Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah ditemukannya kembali hukum pemisahan Mendel dan hukum
pilihan bebas Mendel dari berbagai kegiatan penelitian pada tahun 1900,
berbagai penelitian banyak dilakukan di berbagai negara. Melaui kegiatan
penelitian itu, terungkap bahwa hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan
bebas Mendel juga berlaku pada lingkup seluruh makhluk hidup diploid yang
berkembang biak secara seksual termasuk manusia (Corebima, 2013). Melalui
berbagai penelitian lain yang masih mengkaji sifat Mendelian , para peneliti
menemukan beberapa penyimpangan dari hukum Mendel tersebut.
Dari beberapa penyimpangan, pada tahun 1910 T.H. Morgan dan C.B.
Bridges menemukan adanya pautan kelamin disaat mempelajari penyimpangan
dari hasil yang diharapkan melalui persilangan strain-strain Drosophila
melanogaster (Corebima, 2013). T.H. Morgan memiliki strain Drosophila
melanogaster bermata putih yang ternyata strain tersebut sudah tergolong galur
murni. Namun, ketika strain bermata putih disilangkan dengan strain bermata
merah dan ternyata turunan yang muncul tidak sesuai dengan yang seharusnya
berdasarkan kebakaan Mendel. Apabila strain betina bermata merah
disilangkan dengan jantan bermata putih, maka F1 yang muncul bermata merah
seluruhnya, jika faktor mata merah bersifat dominan terhadap faktor mata
putih. Selanjutnya, jika F1 disilangkan satu sama lain, maka ¾ bagian F2
bermata merah dan ¼ bagiannya bermata putih, hal ini terjadi apabila faktor
mata merah bersifat dominan terhadap faktor mata putih. Akan tetapi setelah
diperiksa lebih teliti, ternyata seluruh F2 betina bermata merah sedangkan
separuh jantan bermata merah dan separuhnya lagi bermata putih. Hal inilah
yang tidak sesuai dengan prinsip kebakaan Mendel.
Dari persilangan tersebut, ternyata terdapat penyimpangan pada keturunan
yang berikutnya dan pada persilangan resiproknya. T.H. Morgan menjelaskan
penyimpangan tersebut sebagai fenomena gagal berpisah (nondisjunction).
Peristiwa gagal berpisah ini terjadi pada kromosom X, dimana kromosom X
gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju kutub yang sama

1
dan membentuk telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang
tidak memiliki kromosom kelamin X (Corebima, 2013).
Peristiwa gagal berpisah dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan
sekunder. Gagal berpisah sekunder ditemukan oleh Lilian V. Morgan (istri dari
T.H. Morgan) pada tahun 1922. Disebut sebagai gagal berpisah sekunder
karena kejadiannya yang berlangsung pada individu betina yang merupakan
hasil persilangan yang mengalami peristiwa gagal berpisah primer. Corebima
(2013) menyebutkan, peistiwa gagal berpisah diketahui juga terjadi pada
makhluk hidup lain (selain Drosophila) termasuk manusia. Pada manusia,
peristiwa gagal berpisah pada kromosom 21 menghasilkan turunan yang
memiliki kromosom 21 sebanyak 3 buah. Individu semacam itu dikenal sebagai
pengidap kelainan Down Syndrome.
Alasan Drosophila melanogaster dipilih sebagai objek penelitian dalam
genetika karena dianggap sebagai objek yang murah, mudah ditemukan,
ukurannya yang tidak memakan banyak tempat, serta mudah untuk diamtai.
Seperti yang disebutkan Johnston (2002) bahwa Morgan memilih Drosophila
karena murah dan mudah untuk diteliti di laboratorium serta hanya memiliki
waktu 10 hari untuk regenerasi dan menghasilkan banyak turunan sehingga
mudah untuk melakukan pengamatan. Selain itu, ada beberapa manfaat lain
yang bisa diperoleh selain yang telah disebutkan diatas yaitu tidak ada
rekombinasi meiotik pada jantan, hanya ada 4 kromosom sehingga bisa
divisualisasi secara langsung pada kromosom polytene raksasa di saliva larva.
Lebih jauh lagi, eksoskeleton menyediakan banyak fitur, sperti sayap, ciri
mata, warna tubuh untuk melihat fenotip mutan hanya dengan menggunakan
mikroskop stereo.
Pada D. melanogaster, peristiwa pengaruh umur induk juga telah diteliti,
seperti yang dinyatakan oleh Stern (1926); Schultz and Redfield (1951) dan
Tokunaga (1970) dalam Rose dan Baillie (1979) bahwa “In Drosophila,
maternalage has been shown to affect recombination frequency and
nondisjunction”. Pada D. Melanogaster semakin tua umur akan menambah
frekuensi nondisjunction.

2
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang
“Pengaruh Usia Betina Terhadap Frekuensi Fenomena Gagal Berpisah
(Nondisjunction) pada Persilangan Drosophila Melanogaster Strain ♂N >< ♀wa”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang
muncul adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apakah terdapat pengaruh faktor umur betina terhadap fenomena gagal
berpisah (nondisjunction) yang terjadi pada persilangan Drosophilla
Melanogaster strain ♂N >< ♀wa?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian kami adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui pengaruh faktor umur betina terhadap fenomena
gagal berpisah (nondisjunction) yang terjadi pada persilangan
Drosophilla Melanogaster strain ♂N >< ♀wa.

1.4 Manfaat penelitian


Dengan penelitian yang kami lakukan ini,diharapkan akan memberi
manfaat antara lain sebagai berikut:
1.3.2 Bagi Peneliti
1.3.2.1 Dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis
1.3.2.2 Dapat memberikan informasi dan bukti serta pemahaman konsep
tentang fenomena gagal berpisah (nondisjunction) yang
dipengaruhi usia betina terutama pada persilangan Drosophilla
Melanogaster strain N♂ >< ♀wa.
1.3.3 Bagi Pembaca
1.3.3.1 Sebagai tambahan informasi dan pengetahuan di bidang ilmu
genetika
1.3.3.2 Memberikan tambahan referensi tentang peristiwa gagal perpisah
yang dipengaruhi oleh usia betina terutama pada persilangan
Drosophilla Melanogaster strain N♂ >< ♀wa.

3
1.3.4 Bagi Masyarakat
Menambahkan wawasan bagi masyarakat tentang kajian ilmu
genetika tentang peristiwa gagal perpisah yang dipengaruhi oleh usia
betina terutama pada persilangan Drosophilla melanogaster strain N♂
>< ♀wa.

1.5 Asumsi Penelitian


Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.5.1 Faktor internal selain usia betina seperti kemampuan kawin dan gen
mutan pada Drosophila melanogaster yang digunakan dalam penelitian
saat persilangan dianggap sama.
1.5.2 Faktor eksternal atau kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan
cahaya dianggap sama selama penelitian.
1.5.3 Medium sebagai sumber nutrisi dan tempat perkembangbiakan
Drosophila melanogaster dianggap sama selama penelitian

1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


Batasan masalah pada penelitian yang kami lakukan antara lains ebagai berikut:
1.6.1 Penelitan menggunakan Drosophila melanogaster strain N dan wa
yang didapatkan dari laboratorium genetika Universitas Negeri Malang.
1.6.2 Penelitian ini dibatasi pada persilangan Drosophila melanogaster strain
N♂ >< ♀wa.
1.6.3 Data yang diambil pada jumlah fenotipnya sampai F1 pada setiap
persilangan.
1.6.4 Ciri fenotip yang diamati meliputi warna mata, warna tubuh, dan
kondisi sayap serta jenis kelamin.
1.6.5 Pengambilan data dimulai dari hari menetesnya pupa yang dihitung
selama 7 hari berturut-turut.
1.6.6 Indikator terjadinya gagal berpisah dilihat dari munculnya anakan yang
menyimpang dari indukan.
1.6.7 Usia betina yang digunakan dalam persilangan yaitu usia 0 hari, 6 hari,
12 hari, dan 18 hari.

4
1.6.8 Setiap perlakuan dilakukan sebanyak 6 kali ulangan.
1.6.9 Pengamatan dilakukan pada botol A sampai pemindahan ke botol C.

1.7 Definisi Operasional/ Istilah


Istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.7.1 Strain adalah kelompok intraspesifik yang hanya memiliki satu atau
sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya dalam keadaan homozigot
untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni (Corebima, 2013). Pada
penelitian ini digunakan strain Normal dan white.
1.7.2 Fenotip adalah karakter-karakter yang dapat diamati pada suatu
individu yang merupakan hasil interaksi antara genotip
dan lingkungan tempat hidup dan berkembang (Corebima,
2013). Fenotip strain Normal yaitu faset mata berwarna merah, ukuran
tubuh normal, sayap panjang dan lurus, dan warna tubuh coklat
kekuningan. Sedangkan strain white faset mata berwarna putih, ukuran
tubuh normal, sayap panjang dan lurus,dan warna tubuh coklat
kekuningan.
1.7.3 Genotip adalah keseluruhan jumlah informasi genetik dari suatu
maskhluk hidup dalam hubungannya dengan satu atau beberapa lokus
gen yang sedang menjadi perhatian (Ayala dalam Corebima, 2013).
1.7.4 Generasi F1 adalah karakter-karakter yang dapat diamati pada suatu
individu yang merupakan hasil interaksi antara genotip dan lingkungan
tempat hidup dan berkembang (Corebima,2013).
1.7.5 Persilangan Resiprok adalah persilangan antara dua induk, dimana
kedua induk berperan sebagai pejantan dalam satu persilangan, dan
sebagai betina dalam persilangan yang lain. Seleksi berulang resiprokal
memperbaiki kemampuan berkombinasi spesifik maupun umum
(Welsh, 1991).
1.7.6 Gagal berpisah adalah suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari
sepasang kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri
sebagaimana mestinya pada meiosis I, atau dimana kromatid saudara
gagal berpisah selama meosis II. Pada kasus ini, satu gamet menerima

5
dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet lainnya tidak mendapat
salinan sama sekali (Campbell dkk. 2002).
1.7.7 Frekuensi gagal berpisah adalah banyaknya individu dari Drosophila
melanogaster yang muncul pada F1 yang mengalami penyimpangan
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan individu yang dihasilkan.
1.7.8 Pada proses pembelahan mitosis, DNA dipaketkan dalam bentuk
kromosom dan melewati tahapan tertentu (Raven & Johnson 2001).
1.7.9 Meiosis adalah pembelahan yang terjadi pada se lgonosom. Meiosis
berlangsung dalam dua tingkatan, yaitu meiosis I dan meiosis II (Suryo,
2010).

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Drosophila melanogaster
Menurut O’Grady dan Markow (2009) sistem taksonomi dari Drosophila
melanogaster sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Mandibulata
Kelas : Insecta
Sub Kelas : Pterygota
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Cyclorrapha
Induk suku : Ephydroidea
Famili : Drosophillidae
Marga : Drosophila
Genus : Saphohora
Spesies : Drosophila melanogaster

2.2 Drosophila melanogaster


Drosophila melanogaster merupakan salah satu jenis lalat buah yang
sering digunakan dalam penelitian genetika sejah ditemukannya sebuah pautan
kromosom oleh T. H. Morgan (1866-1945). Alasan menggunakan Drosopila
melanogaster sebagai media penelitiannya adalah karena insekta jenis ini yang
dianggap mudah untuk dikembang biakkan, memiliki siklus hidup yang
pendek, dan menghasilkan banyak keturunan banyak keturuna karena individu
betina yang mampu menghasilakn ratusan telur (Robinson, 2003).
Perkembang biakan Drosophila melanogaster yaitu dengan cara bertelur
melalui tahapan metamorfosis sempurna karena dalam perkembangannya
Drosophila melanogaster melalui tahap telur→larva→pupa →lalat dewasa.
Baker dan Woodard (2007) menyebutkan bahwa perkawinan pada lalat buah
terjadi sekitar 6-8 jam setelah lalat betina dewasa keluar dari pupa. Lalat betina
menerima ±4000 sperma dari lalat jantan. Masing-masing lalat betina yang

7
telah dibuahi akan mampu melepaskan ratusan telurnya pada permukaan
medium. Telur yang telah matang akan berkembang menjadi larva dalam
waktu 24 jam, larva yang terbenam di permukaan medium akan memakan sel
yeast. Selanjutnya, selama 4-5 hari lava akan berjalan pada permukaan yang
lebih keras misalnya permukaan medium ataupun dinding botol dan
selanjutnya akan masuk ke tahap prepupa. Dari tahap prepupa ke pupa,
Drosophila melanogaster membutuhkan waktu sekitar 12 jam. Kemudian 4-5
hari pupa akan berkembang menjadi lalat dewasa. Jika dihitung secara
kesesluruhan, daur hidup Drosophila melanogaster berlangsung selama 10-14
hari.

Gambar 2.1 Life cycle of Drosophila melanogaster


(Brody, 2012)
Pada penelitian ini, Drosophila melanogaster yang digunakan adalah
strain N, dan wa. Berikut pemaparan terkait dengan ciri morfologis dari strain-
strain Drosophila melanogaster tersebut.
a. Drosophila melanogaster strain N
Drosophila melanogaster strain N merupakan D. melanogaster
dengan tipe normal atau wild-type. D. melanogaster stain N dikatakan
sebagai strain normal karena tidak mengalami mutase pada salah satu atau
beberapa lokus kromosomnya (Corebima, 2013). D. melanogaster strain ini
mempunyai ciri morfologis tubuh yang berwarna kuning kecoklatan, mata
berwarna merah, dan sayap yang lururs menutupi tubuhnya.

8
Gambar 2.2 Drosophila melanogaster strain N (atas) betina, (bawah) jantan
b. Drosophila melanogaster strain wa
Drosophila melanogaster strain wa ini memiliki mata yang berwarna
jingga muda, terjadi karena adanya mutasi yang pada gen yang berperan
dalam pembentukan pteridin, maka warna mata yang teramati akan
tergantung kepada kombinasi jenis pteridin yang ada (terjadi mutasi white
apricot atau white). Pada strain white apricot (wa) mengalami kekurangan
atau kehilangan drosopterin dan acetyldihydrohomopterin dan mempunyai
tingkat sepiapterin dan dihydrobiopterin yang rendah serta biopterin yang
normal atau juga berkurang.

Gambar 2.3 Drosophila melanogaster strain wa

2.3 Penentuan Kelamin pada Drosophila melanogaster secara Genotip


Pada Drosophila melanogaster terdapat kromosom kelamin X dan Y.
Dimana dalam keadaan diploid normal ditemukan pasangan kromosom
kelamin XX dan XY atau pasangan kromosom secara lengkapnya sebagai
AAXX dan AAXY (jumlah autosomnya sebanyak 3 pasang). Mekanisme
ekspresi kelamin pada Drosophila melanogaster dikenal sebagi mekanisme
perimbangan antara X dan A atau X/A (Corebima, 2013). Corebima (2013),
menyebutkan mekanisme tersebut sebagai suatu mekanisme keseimbangan
determinasi kelamin.

9
Baker dan Woodard (2007) menambahkan bahwa Drosophila memiliki
4 pasang kromosom. Drosophila betina mempunyai sepasang kromosom 1
(kromosom X), 2, 3, dan 4. Drosophila jantan mempunyai satu kromosom X,
satu kromosom Y, dan sepasang kromosom 2, 3, dan 4. Kromosom Y dan
kromosom 4 sangat kecil dan gen yang terkandung sedikit. Mayoritas gen
dimiliki kromosom X, 2, dan 3. Kromosom 2, 3, dan 4 disebut autosom. Pada
lalat buah atau D. melanogaster, jenis kelamin ditentukan oleh jumlah relativ
kromosom X dan autosom. Jika seekor lalat mempunyai 2 kromosom X dan
dua dari tiap autosom (X:autosom= 1:1) maka akan berkembang sebagai lalat
buah betina. Jika seekor lalat hanya memiliki satu kromosom X dan dua dari
masing-masing autosom (X: auotosom = 1:2) maka berkembang sebagai lalat
buah jantan. Tidak seperti mamalia, pada Drosophila melanogaster, kromosom
Y tidak menentukan sifat jantan.

Tabel 2.1 Indeks kelamin numerik pada D. melanogaster.

Jumlah Jumlah A
kromosom (autosom) pada Rasio X/A Fenotipe Kelamin
X tiap pasang A
3 2 1.5 Betina super (metafemale)
4 3 1.33 Betina super (metafemale)
4 4 1 Betina normal tetraploid
3 3 1 Betina normal triploid
2 2 1 Betina normal diploid
1 1 1 Betina normal haploid
3 4 0.75 Intersex
2 3 0.67 Intersex
2 4 0.5 Jantan tetraploid
1 2 0.5 Jantan normal
1 3 0.33 Jantan super (metamale)
Sumber: Corebima (2013:19)

10
2.4 Fenomena Gagal Berpisah (Nondisjunction)
Gagal berpisah (Nondisjunction) merupakan peristiwa dimana bagian dari
sepasang kromosom homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana
mestinya pada meiosis I, atau kromosom sesaudara (sister chromatid) gagal
berpisah selama meiosis II. Fenomena gagal berpisah ini tidak hanya pada
tahap meiosis saja, namun juga terjadi pada tahap mitosis dimana pada kedua
tahap tersebut terjadi pada fase anafase. Gagal berpisah ini terjadi pada
Drosophila melanogaster betina ataupun jantan strain mutan maupun normal.
Pada fenomena gagal berpisah ini, salah satu gamet menerima dua jenis
kromosom yang sama dan satu yang lainnya tidak mendapatkan salinan sama
sekali (Campbell dkk, 2002). Dalam hal ini, kedua kromosom kelamin X gagal
berpisah selama meiosis sehingga keduanya menuju kutub yang sama dan
terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang tidak
memiliki kromosom kelamin X sama sekali (Corebima, 2013).

Gambar 2.4 Persilangan pada D. melanogaster antara individu betina bermata putih
dengan jantan bermata merah, yang memperlihatkan peristiwa gagal berpisah pada
kromosom kelamin X.
Sumber: Corebima (2013:67)
Peristiwa gagal berpisah dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan
gagal berpisah sekunder. Gagal berpisah primer dapat terjadi pada induk lalat

11
yang belum mengalami gagal berpisah atau lalat normal, sedangkan gagal
berpisah sekunder terjadi pada individu hasil keturunan gagal berpisah primer.
Gagal berpisah sekunder ditemukan oleh Lilian V. Morgan (istri dari T.H.
Morgan) pada tahun 1922. Dinamakan peristiwa gagal berpisah sekunder
karena kejadiaannya yang berlangsung pada turunan dari individu betina
dimana keberadaannya merupakan produk gagal berpisah primer. Dalam hal
ini, individu betina yang dimaksud memiliki dua kromosom kelamin X dan
satu kromosom kelamin Y. Frekuensi kejadian gagal berpisah sekunder
(sebagaimana yang dilaporkan) adalah sekitar 100 kali lebih tinggi (1 dalam 25
turunan) daripada frekuensi gagal berpisah primer (1 dalam 2000 turunan)
(Corebima, 2013).

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Nondisjunction


Peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik faktor dari luar ataupun faktor dari dalam. Faktor luar
yang dapat menyebabkan peristiwa gagal berpisah pada Drosophila
melanogaster menurut Abidin (1997) adalah energi radiasi yang tinggi,
karbondioksida, zat kimia lain, dan suhu.
Selain faktor dari luar, ada pula faktor dari dalam yang berpengaruh
terhadap frekuensi gagal berpisah diantaranya adalah umur dan induk. Menurut
Abidin (1997), umur cenderung meningkatkan penyimpangan pada meiosis
yang disebut nondisjunction (gagal berpisah) pada tingkat kehidupan yang
rendah. Namun tidak dijelakan lebih lanjut apa yang dimaksud tingkat
kehidupan yang rendah. faktor dari dalam yang lain adalah adanya gen mutan
yang menyebabkan sentromer tidak berada dalam keadaan yang normal atau
abnormal (Herkowitz, 1997). Herkowitz (1997) menyebutkan bahwa dalam
keadaan normal, dua sentromer sesaudara saling menutup. Satu sentromer akan
berorientasi ke salah satu kutub dan sentromer yang lain berorientasi menuju
kutub yang berlawanan. Dengan adanya gen mutan, dalam hal ini gen mei-
s332, yaitu gen semini dominan pada kromosom II Drosophila melanogaster,
maka metafase II dua sentromer sesaudara akan terletak memisah sehingga

12
kedua sentromer tersebut akan berorientasi ke kutub yang sama. Akibatnya
pada anafase II terjadi peristiwa gagal berpisah atau nondisjunction.

2.6 Usia
Berkaitan dengan usia betina D. melanogaster, Novitasari (1997)
menyebutkan bahwa umur cenderung meningkatkan kejadian penyimpangan
meiosis yang disebut non-disjunction pada bentuk kehidupan yang rendah.
Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud kehidupan rendah.
Gagal berpisah juga disebabkan oleh suatu sindrom yang disebut hybrid
dysgenesis. Sindrom ini ditemukan oleh Hiraizumi, Picard dan L Heritier pada
tahun 1971. Hybrid disgenesis didefinisikan sebagai “ suatu sindrom” yang
berhubungan dengan sifat-sifat yang muncul secara spontan, karena hibrid-
hibrid di antara strain-strain yang disilangkan. Sebagai suatu sindrom pada D.
melanogaster, hybrid disgenesis menyebabkan penyimpangan sifat-sifat yang
berhubungan dengan kejadian mutasi, sterilitas, transmisi rasiodistorsi, aberasi
kromosom, dan penambahan lokal pada rekombinasi betina, serta
nondisjunction (Novitasari, 1977).

13
2.7 Kerangka Konseptual
Peristiwa gagal berpisah ini terjadi pada kromosom X, dimana kromosom
X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju kutub yang
sama dan membentuk telur yang memiliki dua kromosom kelamin X
maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X

Faktor Internal Faktor Eksternal

Usia betina
0, 6, 12, dan 18 hari

Persilangan Drosophila melanogaster ♂N >< ♀wa,


dimana strain wa terpaut kromosom kelamin

Frekuensi NDJ
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah:
Faktor usia betina berpengaruh terhadap fenomena gagal berpisah
(nondisjunction) yang terjadi pada persilangan D. melanogaster strain ♂N ><
♀wa.

14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, karena adanya
perlakuan berupa usia betina 0, 6, 12, dan 18 hari pada persilangan ♂N >< ♀wa
yang masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 6 kali ulangan,
pengamatan dilakukan secara langsung pada F1 hasil persilangan D.
melanogaster strain ♂N >< ♀wa. Pengambilan data dilakukan secara langsung
dengan menghitung dan mencatat semua fenotip yang muncul pada F1 yang
kemudian dilanjutkan dengan analisis statistik.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di ruang 304 laboratorium genetika gedung O5
jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang pada bulan September-
Desember 2019.

3.3 Sampel dan Populasi


Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah lalat buah
Drosophila melanogaster dan untuk sampel yang digunakan adalah
Drosophila melanogaster strain Normal (N) dan white apricot (wa).

3.4 Variabel Penelitian


a. Variabel bebas : usia betina
b. Variabel terikat : frekuensi gagal berpisah
c. Variabel kontrol : virginitas D. melanogaster yang disilangkan, nutrisi
(medium), asal individu yang disilangkan (diambil dari ampulan)

3.5 Instrumen Penelitian


3.5.1 Alat dan Bahan
a) Alat
 Panci digunakan untuk memasak medium
 Pengaduk digunakan untuk mengaduk medium saat dimasak

15
 Timbangan digunakan untuk menimbang bahan-bahan medium
 Baskom digunakan untuk tempat medium sebelum dimasak
 Botol selai digunakan untuk tempat medium dan lalat
 Selang plastik digunakan untuk mengampul
 Kain kasa digunakan untuk menyumbat selang plastik saat menyedot lalat
 Blender digunakan untuk untuk memblender bahan-bahan medium
 Kompor digunakan untuk memanaskan medium
 Pisau digunakan untuk memotong bahan medium
 Gunting digunakan untuk menggunting kertas label
 Spons busa digunakan untuk penutup botol selai
 Kuas digunakan untuk mengambil pupa hitam saat akan diampul
 Spidol permanent digunakan untuk menandai botol
 Kertas pupasi digunakan untuk tempat telur lalat
b) Bahan
 Drosophila melanogaster
 Pisang rajamala
 Tape singkong
 Gula merah
 Air
 Fermipan

3.5.2 Prosedur kerja


Pembuatan medium
1. Menimbang bahan berupa pisang, tape singkong dan gula merah dengan
perbandingan 7:2:1 untuk satu resep, yaitu 700 gram pisang rajamala,
200 gram tape singkong dan 100 gram gula merah.
2. Memotong pisang dan gula merah kecil-kecil serta memisahkan tape dari
bagian yang tidak diperlukan.
3. Menghaluskan pisang rajamala dan tape singkong
menggunakan blender dengan menambahkan air secukupnya.
4. Mengencerkan gula merah yang telah diiris di atas kompor dengan
menambakan air secukupnya tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental.

16
5. Setelah pisang dan tape singkong yang diblender halus,lalu memasukkan
adonan kedalam panci yang berisi gula merah yang telar diencerkan.
6. Memasak adonan tersebut selama 45 menit.
7. Mematikan kompor dan memasukkan adonan kedalam botol selai dalam
keadaan panas dan langsung ditutup dengan spons busa yang telah
dipotong sesuai ukuran tutup botol selai.
8. Memasukkan ± 3 butir fermipan ke dalam medium dan membersihkan
tepian botol selai yang terkena uap air, serta memberikan kertas pupasi
pada medium.
Peremajaan Stok
1. Menyiapkan beberapa botol selai yang berisi medium yang baru dibuat
dan telah diberi fermipan serta kertas pupasi
2. Memindahkan lalat dari masing-masing strain dari stok kebeberapa botol
selai yang berisi medium baru sebanyak 3 pasang perbotol
3. Memberi label pada botol selai yang meliputi tanggal peremajaan dan
nama strain
4. Mengamati perkembangannya,jika sudah terlihat pupa wana hitam pada
dinding botol selai maka akan dilakukan langkah selanjutnya yaitu
pengampulan. Pupa yang telah menetas siap untuk disilangkan.
Pengampulan Stok
1. Membagi selang plastik menjadi dua bagian menggunakan pisang
sebagai pembatas antara dua pupa yang dimasukkan keselang plastik
sekaligus nutrisi untuk Drosophila melanogaster yang baru menetas
2. Mengambil pupa dari masing-masing strain yang sudah menghitam
menggunakan kuas
3. Memasukkan pupa tersebut ke dalam selang
4. Menutup ujung selang dengan spons gabus
5. Memberi label pada masing-masing selang yang meliputi tanggal
pengampulan dan nama strain
6. Menyilangkan pupa yang telah menetas dari hasil ampulan. Umur lalat
setelah dalam ampulan maksimal 3 hari untuk disilangkan.

17
Persilangan
1. Menyiapkan medium baru yang telah diberi fermipan dan kertas pupasi.
2. Menyiapkan D. melanogaster dari masing-masing strain yang menetas
dari ampulan dan D. melanogaster betina dimasukkan kedalam botol
selai sebagai stok.
3. Memberikan nama strain dan tanggal menetas D. melanogaster betina.
4. D. melanogaster dari masing-masing strain yang menetas dimasukkan ke
dalam botol selai (botol A) sebagai perlakuan usia betina 0 hari dan
jantan yang baru menetas. Strain yang disilangkan adalah ♂N >< ♀wa.
5. Memberikan label pada masing-masing persilangan dan tanggal
persilangannya.
6. Melepaskan induk jantan dari persilangan setelah dua hari dari tanggal
persilangannya, dan ditunggu sampai terdapat larva.
7. Memindahkan induk betina ke botol selanjutnya (botol B) dan ditunggu
sampai terdapat larva.
8. Memindahkan induk betina ke botol selanjutnya (botol C) dan ditunggu
sampai terdapat larva, kemudian induk betika dilepaskan.
9. Menunggu hingga larva menetas, kemudian mengamati fenotip lalat dan
dihitung jumlah anakan F1 berdasarka fenotip dan jenis kelaminnya
selama tujuh hari berturut-turut
10. Prosedur yang sama dilakukan untuk perlakuan 6 hari, 12 hari, dan 18
hari dengan ulangan sebanyak 6 kali.
Perhitungan Anakan dan Pengamatan Fenotip
1. Mengambil F1 dari hasil persilangan masing-masing strain dan
memasukkan ke dalam kantong plastik.
2. Memasukkan anakan yang ada di kantong plastik ke dalam freezer agar
mudah dalam menghitung anakan serta mengamati fenotipnya
3. Memberi label pada kantong plastik
4. Menghitung anakan dan mengamati fenotip selama 7 hari berturut-turut
5. Mencatat hasil pengamatan dalam tabel

18
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menghitung jumlah keturunan F1 dari persilangan D. melanogaster strain ♂N
>< ♀wa pada tiap perlakuan usia betina (0, 6, 12, dan 18 hari), kemudian data
yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel pengamatan.
3.6.1 Perhitungan Ulangan
Rumus perhitungan ulangan adalah sebagai berikut:
t(r-1)
(t-1) (r-1) ≥ 15
(4-1) (r-1) ≥ 15
3 (r-1) ≥ 15
3r-3 ≥ 15
3r ≥ 15+3
3r ≥ 18
18
r≥ 3

r≥6

3.6.2 Persilangan strain ♂N >< ♀wa


3.6.2.1 Tabel hasil pengamatan usia betina … hari
Ulangan
Persilangan Fenotip Sex ∑
1 2 3 4 5 6

N

♂N >< ♀wa

wa

3.7 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan adalah rekonstruksi kromosom
kelamin yang mengalami nondisjunction, sedangkan presentasi nondisjunction
dihitung menggunakan rumus :
∑ 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
Frekuensi nondisjunction (NDJ): ∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 x 100 %

19
Kemudian dilakukan analisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan analisis statistika menggunakan anava tunggal

20
BAB IV
DATA DAN ANALISIS

4.1 Data Hasil Pengamatan Fenotip


Strain Drosophila melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini ada
2 strain yaitu N dan wa.
Tabel 4.1.1 Hasil Pengamatan Fenotip

Gambar Strain Keterangan


Strain N Perbesaran 40 × 10
 Mata berwarna merah
 Tubuh kuning kecoklatan
 Bentuk sayapnya sempurna
menutupi seluruh tubuhnya
 Drosophila melanogaster
jantan ujung abdomennya
berwarna hitam
 Drosophila melanogaster
betina ujung abdomennya
terang tidak berwarna hitam
gelap

Sumber : (Dokumen pribadi, 2019)


Strain wa Perbesaran 40 × 10
 Mata berwarna jingga muda
 Tubuh berwarna kuning
kecoklatan
 Bentuk sayap sempurna
menutupi seluruh tubuh
 Drosophila melanogaster
jantan ujung abdomennya
berwarna hitam
 Drosophila melanogaster
betina ujung abdomennya
terang tidak berwarna hitam
gelap

Sumber : (Dokumen pribadi, 2019)

21
4.2 Data Pengamatn F1
Tabel 4.2.1 Data Pengamatan F1
Ulangan ∑
Usia Fenotip Sex ∑
1 2 3 4 5 6 Rekombinan

N
0 ♀
hari ♂
wa


N
6 ♀
hari ♂
wa


N
12 ♀
hari ♂
wa


N
18 ♀
hari ♂
wa

4.3 Analisis Data


4.3.1 Rekontruksi persilangan strain ♂N >< ♀wa.
 Rekonstruksi Normal
P1 : ♂N >< ♀wa
𝑤𝑎+ 𝑤𝑎
: >< 𝑤𝑎
¬

Gamet : wa+, ¬ ; wa
♀ 𝑤𝑎+
wa Genotip : = ♀N
♂ 𝑤𝑎

wa+ 𝑤𝑎+ 𝑤𝑎
= ♂ wa
¬
𝑤𝑎
¬ 𝑤𝑎
¬

22
 Rekonstruksi nondisjunction pada Jantan
P1 : ♂N >< ♀wa
𝑤𝑎+ 𝑤𝑎
: >< 𝑤𝑎
¬
𝑤𝑎+
Gamet : wa+, ¬, , 0 ; wa
¬

♀ 𝑤𝑎+
wa Genotip : = ♀N
♂ 𝑤𝑎

𝑤𝑎+ 𝑤𝑎
wa+ = ♂ wa
¬
𝑤𝑎
𝑤𝑎 𝑤𝑎+ 𝑤𝑎
¬ = ♀N steril
¬ ¬

𝑤𝑎+ 𝑤𝑎+ 𝑤𝑎 𝑤𝑎
= ♂ wa steril
¬ 0
¬
𝑤𝑎
0
0

 Rekonstruksi nondisjunction pada Betina


P1 : ♂N >< ♀wa
𝑤𝑎+ 𝑤𝑎
: ><
¬ 𝑤𝑎
𝑤𝑎
Gamet : wa+, ¬ ; wa, 𝑤𝑎, 0

♀ 𝑤𝑎 𝑤𝑎+
wa 0 Genotip : = ♀N
♂ 𝑤𝑎 𝑤𝑎

𝑤𝑎+ 𝑤𝑎+ 𝑤𝑎 𝑤𝑎+ 𝑤𝑎


wa+ = ♂ wa
¬
𝑤𝑎 𝑤𝑎 0
𝑤𝑎 𝑤𝑎 𝑤𝑎 0 𝑤𝑎+ 𝑤𝑎
¬ = ♀N super
¬ ¬ ¬ 𝑤𝑎
𝑤𝑎 𝑤𝑎
= ♀ wa steril
¬
𝑤𝑎+
= ♂N steril
0
0
= Lethal
¬

23
4.3.2 Frekuensi Turunan Tipe Rekombinan
∑ rekombinan
Frekuensi turunan tipe rekombinan = ∑ parental+ ∑ rekombinan x 100 %
Usia 0 hari
Ulangan 1 :
Ulangan 2 :
Ulangan 3 :
Ulangan 4 :
Ulangan 5 :
Ulangan 6 :

Usia 6 hari
Ulangan 1 :
Ulangan 2 :
Ulangan 3 :
Ulangan 4 :
Ulangan 5 :
Ulangan 6 :

Usia 12 hari
Ulangan 1 :
Ulangan 2 :
Ulangan 3 :
Ulangan 4 :
Ulangan 5 :
Ulangan 6 :

Usia 18 hari
Ulangan 1 :
Ulangan 2 :
Ulangan 3 :
Ulangan 4 :
Ulangan 5 :
Ulangan 6 :

24
Tabel 4.3.1 Perhitungan Frekuensi Rekombinan
Perlakuan Ulangan Frekuensi Rekombinan
Usia 0 hari U1
U2
U3
U4
U5
U6
Usia 6 hari U1
U2
U3
U4
U5
U6
Usia 12 hari U1
U2
U3
U4
U5
U6
Usia 18 hari U1
U2
U3
U4
U5
U6

4.3.3 Uji Statistik


Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Varian Tunggal
(Anava Tunggal) RAK karena dalam penelitian ini hanya menggunakan satu
variable bebas yaitu usia betina. Berikut merupakan hasil analisis data
menggunakan SPSS 20.
Tabel 4.3.2 Anava Tunggal RAK
ANOVA
FrekuensiCO
Sum of df Mean F Sig.
Squares Square
Between Groups
Within Groups
Total

25
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya pengaruh umur betina
terhadap frekuensi nondisjunction D. melanogaster. Variasi umur yang digunakan
adalah 0, 6, 12, dan 18 hari. Menurut Ashburner (1989) dalam kondisi normal D.
melanogaster dapat melalui seluruh siklus hidupnya selama 30-32 hari, dan waktu
yang diperlukan untuk menjadi imago adalah ± 10 hari sejak telur dikeluarkan.
Sehingga, lama hidup imago dapat diketahui yaitu sekitar 20-22 hari. Lama hidup
imago tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga rentangan yaitu muda, dewasa,
dan tua. Umur D. melanogaster yaitu 1 sampai 6 hari digolongkan pada rentangan
umur muda, umur 7 sampai 14 hari digolongkan pada rentangan umur dewasa, dan
umur 15 sampai 20 digolongkan pada rentangan umur tua.
Pada penelitian ada beberapa kendala yang menghambat praktikum. Salah satu
yang menyebabkan terhambatnya praktikum ini adalah adanya wabah kutu yang
menyerang medium. Kemungkinan yang bisa dianalisa peneliti disini adalah wabah
kutu berasal dari kurang sterilnya peralatan yang digunakan misalnya botol, tutup
gabus bahkan pisau serta tempat penyimpanan medium. Belum ditemukan adanya
jurnal atau sumber yang bisa memberikan informasi mengenai kerja kutu tersebut
dalam menghambat perkembangan telur D.melanogaster
5.1 Pengaruh Umur Terhadap Frekuensi NDJ Nondisjuntion
Dalam penelitian ini peneliti belum berhasil mendapatkan data yang
dapat dianalisis secara statistik mengenai pengaruh umur betina terhadap
frekuensi nondisjunction Drosophila melanogaster. Terdapat 2 kemungkinan
yang akan terjadi, yaitu usia betina berpengaruh terhadap frekuensi gagal
berpisah dan usia betina tidak berpengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah.
Kemungkinan yang pertama, apabila usia betina berpengaruh terhadap
frekuensi gagal berpisah seperti yang dijelaskan Abidin (1997), bahwa umur
cenderung meningkatkan kejadian penyimpangan meiosis yang disebut
nondisjunction pada tingkat kehidupan yang rendah. Namun, tidak dijelaskan
lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bentuk kehidupan rendah. Menurut
Novitasari (1997) semakin tua umur induk D. melanogaster, maka
metabolismenya akan semakin menurun. Metabolisme menghasilkan energi

26
berupa ATP, ATP di sini berperan menyuplai energi untuk pembentukkan
mikrotubula, untuk pergerakan mikrotubula yang menggerakkan masing-
masing kromosom ke arah kutub yang berlawanan dan lain sebagainya.
Sebagai akibat dari kurangnya pasokan ATP akan mempengaruhi fungsi
mikrotubul yang memiliki peran penting dalam pembelahan sel. Mikrotubula
berfungsi untuk membentuk gelendong mikrotubula. Gelendong mikrotubula
berfungsi untuk menangkap kinetokor yang terbentuk pada kromosom dan
kromosom mulai bergerak ke tahap metafase. Kemudian alat pada gelendong
mikrotubula ini berfungsi untuk menggerakkan masing-masing kromosom ke
arah kutub yang saling berlawanan. Sehingga semakin tua umur D.
melanogaster maka semakin lambat pula fungsi sel tubuh dalam
bermetabolisme, tentunya akan mempelambat suplai ATP untuk pergerakan
tersebut. Sehingga kromosom tidak menuju kutub yang berlawanan dan
terjadilah nondisjunction.
Pada kondisi normal terdapat mekanisme yang menjaga pembentukan
benang spindel dan segregrasi spindel secara tepat. Pada sel yang mengalami
nondisjunction terdapat kesalahan dalam pemisahan benang spindel tersebut
(Robinson, 2003). Benang spindel seharusnya memisahkan kromosom, namun
ketika terjadi nondisjunction pasangan kromosom homolog gagal memisah
pada saat meiosis I atau pada meiosis II. Pada kondisi normal saat anafase 1
dan 2 terjadi pembongkaran protein yang melekatkan kromatid sister
sepanjang lengan kromatid dan penarikan oleh kinetokor sehingga kromosom
homolog dapat berpisah. Hal ini menyebabkan satu gamet menerima 2
kromosom sementara yang lain tidak memperoleh kromosom (Campbell,
2002).
Shorrocks (1972) mengemukakan bahwa D. melanogaster betina akan
mencapai kedewasaan seksual pada usia 8 jam setelah menetas. Di lain pihak
Muliati (2000) menyebutkan D. melanogaster mengalami kedewasaan seksual
(sebagian kecil) pada waktu berumur 24 jam, dan sebagian besar akan matang
pada umur 48 jam setelah menetas. Individu betina yang baru menetas biasanya
menolak kawin dengan individu jantan dan belum mencapai aktivitas
maksimum sampai berumur 48 jam.

27
Terdapat kemungkinan lain yang terjadi yaitu apabila umur tidak
berpengaruh pada frekuensi terjadinya peristiwa gagal berpisah. Hal ini dapat
terjadi karena ada banyak faktor yang dapat menyababkan terjadinya gagal
berpisah, yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang dapat
meningkatkan peristiwa gagal berpisah pada Drosophila menurut Novitasari
(1997) adalah energi radiasi tinggi, karbon dioksida dan zat kimia lain. Faktor
luar lain yang dapat mempengaruhi gagal berpisah adalah suhu. Faktor dari
dalam yang berpengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah adalah adanya gen
mutan yang menyebabkan sentromer tidak berada pada keadaan normal atau
abnormal. Salah satu gen mutan tersebut adalah gen mei-s332 dan Ord, kedua
gen ini berfungsi menjaga daya gerakan kohesi kromatid sister sampai anafase
dalam tahap meiosis (Baker, 1976). Selain itu juga dijelaskan bahwa mutasi
pada gen mei-s332 dan ord, pada Drosophila Melanogaster akan menyebabkan
terganggunya segregasi kromosom seks pada meiosis baik pada individu jantan
maupun betina sehingga mengakibatkan tingginya tingkat kejadian
nondisjunction (Baker, 1976).

28
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan dismpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat 2 kemungkinan yang akan terjadi, apabila umur berpengaruh
terhadap fenomena gagal berpisah . Hal ini disebabkan karena pada usia
tua Drosophila Melanogaster aktivitas metabolisme yang terjadi pada
tubuh Drosophila tersebut akan semakin menurun.
2. Kemungkinan yang kedua yaitu apabila umur tidak berpengaruh pada
frekuensi terjadinya peristiwa gagal berpisah. Hal ini dapat terjadi karena
ada banyak faktor yang dapat menyababkan terjadinya gagal berpisah,
yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang dapat meningkatkan
peristiwa gagal berpisah pada Drosophila.

6.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Dalam penelitian ini ketelitian, ketelatenan, dan kesabaran sangat
dibutuhkan
2. Lebih mengifisienkan waktu, agar pengamatan dapat dilakukan sampai
selesai.
3. Lebih memperbanyak studi literature agar mendapatkan informasi yang
lebih banyak dan akurat untuk penulisan laporan
4. Memperhatikan kebersihan dan sterilitas alat dan bahan untuk
meminimalisir tumbuhnya jamur dan banyaknya kutu sehingga dapat
mengganggu perkembangan D. melanogaster.
5. Diperlukan penelitian lebih lanjut karena data yang diperoleh belum
lengkap.

29
DAFTAR RUJUKAN

Abidin, Khoirul. 1997. Pengaruh Sodium Siklamat Terhadap Frekuensi


Nondisjunction Kromosom Kelamin X D. melanogaster. Skripsi tidak
diterbitkan, Malang: IKIP.
Ashburner, Michael. 1989. Drosophila, A Laboratory Handbook. USA: Coldspring
Harbor Laboratory Press.
Baker, Livdan Woodard, Craig T. 2007.Isolation and Characterization of
Mutations in Drosophila
melanogaster.(Online)(https://www.mtholyoke.edu/courses/cwoodard/biol
210/biol210labman.html) diakses pada 17 April 2019
Baker dan J. Hall.1976 .Meiotic mutants: genetic control of meiotic recombination
and chromosome segregation, pp. 351-434 in The Genetics and Biology of
Drosophila, Vol. lA, editedby M. ASHBURNEaRn d E. NOVITSKIA.
cademic Press: NewYork.
Brody, Thomas B. 2012.The interactive fly- A cyber space guide to Drosophila
development and metazoan revolution.
Borror J.D. Triplehorn. 1992. Pengenalan Pengajaran Serangga. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Campbell, Neil A. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Corebima, A.D. 2013. Genetika Kelamin. Surabaya:Airlangga University Press.
Corebima, A.D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya:Airlangga University Press.
Herkowitz,, H.S. 1977. Canada:Little, Brown and Company.
Muliati L. 2000. Pengaruh Strain dan Umur Jantan terhadap Jumlah Turunan
jantan dan Betina. Disertasi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Novitasari, Dewi. 1997. Perbedaan Frekuensi dan Kecenderungan Waktu
Munculnya Gagal Berpisah Sekunder Kromosom Kelamin X antara
D.melanogaster strain Yellow dan White Apricot. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: Universitas Negeri Malang.
O’Grady, Patrick M dan Markow, There A.2009. Phylogenetic taxonomy in
Drosophila. Berkeley.Department of Environmental Science. University of
California.

30
Raven, P. H. & G. B. Johnson. 2001. Biology. (6th ed). New York: McGraw-Hill
Science
Robinson. 2003. Metode Penelitian. Bandung: CV alfabeta
Robinson, R. 2003. Genetics Volume III. New York: MacMillan.
Suryo. 2010.Genetika manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Wijayanti, Antik Nur, Marheny Lukitasari. 2014. Pengaruh Umur Betina
Drosophilla Melanogaster Strain Tx terhadap Jumlah Anakan Dan Jenis
Kelamin F1 sebagai Bahan Panduan Praktikum Genetika. Madiun:
Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA IKIP PGRI Madiun.
Welsh, J.R., 1991. Dasar-Dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Alih Bahasa
J.P. Mogea. Jakarta: Erlangga.

31
LAMPIRAN

32

Anda mungkin juga menyukai