dijamin melalui
upaya sendiri (self-insured) atau membeli asuransi masih dapat meneruskan cara itu
sampai majikan menyadari bahwa sistem AKN lebih murah dan lebih
menguntungkan karyawanya.

Anda mungkin juga menyukai