Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan individu yang unik dan bukan orang dewasa mini.

Anak juga bukan merupakan harta atau kekayaan orang tua yang dapat

dinilai secara sosial ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang berhak

atas pelayanan kesehatan secara individual dan masih bergantung pada

orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang

dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar

mandiri (Supartini, 2012).

Seperti kita ketahui bahwa anak adalah potensi dan penerus cita-cita

bangsa, yang dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya, melalui

proses pertumbuhan dan perkembangan sistem susunan saraf pusat pada

anak, maka anak mempunyai peningkatan keterampilan, kemampuan untuk

menggunakan keterampilan ini dapat menciptakan interaksi dengan

lingkungan (Wong, 2014).

Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (SUSENAS) tahun 2014

diketahui bahwa angka kesakitan anak di Indonesia pada daerah perkotaan

menurut kelompok usia 0-2 tahun sebesar 25,8%, usia 3-6 tahun sebanyak

14,91%, usia 7-11 tahun sekitar 9,1%, usia 12-18 tahun sebesar 8,13%.

Angka kesakitan anak usia 0-18 tahun apabila dihitung dari keseluruhan

jumlah penduduk adalah 14,44%. Anak yang mendapatkan perawatan di

rumah sakit akan berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologinya

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

1
Infant merupakan masa dalam tahap perkembangan, dimana pada

tahap ini anak sedang beradaptasi dengan lingkungan, pada tahap ini anak

biasanya mengalami hospitalisasi yang dipengaruhi oleh lamanya dirawat di

rumah sakit, dukungan dan fasilitas dari keluarga, pengalaman hospitalisasi

sebelumnya, rekreasi dan aktivitas bermain anak (Ngastiyah, 2013).

Menjalani perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) dapat

menimbulkan stres pada anak. Hospitalisasi merupakan suatu proses yang

karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak

untuk tinggal di Rumah Sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai

pemulangannya kembali ke rumah, selama proses hospitalisasi diartikan

adanya beberapa penelitian dengan pengalaman yang sangat traumatik dan

penuh dengan kecemasan, namun tidak setiap anak mengalami kecemasan

akibat hospitalisasi.

Kecemasan yang dialami oleh masing-masing anak sangat

bervariasi dan membawa dampak yang berbeda-beda sesuai dengan

tahapan usia perkembangan anak, terlebih anak usia infant (Potter dan

Perry, 2006). Gangguan kecemasan dianggap berasal dari suatu

mekanisme perubahan diri yang di pilih secara alamiah oleh makhluk hidup

bila menghadapi sesuatu yang mengancam dan berbahaya, kecemasan

yang dialami dalam situasi semacam ini memberi syarat kepada makhluk

hidup agar memberikan tindakan mempertahankan diri untuk menghindari

atau mengurangi bahaya dan ancaman, menjadi cemas pada tingkat

tertentu dapat dianggap sebagai bagian dari respon normal untuk mengatasi

masalah sehari-hari (Ahtisaari, 2010).

2
Dalam mengatasi kecemasan ini salah satu hal yang dapat dilakukan

ialah melalui terapi bermain. Terapi bermain merupakan terapi pada anak

yang menjalani hospitalisasi. Permainan anak akan membuat anak terlepas

dari ketegangan dan stres yang dialaminya karena dengan melakukan

permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya

dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan permainan (Supartini,

2012).

Permainan yang terapeutik didasari oleh pandangan bahwa bagi

anak merupakan aktivitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan

tumbuh kembang anak dan memungkinkan untuk dapat mengalihkan dan

mengekspresikan perasaan dan pikiran anak, mengalihkan perasaan nyeri

dan relaksasi (Supartini, 2012).

Terapi bermain memungkinkan klien mengembangkan mekanisme

penyelesaian masalah dan adaptasi dan diharapkan dapat menyediakan

lingkungan yang aman dan penerimaan sehingga klien anak bebas

mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya (Ahtisaari, 2010).

Agar hal tersebut bisa dihindari anak perlu mendapatkan suatu

media yang dapat mengekspresikan perasaan tersebut, media yang paling

efektif adalah melalui terapi bermain (Supartini, 2012).

Berdasarkan data awal yang diperoleh dari RSUD Cibabat

didapakan, bahwa jumlah anak yang dirawat di ruang perawatan anak

terhitung mulai tgl 23-30 September 2019 yaitu 40, pada tgl 01-19 Oktober

2019 pasien anak yang dirawat berjumlah 104, berdasarkan hasil observasi

saat pengambilan data awal diketahui bahwa sebagian anak yang di rawat

3
mengalami dampak Hospitalisasi dengan reaksi seperti menangis, takut,

cemas dan tidak kooperatif dengan petugas kesehatan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah

penelitian adalah “Apakah ada Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Respon

Kecemasan Anak Usia Infant Di Ruang Perawatan Rumah Sakit Umum

Cibabat?”.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya pengaruh terapi bermain terhadap tingkat

kecemasan anak usia infant di ruang perawatan Rumah Sakit Umum

Daerah Cibabat.
2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya tingkat kecemasan anak usia infant yang mengalami

hospitalisasi sebelum dilakukan terapi bermain.

b. Diketahuinya tingkat kecemasan anak usia infant yang mengalami

hospitalisasi setelah dilakukan terapi bermain.

c. Diketahuinya pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kecemasan

anak usia pra sekolah yang mengalami hospitalisasi.

D. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian tentang pengaruh terapi bermain

terhadap respon kecemasan anak infant di ruang perawatan Rumah Sakit

Umum Daerah Cibabat tahun 2019, maka hasil penelitian akan bermanfaat

bagi:

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan

dan dapat dijadikan sebagai dokumen bahan bacaan.

4
b. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait untuk menentukan

langkah yang tepat dalam rangka pelaksanaan program terapi

bermain sebagai upaya meningkatkan kemampuan adaptasi anak.

c. Sebagai masukan bagi profesi keperawatan pada lahan penelitian

terkait menentukan kebijakan dalam rangka peningkatan mutu

pelayanan kesehatan.

d. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat khususnya bagi orang

tua yang memiliki anak yang di rawat di Rumah Sakit agar dapat

meningkatkan kemampuan adaptasi dengan adanya terapi

bermain.

e. Sebagai pengalaman yang berharga dalam memperluas wawasan

dan pengetahuan melalui penelitian lapangan.

2. Manfaat Praktisi

Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar mengetahui

bahwa terapi bermain dapat mengurangi respon kecemasan pada anak

yang dirawat di rumah sakit.

3. Manfaat Ilmiah

Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya untuk

menentukan langkah yang tepat dalam rangka pelaksanaan program

terapi bermain sebagai upaya untuk menurunkan respon kecemasan

anak selama dirawat di rumah sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tumbuh Kembang Anak Tahap Infant

5
1. Pengertian
Anak adalah manusia yang mengalami pertumbuhan dan

perkembangan dari awal kehamilan sampai dengan usia 18 tahun (IDAI,

2014). Merujuk dari Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai

pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang

masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Anak adalah individu

yang unik dan bukan orang dewasa mini. Anak juga bukan merupakan

harta atau kekayaan orang tua yang dapat dinilai secara ekonomi,

melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan

secara individual. Anak merupakan Individu yang sedang dalam proses

tumbuh-kembang, mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis,

sosial dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa, apabila

kebutuhan tersebut terpenuhi, maka anak akan mampu beradaptasi dan

kesehatannya terjaga. Bila anak sakit , maka pertumbuhan dan

perkembangan fisik, psikologis, sosial dan spiritualnya juga dapat

terganggu (Supartini, 2012).


2. Pertumbuhan dan perkembangan tahap Infant (0-2 tahun)
a. Perkembangan fisik
1) Pada masa ini, biasanya terjadi penurunan BB akibat kesulitan

bayu bar lahir untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan

baru.
2) Sering terdapat rambut-rambut halus dikepala dan punggung,

tetapi yang di punggung biasanya akan segera menghilang.


3) Selama 6 bulan pertama pertumbuhan terus menjadi pesat,

kemudian mulai menurun, dan dalam tahun ke 2 tingkap

pertumbuhan cepat menurun.


b. Perkembangan motorik

6
Gerakan-gerakan BBL bersifat acak dan tidak berhubungan

dengan kejadian-kejadian di lingkungan. Secara umum, gerakan

tersebut dapat dibagi menjadi 2 kategri, yaitu:


1) Gerakan menyeluruh
Gerakan menyeluruhterjadi d seluruh tubuh bila salah satu

bagian tubuh distimulasi, walaupun gerakan yang paling

menonjol terjadi pada bagian yang diberi stimulasi.


2) Gerakan khusus
Meliputi bagian-bagian tubuh tertetu. Gerakan ini termasuk

gerakan refleks, yang merupakan tanggapan terhadap

rangsangan indra khusus yang tidak berubah dengan

pengulangan rangsan yang sama.


Pada akhir minggu kedua, bayi dapat memindahkan tubuh

dengan cara menendang. Pada usia 6 bulan dapat bergerak dalam

posisi duduk. Bayi bisa merangkak pada usia sekitar 8 -10 bulan,

berdiri dengan bantuan pada usia 11 bulan, berdri tanpa bantuan

usia 1 tahun dan berjalan tanpa bantuan pada usia 13-14 bulan.

c. Perkembangan bahasa
Bahasa pada masa ini lebih tepat dikatakan sebagai

vokalisasi yang dapat dibagi menjadi 2 kategri yaitu menangis dan

suara ekspolosif.
d. Perkembangan sosial dan emosi
1) Kesadaran bayi BBL masih kabur, artnya BBL tidak menyadari

sepenuhnya tentang apa yang terjadi disekitarnya. Reaksi

emsional belum berkembang secara khusus.


2) Sekitar 6 bulan mulai muncul senyum sosial yaitu senyum yang

di ajukan pada seserang.


3) Usia 9-13 bulan bayi mencoba menyentuh pakaian, ajah,

rambut dan meniru peilaku dan suara

7
4) Usia 16-18 bulan bayi menunjukan nrgativisme , berupa keras

kepala
5) Usia 18-24 bulan bayi berminat bermain dengan bayi lain
6) Usia 22-24 buulan bayi mau bekerjasama sejumlah kegiatan

seperti mandi, makan.


B. Konsep Hospitalisasi
Hospitalisasi diartikan adanya perubahan psikis yang dapat menjadi

sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevans, et al, 2010). Hospitalisasi

(rawat inap) pada pasien anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres

pada semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan ini dipengaruhi oleh

banyak faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter dan tenaga

kesehatan lainnya), lingkungan baru maupun keluarga yang

mendampinginya selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan

perkembangan anaknya, pengobatan, peraturan dan keadaan di rumah

sakit, serta biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak berlangsung

pada anak, secara psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari

orang tua yang mendampinginya selama perawatan. Anak akan semakin

stres dan hal ini berpengaruh terhadap proses penyembuhan, yaitu

menurunnya respon imun. Hal ini telah dibuktikan bahwa pasien yang

mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit, karena pada

kondisi stres terjadi penekanan sistem imun. Pasien anak, teraupetik dan

sikap perawat yang penuh perhatian akan mempercepat proses

penyembuhan (Nursalam, 2009)


Hospitalisasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses karena suatu

alasan darurat atau berencana mengharuskan anak untuk tinggal di rumah

sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali kerumah.

Pendekatan yang digunakan dalam hospitalisasi salah satunya yaitu dengan

pendekatan melalui metode permainan. Metode permainan merupakan cara

8
alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik dalam dirinya yang tidak

disadari. Kegiatan yang dilakukan sesuai keinginan sendiri untuk

memperoleh kesenangan.
C. Konsep Kecemasan
1. Pengertian Cemas
Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman

subjektif dari seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan

yang membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa

tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan

tidak berdaya (Kusumawati dan Hartono, 2010).Cemas juga didefinisikan

sebagai perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang disertai respon

autonom yang tidak jelas dan sering tidak diketahui individu dan

perasaan takut yang disebabkan antisipasi terhadap bahaya..


2. Karakteristik Kecemasan
Cemas ditunjukkan dari perilaku, afektif, fisiologis, simpatik,

parasimpatik, dan kognitif (NANDA, 2009) dengan penjelasan sebagai

berikut :
a. Perilaku meliputi gejala : penurunan produktifitas, ekspresi

kekhawatiran, gerakan yang tidak relevan, gelisah, melihat

sepintas, insomnia, menghindari kontak mata, agitasi, tampak

waspada dan mengintai.


b. Afektif meliputi : gelisah, kesedihan yang mendalam, distress,

ketakutan, perasaan tidak adekuat, berfokus pada diri sendiri,

peningkatan kewaspadaan, iritabel, gugup, senang berlebihan, nyeri,

peningkatan rasa tidak berdaya, bingung, menyesal, ragu / tidak

percaya diri dan khawatir.


c. Fisiologis meliputi : wajah tegang, tremor tangan, peningkatan

keringat, peningkatan ketegangan, gemetar, suara bergetar.


d. Simpatik meliputi gejala : anoreksia, eksitasi kardiovaskuler, diare,

mulut kering, wajah merah, jantung berdebar, peningkatan tekanan

9
darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan refleks, peningkatan

frekuensi pernapasan, pupil melebar, kesulitan

bernapas,vasokonstriksi superfisial, kedutan pada otot (twiching) dan

lemah.
e. Parasimpatik meliputi : nyeri abdomen, penurununan tekanan darah,

penurunan denyut nadi, diare, vertigo, letih, mual, gangguan tidur,

kesemutan pada ekstremitas, sering berkemih, dorongan berkemih.


f. Kognitif meliputi : menyadari gejala fisiologis, bloking pikiran,

kebingungan, penurunan lapang persepsi, kesulitan konsentrasi,

penurunan kemampuan untuk belajar, penurunan kemampuan untuk

memecahkan masalah, ketakutan terhadap konsekuensi yang tidak

spesifik, lupa gangguan perhatian, menguraikan panjang lebar,

cenderung menyalahkan orang lain


2. Respon anak terhadap kecemasan
Reaksi tersebut bersifat individual dan sangat tergantung pada usia

perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem

pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang dimilikinya, pada

umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena

perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri.


Reaksi anak pada hospitalisasi :
a. Masa infant ( 0 - 2 tahun ) dampak perpisahan
Pembentukan rasa P.D dan kasih sayang Usia anak > 6 bln terjadi

stanger anxiety /cemas.


1) Menangis keras
2) Pergerakan tubuh yang banyak
3) Ekspresi wajah yang tak menyenangkan
3. Tingkatan kecemasan
Menurut Stuart and Sundeen (2009), mengidentifikasi tingkat kecemasan

dapat dibagi menjadi empat tingkatan :


a. Tingkat kecemasan ringan, ditandai dengan:
1) Respon fisiologis seperti ketegangan otot ringan.
2) Respon kognitif seperti lapang pandang meluas, memotivasi

untuk belajar, kesadaran yang pasif pada lingkungan.

10
3) Respon tingkah laku dan emosi seperti suara melemah, otot-otot

wajah relaksasi, mampu melakukan kemampuan/keterampilan

permainan secara otomatis, ada perasaan aman dan nyaman.


b. Tingkat kecemasan sedang, ditandai dengan:
1) Respon fisiologis seperti peningkatan ketegangan dalam batas

toleransi, perhatian terfokus pada penglihatan dan pendengaran,

kewaspadaan meningkat.
2) Respon kognitif seperti lapang persepsi menyempit, mampu

memecahkan masalah, fase yang baik untuk belajar, dapat fokus

pada hal-hal yang spesifik.


3) Respon tingkah laku dan emosi seperti perasaan tertantang dan

perlu untuk mengatasi situasi pada dirinya, mampu mempelajari

keterampilan baru.
c. Tingkat kecemasan berat, ditandai dengan:
1) Respon fisiologis seperti aktivitas sistem saraf simpatik

(peningkatan epinefrin, tekanan darah, pernapasan, nadi,

vasokonstriksi, dan peningkatan suhu tubuh), diaphoresis, mulut

kering, ingin buang air kecil, hilang nafsu makan karena

penurunan aliran darah ke saluran pencernaan dan peningkatan

produk glukosa oleh hati, perubahan sensori seperti penurunan

kemampuan mendengar, nyeri, pupil dilatasi, ketegangan otot

dan kaku.
2) Respon kognitif seperti lapang persepsi sangat menyempit, sulit

memecahkan masalah, fokus pada satu hal.


3) Respon tingkah laku dan emosi seperti lapang personal meluas,

aktifitas fisik meningkat dengan penurunan mengontrol, contoh

meremas tangan, jalan bolak-balik. Perasaan mual dan

kecemasan mudah meningkat dengan stimulus baru seperti

suara. Bicara cepat atau mengalami blocking, menyangkal, dan

11
depresi.
d. Tingkat kecemasan panik, ditandai dengan:
1) Respons fisiologis : napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi,

sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motoric


2) Respons kognitif : gangguan realitas, tidak dapat berpikir locis,

persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan

ketidakmampuan memahami situasi


3) Respons perilaku dan emosi : agitasi, mengamuk dan marah,

ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali/kontrol diri

(aktivitas motorik tidak menentu), perasaan terancam, serta

dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan atau

orang lain.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan anak
Menurut Saputro & Fazrin (2017) bahwa faktor yang mempengaruhi

kecemasan anak antara lain:

a. Usia
Usia dikaitkan dengan pencapaian perkembangan kognitif anak. Anak

usia prasekolah belum mampu menerima dan mempersepsikan

penyakit dan pengalaman baru dengan lingkungan asing.


b. Karakteristik saudara (Anak ke-)
Karakteristik saudara dapat mempengaruhi kecemasan pada anak

yang dirawat di rumah sakit. Anak yang dilahirkan sebagai anak

pertama dapat menunjukkan rasa cemas yang berlebihan

dibandingkan anak kedua.


c. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat stress hospitalisasi,

dimana anak perempuan yang menjalani hospitalisasi memiliki tingkat

kecemasan yang lebih tinggi dibanding anak laki-laki, walaupun ada

beberapa yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan anak.


d. Pengalaman terhadap sakit dan perawatan di rumah sakit

12
Menurut Tsai (2007) dalam Saputro dan Fazrin (2017) anak yang

mempunyai pengalaman hospitalisasi sebelumnya akan memiliki

kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang

belum memiliki pengalaman sama sekali. Respon anak menunjukkan

peningkatan sensitivitas terhadap lingkungan dan mengingat dengan

detail kejadian yang dialaminya dan lingkungan disekitarnya. Jumlah

anggota keluarga dalam satu rumah


Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah dikaitkan dengan

dukungan keluarga. Semakin tinggi dukungan keluarga pada anak

usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi, maka semakin rendah

tingkat kecemasan anak. Jumlah saudara kandung sangat erat

hubungannya dengan dukungan keluarga..


e. Persepsi anak terhadap sakit
Keluarga dengan jumlah yang cukup besar mempengaruhi persepsi

dan perilaku anak dalam mengatasi masalah menghadapi

hospitalisasi. Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah semakin

besar memungkinkan dukungan keluarga yang baik dalam perawatan

anak. Small, et al (2009)


6. Alat Ukur Kecemasan
Tingkat kecemasan adalah penelitian berat ringannya kecemasan yang

dialami seseorang. Tingkat kecemasan ini bisa di ukur dengan

menggunakan Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42). DASS

adalah skala ukur untuk mengukur depresi, kecemasan, dan stress.

Pada kuesioner DASS 42 hanya mengukur tingkat kecemasan yaitu

sejumlah 14 pertanyaan dengan kategori kecemasan nrmal 0-7,

kecemasan ringan 8-9, kecemasan sedang 10-14 , kecemasan berat 15-

19, kecemasan sangat berat >20. (Lovibnd, dalam nurssalam 2011)


7. Penatalaksanaan Cemas Pada Anak
a. Relaksasi

13
b. Terapi Musik
c. Aktivitas Fisik
d. Terapi Seni
e. Terapi Bermain

D. Konsep Bermain
1. Definisi
Bermain merupakan cara ilmiah bagi seorang anak untuk

mengungkapkan konflik yang ada dalam dirinya yang pada awalnya anak

belum sadar bahwa dirinya sedang mengalami konflik. (Miller B.F, 1983)

Pengertian lain mengenai bermain disampaikan oleh foster dan pearden

yang didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang

anak secara sungguh-sungguh sesuai dengan keinginannya sendiri /

tanpa paksaan dari orangtua maupun lingkungan dimana dimaksudkan

semata hanya untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan (Wong.

2009).
Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak

dan salah satu alat paling efektif untuk mengatasi stress. Karena sakit

dan hospitalisasi menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dan karena

situasi tersebut sering disertai stress berlebihan, maka anak-anak perlu

bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami

sebagai alat koping dalam menghadapi stress tersebut. Bermain sangat

penting bagi mental, emosional, dan kesejahteraan sosial anak. Seperti

kebutuhan perkembangan mereka, kebutuhan bermain tidak berhenti

pada saat anak-anak sakit atau di rumah sakit. Sebaliknya bermain di

rumah sakit memberikan banyak manfaat. Bermain adalah “pekerjaan”

anak-anak semua usia dan berperan penting dalam perkembangan

mereka (Wong, 2009).


Melalui bermain anak dapat mengekspresikan pikiran, perasaan,

fantasi serta daya kreasi dengan tetap mengembangkan kreatifitasnya

14
dan beradaptasi lebih efektif terhadap berbagai sumber stress. Dengan

bermain anak dapat belajar mengungkapkan isi hati melalui kata-kata,

anak belajar dan mampu untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, obyek bermain, waktu, ruang dan orang. (Putra,dkk,

2014). Upaya melibatkan anak dalam aktivitas semacam itu akan

memberi rasa tanggungjawab pada anak, melepaskan mereka untuk

sesaat dari peran pasif sebagai penerima hal-hal konstan yang “segala

sesuatunya” sudah dilakukan bagi mereka. Di lingkungan rumah sakit,

sebagian besar keputusan dibuat untuk anak, bermain dan aktifitas

ekspresif lainnya memberikan sebanyak mungkin kesempatan pada

anak untuk menentukan pilihan. Sekalipun anak memilih tidak

berpartisipasi dalam aktivitas tertentu, tetapi perawat telah menawarkan

sebuah pilihan pada anak. (Putra,dkk, 2014)


2. Tujuan Terapi Bermain
Wong, dkk (2009) menyebutkan, bermain sangat penting bagi

mental, emosional, dan kesejahteraan sosial anak. Seperti kebutuhan

perkembangan mereka, kebutuhan bermain tidak berhenti pada saat

anak-anak sakit atau di rumah sakit. Sebaliknya, bermain di rumah sakit

memberikan manfaat utama yaitu meminimalkan munculnya masalah

perkembangan anak, selain itu tujuan terapi bermain adalah untuk

menciptakan suasana aman bagi anak-anak, untuk mengekspresikan diri

mereka, memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari

aturan sosial dan mengatasi masalah mereka serta memberikan

kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan mencoba sesuatu

yang baru. Adapun tujuan bermain di rumah sakit adalah agar dapat

melanjutkan fase tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan

15
kreativitas anak sehingga anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap

stress. Menurut Santrock (2007), terapi bermain dapat membantu anak

menguasai kecemasan dan konflik. Karena ketegangan mengendor

dalam permainan, anak dapat menghadapi masalah kehidupan,

memungkinkan anak menyalurkan kelebihan energi fisik dan melepaskan

emosi yang tertahan.


3. Fungsi bermain terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
Menurut Wong, dkk (2009) bermain berfungsi juga terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak, diantaranya :


a. Perkembangan sensorik–motorik
Dalam hal ini, permainan akan membantu perkembangan gerak

halus dan pergerakan kasar anak dengan cara memainkan suatu

obyek yang sekiranya anak merasa senang.


b. Perkembangan kognitif
Membantu anak untuk mengenal benda-benda yang ada di

sekitarnya sehingga bisa memicu perkembangan bahasa anak.


c. Kreatifitas
Mengembangkan kreatifitas anak dalam bermain sendiri atau secara

bersama.
d. Perkembangan sosial
Belajar berinteraksi dengan orang lain, mempelajari peran dalam

kelompok.
e. Kesadaran diri (self awarness)
Dengan bermain anak sadar akan kemampuannya sendiri,

kelemahannya dan tingkah laku terhadap orang lain


f. Perkembangan moral
Dapat diperoleh dari orang tua, orang lain yang ada di sekitar anak.
g. Komunikasi
Bermain merupakan alat komunikasi terutama pada anak yang masih

belum dapat menyatakan perasaannya secara verbal.


4. Manfaat bermain
a. Memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi.
b. Membantu anak merasa lebih aman di lingkungan yang asing.
c. Membantu mengurangi stress akibat perpisahan dan perasaan rindu

rumah.
d. Sebagai alat untuk melepas ketegangan dan ungkapan perasaan.

16
e. Meningkatkan interaksi dan perkembangan sikap yang positif

terhadap orang lain.


f. Sebagai alat ekspresi ide-ide dan minat.
g. Sebagai alat untuk mencapai tujuan terapeutik.
h. Menempatkan anak pada peran aktif dan memberikan kesempatan

pada anak untuk menentukan pilihan dan merasa mengendalikan.


5. Factor yang mempengaruhi pola bermain pada anak
Menurut Putra, dkk (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi pola

bermain pada anak adalah :


a. Tahap perkembangan
Setiap perkembangan mempunyai potensi / keterbatasan dalam

permainan.
b. Status kesehatan
Pada anak yang sedang sakit kemampuan psikomotor / kognitif

terganggu.
c. Jenis kelamin
Tipe dan alat permainan berbeda antara anak laki-laki dan anak

perempuan.
d. Lingkungan
Lokasi dimana anak berada sangat mempengaruhi pola permainan

anak.
e. Alat permainan yang cocok
Disesuaikan dengan tahap perkembangannya sehingga anak

menjadi senang untuk menggunakannya.


f. Intelegensia
Pada semua tingkatan usia, anak yang aktif pasti akan menyukai

permainan yang aktif. Karena biasanya mereka adalah anak yang

kreatif dan penuh dengan rasa percaya diri.


6. Bermain Untuk Anak Yang Dirawat di Rumah Sakit
Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang

penuh dengan stress baik bagi anak maupun orang tua. Lingkungan

rumah sakit itu sendiri juga merupakan penyebab stress bagi anak

maupun orang tuanya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

Perasaan seperti takut, cemas, nyeri dan perasaan tidak

menyenangkanlainnya sering kali dialami oleh anak. Untuk itu, anak

17
memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaan tersebut dan

mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan selama dalam

perawatan. Salah satu media yang paling efektif adalah melalui kegiatan

permainan. Permainan yang terapeutik didasarkan oleh pandanagn

bahwa permainan bagi anak merupakan aktivitas yang sehat dan

diperlukan untuk kelangsungan tumbuh kembang anak dan

memungkinkan untuk dapat menggali dan mengekspresikan perasaan

dan pikiran anak.


Aktivitas bermain yang diberikan perawat pada anak di rumah

sakit akan memberi keuntungan sebagai berikut :


a. Meningkatkan hubungan antara klien (anak dan keluarga) dan

perawat. Dengan melaksanakan kegiatan bermain, perawat

mempunyai kesempatan untuk membina hubungan yang baik dan

menyenangkan anak dan keluarga


b. Perawat di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan anak untuk

mandiri. Aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan

perasaan mandiri pada anak


c. Permainan pada anak di rumah sakit akan membantu anak

mengekspresikan perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang

dan nyeri
d. Permainan yang terapeutik akan dapat meningkatkan kemampuan

anak untuk mempunyai tingkah laku positif


e. Permainan dapat memberikan kesempatan pada anak untuk

berkompetisi secara sehat, serta dapat menurunkan ketegangan

pada anak dan keluarga.


7. Prinsip Permainan Anak di Rumah Sakit
a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang

sedang dijalankan pada anak


b. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan

sederhana

18
c. Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan anak
d. Permainan harus melibatkan kelompok umur yang sama
e. Melibatkan orang tua (Supartini, 2004)
E. Analisis Jurnal

Hospitalisasi merupakan keadaan dimana seseorang dalam kondisi

yang mengharuskan untuk mendapat perawatan dirumahsakit untuk

mengatasi atau meringankan sakitnya. Hospitalisasi pada anak dapat

menimbulkan kecemasan dan stress dimana hal itu diakibatkan karena

adanya perpisahan, kehilangan control, ketakutan mengenai kesakitan pada

tubuh, serta nyeri dimana kondisi tersebut belum pernah dialami sebelumnya

(Setiawati, 2019).

Children are the future of every nation. If today’s children are healthy,

it can lead to a much healthier future. An important index used to estimate

the Nation‘s health is the status of health of children in the country. Children

lack the language skills vocabulary and abstract thinking abilities and they

have difficulties in expressing themselves with words. Hospitalization to any

child is a very unpleasant and traumatic experience. Hospitalized children

require more recreational play because illness and hospitalization constitute

a crisis in child’s life and since these situations are fraught with

overwhelming stresses, children need to play out their fears and anxieties as

a means to cope with these stresses. The play is a universal language of

children. Play therapy is very effective to revisited traumatic memories in

order to get a child familiarity to fear and anxiety. A study was conducted in

the pediatric wards of Christian Medical College and Hospital, Vellore, by

Rebecca to assess the knowledge, attitude, and practice of the parents and

nursing personnel regarding the importance of play needs in hospitalized

children in the age group of 1 month to 12 years.

19
Play therapy was given for 2 consecutive days at 4 hrs interval for

half an hour, three times in a day near the bedside (ie at 9 am, 1 pm and 5

pm) individually for the experimental group of hospitalized children based on

age and gender. Post-test was conducted at the end of the second day using

state anxiety inventory scale (Davidson,2017).

Pelaksanaan terapi bermain berdasarkan kategori usia. Permainan

anak usia 0-1 tahun antara lain permainan kerincing, sentuhan, mengamati

mainan, meraih mainan, bermain bunyi- bunyian, mencari mainan,

menyusun donat warna warni, mengenal bagian tubuh (Setiawati, 2019).

Terdapat penurunan tingkat kecemasan pada anak akibat hospitalisasi

antara sebelum dan sesudah dilakukan terapi bermain RSUD Ambarawa

yaitu nilai rata rata sebesar 20.77, nilai minimum 5, nilai maksimum 34 dan

standar deviasi 8.310 menjadi nilai rata rata sebesar 14.87, nilai minimum 7,

nilai maksimum 24 dan standar deviasi 5.290. Ada pengaruh terapi bermain

terhadap penurunan kecemasan anak sebagai dampak hospitalisasi di

RSUD Ambarawa dengan P-value =0.003< α=0.0.

Music therapy is an evidence and art-based health profession which

uses music experiences within a therapeutic relationship to address clients’

physical, emotional, cognitive, and social needs (Stegemann, 2019).

Peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang pengaruh terapi

musik baby shark terhadap kecemasan anak usia prasekolah akibat rawat

inap di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Terapi musik baby shark ini dipilih

karena merupakan lagu anak-anak dengan lirik yang begitu sederhana

dengan video yang sangat menarik sehingga anak-anak akan tertarik untuk

menyaksikannya berulang-ulang. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa

20
nilai rata-rata sebelum diberikan terapi musik baby shark 9,94. Setelah

diberikan terapi musik baby shark nilai rata-rata yaitu 6,18. Hasil uji statistik

paired sample t-test diperoleh beda mean yaitu 3,765 dan nilai p-value

0,000 dengan jumlah responden 34 orang anak maka dapat disimpulkan ada

pengaruh terapi musik baby shark terhadap kecemasan anak usia

prasekolah yang dirawat inap di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.

BAB III

METEDEOLOGI

A. Metode Penelitian

21
Penelitian ini menggunakan quasi experimental design. Secara spesifik

menggunakan pre dan post test design untuk mengetahui pengaruh terapi

bermain dan musik terhadap hospitalisasi anak.


B. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Anak Rumah sakit Umum Daerah

Cibabat.
C. Subject Penelitian
Responden penelitian ini adalah anak pada tahap infant yang

mengalami hospitalisasi. Dengan total subject sebanyak 6 anak untuk terapi

neramain dan 6 anak untuk terapi musik.


D. Teknik sampel
Penelitian menggunakan purposive dan random sampling yang dipilih

sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria Inklusi :

1. Di rawat di ruang anak

2. Usia infant

3. Mengalami hospitalisasi

Kriteria eksklusi :

1. Anak yang nampak tenang bila didekati perawat

2. Anak yang akan pulang

E. Instrumen Penelitia
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Mainan yang berwarna mencolok, menyala dan menghasilkan bunyi

2. Musik dengan lagu anak-anak

3. Kuesioner

Prosedur pengambilan data

Subject terpilih :
1. Di rawat di ruang anak
2. Usia infant
3. Mengalami hospitalisasi
22
Anak dengan terapi
Anak dengan terapi musik
bermain 6 responden
6 responden

Pre-test
Pengisian kuesioner oleh perawat

Intervensi : Terapi bermain Intervensi : Terapi musik


Dilakukan selama 3 hari Dilakukan selama 3 hari

Post -Test
Pengisian kuesioner oleh perawat

F. Analisa Data
Untuk menginterpretasikan data yang didapatkan, peneliti menggunakan

analisis univariat, bivariat dan uji statistik t-test (paired simple t-test dan

independent t-test)

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan dipapakan hasil dari penelitian yang dilakukan tim

peneliti pada tanggal 3 – 5 Oktober 2019 di Ruangn Anak (C6) RSUD

Cibabat Cimahi, dengan melibatkan 12 responden yang mengalami

kecemasan selama dirawat di rumah sakit, 12 responden ini kemudian dibagi

menjadi dua kelompok yaitu kelompok terapi bermain dan kelompok terapi

musik.

24
Penelitian ini dilakukan berdasarkan beberapa jurnal mengenai

pengaruh terapi bermain dan terapi musik yang dijadikan acuan untuk

menurunkan tingkan kecemasan pada anak selama di rawat di rumah sakit.


Proses penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan terapi

bermain dan terapi musik pada dua kelompok responden, sebelum terapi

dilakukan peneliti mengisi kuesioner untuk mengukur tingkat kecemasan

anak sebelum diberikan terapi, kemudian kuesioner kembai diisi untuk

mengkur tingkat kecemasan anak setelah diberikan terapi. Terapi diberikan

selama 3 hari berturut-turut dengan 3 kali perlakuan dalam 1 hari.


1. Analisa Univariat
a. Gambaran tingkat kecemasan anak sebebelum diberikan terapi

bermain
Tabel 4.1 Gambaran tingkat kecemasan anak sebebelum diberikan terapi bermain
Kategori Frequenci (f) Percent (%)
Sedang 5 83.3%
Berat 1 16.7%
Total 6 100%
Sumber : Data Primer 2019
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.1 terhadap 6

responden anak yang mengalami kecemasan di RSUD Cibabat

sebelum dilakukan terapi bermain menunjukan 5 responden (83.3%)

mengalami kecemasan sedang dan 1 responden (16.7%) mengalami

hospitalisasi berat.
b. Gambaran tingkat kecemasan anak setelah diberikan terapi

bermain
Tabel 4.2 Gambaran tingkat kecemasan anak setelah diberikan terapi bermain
Kategori Frequenci (f) Percent (%)
Sedang 2 66.7%
Ringan 4 33.3%
Total 6 100%
Sumber : Data Primer 2019
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.2 terhadap 6

responden anak yang mengalami kecemasan di RSUD Cibabat

setelah dilakukan terapi bermain menunjukan 4 responden (33.3%)

25
mengalami kecemasan ringan dan 2 responden (66.7%) mengalami

kecemasan sedang.
c. Gambaran tingkat kecemasan anak sebebelum diberikan terapi

musik
Tabel 4.3 Gambaran tingkat kecemasan anak sebebelum diberikan terapi musik
Kategori Frequenci (f) Percent (%)
Sedang 6 100%
Total 6 100%
Sumber : Data Primer 2019

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.3 terhadap 6

responden anak yang mengalami kecemasan di RSUD Cibabat

sebelum dilakukan terapi musik menunjukan bahwa seluruh

responden yakni 6 responden (100%) mengalami kecemasan

sedang.
d. Gambaran tingkat kecemasan anak setelah diberikan terapi

musik
Tabel 4.4 Gambaran tingkat kecemasan anak setelah diberikan terapi musik
Kategori Frequenci (f) Percent (%)
Sedang 6 100%
Total 6 100%
Sumber : Data Primer 2019

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.3 terhadap 6

responden anak yang mengalami kecemasan di RSUD Cibabat

setelah dilakukan terapi musik menunjukan bahwa seluruh responden

yakni 6 responden (100%) mengalami kecemasan sedang.


2. Analisa Bivariat
Tabel 4.5 Hasil Uji normalitas data tingkat kecemasan anak

Hasil
Nilai Variabel
Tingkat
Skewness Standar Error Distribusi Data
Hospitalisasi
-0.250 0.637 0.39
Sumber : Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 4.5 setelah nilai Skewness (-0.250) dibagi

standar error (0.637) didapatkan hasil tingkat kecemasan pada anak

26
adalah 0.39, maka data berdistribusi normal karena distribusi data

dikatakan normal bila hasil bagi antara Skewness dengan standar error

adalah -2 sampai dengan 2. Sehingga uji statistik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah uji statistik parametrik dengan Independent T Test

seperti yang ditunjukan ada tabel 4.6 dibawah ini.

Tabel 4.6 Hasil Uji Statistik Independen T Test efektifitas terapi bermain dengan terapi
musik pada kecemasan anak di ruang anak RSUD Cibabat

Terapi Mean Std. Std. P N


Deviasion Error Value
Terapi Bermain 22.33 3.882 1.585
6 0.002
Terapi Musik 30.00 2.366 0.966
6 0.003
Sumber : Data Primer 2019
Berdasarkan tabel 4.6 hasil analisa mengenai efektivitas terapi

bermai dengan terapi musik pada kecemasan anak di ruang anak (C6)

RSUD Cibabat didapatkan hasil Mean terapi bermain adalah 22.33,

dengan nilai Std. Deviasion sebesar 3.882, dan Std. Error sebesar 1.585.

sedangkan hasil Mean pada terapi bermain adalah 30.00, dengan nilai

Std. Deviasion sebesar 2.366, dan Std. Error sebesar 0.966.


Hasil Uji Statistik dengan Uji Independent T Test dua kelomok tidak

berpsangan dengan uji parametrik diperoleh nilai P terapi bermain (0.002)

dan nilai P terapi musik (0.003) < ɑ (0.05) maka Ho ditolak. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara terapi

bermain dengan terapi musik, dengan terapi bermain yang lebih efektif

untuk menurunkan tingkan kecemasan anak dibanding dengan terapi

musik.
B. Pembahasan
1. Gambaran tingkat hospitalisasi anak sebebelum diberikan terapi

bermain
Hasil penelitian yang dilakukan pada 6 responden anak yang

mengalami kecemasan di RSUD Cibabat sebelum dilakukan terapi

27
bermain menunjukan 5 responden (83.3%) mengalami kecemasan

sedang dan 1 responden (16.7%) mengalami hospitalisasi berat.


Hal ini menunjukan jika anak mengalami kecmasan selama

dirawat di rumah sakit karena berbagai faktor yang mempengaruhi

beberapa diantaranya adalah tindakan keperawatan seperti menyuntik

dan menginfus yang menjadi ketakutan anak selama dirawat, hal ini pula

yang membuat anak menolak untuk didekati perawat dengan respon

menangis kencang sampai menjerit dan marah.


Seperti yang dijelaskan Novarita, dkk (2017) dalam jurnalnya

yang berjudul terapi bermain terhadap tingkat kecemasan pada anak

usia 3-5 tahun yang berobat di Puskesmas, Novarita menjelaskan jika

kecemasan adalah kondisi yang sering ditemukan pada anak yang

sedang sakit. Novarita juga menjelaskan jika hampir dalam setiap

perkembangan usia anak, kecemasan dan ketakutan akan setiap

tindakan medis masih menjadi masalah besar dalam pelayanan

keperawatan. Bagi anak-anak, rumah sakit adalah tempat yang paling

menakutkan.
2. Gambaran tingkat hospitalisasi anak setelah diberikan terapi

bermain
Hasil penelitian yang dilakukan pada 6 responden anak yang

mengalami kecemasan di RSUD Cibabat setelah dilakukan terapi

bermain menunjukan 4 responden (33.3%) mengalami kecemasan

ringan dan 2 responden (66.7%) mengalami kecemasan sedang. Jika

dibandingkan dengan tingkat kecemasan sebelum diberikan tindakan

terapi bermain pada anak yang mengalami kecemasn jelas terdapat

perbedaan. Setelah diberikan terapi tingkat kecemasan anak didominasi

pada tingkat cemas ringan diikuti cemas berat. Setelah dilakukan

28
observasi, anak tampak lebih tenang dari sebelumnya, walaupun harus

selalu ditemani ibunya, anak tidak menangis saat didekati perawat dan

mau diberikan tindakan keperawatan dibarengi bermain dengan mainan

yang memiliki warna mencolok, memiliki cahaya dan suara.


Hal ini sejalan dengan yang jelaskan oleh Novarita, dkk (2017)

dalam jurnalnya yang menyatakan jika bermain adalah pekerjaan rutin

yang dilakukan secara volunter dan tidak ada tekanan atau pun paksaan

dari luar. Hasil penelitian Novarita, dkk (2017) menunjukan bahwa

terdapat pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kecemasan pada

anak usia pra sekolah 3-5 tahun yang berobat di puskesmas.


3. Gambaran tingkat hospitalisasi anak sebebelum diberikan terapi

musik
Hasil penelitian pada 6 responden anak yang mengalami

kecemasan di RSUD Cibabat sebelum dilakukan terapi musik

menunjukan bahwa seluruh responden yakni 6 responden (100%)

mengalami hospitalisasi sedang. Hal ini terjadi karena anak tidak

mampu berdapatsai dengan lingkungan baru ditamabah dengan

tindakan medis yang membuat anak takut berada di rumah sakit sampai

menangis, menjerit bahkan marah dan menolak perawat atau tenaga

medis lain untuk mendekatinya.


4. Gambaran tingkat hospitalisasi anak setelah diberikan terapi musik
Hasil penelitian pada 6 responden anak yang mengalami

kecemasan di RSUD Cibabat setelah dilakukan terapi musik

menunjukan bahwa seluruh responden yakni 6 responden (100%)

mengalami hospitalisasi sedang. Hal ini menunjukan jika tidak terdapat

perbedaan antar sebelum dan setela diberikan terapi musik pada anak.

Anak cenderung menolak tindakan yang tidak disukainya dengan cara

menangis dan menjerit, bahkan sampai melempar barang yang tidak

29
disukainya, hal ini juga berlaku untuk musik yang mungkin memang

tidak disukai anak atau karena rasa takut yang terlalu besar sehigga

rasa takut pada anak tidak dapat didistraksi oleh musik.


5. Efektifitas terapi bermian dengan terapi musik terhadap penurunan

tingkat kecemasan anak di ruang anak (C6) RSUD Cibabat


Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh terapi

bermain dengan terapi musik terhadap penurunan tingkat kecemasan

anak yang di rawat di ruang anak (C6) RSUD Cibabat dengan terapi

bermain yang lebih efektif digunakan untuk menurunkan kecemasan dari

pada terapi musik. Hal ini ditunjukan dengan nilai P Value (0.002) terapi

bermain lebih kecil dari P Value terapi musik (0.003).

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian mengenai pengaruh terapi bermain

dengan terapi musik terhadap penurunan tingkat kecemasan pada anak yang

30
dirawat di ruang anak (C6) RSUD Cibabat yang dilaksanakan pada tangga 3 – 5

Oktober 2019 terhadap 12 responden yang di bagi menjadi dua kelompok intervensi

yakni 6 responden kelompok terapi bermain dan 6 kelompok terapi musik. Maka

dapat disimpulkan bahwa :


1. Sebelum diberikan terapi bermain pada anak yang dirawat di ruang anak

(C6) RSUD Cibabat menunjukan bahwa terdapat kecemasan pada anak

dengan kategori sedang terbanyak diikuti kategori berat.


2. Setelah diberikan terapi bermain pada anak yang dirawat di ruang anak

(C6) RSUD Cibabat menunjukan bahwa terdapat penurunan kecemasn

pada anak dengan kategori ringan terbanyak diikuti kategori sedang.


3. Tingkat kecemasan pada anak yang dirawa di ruang anak (C6) RSUD

Cibabat sebelum dan setelah dilakukan terapi musik tidak mengalami

perubahan dengan hasil pretest dan postest semua responden terapi

musik berada di kategori sedang.


4. Terdapat perbedaan antara terapi bermain dengan terapi musik, dengan

terapi bermain yang lebih efektif untuk menurunkan tingkan kecemasan

anak dibanding dengan terapi musik.


B. Saran
Bermain adalah bagian penting dalam masa tumbuh kembang anak,

sehingga di harapkan baik orang tua maupun tenaga kesehatan lainnya

mampu mengaplikasikan terapi bermain pada pasien-pasien anak yang

sedang di rawat.

31

Anda mungkin juga menyukai