Anda di halaman 1dari 4

NAMA ANGGGOTA :

YUSUF FERNANDO SIMBOLON (1603511045)

PUTU INDAH SARI RAHAYU (1603511072)

MARIA LEILINA BERAHUN (1603511076)

NI NYOMAN NADYASTITI MIKARIANA (1603511080)

KELAS/SEMESTER : B/VI

MATA KULIAH : AGRIBISNIS PETERNAKAN

SOAL :

1. Pada tahun 1960-an Indonesia menjadi kiblat beberapa negara tetangga untuk belajar
agribisnis/pertanian. Namun mengapa saat ini, Indonesia menjadi tertinggal oleh pesatnya laju
berubahan dan perkembangan agribisnis negara-negara tersebut?

JAWABAN :

Pada tahun 1960-an, Indonesia menjadi kiblat beberapa Negara tetangga untuk belajar
agribisnis/pertanian. Namun, saat ini Indonesia menjadi tertinggal oleh pesatnya laju perubahan
dan perkembangan agribisnis Negara-negara tersebut. Beberapa penyebabnya yaitu :

(1) Semakin berkurangnya Lahan pertanian


Lahan pertanian merupakan komponen utama yang diperlukan dalam membangun
suatu usaha pertanian.Lahan pertanian yang dimiliki juga harus dalam skala yang luas.
Masalah luas kepemilikan lahan yang sempit menyulitkan para petani untuk menyangga
kehidupan keluarganya. Tipologi skala usaha petani di Indonesia masih kecil sebesar
70% dengan kepemilikan lahan dibawah setengah hektare. Inilah penyebab petani
Indonesia enggan keluar dari garis kemiskinan.
Pada kenyataannya, banyak petani yang merasa kesulitan untuk memperoleh
modal dengan cara kredit, terutama petani yang hanya memiliki lahan yang sempit
terpaksa menyewakan tanahnya dan mereka memilih menjadi buruh tani. Adanya
kekuasaan lahan yang dikuasai oleh orang-orang kaya membuat kehidupan petani
semakin terpuruk. Pendapatan per hari yang mereka peroleh ketika menanam padi akan
selalu berada dibawah upah buruh dan UMR. Ditambah lagi dengan adanya alih fungsi
lahan pertanian menjadi lahan non pertanian setiap tahunnya semakin meningkat, hal ini
diakibatkan pertambahan jumlah penduduk yang dibarengi dengan
bertumbuhkembangnya pembangunan. Kondisi seperti ini akan menjadi penghambat
usaha pencapaian ketahanan pangan nasional.
(2) Penanaman modal di sector pertanian dinilai kurang menguntungkan

Investor yang datang ke Indonesia tentunya ingin memberikan investasi mereka


pada usaha usaha yang menjanjikan kedepannya, dimana usaha tersebut dapat
memberikan untung yang berlipat ganda dan juga dalam waktu yang relative singkat.
Investor harus memikirkan secara matang untuk berinvestasi ke dunia pertanian. Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, diantaranya :

 Sector pertanian di Indonesia sering kali mengalami fluktuasi produksi di setiap


periodenya, yang terkadang memproduksi hasil pertanian yang melimpah dan tak
jarang juga beberapa komuditas hasil pertanian hampir tidak diproduksi akibat
gagalpanen.
Sebagian besar petani di Indonesia kurang akan pengetahuan tentang dunia
pertanian, dari awal pembibitan, pengolahan hingga program pasca panen. Tidak
jarang ditemukan petani yang lebih memilih untuk pasrah terhadap komuditas
pertaniannya yang terserang hama, mereka tidak tahu langkah apa yang
seharusnya bisa diambil untuk pembasmian hama. Petani juga jarang untuk
memilah mana bibit unggul dan mana bibit yang standar, sehingga hasil produksi
tidak masksimal.

 Rendahnya harga produk pertanian di pasaran. Untuk menjual hasil pertaniannya


di masa panen raya, petani cenderung lebih memilih untuk menjualnya ke
pengepul. Dalam banyak kasus, karena tidak dimilikinya modal untuk memulai
suatu kegiatan ekonomi, sehingga pada saat panen untuk memanen dan
menjualnya mereka tidak memiliki modal. Sehingga seringkali mereka
menjualnya dengan cara tebasan atau bila panen itu dapat dilakukan dengan
tenaganya sendiri, dijualnya hasil panen itu ditepi lahan garapan mereka. Mereka
menunggu datangnya para tengkulak atau para makelar (penjual jasa) yang akan
membeli hasil panen mereka, walaupun itu berarti harga jual yang rendah, yang
ditentukan oleh para tengkulak. Begitu juga harga pasar terhadap suatu hasil
produksi pertanian masih terbilang rendah. Jika harga produk pertanian dijual
dengan harga yang tinggi, maka masyarakat tentunya akan mencari alternative
pengganti untuk dikonsumsi, sehingga daya jual produk pertanian rendah. Tidak
hanya di bidang pangan, suatu kerajinan pertanian yang proses pembuatannya
relative sulit dan memerlukan waktu yang lama juga mendapat harga pasar yang
rendah. Sangat sulit bagi investor untuk menentukan harga produksi pertanian di
Indonesia sebagai Negara yang berkembang.
Sector pertanian dianggap lambat pertumbuhannya karena memerlukan proses
yang lama untuk menghasilkan suatu produksi pertanian
(3) Perdagangan bebas

Disamping perdagangan bebas ekonomi asean (MEA), Indonesia juga sudah


menjadi salah satu Negara yang berkontribusi dalam organisasi dunia yang bernama
World Trade Organization (WTO).WTO memungkinkan Negara Negara yang termasuk
ke dalamnya ikut dalam dunia perdagangan bebas. Indonesia tentunya akan bersaing
dengan negara- negara maju di eropa maupun di dunia untuk memasarkan hasil
produksinya.

Dengan adanya pasar bebas ini, akan memberi dampak lebih buruk terhadap
sector pertanian di Indonesia, hal ini dikarenakan Indonesia masih belum memilki sumber
daya manusia yang kurang memadai, pengetahuan masyarakat Indonesia rata rata masih
terbilang rendah dengan masyarakat di Negara Negara maju. Tentunya dalam
menghasilkan suatu produk pertanian, Indonesia akan kalah saing dalam perdagangan
dengan negara- negara maju yang telah didukung dengan peralatan yang modern dalam
pertanian, dan juga pengetahuan masyarakatnyayang tinggi akan dunia pertanian.
Indonesia akan sangat sulit memasuki pasar dunia di eropa maupun asia, bahkan lebih
buruknya lagi, pertanian di Indonesia senidir akan lebih tidak dihargai dibandingkan
dengan produk pertanian luar.

(4) Pertanian tidak menjadi Leading sector alias sasaran utama pembangunan.

Ada beberapa kebijakan pemerintah di bidang pertanian yang kurang berpihak


pada petani, seperti kebijakan alih fungsi lahan (lahan produktif menjadi lahan industry),
kebijakan impor disaat produksi di dalam negeri sedang naik (baik oleh BULOG maupun
swasta), tidak adanya kebijakan subsidi seperti yang Negara lain lakukan, ataupun
kebijakan lain yang tujuan akhirnya sama yakni melindungi segenap para petani
Indonesia.

(5) Ada beberapa fase perkembangan agribisnis di Indonesia, yaitu :

a. Fase Konsolidasi (1967-1978)


Pada fase ini sektor pertanian tumbuh sebesar 3,39%, lebih banyak disebabkan
kinerja sub-sektor tanaman pangan dan perkebunan yang tumbuh 3,58% dan 4,53%. Tiga
kebijakan yang penting pada fase ini adalah intensifikasi atau penggunaan teknologi,
ekstensifikasi atau perluasan area yang mengonversi hutan tidak produktif, diversifikasi
atau penganekaragaman usaha agribisnis untuk menambah pendapatan rumah tangga
petani.
b. Fase Tumbuh Tinggi (1978-1986)
Pada periode ini perkembangan agribisnis sektor pertanian tumbuh lebih dari
5,7%. Peningkatan produksi pangan, perkebunan, perikanan, peternakan hampir
mencapai angka produksi 6,8% dan puncaknya mencapai swasembada pangan.
c. Fase Dekonstruksi (1986-1997)
Pada fase ini sektor pertanian mengalami kontraksi pertumbuhan di bawah 3,4%
per tahun, berbeda dengan tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena mengalami
pengacuhan oleh perumusan kebijakan akibat anggapan keberhasilan swasembada
pangan telah menimbulkan persepsi pengembangan agribisnis yang akan bergulir dengan
sendirinya.
d. Fase Krisis (1997-2001)
Meskipun sektor pertanian menjadi penyelamat ekonomi Indonesia karena
lonjakan nilai tukar dolar yang dinikmati komoditas ekspor sektor pertanian terutama
perkebunan dan perikanan, namun daya tahan sektor pertanian tidak cukup kuat karena
harus menanggung dampak krisis untuk menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal
dan perkotaan.
e. Fase Desentralisasi (2001-sekarang)
Transisi politik dan periode desentralisasi ekonomi menimbulkan banyaknya
perda dan terlalu banyaknya penyimpangan administratif atau korupsi yang terjadi di
daerah dan banyaknya biaya tambahan dalam melakukan birokrasi pemerintahan (survey
LPEM-FEUI).

Anda mungkin juga menyukai