Menurut data Perbandingan Belnaja Kesehatan per Orang per Orang per Tahun
di Beberapa Negara Berkembang Asia tahun 1998-2002 dari UNDP tahun 2005
menunjukkan bahwa Indonesia belum memprioritaskan kesehatan sebagaimana
mestinya, yang berdampak amat buruk bagi kualitas sumber daya manusia Indoensia.
Pada umumnya negara berkembang mengeluarkan dana, baik dari sumber pemerintah
maupun dari sumber masyarakat, yang tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan
kebanyakan negara memandang pendanaan kesehatan dengan keliru, yaitu hanya
sebagai beban pegeluaran jangka pendek. Padahal pengeluaran tersebut merupakan
investasi modal manusia jangka panjang yang sangat strategis dan memiliki nilai
politis yang tinggi.
Data Susenas menunukkan bahwa rumah tangga uang dikepalai seorang bujang dan
cerai lebih terlindungi dari belanja katastropik dibandingan dengan RT utuh. Fakta
pendidikan kepala RT yang rendah tidak meningkatkan belanja kesehatan katastropik
karena biasanya di Indonesia mereka yang berpendidikan rendah juga mencari biaya
berobat yang murah. Rumah Tangga yang memiliki balita memiliki resiko mengalami
belanja kesehatan katastropik yang lebih tinggi. Hasil analisis data Susenas 2001
menunjukkan bahwa angka kesakitan dan kematian lebih tinggi pada kelompok
miskin, hal ini terjadi karena keluarga miskin memiliki kondisi gizi, lingkungan,
pendidikan, perilaku, keterjangkauan ke fasilitas kesehatan yang lebih rendah.
Keadaan sakit dapat mempengaruhi rumah tangga sacara negatif dalam dua
bentuk. Pertama, menghilangkan pendapatan keluarga karena kepala keluarga jatuh
sakit atau jika anggota keluarga lain jatuh sakit. Kedua, biaya perawatan sangat besar
jika sakit, hal ini bisa membuat mereka yang tidak miskin menjadi miskin serta
membua penduduk miskin tidak mampu meningkatkan status ekonominya. Bagi
kelompok ekonomi yang lebih rendah, perawatan di rumah sakit meupakan barsng
mewah yang jauh dari jangkauan mereka. Masalah utama yang dihadapai penduduk
miskin adalah biaya pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau. Disamping itu
kualitas pelayanan di fasilitas pemerintah seringkali tidak memadai karena tidak cukup
sumber daya manusia, obat dan alat untuk pelayanan kesehatan.
Beberapa kasus yang akan disampaikan berikut ini terkait masalah biaya
layanan kesehatan yang mahal dan memberatkan masyarakat. Kasus 1 Suatu ketika
penulis bertugas di UGD di sebuali rumah sakit swasta di Jakarta Pusat. Datang dua
orang buruh banganan yang membawa pasien (juga seorang buruh bangunan) dengan
luka parah dan tidak sadarkan diri. Pasien terluka karena tertimpa tembok yang runtuh
di tempat dia bekerja. Seketika itu juga, kami sebagai petugas medis langsung
menangani sebagaimana mestinya. Sementara itu teman pasien diharuskan mengurus
administrasi di bagian pendaftaran dan harus membayar uang muka. Singkat kata,
pasien tidak raampu membayar uang muka, sehingga dirujuk ke RSCM, dengan
harapan di RS publik terbesar tersebut uang muka tidak jadi masalah. Biaya ambulan
pun tidak sanggup dibayar para buruh miskin tersebut. Nasib malang bagi pasie, dalam
perjalanan ke RSCM, pasien telah mnenghembuskan nafasnya. Nasib buruk, buruh
tersebut juga tidak dijaninkan oleh majikannya melalui program Jamsostek yang
seharusnya wajib. Kisah cerita belum berhenti. Rupanya kebijakan ru- mah sakit tidak
berpihak pada yaug miskin dan membutuhkan. Keesokan harinya seluruh petugas
UGD yang jaga pada saat kejadian dipanggil oleh pimpinan. Semua petugas
diwajibkan menanggung seluruh biaya peng- obatan dan ambulan untuk merujuk, dan
tanpa sepeser pun. Beberapa Keluhan Lain Beberapa ilustrasi kasus tadi, sedikit
banyak menggambarkan kondisi pelayanan kesehatan di negeri ter cinta ini. Biaya
yang mahal, pelayanan yang kurang profesional, dan segalanya dihitung dengan uang
dengan mengesampingkan kemanusiaan. Karena semua diniiai dengan uang, meskipun
di RS publik, pasien yang tidak miskin yang memang tidak mampu juga imembayar
tagihan RS yang mahal, terpaksa mencari SKTM. Tetapi petugas di RS tidak
memahami dan merasa pemilik SKTM, tanpa menilai perbedaan antara upah/ gaji dan
biaya RS, juga mengeluh.
Untuk tahun 2008 program jaminan kese- hatan penduduk miskin dan kurang
mampu diberi nama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan pengelolaan
yang agak berbeda, yaitu diurus oleh dinas kesehatan di kabupaten kota setempat.
Diperbesarnya cakupan program Askeskin dan Jam- kesmas hingga 76,4 juta jiwa
pada tahun 2008, telah berhasil mengatasi masalah cakupan peserta; karena jumlah
tersebut juga mencakup masyarakat yang tergolong hampir miskin (perhitungan Bank
Dunia menunjukkan : tinggi dibandingkan dengan angka kesakitan masyarakat
lainnya. Dalam hal ini prinsip adil dan merata (equity, ekuitas) harus tetap dilakukan,
walaupun sebenarnya pelayanan di daerah terpencil menurunkan efisiensi program
secara keseluruhan. Mungkin karena tinggal di daerah yang sulit dan terpencil, banyak
masyarakat miskin kurang memperoleh sosialisasi dan penyuluhan; dengan akibat
jumlah peserta miskin dari daerah-daerah tersebut (pulau terpencil, daerah terisolasi,
dan daerah perbatasan) kurang terjangkau Program Askeskin.
Hal yang sama juga dijumpai di berbagai daerah perkotaan, khususnya bagian
kota yang kumuh. Penduduk miskin perkotaan tersebut banyak yang hanya imenetap
sementara untuk bekerja lepas (sebagai buruh konstruksi, buruh industri, pemulung,
pengemis) dan umumnya tidak mempunyai tempat ting- gal permanen ataupun tidak
memiliki Kartu Identitas Diri/Kartu Tanda Penduduk. Maka mereka tidak dicakup
dalam program JKMM/Askeskin atau program lainnya (SKTM, Kartu Sehat). Dengan
demikian keberadaan mereka sering diabaikan oleh banyak pemerintahan kota; banyak
fasilitas dan pelayanan publik tidak menjangkau mereka, serta data kesakitan atau
keinatian mereka tidak dimasukkan sebagai bagian statistik kesehatan kota tersebut.
Sebenarnya merekalah yang paling membutuhkan pelayanan kesehatan dan merekalah
yang seharusnya menjadi target program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Miskin/Askeskin ataupun program promotif dan preventif lainnya. Banyak kasus
terdengar seperti "takut pergi ke rumah sakit atau tidak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak karena mereka tidak mampu membayar atau puskesmas,
pelayanan rawat lanjutan di RS dan pelayan- an rawat inap kelas III di RS. Dana
program dialokasikan untuk untuk membiayai kegiatan pelayanan kesehatan sebesar
90 persen dari dana total.
5. Sifat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan 90 pun pihak rumah sakit mau
membantu atau meringankan.
Semua ditagihkan kepada kami sesuai tarifyang berlaku. Di negara kapitalis Amerika
Serikat saja, hal seperti ini tidak boleh terjadi. Pimpinan RS seperti itu bisa masuk
penjara karena lalai berbuat sesuatu yang menyebabkan nyawa seseorang melayang.
Tetapi, sebagian biaya yang tidak bisa diklaim ke pasien (bad debt) dapat diklaim ke
pemerintah negara bagian. Di Indonesia?
Kasus 1
Sekitar pukul o5.45 pagi hari, penulis kedatangan se- orang tetangga (sebut saja
namanya Jojo) yang tinggal di satu komplek perumahan. Ia minta dibuatkan surat kete-
rangan tidak mampu untuk mengurus istrinya yang perlu pengobatan kemoterapi.
Dilematis bagi penulis. Di satu pihak penulis iba, karena Pak Jojo hanya seorang pen-
siunan, dengan anak dua, dan istri perlu pengobatan ke- moterapi yang berulang-ulang
dan mahal. Di sisi lain, penulis beranggapan bahwa pak Jojo termasuk orang mampu
(karena tinggal di kompleks perumahan), jadi kurang layak bila diberikan SKTM
(Surat Keterangan Tidak Mampu). Setelah mendengarkan kisah panjang lebar
mengapa Pak Jojo yang sangat membutuhkan SKTM, dengan (tetap memiliki) rasa
bersalah, akhirnya SKTM diberikan. Beban Pak Jojo bukan hanya karena istrinya sakit
kanker yang perla kemo terapi berulang, namun rupanya salah satu anak Pak Jojo
sedang menghadapi kasus narkoba. Kasus narkoba membutuhkan biaya yang sangat
tinggi. Harta benda pak Jojo telah banyak dijual, yang tersisa hanya tinggal rumah dan
perabot ala kadarnya.
2. Perbedaan akses pada pelayanan kesehatan bagi ma- syarakat miskin yang berdiam
di daerah sulit dan terpencil menyebabkan terjadinya variasi dalam tingkat utilisasi.
Upaya untuk mengikutsertakan fasilitas kesehatan swasta masih terbatas, sehingga
belum memecahkan masalah
5. Portabilitas kartu program jaminan harus ditingkat- kan agar memudahkan peserta,
khususnya mereka yang berdiam di batas kecamatan/kabupaten/kota untuk
menggunakan fasilitas kesehatan di wilayah lain yang sebenarnya lebih dekat.
6. Peningkatan upaya kesehatan yang dilakukan para bi- dan di polindes ataupun
penggunaan posyandu/poliklinik Desa untuk melakukan upaya pengobatan di daerah
sulit dan terpencil, dalam jangka pendek akan dapat meningkatkan utilisasi pelayanan.
7. Perlu penataan kembali upaya rujukan mulai dari pelayanan primer (puskesmas atau
dokter praktik dan jaringannya), pelayanan sekunder (rumah sakit kabu- paten/kota)
dan pelayanan tersier (rumah sakit provinsi dan nasional, termasuk rumah sakit
spesialistik). Diharapkan peserta tidak diberikan pelayanan kesehatan primer di rumah
sakit rujukan dan rumab sakit juga dapat menata kembali perannya sebagai unit
rujukan bagi pelayanan kesehatan primer yang ada diwilayahnya.
Namun demikian, kehidupan masyarakat Indonesia dari segi ekonomi secara umum
lebih menyedihkan ketimbang kondisi sebelum tahun 1998. Badan Pusat Statistik
(BPS) pada 1 September 2006 justru melapor- kan adanya kenaikan penduduk miskin
yang berarti, yakni dari 15,97 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada
Maret 2006 (BPS 2006). Pendapatan mengalami kenaikan yang tidak berarti. Harga-
harga barang kebutuhan pokok semakin tidak terjangkau. Membaca kisah warga
miskin bisa membuat air mata menetes Tidak sanggup membeli beras berkualitas
membuat warga miskin tak peduli menyantap nasi dari hasil olahan beras yang
beraroma tidak sedap dan bercanmpur "kutu" (Kompas, 26/3/2008). Kecukupan gizi
sudah tidak dipedulikan, yang penting perut terisi. Kebiasaan makan sayur tidak bisa
dilakukan lagi. Hobi melahap sambal pun terpaksa ditinggalkan. Semua ini gara-gara
harga yang tidak terjangkau. Potret ini menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan
ekonomi tidak serta merta membawa peningkatan standar hidup masyarakat secara
keseluruhan maupun individu. Apa yang salah? Beberapa kemungkinan bisa menjadi
faktor penyebabnya. Pertama adalah mencuatnya ketidakadilan dan struktur ekonomi
yang hanya berpihak kepada penduduk kaya.
Kondisi ini membuat hasil atau luaran (output) pertumbuhan ekonomi tidak dapat
dinikmati secara merata. Kemakmuran hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat
tertentu. Yaitu orang kaya yang biasanya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
daya saing serta kapasitas penyerapan yang lebih baik ketim- bang orang miskin.
Sementara itu, mereka yang notabene masuk dalanı kelompok warga miskin jarang
menikmati berbagai hasil pembangunan. Pembangunan justru membuat warga miskin
termarginalisasi baik secara fisik mau- pun sosial. Menggusur pedagang kaki lima,
tanpa ada alternatif, demi mengejar pembangunan pusat perbelanjaan, dan mal
merupakan contoh marginalisasi warga miskin akibat pembangunan. Kedua adalah
mengakarnya korupsi. Laporan Bank Dunia (2003)4 menycbutkan bahwa korupsi
terbesar di Indonesia terjadi di bidang pengadaan barang dan jasa, yakni mencapai 77
persen dari total jumlah korupsi. Jumlah yang dikorup dari bidang ini setiap tahunnya
diperkirakan mencapai Rp 70 triliun. Suatu angka yang luar biasa tingginya.
Bandingkan dengan anggaran pemerintah untuk alokasi biaya kesehatan bagi
masyarakat miskin pada 2007 yang hanya Rp 3.6 triliun. Hitungan matematik kasar
yang dilakukan oleh Belvy B (2007) lebih mencengangkan lagi. Hasilnya
menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya bisa bangkit dan memajukan 70.611 desa
tertinggal dengan hanya 12,5 persen (atau Rp 262,8 triliun) dari uang yang dikorupsi
selama 30 tahun yang jumlahnya mencapai Rp 2.100 triliun. Ketiga adaiah
pertumbuhan ekonomi relatif lebih kecil ketimbang pertumbuhan penduduk.
Akibatnya, secara komparatif kurang memberikan peningkatan taraf hidup yang
bermakna. Dan keempat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dihasilkan oleh sektor
padat karya seperti pertanian, industri. Pertumbuhan ekonominya lebih banyak terjadi
karena dipicu oleh sektor padat modal dari teknologi se- perti telekomunikasi,
keuangan, bidang jasa. Alhasil, pertumbuhan ekonomi tersebut hingga kini ternyata
belum bisa dinikmati secara langsung oleh sebagian besar masyarakat. Merasa gagal
dengan hanya berkiblat pada teori tricle-down effect, moda baru penanggulangan
kemiskinan lalu dikembangkan. Strateginya diubah 180 derajat, dari hanya pendekatan
tidak langsung menjadi pendekatan langsung. Penanggulangan kemiskinan dengan
memberi bantuan atau subsidi langsung kepada orang miskin mulai dirintis. Saat ini
kita bisa temui adanya dua varian program subsidi di berbagai negara. Pertama adalah
subsidi langsung tunai (unconditional cash transjfers. UCT), dan kedua adalah subsidi
tunai bersyarat (conditional cash transfers, CCT). Varian pertama program subsidi,
yakni subsici lang sung tunai (SLT), pernah diadopsi pemerintah Indonesia pada tahun
2006.
SLT merupakan program terbesar di dunia, dengan menyediakan dana tunai kepada
19,2 juta penduduk miskin dan hampir-miskin diseluruh pelosok tanah air. Tujuannya
adalah untuk meredam gejolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1
Oktober 2005. Mulai Juli 2007, Indonesia juga meluncurkan program CCT. Dua jenis
program CCT kini sedang dilaksanakan. Pertama adalah Program Keluarga Harapan
atau disingkat PKH, dan kedua adalah program bantuan tunai bersyarat sebagai bagian
dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program terakhir ini
dilkenal dengan PNPM-Generasi. Kedua jenis program CCT tersebut (PKH dan
PNPM-Generasi) memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi kemiskinan dan
mening- katkan kualitas sumberdaya manusia (Kominfo, 2007).6 Kedua program
tersebut juga sama-sama menetapkan persyaratan bagi warga miskin untuk
menggunakan pelayanan kesehatan dasar serta pendidikan. Perbedaannya terletak pada
mekanisme pemberian bantuan. Dana bantuan PKH diberikan secara langsung kepada
rumah tangga sangat miskin (RTSM). Sedangkan pada PNPM-Generasi, dana bantuan
diberikan kepada masyarakat atau komunitas. Masyarakat sendirilah yang mengelola
dana bantuan tersebut. Apakah program kemiskinan melalui subsidi langsung kepada
target sasaran lebih rmenjanjikan? Evaluasi program SLT menunjukkan korelasi atau
hubungan negatif terhadap angka kemiskinan. Artinya, program SLT mampu
mengerem jumlah warga miskin di Indonesia. Nihillnya program SLT, Bank Dunia
(2006)7 memperkirakan bahwa "kenaikan harga BBM akan mengurangi kesejah-
teraan penduduk miskin dan penduduk hampir-miskin kira-kira sebesar 5 persen dan
akan meningkatkan angka kemiskinan secara substansial akibat kenaikan tiga kali lipat
harga minyak tanah dan dampak inflasi secara keselurahan" Lebih lanjut, hasil
simulasi tentang dampak program SLT digabungkan dengan kenaikan harga BBM
yang dilakukan oleh staf Bank Dunia tersebut menunjukkan adanya "kenaikan
pendapatan bersih bagi 20 persen kelompok penduduk termiskin". Bagaimana dengan
program CCT. Fakta empiris di Indonesia belum bisa terdeteksi mengingat
pelaksanaan PKH masih seumur jagung.
Statistik Kemiskinan di Indonesia Secara umum Indonesia memiliki dua jenis statistik
kemiskinan, yaitu statistik kemiskinan makro dan statistik kemiskinan mikro. Kedua
jenis statistik tersebut dihasilkan dari sistem serta mekanisme pendataan yang berbeda.
Statistik kemiskinan makro diperoleh dari hasil anali- sis data Susenas3. Sedangkan
statistik mikro diperoleh dari dua hasil pendataan yaitu: Pendataan Sosial Ekonomi
2005 (PSE-05) dan Pendataan Program Keluarga Harapan (PKH). Data kemiskinan
mikro lain yang kini tersedia di Indenesia adalah data Keluarga Sejahtera dan
Prasejahtera I yang dikurmpulkan oleh oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN). Jumlah penduduk miskin yang diperoleh dari statistik kemiskinan
makro berbeda dengan yang dihasilkan oleh statistik kemiskinan mikro. Perbedaan
tersebut antara lain disebabkan tujuan dan waktu pendataan yang berbeda, serta
kriteria penetapan kemiskinan. Statistik Kemiskinan Makro Statistik kemiskinan
makro menyediakan data tentang jumlah penduduk miskin. Data tersebut merupakan
data agregat (nasional) yang dihitung dari hasil estimasi atau perkiraan sampel data
Susenas. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dalam menghitung penduduk
miskin (BPS 2006; BPS 20079).
Data kemiskinan di Indonesia sudah mulai dikumpu'an sajak tahun 1984 (BPS) dan
program pernerintan tentarg pengen- tasan orang miskin juga sucdah dilakukan sejak
lama retapi implementasi dan penetapan sasaran terhadap penduduk miskin masih
menjadi masalah. Masih ada kritik buinwa prcg- ram pemerintah berkaitan dengan
penduduk miskin tenaci duplikasi dan tumpang tindih baik dalam ha jenis program
maup in sasarannva. Bantuan sosial kemiskinan yang dilakukan melalu program JPS
baik JPS-BK, JPS-Pendidikan, JPS-Raskin seringkali menghadapi kendala serius
ketika harus menetapkan siapa sebenarnya penduduk miskin yang patut untuk
diberikan bantuan. Di tingkat teknis penetapan sasaran yang menerima bantuan sosial
masih menghadapi banyak kendala. Data yang ada selama ini yang di- gunakan untuk
perencanaan tidak cukup untuk memberikan pedoman sampai ke tingkat pelaksanaan
program.
Pengertian miskin dalam arti luas tersebut tidak cukup operasional untuk digunakan
dalam analisis program kebijakan. Jika kemiskinan diartikan dalam pengertian luas
seperti itu, akan ada kesulitan teknis ketika harus menentukan siapa sebenarnya yang
masuk kategori penduduk miskin. Oleh karena itu, dalam banyak analisis, kemiskinan
lebih diartikan secara sempit yaitu miskin secara ekonomis. Dalam kaitan ini miskin
diartikan sebagai ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya. Kebutuhan dasar di sini lebih pada kebutuhan fisik (baik makanan maupun
nonmakanan). Dengan demikian yang disebut sebagai penduduk miskin adalah
penduduk yg secara ekonomis tidak mampu me- menuhi kebutuhan minimumnya atau
kebutuhan dasarnya (baik makanan maupun nonmakanan) Kemiskinan diartikan
sebagai ketidakmampuan ru- mah tangga atau seseorang dalam memenuhi secara
cukup kebutuhan dasarnya. Kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan
(deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang di mana setiap manusia
berhak memperoleh untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan dapat dilihat
dari sudut pandang moneter dan non moneter. Kemiskinan juga dapat dilihat dari
berbagai aspek/dimensi. Di samping dilihat dari aspek pen- dapatan, kemiskinan juga
dapat dilihat dari aspek kese- hatan, pendidikan dan status sosial. Dalam kaitan ini
kemiskinan dikaitkan dengan outcome" yang tidak cukup dalam hubungannnya
dengan (i) kesehatan, gizi dan angka melek huruf; (ii) kurangnya hubungan sosial; (ii)
kerawanan, dan; Gv) kepercayaan diri yang rendah dan ketidakberdayaan.
b. Mengukur Kemiskinan Untuk mengukur kemiskinan dalam arti luas, jelas su lit
dilakukan. Sulit untuk menentukan siapakah yaug masuk kategori miskin secara
politik, sosial, apalagi spiritual. Oleh karena itu, pembahasan dalam ukuran
kemiskinan di sini diartikan secara sempit, kemiskinan dalam arti ekonomis yaitu
ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pendekatan yang umum dipakai dalam mengukur kemiskinan (dalam arti sempit)
adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Kebutuhan dasar diukur dari
pengeluaran (sebagai proksi dari pendapatan) rumah tangga atas sejumlah (bundel)
komoditas baik hberupa komiditas makanan maupun nonmakanan. Dari sejumlah
komoditas terpilih tersebut keinudian ditentukan ukuran kebutuhan minimumnya.
Kemudian jumlah minimum komoditas tersebut dikalikan dengan harga komiditas
yang bersangkutan. Dengan begitu diperoleh angka yang menunjukkan harga dari
bundel komoditas minimum yang diperlukan. Angka itulah yang kemudian dijadikan
sebagai batas atau garis (poveriy line) yang membagi penduduk miskin dan penduduk
tidak miskin.
Garis kemiskinan (poverty line) bisa dibedakan antara garis kemiskinan makanan
(food poverty line) maupun garis kemiskinan nonmakanan (non food poverty line).
Yang karena perbedaan harga dan jenis komoditas yang dipakai maka letak garis
kemiskinan bisa pula berbeda antar daerah dan antar desa-kota. Garis kemiskinan itu
sendiri adalah suatu index. Secara statistik ada beberapa cara dalam menghitung garis
kemiskinan seperti Headcount Index, Poverty Gap Index, Poverty Severity Index dan
sebagainya.
Bagian II
a. Pengertian
b. Mengukur Kemiskinan
e. Determinan Kemiskinan
Selama ini ada dua sumber data kemiskinan yang seringkali dipakai dalam
menganalisis kemiskinan secara nasional yaitu data kemiskinan yang bersumber dari
Badan dan Pusat Statistik (BPS) Menneg Kependudukan/BKKBN. Uraian pada bagian
akan membahas tentang bagaimana pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh
kedua instansi tersebut dan data mana yang lebih relevan digunakan dalam melakukan
kajian dan penyelenggaraan perlindungan social bagi penduduk miskin.
A. Data Kemiskinan Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan perhitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, perhitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data
modul konsumsi Susenas.
Sejak tahun 1981, setiap tiga tahunsekali, dengan data konsumsi Susenas,BPS
secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin yang hanya
disajikan untuk tingkat nasional, dengan dipisahkan antara daerah perkotaan dan
perdesaan. Pada tahun 1990, informasi mengenai penduduk miskin sudah dapat
disajikan sampai tingkat provinsi meskipun beberapa provinsi masih digabung. Sejak
tahun1993 informasi mengenai jumlah dan presentase penduduk miskin sudah dapat
disajikan untuk seluruh provinsi.
Data yang dihitung oleh BPS adalah data yang diambil melalui survei atas
sampel sejumlah rumah tangga. Jumlah sampek tersebut makin meningkat bdari tahun
ketahun. Kalau pada tahun 1990 jumlah sampelnya hanya 49.000 rumah tangga maka
sejak tahun 1993 jumlah sampel telah meningkat menjadi 65.000 rumah tangga.
Kekecualian terjadi pada tahun 1998 karena survei dilakukan untuk mengukur dampak
krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997.
Meskipun jumlah sampel tersebut terjadi peningkatan tetapi tetap saja porsinya
masih kecil disbanding jumlah rumah tangga secara keseleruhan. Namun, jika dilihat
lebih jauh indicator yang digunakan untuk menetukan sebuah rumah tangga termasuk
kategori miskin atau tidak, bervariasi di masing-masing sensus ekonomi tersebut.
Sesus kemiskinan di DKI Jakarta misalnya, menentukan suatu rumah tangga
dikategorikan sebagai rumah tangga miskin apabila memilki tiga ciri/variable dari 7
variabel kemiskinan rumah tangga yaitu:
1. Luas bangunan
2. Jenis lantai
3. Jenis dinding
4. Fasilitas air besar
5. Sumber air minum
6. Sumber penerangan
7. Jenis bahan bakar untuk memasak
8. Frekuensi untuk membeli daging ayam, dan susu selama sepekan
9. Frekuensi makan sehari
10. Jimlah (stel) pakaian baru yang dibeli setahun
11. Akses kepuskesmas atu poliklinik
12. Lapangan pekerjaan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, serta
14. Kepemilikan beberapa aset
MANFAAT ASKESKIN BAGI IBU HAMIL DAN BIDAN DI
DESA
Peningkatan Klaim
Bidan di Desa
Status Bidan
Status bidan berpengaruh terhadap rasa aman untuk terus bekerja di desa
terpencil. Status sebagai pegawai tidak tetap (PTT), apalagi PTT yang mendapatkan
gaji dari pemerintah daerah setempat, menyebabkan pendapatan yang diterima kurang
memadai untuk menutup kebutuhan bidan sehari-hari.
KINERJA PROGRAM ASKESKIN TAHUN 2005-2007
1. Pendahuluan
Sebagai BUMN, penugasan penugasan Menkes kepada PT Askes (Persero)
tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan juga dengan pasal 66 UU nomor 19
tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan, “ pemerintah dapat memberikan
penguasaan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan
umum dengan tetap memperhatikan maksut dan tujuan kegiatan BUMN “.
TAHUN 2005-2007
Kepersertaan
Berdasarkan nama-nama penduduk yang diserahkan oleh bupati/walikota, PT
Askes (Persero) menerbitkan kartu Askekin bagi peserta. Pada tahun 2005, pemerintah
kabupaten/kota menetapkan nama-nama miskin berdasarkan data BKKBN.
Pemerintahan Pusat menetapkan jumlah penduduk miskin berdasar sensus BPS tahun
2005. Agar akurasi data terjaga, penerbitan dan distribusi kartu Askekin maka
dihentikan sementara, sambal menunggu hasil sinkronisasi data masyarakat miskin
pemerintah kabupaten/lota. Sebelum kartu Askekin terdistribusikan, masyarakat
miskin dapat menggunakan Surat Keterangan Miskin (SKM) atau Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM) yang diterbitkan oleh apparat kelurahan/desa.
Pelayanan Kesehatan
Keuangan
Pengelolaan keuangan dilakukan terpisah dari program Akses Sosial dan Akses
Komersial dengan menggunakan cah management system (CMS) pada Bank Mandiri
dan Bank BNI. Bungan yang diperoleh giro dan penerimaan jasa giro menjadi
tambahan dan program Askekin, tidak dibukukan sebagai laba atau penerimaan lain
perusahaan. Hal ini sejalan dengan prinsip nirlaba bagi perusahaan.
Masalah lain yang dihadapin oleh PT Askekin adalah variasi mutu dan
prosedur pelayanan yang ditagihkan oleh fasilitas kesehatan karena ketiadaan standar.
Standar-standar pelayanan kesehatan yaitu: standar pelayanan medik, standar
terapi/obat, standar alkes yang digunakan RS belum tersedia. Saat ini masing-masing
RS menyusun standar sendiri yang menyulitkan proses varifikasi klaim dan dapat
berpotensi menjadi perselisihan.
Masalah yang menjadi sumber masalah lain adalah besaran alokasi anggaran
Departemen Kesehatan untuk program Askekin pada tahun 2007 yang jauh lebih kecil
dari kebutuhan. Alokasi anggaran yang tersedia Rp 1,7 triliun sementara jumalah
target penduduk yang dijamin naik dari 60juta jiwa menjadi 76,4 juta jiwa. Akibatnya
terpaksa pembayaran klaim tertunda yang menimbulkan heboh di media masa.
Menurut Rasmin, dia sedang mengurus ibunya, Darini (58) yang di rawat di RS
Fatmawati. Warga Jalan Sarmili RT 02/ RW 02 Juramangu Timur Tangerang ini harus
mengurus surat-surat agar baiya pengobatan ibunya di tanggung Askeskin. Ini terkait
dengan perubahan mekanisme Program Askeskin sejak 1 febuari 2008. Perubahan
terjadi pada peran PT Askes yang tidak lagi sebagai juru bayar dan verifikator.
Pemuda asal Indaramayu ini tidak mengetahui cara mendapatkan pengobatan gratis
lewat Progarm Askekin. Oelh karena itu Marselia membantunya. Berbekal surat
keterangan tidak mampu, dirujuk ke RS Fatmawati
Beberapa orang lain yang juga mengurus surat-surat kelengkapan pasien Askekin
mengatakan, bila pelayanan lamma, memungkinkan kondisi pasien yang parah tidak
bisa segera diatasi.
Biaya Obat
Selain ditengarai ada jual beli kartu Askekin, masalah lain yang dihadapi oleh
pasien Askeskin adalah baiya obat yang ditanggung Askeskin menjadi tanggungan
pasien. Beruntung dia bisa membantu para pasien Askeskin ini dengan keberadaan
para donator, baik perorangan dan organisasi semacam Layanan Kesehatan Cuma-
Cuma (LKC) Dompet Dhu’afa Rebpublik. Pebgobatan yang tidak ditangggung, seperti
kemoterapi, CT Scan dibantu para donator.
Bagian III
Konsep Dasar
Tantangan
Data penyerapan dana dan naiknya tingkat penggunaan tempat tidur kelas III
mencapai 100% di hampir semua rumah sakit menunjukkan bahwa program Askeskin,
yang cukup heboh pada awalnya dan kontroversial, telah memberikan manfaat cukup
berarti bagi penduduk miskin. Akan tetapi beberapa LSM bahkan lembaga
internasional sering mengkritik program ini dengan alasan monopolistik dan
kekhawatiran terjadi penyimpangan dana dan mungkin juga hal itu timbul karena
adanya persepsi bahwa pelayanan Askes untuk selama ini dinilai kurang baik.
Perkembangan Terakhir
Strategi Ke Depan
strategi umum yang paling rasional dalam tahun 2009-2014 adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan tahun ini DJSN dilantik Presiden dan mulai bekerja untuk
menghasilan peraturan perundangan (cukup dua peraturan pemerintah dan dua
perpres). Draft PP dan Perpres sesungguhnya sudah dirumuskan dan hampir
selesai.
3. Kedua BPJS, yang kini PT Persero, harus segera dikonversi menjadi BPJS
yang nirlaba.
Kesimpulan
Dalam 2-3 tahun ke depan, penataan sistem jaminan sosial seperti sinkronisasi
perbedaan manfaat (benefit) antara program maupun penyelenggaraan JPK Jamsostek
dan Askes PNS harus sudah bisa dimulai. Bersamaan dengan itu, status badan hukum
BPJS harus sudah diubah menjadi suatu badan khusus, untuk menggalang
kepercayaan publik. Penduduk miskin akan terus dijamin melalui program bantuan
iuran, dengan iuran yang dibayar bersama antara Pemerintah dan Pemda. Pemda yang
mampu dapat memperluas cakupan universal dengan membayar iuran bagi penduduk
sektor informal. Sementara penduduk di sektor formal yang kini dijamin melalui
upaya sendiri (self-insured) atau membeli asuransi masih dapat meneruskan cara itu
sampai majikan menyadari bahwa sistem AKN lebih murah dan lebih
menguntungkan karyawanya.