Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ida Alfiah

NIM/ Kelas : 190341564452/ A


Mata kuliah : Landasan Pendidikan dan Pembelajaran

FASE DAN ARAH PERKEMBANGAN


PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membangun peradaban bangsa melalui


membangun manusia seutuhnya. Pendidikan merupakan hak setiap orang untuk meningkatkan
harkat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penyelenggaraan pendidikan, banyak
faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari internal maupun eksternal sebuah sistem
pendidikan. Faktor-faktor di luar sistem pendidikan yang seimbang antara kepentingan pemerintah
dan rakyat (Sugiyono, 2017).
Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang dienyam oleh
rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau tidaknya pendidikan
suatu bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki sejarah perkembangan pendidikan dari
masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu berkembang. Sesuai dengan perkembangan
zaman, pendidikan juga selalu berkembang secara dinamis. Namun, tidak ada bangsa yang
berkembang secara dinamis tanpa adanya proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya.
Pada masa penjajahan, tanpa disadari oleh pihak penjajah sistem pendidikan yang diberikan dapat
menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pemuda-pemuda pribumi yang mendapatkan pendidikan
dari penjajah justru berbalik menyusun kekuatan untuk memerdekakan bangsanya. Dan setelah
merdeka, system pendidikan penjajah ada yang ditinggalkan dan ada yang masih dipertahankan
(Sugiyono, 2017).

Pendidikan pada masa kerajaan


Selama perjalanan sejarah bangsa Indonesia, aspek pendidikan merupakan satu hal yang
tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup bangsa Indonesia itu sendiri. Munculnya Sriwijaya
dan Majapahit sebagai kerajaan nusantara pada masanya dengan berbagai karya agung yang masih
dapat kita temukan hingga saat ini hingga merdekanya bangsa ini tidak lepas dari pengaruh
pendidikan pada masa itu. Pendidikan di Indonesia banyak mengalami perubahan dari waktu ke
waktu, dari yang semula hanya diperuntukkan untuk kalangan agamawan dan bangsawan, hingga
pendidikan yang merata untuk semua kalangan. Inilah perjalanan pendidikan di Indonesia dari
waktu ke waktu dan tokoh yang mewarnainya (Sugiyono, 2017).
Tujuan pendidikan pada masa itu adalah anak-anak dipersiapkan agar kelak dapat
memegang kekuasaan dalam masyarakat sebagai manusia yang mempunyai kecakapan istimewa.
Manusia yang dicita-citakan adalah manusia yang mempunyai semangat gotong-royong;
menghormati para empu; dan taat kepada adat. Kepala adat memegang peranan segala-galanya.
Seiring masuknya pengaruh Hindu-Budha dan Islam, maka terjadi perubahan besar dalam sistem
pendidikan yang berlaku saat itu. Pengaruh Hindu-Budha membawa perubahan dalam sistem
sosial kemasyarakatan, dari masyarakat kesukuan berubah menjadi sistem Kerajaan. Pendidikan
kemudian berubah tujuan untuk penyebaran agama dan penguatan kekuasaan raja. Posisi raja disini
ditempati oleh para kepala suku yang sudah sejak lama berkuasa (Sugiyono, 2017).
Masuknya pengaruh Islam juga merubah pola dan sistem pendidikan yang sudah lama
berjalan saat itu. Pendidikan masa Hindu-Budha yang sangat eksklusif dan ditujukan bagi kalangan
bangsawan untuk melegitimasi kekuasaan Raja, berubah haluan menjadi pendidikan untuk seluruh
masyarakat, namun masih sama mengikuti pola padepokan yang sudah berjalan sejak masa Hindu-
Budha yang kemudian berkembang menjadi sistem pesantren (Sugiyono, 2017).

Pendidikan pada masa penjajahan


Sejarah pendidikan zaman pemerintah kolonial Belanda dapat dibagi dalam tiga periode,
yaitu; (1) periode VOC pada abad ke-17 dan ke-18; (2) periode pemerintah Hindia-Belanda pada
abad ke-19; dan (3) periode Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20
a. Periode VOC abad ke-17 dan ke-18
Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum ”inlanders” (penduduk
tanah jajahan ditangani oleh Nederlands Zendelingen Genootschap atau NZG), Gereja Kristen dari
Belanda yang ikut dalam misi VOC. Maskapai inilah yang ikut membiayai kegiatan pendidikan,
dengan demikian bukan dari pemerintah Belanda. Motto mereka terkenal dengan 3 G (Gold,
Gospel, Glory). Selain itu kebanyakan kegiatan pendidikan termasuk pendirian sekolah-sekolah
baru yang dikembangkan oleh VOC pada awalnya melekat berbasis agama dan dilakukan di daerah
yang struktur politiknya lemah, misalnya di Ambon dan Banda. Didirikan sejak tahun 1607, baru
berikutnya juga didirikan sekolah di Batavia. Itu-pun hanya sekolah berbasis agama Kristen yang
pencapaiannya terbatas pada kemampuan memahami Bible, kitab suci agama agama Kristen, dan
oleh karena itu kalaupun ada pendidikan lanjutan hanya untuk mendidik guru dan pastor (Supriadi,
2003).
Perlu juga diketahui bahwa pada masa itu pendidikan tradisional sebenarnya sudah ada,
terutama pendidikan berbasis agama Islam yang tidak tersentuh oleh VOC. Materi pelajaran lebih
ditekankan pada kemampuan untuk menulis, berhitung, dan membaca dalam bahasa Melayu yang
menjadi bahasa perdagangan sehari-hari masa itu (Supriadi, 2003).
b. Periode pemerintah Hindia-Belanda pada abad ke-19
Dibubarkannya VOC di Indonesia mendorong berubahnya sistem pemerintahan dari
Indirect Rulle ke Direct Rulle (Sistem pemerintahan Tidak Langsung ke Sistem Pemerintahan
Langsung), membawa perubahan di mana kebijakan pendidikan menjadi tanggungjawab
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian pada masa pemerintahan Daendels pada 1808, ia
mengarahkan beberapa bupati-bupati di Jawa untuk mengorganisir sekolah-sekolah untuk anak-
anak yang berasal dari/pribumi dengan suatu kurikulum yang mencakup kultur Jawa dan agama
sehingga anak-anak itu akan tumbuh hingga menjadi anak Jawa yang baik. Ironisnya kebijakan
pemerintah kolonial Belanda saat itu untuk bidang pendidikan, hingga 3,5 dasawarsa pertama
pemerintah tidak menunjukkan kesediaannya untuk mengeluarkan banyak uang bagi pendidikan
masyarakat lokal. Sebaliknya, perhatian lebih banyak dicurahkan kepada pendidikan anak-anak
Belanda dan bangsa Eropa lainnya yang orang tuanya bekerja di Hindia Belanda khususnya ELS
atau Europeese Lagerschool (Supriadi dan Hoogenboom, 2003: 8). Meskipun pada ahun 1818
Belanda telah menetapkan undang-undang bahwa semua sekolah negeri HIndia-Belanda dapat
dimasuki oleh orang eropa dan pribumi, namun hanya ssdikit orang pribumi yang sekolah pada
sekolah negeri tersebut (Supardan, 2008).
c. Periode Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20
Pola pendidikan mulai berubah ketika memasuki awal abad ke-20, pada masa ini
pendidikan mulai memiliki tujuan lain. Pemerintah kolonial Belanda yang mulai mengembangkan
industrialisasi banyak membutuhkan tenaga kerja terdidik. Sejak saat itu dimulailah sistem
pendidikan yang ditujukan untuk mencetak tenaga kerja yang bisa digaji murah. Orientasi
pendidikan saat itu akhirnya hanya sekedar mendapatkan status pegawai pemerintah (ambtenaar).
Sampai dengan masa penjajahan Jepang, tujuan pendidikan tidak juga memprioritaskan pada
pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan pada masa ini berorientasi pada kebutuhan Jepang
untuk memenangkan perang dan membentuk persatuan Asia Timur Raya, sehingga pendidikan
yang diselenggarakan diprioritaskan pada pendidikan militer dan penekanan pada wajib militer
(Sugiyono, 2017).
Pada tahun 1899 muncul artikel Een Eereschuld (utang kehormatan) yang ditulis olrh C.Th
Van Denter sehingga muncul Politik Etis atau politik balas budi yang secara resmi dicanangkan
oleh Ratu Belanda pada tahun 1910. Pada zaman ini-pun pemerintah Hindia-Belanda bukan saja
untuk mencerdaskan bangsa Indonesia yang sesungguhnya, melainkan juga lebih ditekankan pada
upaya pemenuhan tenaga kerja yang murah tetapi terdidik khususnya untuk swasta Di samping itu
terdapat kontroversi antara pandangan populis dan elitis. Selain itu mereka berusaha keras untuk
memperbanyak jumlah pendirian sekolah-sekolah baru. Sedangkan kelompok elitis beranggapan
bahwa pengajaran bahasa Belanda merupakan bahasa pengantar dan wajib termasuk di sekolah-
sekolah guru. Namun demikian yang jelas dengan adanya kelonggaran pemerintah Belanda di
zaman Politi Etis tersebut telah memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan tumbuhnya
nasionalisme maupun patriotisme bangsa Indonesia (Supardan, 2008).
Hal positif yang terjadi pada periode ini adalah didirikannya Sekolah Raja (Hoffdenschool)
untuk menyiapkan pegawai negeri dibeberapa, di Tondano, Sulut, kemudian di Bandung,
Magelang, dan Probolinggo. Aspek positif lainnya adalah tingginya persyaratan untuk menjadi
guru seperti tampak dari lamanya pendidikan di sekolah guru (Supardan, 2008).

Pendidikan setelah kemerdekaan


Tahun 1945-1949 Indonesia masih diliputi perang sehingga pendidikan belum sepenuhnya
diperbaiki. Baru sejak tahun 1950-an pemerintah Indonesia mulai dapat membenahi
pendidikannya dalam keadaan yang lebih tentram. Namun demikian keterbatasan sumber daya
(dana, tenaga, dan sarana) membuat laju perkembangan pendidikan berjalan lamban. Antara
kapasitas pemerintah dan potensi masyarakat yang menggebu- gebu yang semestinya dapat
dimobilisasi untuk membangun pendidikan lebih baik, ternyata tidak seimbang. Salah satu
akibatnya adalah secara perlahan-lahan masyarakat mulai terbiasa dan dibiasakan dengan
pendidikan yang ”serba asal”. Asal berjalan, asal ada guru, asal ada sekolah, dan tanpa disertai
komitmen terhadap mutu. Hal ini terjadi bukan saja dalam pendidikan formal, melainkan juga
pendidikan informal (Supardan, 2008).
Pada zaman orde baru, pendidikan di Indonesia memperoleh biaya yang cukup karena
tingginya harga minyak bumi. Sekolah-sekolah dan universitas terbuka mulai didirikan. Tetapi
begitu terjadinya peristiwa “Lengser Keprabon” angka-angka yang prestisius tersebut serta julukan
mitos-mitos tenang Indonesia sebagai The Asian Economic Tigers menjadi sirna dengan
sendirinya. Terjadi krisis di Indonesia sehingga pendidikan juga terpengaruh. Tidak satupun citra,
yang selama puluhan tahun ditonjolkan dan sudah terlanjur dipercaya, mampu bertahan (Simbolon,
2000).
Pada era reformasi, semangat serba anti Orde Baru begitu menggelora pada awal reformasi.
Targetnya adalah sistem pemerintahan yang super-sentralistik diubah secara radikal menjadi
sistem yang super-desentralistik sebagaimana tertuang dalam UU No.2/1999 tentang
Pemerintahan Daerah serta perangkat PP, Kepres, dan Kepmen yang menyertainya. Selain
kurikulum, reformasi pendidikan meliputi hampir semua aspek dari sistem pendidikan nasional.
Misalnya PP No 25/2000 menetapkan bahwa sekitar 80% dari jenis-jenis urusan pendidikan yang
sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat dan propinsi menjadi diserahkan kepada pemerintah
kabupaten/kota dalam kerangka otonomi daerah yang secara resmi mulai berlaku sejak tahun 2001.
Bahkan tidak hanya itu, sekolah-pun diberdayakan melalui ”Manajemen Berbasis Sekolah”
(School-Based Management). Ironisnya, menguatnya gerakan reformasi dan otonomi daerah
tersebut juga semakin meningkatnya anak-anak putus sekolah. Secara nasional dari tahun 1997-
2000 saja untuk seluruh tingkatan, dari SD ke SLTP sampai SMA, rata-rata 5%. Pemerintah
memang mengupayakan sektor pendidikan ini tidak ingin terbengkalai, namun tiap tahunya rata-
rata 12% dalam masa krisis. Diadakan pula program nasional bernama JPS maupun BOS untuk
mereka yang tidak mampu (Supardan, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Simbolon, Parakitri, T. 2000. Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam 1000 Tahun
Nusantara, Jakarta: Penerbit Kompas.
Sugiyono, dkk. 2017. Peta Jalan Pendidikan Indonesia (Ebook). Tim UNY

Supardan, Dadang. 2008. Menyingkap Perkembangan Pendidikan Sejak Masa Kolonial Hingga
Sekarang: Perspektif Pendidikan Kritis. Generasi Kampus, 1(2): 96-107

Supriadi, Dedi, (Ed). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak
Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi, Jakarta: Depdikbud
PERTANYAAN
1. Bagaimakah pendidikan bangsa Indonesia pada zaman-zaman kerajaan di masa lalu?
2. Bagaimankah pendidikan bangsa Indonesia pada masa penjajahan Jepang?
3. Bagaimana pengaruh system pendidikan pada zaman klasik (kerajaan dan sebelum
Indonesia merdeka) terhadap pendidikan bangsa Indonesia saat ini?
Jawab
1. Pada masa kerajaan, pendidikan hanya diperuntukkkan bagi para bangsawan dan anggota-
anggota kerajaan. Tujuan pendidikan untuk penyebaran agama dan penguatan kekuasaan
raja. Posisi raja disini ditempati oleh para kepala suku yang sudah sejak lama berkuasa
Masuknya pengaruh Islam juga merubah pola dan sistem pendidikan yang sudah lama
berjalan saat itu. Pendidikan masa Hindu-Budha yang sangat eksklusif dan ditujukan bagi
kalangan bangsawan untuk melegitimasi kekuasaan Raja, berubah haluan menjadi
pendidikan untuk seluruh masyarakat, namun masih sama mengikuti pola padepokan yang
sudah berjalan sejak masa Hindu-Budha yang kemudian berkembang menjadi sistem
pesantren.
2. Pendidikan bangsa Indonesia pada zaman penjajahan Jepang tidak banyak berubah, masih
hamper sama dengan saat penjajahan Belanda meskipun pada zaman ini nama-nama
sekolah Belanda sudah banyak diubah menjadi nama-nama Indonesia serta penggunaan
bahasa di sekolah sudah menggunakan bahasa Indonesia, namun tujuan pendidikan tidak
juga memprioritaskan pada pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan pada masa ini
berorientasi pada kebutuhan Jepang untuk memenangkan perang dan membentuk
persatuan Asia Timur Raya, sehingga pendidikan yang diselenggarakan diprioritaskan
pada pendidikan militer dan penekanan pada wajib militer.
3. Pada zaman dahulu, pendidikan bangsa Indonesia memiliki tradisi pendidikan yang
dikelola oleh masyarakat atau komunitas yang dipengaruhi adat istadat, tradisi, budaya,
agama, dan kepercayaan masing-masing. Pada masa kerajaan Hindu Budha pendidikan
difokuskan untuk para bangsawan yang bertujuan agar anak-anak dapat menjadi pemimpin
meneruskan kekuasaan keluarganya, dengan mendirikan pedepokan-padepokan. Saat
islam masuk, system padepokan masih berlanjut namun dengan system yang baru, yang
disebut dengan pesantren. Saat penjajah mulai masuk di Indonesia, Belanda maupun
Jepang membawa konsep baru terhadap pendidikan masyarakat pribumi, sudah mulai ada
tingkatan pendidikan dalam sekolah, selain itu tidak hanya ilmu agama yang diajarkan.
Selain tingkat dan jenis pendidikan diadopsi baik secara kultural dan akibat dari
penjajahan, muncul juga departemen agama yang secara khusus menaungi pendidikan
agama. Sehingga Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dengan kuatnya lembaga
pendidikan keagamaan yakni dengan adanya system pendidikan umum yang dipayungi
oleh Departemen pendidikan Nasional dan system pendidikan keagamaan yang di payungi
oleh Departemen Agama.

Anda mungkin juga menyukai