Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nurliza

NPM : 1804010026
Unit : B

A. Pengertian Hukum Islam


Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah
laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum
adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
harta benda.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah.
Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam
masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.

B. Bagian-Bagian Hukum Islam


1. Munakahat
Hukum yang mengatur sesuatau yang berhubunngan dengan perkawinan, perceraian
dan akibat-akibatnya.
2. Wirasah
Hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris,
harta warisan daan cara pembagian waarisan.
3. Muamalat
Hukum yang mengatur masalah kebendaan daan hak-hak atas benda, tata hubungan
manusia dalam persoalan jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan
dan lain-lain.
4. Jinayat
Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman
baik dalam jarimah hudud atau tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumnya dalam al quran daan sunah nabi maupun dalam jarimah ta’zir atau
perbuatan yang bentuk dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai
pelajaran bagi pelakunya.
5. Al-ahkam as-sulthaniyah
Hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak daan sebagainya.
6. Siyar
Hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk
agama dan negara lain.

1
7. Mukhassamat
Hukum yang mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
Sistematika hukum islam daapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Al-ahkam asy-syakhsiyah (hukum perorangan)
2. Al-ahkam al-maadaniyah (hukum kebendaan)
3. Al-ahkam al-murafaat (hukum acara perdata, pidana, dan peradilan tata usaha)
4. Al ahkam al-dusturiyah (hukum tata negara)
5. Al-ahkam ad-dauliyah (hukum internasional)
6. Al-ahkam al-iqtishadiyah wa-almaliyah (hukum ekonomi dan keuangan)

C. Keelastisan Islam
Tujuan dari adanya sifat elastis (murunah) Hukum Islam, jelas bukan semata untuk
kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, tapi lebih jauh dari itu, elastisitas
Hukum Islam merupakan bentuk konkrit dari humanitas hukum ”langit’ tersebut. Sebab,
hukum Tuhan tidak sama sekali hanya pengisi ruang idealisme yang melangit (mistali),
namun ditempa untuk kemaslahatan umat dalam mengarahkan kehidupan yang ideal yang
tidak terserabut dari area kekinian (haliyah) dan kedisinian (waqiyah).
Elastisitas hukum Islam yang bernaung dalam syariah, kemudian dalam terjemahan
realitasnya terangkum dalam fiqih tersebut, memayungi karagaman perspektif interpretasi
teks hukum, selama masih dalam tatanan ruang lingkup medan ikhtilaf. Dan hal ini-lah yang
berlaku dalam sejarah legislasi Hukum Islam. Keragaman istimbat hukum dalam ijtihad para
fuqaha menjadi fisualitas syariah yang lebih open minded dalam formalnya. Walau, dalam
hal yang prinsip (tsabat), fuqaha tetap konsisten bahwa hal tersebut termasuk dalam ranah
yang absolut.
Dalam pandangan ulama ushul seperti Abdullah Nashih ‘Ulwan bahwa hukum-hukum
yang tidak permanen ini dibedakan kepada dua macam, yaitu hukum-hukum yang dapat
mengalami perubahan dan hukum-hukum yang dihasilkan lewat ijtihad sebagai akibat dari
perkembangan zaman.
Menurut Amir Syarifuddin paling tidak ada tiga bentuk pemahaman terhadap hukum
yang dilakukan oleh para ulama ushul. Pertama, Pemahaman hukum dalam bentuk
memberikan penjelasan terhadap nash-nash yang sudah ada, baik nash al-Qur’an maupun
nash as-Sunnah. Langkah seperti ini di kalangan ulama ushul dikenal dengan istilah ijtihâd
bayâni. Pemahaman seperti ini, dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada lafal-lafal
nash dengan berbagai bentuk dan karakternya, kemudian setelah itu baru mengambil
kesimpulan hukum.
Pada aspek ini, substansi atau nilai hukum tidak mengalami perubahan tetapi aspek
teknis boleh jadi mengalami pembaharuan. Kedua, pemahaman hukum dalam bentuk usaha
untuk menetapkan hukum baru bagi kasus yang muncul melalui cara mencari
perbandingannya (persamaannya) dengan ketetapan hukum yang telah ada penjelasannya di
dalam nash bagi kasus tersebut. Contohnya, ialah menetapkan jabatan khalifah setelah
wafatnya Nabi. Dalam hal ini dengan cara mengqiyaskan jabatan khalifah kepada
2
jabatan imam shalat berjama’ah yang pernah diserahkan Nabi kepada Abu Bakar. Jalan
pikiran sahabat waktu menetapkan jabatan khalifah untuk Abu Bakar ini adalah dengan
menggunakan qiyas.
Kemudian ketiga, ialah pemahaman dalam hal menghadapi masalah baru yang tidak
ada nashnya dan juga tidak dapat mencari perbandingannya dengan apa yang telah ditetapkan
dalam nash. Dengan kata lain, persoalan-persoalan yang sama sekali tidak ada nashnya.
Terhadap persoalan dalam kategori ketiga ini digunakan pendekatan dengan
menempuh ijtihad dengan ra’yu (‫)اال جــتـهـاد برأي‬.
Itjihad dengan ra’yu ini ialah menggunakan pendekatan jiwa syari’at sebagai acuan
dalam istinbât. Prinsip dasarnya ialah mengedepankan kepentingan umum atau maslahat
selalu dijadikan pertimbangan dalam menggunakan ra’yu. Umpamanya, dalam menetapkan
untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an (pada masa Abu Bakar); menetapkan
dewan-dewan, membentuk pasukan tentara tetap, dan mencetak mata uang pada masa
khalifah Umar bin Al-Khatab, menyatukan bentuk bacaan Al-Qur’an pada masa
pemerintahan Usman bin Affan dan membakar yang lainnya.
Dari ketiga bentuk pola pemahaman hukum yang telah digambarkan di atas, dua yang
disebutkan terakhir termasuk dalam kategori hukum-hukum yang tidak permanen atau
hukum-hukum yang bersifat ijtihad. Syekh Yusuf Qardawi seorang pakar hukum Islam
komtemporer menyebut hukum-hukum yang tidak permanen ini dengan istilah al-Ahkâm al-
Mutagayyirah.
Adapun yang dimaksud oleh Yusuf Qardawi dengan istilah ini ialah hukum-hukum
yang menglami perubahan. Perubahan disini maksudnya ialah hukum-hukum yang
mengalami perubahan dengan perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya
perubahan hukum karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah disebutkan
sebagai berikut.
.‫تـغــيـرالـفـتـوى بــتــغــراأل زمـنــة واألمــكــنــة واألحـوال واألعــراف‬
Artinya : Fatwa (hukum) dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat
(‘urf).

Oleh karena itu, hukum Islam itu bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Dinamika perubahan dan
perkembangan yang terjadi pada hukum Islam itu lebih disebabkan oleh dua faktor pokok.
Kedua faktor pokok itu adalah sebagai berikut.
1. Perubahan pemahaman atas ‘illat hukum.
Sebagaimana dirumuskan oleh ulama ushul misalnya, Al-Gazali menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ‘illat itu ialah merupakan pautan hukum atau tambatan hukum
dimana syari’ menggantungkan hukum padanya. Atau seperti yang dikemukakan oleh Abdul
Gani Al-Bajiqani bahwa yang dimaksud dengan ‘illat itu ialah pautan hukum
dimana syari’ menghubungkan ketetapan hukum dengannya. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa sesungguhnya ‘illat itu ialah sesautu yang melatarbelakangi atau menjadi
sebab adanya suatu ketetapan hukum. Oleh karena itu, dari sini dirumuskan suatu kaidah
yang berbunyi sebagai berikut :
‫الـحـكـم يـد ورمـع الــعــلـة وجـوداوعـد مــا‬

3
Artinya : Hukum itu akan selalu terkait dengan ada atau tidak adanya ‘illat.
Untuk maksud ini, Abdul Karim Zaidan juga menyebutkan bahwa
Sesungguhnya hukum itu ada karena adanya ‘illat dan ia menjadi tidak ada karena
ketiadaan ‘illat
Dalam konteks ini, termasuk juga perubahan pemahaman tentang ‘illat itu sendiri.
Artinya berubah ‘illat maka berubah pula hukum. Tidak dapat diingkari bahwa --
dalam kenyataannya -- hukum Islam itu bersifat dinamis dan berkembangan sesuai dengan
tuntutan perkembangan keadaan, zaman dan tempat. Dengan kata lain, perkembangan hukum
Islam, di samping merupakan tuntutan masyaakat juga tidak lepas dari peran ‘illat sebagai
dasar yang melatarbelakanginya.
Banyak ketentuan fiqih mengalami perubahan karena perubahan pemahaman
tentang ‘illat. Menurut Alyasa Abubakar perubahan pemahaman tentang ‘illat ini karena
terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal baru dalam kehidupan umat Islam. Sebagai
contoh untuk ini, misalnya zakat hasil pertanian yang biasa dipahami sebagai ‘illatnya adalah
“makanan pokok yang disebut dengan al-Qūt, dapat disimpan lama, dapat ditakar atau
ditimbang”. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru bahwa ‘illat tersebut ialah apa
yang disebut dengan al-namā produktif. Berdasarkan pemahaman ‘illat yang baru ini maka
semua tanaman yang produktif wajib dikenakan zakatnya.

2. Perubahan pemahaman atas hukum. Maksudnya ialah ‘illat tetap seperti semula, tetapi
maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemehaman hukum yang didasarkan
pada ‘illat itu yang diubah. Alyasa Abubakar menyebutkan contoh untuk kasus ini ialah
pembagian tanah rampasan perang al-Fay di Irak pada masa pemerintahan Umar Ibn al-
Khatab. Adapun ‘illat pembagiannya, sebagaimana disebutkan oleh ayat itu sendiri, yaitu
“agar harta itu tidak hanya beredar atau dikuasai oleh orang-orang kaya saja”.
Pada masa Rasulullah kebun-kebun orang-orang Yahudi yang kalah perang dibagi-
bagikan kepada kaum muslim. Akan tetapi, Umar tidak mau membagi lahan atau tanah
pertanian yang ditaklukan setelah selesai perang. Menurut Umar pembagian itu akan
melahirkan orang-orang kaya baru yang justru dihindari oleh Al-Qur’an. Tanah tersebut harus
menjadi milik negara dan disewakan kepada penduduk. Hasil sewaan inilah yang dibagi-
bagikan kepada orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan bantuan
keuangan dari negara.
Contoh lain, misalnya Umar Ibn al-Khatab tidak memberikan hak Muallaf sebagai
salah satu mustahiq zakat, sebagai disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Umar Ibn al-
Khatab beranggapan bahwa sifat Muallaf tidak berlaku sepanjang hidup, seperti halnya
kemiskinan, pemberian zakat kepada Muallaf pada awal Islam adalah karena Islam masih
lemah. Disamping itu golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka perlu dibujuk
hatinay agar tetap bertahan dengan keislamannya, atau agar mereka menahan diri dari
melakukan, tindakan kejahatan terhadap orang-orang Islam. Dengan kata
lain, ‘illat pemberian zakat pada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan
telah berubah maka memberikan bagian itu tidak valid lagi.
Dengan kata lain, ketika Islam telah kuat maka pemberian zakat kepada muallaf itu
tidak perlu lagi. Kebijakan Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu

4
sesungguhnya berkaitan dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf itu sendiri.
Menurut Umar, bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman mereka masih
lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam telah kuat, maka pemberian zakat kepada muallaf
tidak dilaksanakan lagi. Dua contoh kasus ijtihâd Umar yang telah dikemukakan di atas,
diakui memang menimbulkan perdebatan dikalangan ulama dan pakar hukum Islam.
Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat bahwa paling tidak ada 5 (lima)
pandangan tentang ijtihad Umar, yaitu ;
1. Ijtihâd Umar memang meninggalkan zahir nash, tetapi berpegang kepada ruhnya
atau maqâshid al-ahkâm al-Syarî’ah.
2. Ijtihâd Umar tidak meninggalkan nash, apalagi mengganti atau menghapus ketentuan
hukumnya.
3. Ijtihâd Umar berkenaan dengan masalah qath’iyah yang bukan bidang ijtihâd tetapi
diperbolehkan khusus untuk Umar.
4. Ijtihâd Umar telah meninggalkan nash yang sarih, tetapi sebagaimana berlaku bagi setiap
mujtahid, ijtihadnya tetap mendapat satu ganjaran.
5. Ijtihâd Umar memang banyak melanggar nash yang qath’iyah tetapi hal ini terjadi karena
kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang bersangkutan.
Bila dihubungkan kelima pandangan ini dengan dua kasus ijtihâd Umar yang telah
disebutkan di atas, maka rasanya tidak mungkin Umar mengambil kebijakan atau
melakukan ijtihâd dengan meninggalkan nash. Umar Ibn Khatab adalah seorang sahabat
terkemuka mustahil akan melanggar atau menentang nash. Dua contoh kasus ijtihâd Umar
yang kontroversial di atas -- tentang perubahan pembagian harta rampasan perang dan
penghentian pemberian zakat untuk muallaf -- sesungguhnya tidak meninggalkan nash tetapi
dilatarbelakangi oleh perubahan pemahaman tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapannya,
sebab jika tidak demikian apa yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum tidak dapat
diwujudkan.

D. Kesimpulan
Secara umum hukum Islam berorientasi pada perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Artinya hukum Islam bertujuan pada pemeliharaan agama,
menjamin, menjaga dan memelihara kehidupan dan jiwa, memelihara kemurnian akal sehat
dan menjaga ketertiban keturunan manusia serta menjaga hak milik harta kekayaan untuk
kemaslahatan hidup umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai