Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Liputan6.com, Jakarta - Yel-yel 'revolusi' dan 'turunkan tirani' menggema
tepat di depan Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa
(24/9/2019). Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergerak. Mereka menolak
aturan yang dianggap tidak pro-rakyat.
Aturan yang digugat adalah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) dan UU KPK. Demonstrasi digelar sehari sebelumnya, namun kemarin
adalah puncaknya. Para mahasiswa mengepung gedung parlemen, bahkan membludak
hingga ke Tol Dalam Kota yang melintang di depan Gedung DPR RI.
Akibatnya, arus kendaraan di jalan tol dalam kota dari arah Pancoran menuju
Slipi hanya diberlakukan satu lajur. Macet berat. Polisi mencoba membubarkan aksi
dengan menyemprotkan air dari mobil water cannon, juga melontarkan gas air mata.
Sejumlah orang dilaporkan luka-luka, dari pihak demonstran, aparat, juga
wartawan yang sedang melakukan tugas jurnalistik.
Tak hanya di ibu kota, aksi mahasiswa juga berlangsung di sejumlah wilayah
di Tanah Air sejak Senin 23 September 2019. Termasuk di Bandung, Solo,
Yogyakarta, Makassar, Palembang, Malang, Medan, dan lainnya.
Mayoritas mengenakan jas almamater, mahasiswa di sejumlah daerah
berdemonstrasi di depan gedung dewan. Dengan tuntutan serupa. Beberapa diwarnai
rusuh tatkala para pendemo bentrok dengan aparat yang berjaga.
Di tengah kepungan para demonstran, DPR pada Selasa 24 September 2019,
menyetujui permintaan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menunda
pengesahan empat rancangan undang-undang, yakni RUU KUHP, RUU
Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, melalui Badan Musyawarah
(Bamus) pada 23 September 2019, dan forum lobi, DPR sepakat untuk menunda
pengesahan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. DPR dan pemerintah memiliki
waktu untuk mengkaji dan sosialisasi RUU tersebut agar diterima masyarakat.
Sementara, RUU Minerba dan RUU Pertanahan masih dalam pembahasan
tingkat pertama dan belum sampai ke pengambilan keputusan.

1
"Karena ditunda, maka DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali
pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan
publik. Sambil juga kita akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP.
Sehingga, masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir,
apalagi salah paham, menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak
rakyat," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (24/9/2019).
Dikarenakan tuntutan mahasiswa tidak terpenuhi untuk tolak RUU KUHP,
mahasiswa pun kembali melakukan aksi demo. Aksi demo mahasiswa terakhir
sebelum pelantikan presiden pada tanggal 14 Oktober 2019.
TEMPO.CO, Jakarta - Pangdam Jaya Mayjen TNI Eko Margiyono menyebut,
mulai besok hingga pelantikan presiden pada 20 Oktober 2019, pemberitahuan demo
mahasiswa ataupun masyarakat tidak akan diproses. Larangan ini berlaku untuk
sekitar lingkungan gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta.
"Sehingga kalau ada unjuk rasa, bahasanya tidak resmi atau ilegal," ujar Eko
seusai mengikuti rapat koordinasi pengamanan pelantikan presiden bersama pimpinan
DPR di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 14 Oktober 2019.
Saat pelantikan presiden 20 Oktober mendatang, Pangdam Eko yang akan
berperan sebagai pimpinan sektor keamanan dan akan berlaku Protap Waskita
(pengamanan presiden). Polda Metro Jaya dan Mabes Polri juga akan turut membantu
mengamankan acara ini.
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono
mengatakan, terkait larangan unjuk rasa pada 15-20 Oktober ini, pihaknya akan
mengambil diskresi untuk tidak memberikan surat pemberitahuan unjuk rasa.
"Tujuannya agar situasi tetap kondusif. Saat pelantikan, beberapa kepala
negara akan hadir beserta utusan-utusannya. Kita hormati itu agar bangsa kita dikenal
bangsa beradab dan santun," ujar Gatot.
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin
akan dilakukan pada 20 Oktober 2019. Pelantikan dilakukan pukul 14.00
WIB. Sebanyak 27 ribu personel TNI-Polri akan dikerahkan untuk menjaga
pelantikan. Seluruh personel akan mengamankan tempat-tempat sentral di Jakarta.
Pelantikan itu sendiri akan digelar di Kompleks Parlemen.
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua MPR dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Ahmad Basarah menyarankan mahasiswa demo atau unjuk rasa seusai
pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024 pada 20 Oktober
2
mendatang. "Setelah Presiden dilantik dan bertugas itulah saat yang tepat bagi kita
semua, termasuk adik-adik mahasiwa untuk menggunakan hak demokrasinya
menyampaikan pendapat dan sikapnya di hadapan publik," ujar Basarah, di Jakarta,
Kamis, 17 Oktober 2019.
Menurut Basarah, mahasiswa seyogianya menahan diri untuk berdemonstrasi
hingga prosesi pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih selesai.
Acara pelantikan presiden dan wakil presiden, kata dia, merupakan
momentum sakral dan penting bagi agenda demokrasi di Indonesia. Karena itu, dia
meminta kepada seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa untuk
menghormati prosesi itu.
Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) se-
Jabodetabek dan Banten mengumumkan akan unjuk rasa di Istana Negara menuntut
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perpu KPK.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pada 2 Oktober 2019, ia
menyebutkan, Jokowi dan partai-partai pendukungnya sepakat untuk belum
mengeluarkan Perppu KPK karena saat ini tengah berlangsung uji materi UU tersebut
di Mahkamah Konstitusi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Negara dan Konstitusi ?
2. Apakah ada hubungannya antara larangan melakukan aksi demo dengan negara
dan konstitusi ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. NEGARA DAN KONSTITUSI


I. Konstitusionalisme
a) Gagasan Tentang Konstitusionalisme
Gagasan bahwa kekuasaan negara harus dibatasi, serta hak-hak
dasar rakyat dijamin dalam suatu konstitusi negara dinamakan
konstitusionalisme. Carl J. Friedrich berpendapat “konstitusionalisme
adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas
yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk pada
beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa
kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan
oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Pembatasan yang
dimaksud termaktub dalam konstitusi” (Taufiqurrahman Syahuri, 2004).
(Winarno, 2006: 65)
Pada permulaan abad ke-19 dan awal abad ke-20 gagasan
mengenai konstitusionalisme (kekuasaan terbatas dan jaminan hak dasar
warga negara) mendapatkan perumusan secara yuridis. Daniel S.Lev
memandang konstitusionalisme sebagai paham “negara terbatas”. Para
ahli hukum Eropa Barat Kontinental, seperti Immanuel Kant dan
Frederich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat, sedang ahli Anglo
Saxon seperti AV Dicey memakai istilah Rule Of Law. Di Indonesia,
istilah Rechtsstaat atau Rule Of Law biasa diterjemahkan dengan istilah
“Negara Hukum” (Mahfud MD, 1993). (Winarno, 2006: 66)

b) Negara Konstitusional
Adnan Buyung Nasution (1995) menyatakan negara
konstitusional adalah negara yang mengakui dan menjamin hak-hak
warga negara serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara
hukum. Jamninan dan pembatasan yang dimaksud harus tertuang dalam
konstitusi. Jadi, negara konstitusional bukanlah semata-mata negara
yang telah memiliki konstitusi. Perlu dipertanyakan lagi apakah

4
konstitusi negara tersebut berisi pembatasan atas kekuasaan dan jaminan
akan hak-hak dasar warga negara. (Winarno, 2006: 66)

II. Konstitusi Negara


a) Pengertian Negara
Secara etimologi, istilah negara berasal dari kata status atau statum
(bahasa Latin Klasik) adalah suatu istilah abstrak yang menunjukkan
keadaan tegak dan tetap, atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat tegak dan
tetap. Sejak Cicero (104-103), kata status atau statum itu lazim diartikan
sebagai standing atau station (kedudukan) dan dihubungkan dengan
kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaimana diartikan dalam
istilah status civitatis atau status republicae. (Charda, 2018: 108)
Secara historis pengertian negara senantiasa berkembang sesuai
dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Pada zaman Yunani Kuno para
ahli filasafat negara meruuskan pengertian negara secara beragam.
Aristoteles yang hidup pada tahun 322 – 384 S. M., Merumuskan negara
dalam bukunya Politicia, yang disebutnya sebagai negara polis, yang
pada saat itu masih dipahami negara masih dalam suatu wilayah yang
kecil. Dalam pengertian itu negara disebut sebagai negara hukum, yang
didalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut dalam
permusyawaratan (ecclesia). Oleh karena itu menurut Aristoteles
keadilan merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranyan negara yang
baik, demi tewujudnya cita-cita seluruh warganya. (Khaelan, 2016; 99)
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik dan merupakan
organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency)
dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam masyarakat dan hidup dalam suasana kerja
sama, sekaligus suasana antagonistis dan penuh pertentangan. (Charda,
2018: 109)
Negara dibedakan ke dalam pengertian formil yang diartikan
bahwa negara diartikan sebagai organisasi kekuasaan dengan suatu
pemerintahan pusat. Pemerintahan yang menjelmakan aspek formil suatu
negara dengan karakteristik dari negara formil ini adalah wewenang
pemerintah untuk menjalankan paksaan fisik secara legal dan negara
5
ditempatkan sebagai pemerintah (saat-overheid). Sementara itu, negara
dalam arti materiil adalah sebagai masyarakat (staat-gemenschap),
negara sebagai persekutuan hidup. Negara dalam arti materiil merupakan
bentuk perkelompokan sosial, sebagai suatu realitas sosial yang dapat
dipikirkan terlepas dari kekuasaannya (pemerintahannya), tetapi tidak
mungkin ada suatu negara yang lepas dari individu-individu, dari
masyarakat yang merupakan subsratum personil dari negara. (Charda,
2018: 109)

b) Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari istilah bahasa Prancis “constituer” yang
artinya membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan untuk
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan dan
menyatakan suatu negara. Konstitusi bisa berarti pula peraturan dasar
(awal) mengenai pembentukan negara. Istilah konstitusi bisa
dipersamakan dengan hukum dasar atau undang-undang dasar. Kata
konstitusi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut:
(1) segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan; (2) undang-
undang dasar suatu negara. (Winarno, 2006: 67)
Konstitusi adalah kumpulan peraturan untuk membentuk,
mengantur atau memerintah negara yang menggambarkan suatu sistem
ketatatanegaraan suatu negara.
Konstitusi dapat diartikan secara luas dan sempit, sebagai berikut.
a. Konstitusi (hukum dasar) dalam arti luas meliputi hukum dasar
tertulis dan tidak tertulis.
b. Konstitusi (hukum dasar) dalam arti sempit adalah hukum dasar
tertulis, yaitu undang-undang dasar. Dalam pengertian ini
undang-undang dasar merupakan konstitusi atau hukum dasar
yang tertulis. (Winarno, 2006: 68)
Selanjutnya terdapat beberapa pengertian terkait dengan istilah
konstitusi, seperti konstitusi dalam arti material dan konstitusi dalam arti
formil. Konstitusi dalam arti material, yaitu perhatian terhadap isinya
yang terdiri atas pokok yang sangat penting dari struktur dan organisasi
negara. Sedangkan konstitusi dalam arti formil, yaitu perhatian terhadap
6
prosedur, pembentukannya yang harus istimewa dibandingkan dengan
pembentukan perundang-undangan lainnya. (Sudiyono, 2017: 93)
Pengertian lain dari konstitusi adalah konstitusi dalam arti
tertulis, yaitu konstitusi yang dinaskahkan tertentu guna memudahkan
pihak-pihak mengetahuinya, dan konstitusi dalam arti undang-undang
tertinggi, yaitu pembentukan dan perubahannya melalui prosedur
istimewa dan ia juga merupakan dasar tertinggi dari perundang-
undangan lainnya yang berlaku dalam negara. (Sudiyono, 2017: 94)

c) Hubungan Dasar Negara dengan Konstitusi


Hubungan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada
gagasan dasar, cita-cita dan tujuan negara yang tertuang dalam
Pembukaan UUD suatu negara. Dari dasar negara inilah kehidupan
negara yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Inti dari pembukaan UUD 1945, pada hakikatnya terdapat dalam alenia
IV (Endris, 2018: 63), sebab di dalam segala aspek penyelenggaraan
pemerintahan negara berdasarkan Pancasila, artinya sebagai berikut :

 Secara Formal
Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam
PembukaanUUD 1945, maka Pancasila memperoleh kedudukan sebagai
norma dasar hukum positif, artinya kehidupan bernegara tidak hanya
bertopang pada asas-asas sosial, ekonomi, politik akan tetapi perpaduan
asas-asaskultural, relegius dan kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam
Pancasila. Pancasila secara formal dapat disimpulkan:
a) Rumusan Pancasilasebagaidasar negara RI tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 alenia keempat.
b) Pembukaan UUD 1945, merupakan pokok kaidah negara yang
fundamental, yang mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai
dasar negara dan tertib hukum tertinggi.
c) Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan berfungsi sebagai
Mukadimah dari UUD 1945 dalam kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, dan berkedudukan sebagai suatu yang bereksistensi

7
sendiri, yang hakikat kedudukan hukumnya berbeda dengan
pasal-pasalnya.
d) Pancasila mempunyai hakikat, sifat, kedudukan dan fungsi
sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, sebagai dasar
kelangsungan hidup negara RI yang diproklamirkan tanggal 17
Agustus 1945.
e) Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD 1945, mempunyai
kedudukan yang kuat, tetap, tidak dapat diubah dan terlekat
pada kelangsunganhidup negara RI.

 Secara Material
Secara kronologis proses perumusan Pancasila dan Pembukaan
UUD1945,oleh BPUPKI, pertama-tamamateri yang dibahas adalah dasar
filsafat Pancasila, baru kemudian Pembukaan UUD 1945. Setelah sidang
pertama Pembukaan UUD 1945 BPUPKI membicarakan dasar filsafat
negara Pancasila berikut tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh
Panitia 9, sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD 1945. Jadi
berdasarkan urutan tertib hukum Indonesia Pembukaan UUD 1945
adalah sebagai tertib hukum tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia
bersumber pada Pancasila, atau dengan kata lain, Pancasila sebagai tertib
hukum Indonesia. Hal ini berarti secara material tertib hukum Indonesia
dijabarkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila
sebagai tertib hukum.

B. HUBUNGAN ANTARA LARANGAN MELAKUKAN AKSI DEMO DENGAN


NEGARA DAN KONSTITUSI
Kebebasan mengemukakan berpendapat telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum. Deklarasi Universal Hak-hak Asai Manusia yang menjamin kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat tanpa gangguan apapun dengan cara apapun
dengan tidak memandang batas-batas. Terdapadat pula pada Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945, pasal 28 E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 pasal 23 ayat (2).

8
Berikut artikel mengenai larangan melakukan aksi demonstrasi:
Liputan6.com, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) Asfinawati mengkritik keras instruksi larangan demonstrasi hingga
pelantikan Presiden-Wakil Presiden selesai. Kebijakan itu dianggap sebagai
pelanggaran serius karena telah menyalahi konstitusi.
"Itu bertentangan konstitusi, dan undang-undang itu serius, itu pelanggaran
serius, karena aksinya aksi damai kecuali aksinya bawa senjata tajam itu yang
dilarang," kata Asfinawati usai diskusi 'Habis Gelap Terbitlah Kelam' di Jakarta
Pusat, Selasa (15/10/2019)
Menjadi Presiden dan Wakil Presiden bukan berarti bebas dari kritikan
masyarakat. Justru jabatan itu adalah entitas publik sehingga wajar jika mendapat
kritik dari masyarakat.
Ia pun mempertanyakan dasar pelarangan demonstrasi oleh aparat. Sebab, jika
keputusan itu dibuat guna mencegah terjadinya aksi anarkistis pada aksi demonstrasi
maka menurut Asfinawati langkah tersebut tidak tepat. Harus ada evaluasi penyebab
kericuhan pada demonstrasi.
"Harus dievaluasi dulu ricuhnya karena apa. Ricuhnya karena penanganan
demonstrasinya atau karena demonstrannya," tandasnya.
tirto.id - Beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda mengkritik kebijakan
Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya yang memutuskan tidak akan menerbitkan
perizinan penyampaian aspirasi (unjuk rasa) mulai Rabu (15/10/2019) sampai Minggu
(20/10/2019). Tujuannya agar menjaga situasi kondusif hingga pelantikan Presiden
dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin pada 20 Oktober nanti.
Salah satunya dari Badan Eksekutif Mahasiswa UPN Veteran Jakarta (BEM
UPNVJ), yang juga merupakan bagian dari BEM SI. Kepala Kajian Aksi Strategis
BEM UPNVJ, Dzuhrian Ananda, menilai bahwa pihak kepolisian tak memiliki
kewenangan dalam melarang unjuk rasa. "Terkait pelarangan kepolisian, polisi itu kan
sekarang posisinya bukan untuk mengizinkan. Karena balik lagi, surat ke kepolisian
hanya pemberitahuan yang mana berguna untuk mereka pengamanan," kata Dzuh saat
dihubungi wartawan Tirto, Selasa (15/10/2019) malam.
Menurut Dzuh, jika pihak kepolisian enggan melakukan pengamanan lewat surat
itu artinya unjuk rasa tetap boleh ada. Mengingat itu hanya surat pemberitahuan.
"Kalau mereka melarang, tidak mengizinkan, pertanyaannya mereka siapa? Karena
mereka hanya mengamankan jalannya penyampaian pendapat di muka umum. Untuk
9
kawan-kawan yang lain, yang ingin turun ke jalan, tetap turun dan menjaga
kondusivitas. Biar fokus enggak kepecah lagi," lanjutnya.
Hal senada juga dikatakan Ketua Umum Nasional Front Perjuangan Pemuda
Indonesia (FPPI), Yusri Mas'ud. Ia menilai pelarangan unjuk rasa oleh pihak
kepolisian tak memiliki dasar hukum sama sekali. "Polisi tidak punya hak untuk
melarang organisasi atau lembaga untuk unjuk rasa. Pernyataan bahwa polisi
melarang untuk unjuk rasa sebelum sampai pelantikan presiden dan wakil presiden,
tidak ada dasar hukumnya. Jadi, kawan-kawan yang hendak melakukan unjuk rasa
seharusnya tetap unjuk rasan yang penting tidak anarkis," katanya.
Ketua Umum Nasional Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Ade Irwan,
menilai kebijakan pihak kepolisian tersebut akan menjadi salah satu kebijakan
mengaburkan esensi demokrasi.
Ade menuding bahwa kebijakan pelarangan unjuk rasa tersebut untuk
menahan akumulasi kemarahan masyarakat sipil dan mahasiswa atas berbagai rencana
perubahan kebijakan yang tak pro rakyat dari pemerintah untuk sementara waktu.
"Karena kalau tidak ada tekanan politik dari kaum muda, masyarakat sipil, dan
mahasiswa di hari-hari menuju pelantikan maka dapat dipastikan selesai pelantikan
presiden, semua perubahan kebijakan yang ditunda kemarin akan disahkan dan
Perppu KPK pun tak akan dikeluarkan," katanya.
Ade menilai kebijakan pelarangan tersebut akan menghambat pendewasaan
dan kemajuan demokrasi yang lebih berkualitas bagi segenap warga negara.
Kebijakan pelarangan tersebut, kata Ade, memungkinkan legitimasi pihak kepolisian
melakukan kriminalisasi, bahkan mencabut nyawa, massa aksi seperti aksi-aksi
sebelumnya. "Usaha kepolisian mengkerdilkan hak berdemokrasi dan pembungkaman
demokrasi bagi rakyat di hari-hari menuju pelantikan presiden dan wakil presiden,
merupakan hal yang konyol, brutal, dan cacat sejak dalam pikiran bagi kami. Karena
menyampaikan aspirasi dan demonstrasi itu adalah hak batin dikarenakan hak lahir
kami sebagai warga negara tidak diberikan oleh pemerintah," katanya. "Dengan
kebijakan itu, tetap kami lawan dengan aksi-aksi kecil munuju aksi akbar rakyat bulan
ini," lanjutnya.
Polda Metro Jaya memutuskan tidak akan menerbitkan perizinan dari Rabu
hingga Minggu untuk menjaga situasi kondusif hingga pelantikan Presiden dan Wakil
Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

10
Hal itu disampaikan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Gatot Eddy
Purnama usai rapat koordinasi antara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dengan aparat keamanan, baik dari Komando Daerah Militer (Kodam) Jayakarta,
Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kepolisian Republik Indonesia.
"Kami akan memberlakukan mulai besok sampai 20 Oktober. Kalau ada pihak
yang mau memberitahukan terkait unjuk rasa, kami akan memberi diskresi tidak akan
memberikan perizinan. Tujuannya agar kondisi tetap kondusif," ujar Kapolda, di
Jakarta, Senin (14/10/2019), seperti dilansir dari Antara.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia dan BEM Nusantara
sebelumnya berencana menggelar unjuk rasa pada tanggal tersebut jika Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
(Perppu/Perpu KPK) belum diterbitkan. Jika hal itu dilakukan, maka polisi
memastikan aksi tersebut berlangsung tanpa izin (ilegal).
Hal itu ditegaskan oleh Panglima Kodam Jayakarta Mayor Jenderal TNI Eko
Margiyono sesuai dengan pemberitahuan dari pihak Kepala Kepolisian Daerah
(Kapolda) Metro Jaya.
"Kalau ada yang unjuk rasa, itu adalah bahasanya ilegal. Oleh karena itu kami sudah
menyiapkan parameter yang sudah disiapkan di sekitaran gedung DPR/MPR ini.
Kami sudah buat pengamanan seperti saat menghadapi unjuk rasa beberapa hari lalu.
Tidak ada yang spesifik," ujar Mayjen Eko.
Pelantikan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil
Presiden rencananya akan digelar pada Minggu, 20 Oktober 2019 pukul 14.30 WIB.
Ketua MPR Bambang Soesatyo sudah memastikan rencana pelantikan tersebut.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
• Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan hidup dalam suasana
kerja sama, sekaligus suasana antagonistis dan penuh pertentangan.
• Konstitusi dapat diartikan secara luas dan sempit, sebagai berikut.
a. Konstitusi (hukum dasar) dalam arti luas meliputi hukum dasar tertulis dan tidak
tertulis.
b. Konstitusi (hukum dasar) dalam arti sempit adalah hukum dasar tertulis, yaitu
undang-undang dasar. Dalam pengertian ini undang-undang dasar merupakan
konstitusi atau hukum dasar yang tertulis.
• Hubungan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada gagasan dasar, cita-
cita dan tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD suatu negara.
• Mengemukakan pendapat dimuka umum atau melakukan aksi demonstrasi sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945, pasal 28 E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 pasal 23 ayat (2). Apabila ada pihak yang melarang
melakukan aksi demonstrasi maka itu dinamakan pelanggaran konstitusi.

B. Saran
Sebaiknya kita harus mengikuti prosedur yang ada, agar tidak terjadi lagi
pelanggaran terhadap negara dan konstitusi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Winarno. 2006. Pradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta Pusat: Bumi Aksara.
Sudiyono Paul. 2017. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Thema Production.
Chandra Ujang. 2018. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan tinggi. Depok: PT
Raja Grafindo Persada.
Endris Atma. 2018. Buku pintar Kewarganegaraan dan Pancasila. Depok: Alta Utama.
Kaelan. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma

13

Anda mungkin juga menyukai