Anda di halaman 1dari 9

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga kami
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari seluruh komponen yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah yang berjudul “Istihsan dan Pengaplikasiannya“
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, serta seluruh masyarakat indonesia khususnya para mahasiswa untuk
kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun manambah isi makalah ini agar menjadi
lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin dalam
pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh
siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah
sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini
dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan
istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa
penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath
para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini
adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih
hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Istihsan?
2. Apa sajakah macam-macam Istihsan?
3. Apa sajakah kehujjahan Istihsan ?
4. Apa sajakah Contoh Istihsan ?

1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui definisi istihsan
2. untuk mengetahui macam-macam istihsan
3. untuk mengetahui kehujjahan istihsan
4. untuk mengetahui contoh istihsan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Istihsan

Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah
Ulama’ Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata)
kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan
baginya perpindahan ini.
Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan yang artinya adalah
apapun yang baik dari sesuatu. Istihsan sendiri kemudian berarti kecenderungan seseorang
pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bersifat lahiriyah (hissiy) ataupun
maknawiyah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Menurut istilah dari Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi yaitu salah seorang ulama’ ushul,
memberikan pendapat tentang Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan
hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang
membutuhkan keadilan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan
lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang
dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

2.2 Macam-macam Istihsan

Dari definisi istihsan menurut syara’, jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:

Pentarjihanqiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu dalil.
Contohnya: Fuqoha Hanafiyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman binatang buas,
seperti burung nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan
Istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia merupakan
sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa minuman buas
seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti
hukuman dagingnya.
Sedangkan segi Istihsannya adalah bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya
diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan
sisa minumannya, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk
dalam tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang
bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis.
Dari contoh tersebut, terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama
adalah qiyas yang nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang tersembunyi,
kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Dan dalil yang
menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Contohnya: Syari’ (Pembuat hukum: Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada,
namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan kepada salam (pemesanan), sewa
menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah, musaqat (akad bagi hasil
penyiraman tanaman), dan istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad
berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
Pada contoh diatas, ada pengecualian kasus dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah
yang menurut istilah disebut dengan istihsan.

2.3 Kehujjahan Istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasannya
pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya
hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkanqiyas yang
tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor
yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Itulah segi Istihsan.
Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang
menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan juga yang disebut dengan segi
istihsan.
Adapun kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:
Ulama’ Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu
pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa
Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali
terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.

Ulama’ Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitupula menurut Abu
Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.

Ulama’ Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya
istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal
Al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh
Abu Hanifah, namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan
Hanabilah.

Ulama’ Syafi’iyah
Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul
menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah
membuat syari’at.” Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT.,
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas. Namun tidak
boleh menggunakan istihsan.”

2.4 Contoh Istihsan dalam Ekonomi dan Keuangan Islam


Seseorang dititipi barang harus menganti barang yang dititipkan kepadanya apabila
digunakan untuk mengongkosi hidupnya, apabila seorang anak menitipkan barang kepada
ayahnya kemudian barang tersebut digunakan oleh ayahnya untuk membiayai hidupnya, maka
bedasarkan Istihsan si ayah tidak wajib menggantinya, karena ia mempunyai hak mengunakan
harta anaknya untuk keperluan membiayai hidupnya.
Dari contoh yang lain yaitu seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum
apabila ia sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh
ibunya untuk membeli garam kewarung? Bedasarkan Istihsan anak kecil diperbolehkan
membeli barang barang yang kecil yang menurut kebiasaan yang tidakmenimbulkan
kemafsadatan.
Air sisa binatang buas itu najis. Bagaimana sisa burung yang buas? Berdasarkan Istihsan sisa
burung yang buas tidak najis karena burung minum dengan paruhnya jadi air liur tidak
mengenai air.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih
cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan
satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

Macam macam istihsan ada dua macam, yaitu pertama: Pentar jihan qiyas khafi (yang
tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu dalil. Kedua: Pengecualian kasuistis
(juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu dalil.

Contoh istihsan dalam Ekonomi dan Keuangan Islam, Seseorang dititipi barang harus
mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk mengongkosi
hidupnya, apabila seorang anak menitipkan barang kepada ayahnya kemudian barang tersebut
digunakan oleh ayahnya untuk membiayai hidupnya, maka bedasarkan Istihsan si ayah tidak
wajib menggantinya, karena ia mempunyai hak mengunakan harta anaknya untuk keperluan
membiayai hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Khalaf Abdul, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Syafe’i Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

Wahab, Khalaf Abdul, 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama.

Al-KhudhariBiek, Muhammad, 2007, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani.

[1] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), Jakarta, 1996,
hlm. 120

[2] DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 111-112

[3] Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110

[4] Syaikh Muhammad al-KhudariBiek, Ushul Fiqih, Jakarta, 2007, hlm. 734

[5] Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110

[6] DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 112
Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Desa

DOSEN PENGAMPU: Neng Yanti widiyanti SST.,M.kes

Di sususun oleh:
1.Ejelina
2.Febi binasti
3.Fitri amelia s
4.

Riska Novita Sari (1910603004)


Rindi Febriyani (1910603001)

Prodi Perbankan Syariah


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Tahun ajaran : 2019

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I.
LATAR BELAKANG.................................................................................................1.1
RUMUSAN MASALAH............................................................................................1.2
TUJUAN.......................................................................................................................1.3
BAB II.
DEFINISI ISTIHSAN...................................................................................................2.1
MACAM-MACAM ISTIHSAN...................................................................................2.2
KEHUJJAHAN ISTIHSAN.........................................................................................2.3
CONTOH ISTIHSAN DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN ISLAM...........2.4
BAB III
KESIMPULAN..............................................................................................................3.1
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai