(Gunarto)
ABSTRAK
393
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
The objective of the research was to compare the effect of addition of carbohydrate
source (starch flour) and probiotics fermentation to the water quality and the growth,
survival, and production of tiger shrimp in intensive brackishwater pond system. Six
pond compartments each sized approximately of 4,000 m2, went through preparation
stages (pond drying, ploughing, liming, filling the pond with sea water and fertilyzing).
Then the ponds were stocked with tiger shrimp post larvae day 25 at stocking density
of 20 ind./m2. Three treatments were tested, A). the addition of starch flour in pond
water column at a dosage of 62% of the total given feed per day, and applied every
five days during the first month of shrimp culture, and then every three days from
the second month to harvest time; B). the addition of probiotic fermentation to the
pond water column and was given at 5 mg/L/week; and C). the addition of probiotic
fermentation to the pond water column and was given at 10 mg/L/week. Result of the
research showed that the addition of starch flour was able to decrease the ammonia
concentration in treatment A, but there was no significant difference (P>0.05) with
the ammonia concentration compared to the treatment B and C. Total Organic
Matter (TOM) at day 112 in treatment C was the lowest and significantly different
(P<0.05) with TOM in treatment B and A. There was also an indication of increasing
heterothrophic bacterial population and Sulphur Oxidizing Bacterial (SOB) in the
sediment pond of treatment C in the fourth month of culture period. Dissolved oxygen
in treatment C relatively was higher than those of treatment A and B. These conditions
presummably have caused the higher of shrimp growth, survival rate and production
in treatment C compared to the treatment A and B. The lowest of feed conversion
ratio was also obtained by treatment C and the highest was treatment A. Statistical
analysis on shrimp growth, survival, production, and feed convertion ratio were not
significantly different (P>0.05) among those treatments.
394
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
2000; Smith et al., 2002; Gunarto et al., 2009). yang direkomendasikan. Hewan uji yang
Amonia (NH3) bebas yang tidak terionisasi digunakan adalah benur windu (Penaeus
bersifat toksik pada organisme akuatik monodon) PL-25 dengan padat tebar 20
termasuk udang. Toksisitas amonia akan ekor/m2 ditebar setelah tambak dinyatakan
meningkat apabila terjadi penurunan oksigen siap untuk ditebari.
terlarut, pH, dan suhu air tambak (Effendi,
Perlakuan yang diuji adalah:
2003). Menurut Boyd (1990), konsentrasi
amonia sebanyak 0,45 mg/L mampu mengu- a. Penambahan sumber C karbohidrat (tepung
rangi laju tumbuh udang penaeid sampai 50%. tapioka) ke air tambak sebanyak 62% dari
total pakan yang diberikan per hari dan
Pada penelitian terdahulu tentang peng- diberikan setiap lima hari sekali pada bulan
gunaan probiotik dengan dosis berbeda pertama pemeliharaan dan selanjutnya
menunjukkan bahwa pada aplikasi di tambak diberikan setiap tiga hari sekali pada bulan
udang vaname pola intensif dengan dosis 5 kedua hingga menjelang panen
mg/L/minggu (perlakuan B) menghasilkan
sintasan udang vaname yang lebih tinggi dan b. Aplikasi fermentasi probiotik ke air tambak
efisien dalam penggunaan pakan dibanding sebanyak 5 mg/L/minggu
dengan dosis 1 dan 3 mg/L/minggu (Gunarto c. Aplikasi fermentasi probiotik ke air tambak
et al., 2009). Sedangkan penggunaan pro- sebanyak 10 mg/L /minggu
biotik 10 mg/L/minggu (perlakuan C) dengan
komposisi bahan dasar yang berbeda meru- Masing-masing perlakuan dengan dua
pakan satu metode yang telah digunakan oleh ulangan. Kincir masing-masing 1 PK dipasang
beberapa pengusaha tambak budidaya udang sebanyak 2 unit /petak dan operasionalnya
vaname pola intensif di Indonesia yang tergantung kondisi. Pada waktu awal peme-
tujuannya sekaligus untuk menumbuhkan liharaan hanya satu unit kincir dioperasikan
bioflok di samping untuk mempercepat pada malam hari. Setelah masuk bulan kedua
degradasi bahan organik yang ada di pelataran dan ketiga pemeliharaan, semua kincir
tambak. Penggunaan sumber C karbohidrat dioperasionalkan. Pakan pelet komersial yang
di tambak diharapkan akan dapat menum- mengandung protein sekitar 35% diberi-
buhkan bakteri heterotrof yang apabila bakteri kan sejak awal setelah penebaran sebanyak
tersebut membentuk bioflok dan dimanfaatkan 70% dari total biomassa dan menurun pada
sebagai substitusi pakan bagi udang yang dua minggu pertama menjadi 8% dari total
dibudidayakan, maka akan menyebabkan biomassa dan terus menurun hingga pada
penggunaan pakan menjadi lebih efisien. bulan ketiga pemeliharaan tinggal 2% dari
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan bobot total biomassa udang. Pemberian pakan
efek penggunaan sumber C karbohidrat dengan frekuensi 2-4 kali sehari. Waktu
(tepung tapioka) dan probiotik dengan kon- pemeliharaan selama 112 hari.
sentrasi berbeda (5 dan 10 mg/L/minggu) Peubah yang diamati selama pemeliharaan
yang ditebarkan di air tambak pemeliharaan meliputi pertumbuhan udang yang dimonitor
udang windu yang dibudidayakan secara setiap dua minggu dengan cara menimbang
intensif, terutama melihat efeknya terhadap udang menggunakan timbangan elektronik
perbaikan kualitas air, laju tumbuh, dan yang mempunyai ketelitian 0,1 g. Sedangkan
produksi udang windu. sintasan, produksi, dan konversi pakan
BAHAN DAN METODE dihitung pada akhir penelitian. Parameter
penunjang yang diamati meliputi kualitas air
Tambak ukuran 4.000 m2 sebanyak enam (nitrit-nitrogen, amoniak-nitrogen, nitrat-
petak digunakan untuk penelitian. Sebelum nitrogen, Bahan Organik Total dan fosfat),
penebaran hewan uji, dilakukan persiapan total bakteri, total Vibrio sp., dan klorofil-a.
tambak dan pengolahan tanah dasar tambak Sampling di setiap petak dari enam petak
serta pemasangan saringan air di pintu tambak dilakukan setiap dua minggu dengan
pemasukan dan pengeluaran. Untuk menun- cara mengambil sampel air sebanyak 400 mL
jang perbaikan kualitas tanah dilakukan untuk analisis kimia air, 50 mL untuk analisis
pengeringan dan pembalikan tanah tambak, bakteria air, 20 g sedimen tambak untuk
pemberian kapur bakar sebanyak 500 kg/ha. analisis bakteri sedimen. Semua sampel
Setelah dilakukan pengisian air tambak, maka disimpan dalam cold box dan diberi es yang
diberikan pupuk urea dan SP-36 sesuai dosis dibungkus dalam plastik. Kemudian sebagian
395
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
Tabel 1. Perlakuan yang diuji dan komposisi bahan untuk fermentasi probiotik
Table 1. The tested treatments and material compositions for probiotic fermentations
A B C
Bahan: t epung t apioka Bahan ferment asi Bahan ferment asi probiot ik
Jumlahnya tergantung probiot ik Fase 1
jumlah pakan y ang 1. Dedak halus = 900 g Dedak 2 ons, tepung kedelai
diberikan ke udang 2. Tepung ikan = 0,5 kg 2 ons, tepung ikan 1 ons
3. Molase = 0,5 L tambah air tambak 2 liter
4. Probiotik = 0,5 L didihkan. Dinginkan, tambahkan
5. Marine Yeast = 20 g air tambak 20 liter dan probiotik
Rebus air tambak 15 liter 1 liter. Aerasi selama 24 jam
dalam panc i sampai Fase II
mendidih, masukkan dedak, Campur Fase I dengan dedak
tepung ikan, molase, yeast 2 kg, tepung kedelai 2 kg,
diaduk selama 30 menit. tepung ikan 2 kg, ragi 100 g,
Adonan diturunkan dari dan air tambak 60 L, aerasi
kompor dan didinginkan. selama 2 x 24 jam, selanjutny a
Wadah tetap tertutup rapat. adonan siap ditebar di tambak
Setelah dingin, masukkan Pada bulan ket iga
probiotik 0,5 liter. pemeliharaan. Komposisi fase
Selanjutnya berikan aerasi II berubah menjadi: c ampur fase
dan dibiarkan teraerasi I dengan Molase 1 L, ragi 50 g,
selama 3 x 24 jam hari. dan air tambak 60 L, aerasi
Selanjutnya adonan siap 2 x 24 jam. Adonan siap ditebar
ditebar di tambak di tambak
sampel dibawa ke laboratorium air dan Rancangan Acak Lengkap. Dilanjutkan dengan
sebagian lainnya dibawa ke laboratorium uji Beda Nyata Terkecil (BNT) apabila terdapat
Kesehatan Ikan dan Lingkungan di Balai Riset perbedaan yang signifikan diantara perlakuan
Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Maros. yang diuji.
Analisis parameter kualitas air dilakukan
berdasarkan kaedah dari Anonim (2003) dan HASIL DAN BAHASAN
Clesceri et al. (2005). Sedangkan untuk
analisis klorofil-a berdasarkan kaedah dari Kualitas Air
Strickland & Parsons (1972). Analisis total Vibrio
Beberapa parameter kualitas air yang
dan total bakteri dilakukan dengan kaedah
dimonitor secara harian di tambak ditunjukkan
total plate count (TPC). Pengamatan harian
pada Tabel 2. Dari Tabel 2, nampak bahwa suhu
terhadap salinitas, suhu air, pH, oksigen
air terutama pada bulan Juli terjadi penurunan
terlarut dilakukan pada setiap pukul 06.00-
pada pagi hari yaitu pada bulan Mei-Juni suhu
07.00 pagi hari.
air mencapai 25oC-27,3oC di pagi hari pukul
Data pertumbuhan udang, produksi, sin- 04.00-07.00, tetapi setelah masuk bulan Juli
tasan, konversi pakan, kualitas air, total bakteri sampai September suhu air pada pagi hari
Vibrio sp., bakteri heterotrof, SOB, SRB, dan pukul 04.00-07.00 hanya mencapai 22 oC-
klorofil-a dari setiap perlakuan yang diperoleh 22,2oC (Tabel 2, Gambar 1). Hal ini mungkin
dianalisis menggunakan analisis Varians pola yang disebut sebagai musim “bediding” dan
396
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
Tabel 2. Kisaran beberapa parameter kualitas air tambak budidaya udang windu pola intensif
Table 2. The range of water quality parameters in the intensive tiger shrimp culture
Paramet er kualit as air Nilai kisaran ( Range of values ) Nilai opt imum
Wat er qualit y param et ric Opt im um values
A B C
Keterangan (Notes):
A. Penambahan sumber C karbohidrat (tepung tapioka) sebanyak 62% dari total pakan yang diberikan
per hari dan diberikan setiap 3-5 hari sekali; B. Aplikasi fermentasi probiotik 5 mg/L/minggu;
C. Aplikasi fermentasi probiotik 10 mg/L /minggu (A. The addition of carbohydrate (starch flour) as
much as 62% of the total given feed per day and was applied every 3-5 days; B. probiotic fermentation
application 5 mg/L/week; C. Probiotic fermentation application 10 mg/L/week)
397
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
9
8
7
Oxygen (mg/L)
Oksigen 6
5
4
3 A (KH 62%)
2 B (5 mg/L)
1 C (10 mg/L)
0
22 1 4 7 10 13 16 19 22
Hari (Day)
10
9
8
Oxygen (mg/L)
7
Oksigen
6
5
4 A (KH 62%)
3
B (5 mg/L)
2
C (10 mg/L)
1
0
22 1 4 7 10 13 16 19 22
Hari (Day)
35
Water temperature (oC)
30
25
Suhu air
20
15
10 A (30 hari)
5 B (110 hari)
0
22 1 4 7 10 13 16 19 22
Hari (Day)
398
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
50
45
40
BOT (TOM) (mg/L)
35
30
25
20 A (KH 62%)
15
B (5 mg/L)
10
C (10 mg/L)
5
0
1 14 28 42 56 70 84 98 112
Hari (Day)
399
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
0.9
A (KH 62%)
0.05
A (KH 62%)
0.04 B (5 mg/L)
Nitrit (Nitrite) (mg/L)
C (10 mg/L)
0.03
0.02
0.01
0
1 14 28 42 56 70 84 98 112
Hari (Day)
amoniak sangat berfluktuatif, pada awal untuk budidaya udang di tambak yaitu 0,01-
penelitian paling tinggi yaitu mencapai 0,8 0,05 mg/L (Adiwidjaya et al., 2003).
mg/L. Konsentrasi amoniak terendah dijumpai
pada hari ke 28, 42, dan 98 dan tertinggi yaitu Klorofil-a, Nitrat, dan Fosfat
mencapai 0,6 mg/L dijumpai pada hari ke-112.
Konsentrasi klorofil-a pada hari pertama
Konsentrasi nitrit berfluktuasi (Gambar 3 tinggi hanya dijumpai di perlakuan A, selan-
bawah), namun apabila dilihat kecende- jutnya semakin lama proses budidaya ber-
rungannya justeru pada perlakuan yang langsung, maka konsentrasi klorofil-a semakin
menggunakan penambahan tepung tapioka, meningkat, hal ini akibat akumulasi nutrien
konsentrasi nitrit lebih tinggi terutama pada semakin meningkat sebagai akibat proses
hari ke-28, kemudian hari ke-98 hingga hari regenerasi nutrien yang sumbernya berasal
ke-112. Konsentrasi nitrit di semua perlakuan dari sisa limbah organik yang terurai akibat
masih dalam ambang batas yang disarankan aktivitas bakteri. Dari hari ke-70 hingga hari
400
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
ke-112, nampak konsentrasi klorofil-a di air lebih rendah daripada di perlakuan A, hal
perlakuan A lebih rendah daripada di per- ini karena populasi bakteri heterotrof di
lakuan B dan C (Gambar 4 atas). Ini membukti- perlakuan B dan C lebih tinggi daripada
kan bahwa proses regenerasi nutrien akan yang ada di perlakuan A (Gambar 5 bawah).
dipercepat dengan adanya aplikasi fermen- Pada hari ke-42 hingga 98 total bakteri
tasi probiotik seperti yang dijelaskan oleh heterotrof di semua perlakuan nampak ber-
Poernomo (2004) bahwa bakteri probiotik yang fluktuasi pada kepadatan 106-107 cfu/mL dan
mampu mempercepat penguraian limbah pada hari ke-112 kepadatan populasi bakteri
organik menjadi mineral berguna bagi fito- heterotrof di perlakuan A dan C telah mening-
plankton yang ada di tambak sehingga proses kat menjadi 108 cfu/mL.
regenerasi nutrien menjadi lebih cepat, maka
Populasi Vibrio sp. di sedimen tambak pada
kepadatan populasi fitoplankton akan cepat
kepadatan 104-105 cfu/mL, nampak bahwa
tinggi dan ditunjukkan dengan konsentrasi
total bakteri heterotrof lebih berkembang di
klorofil-a yang lebih tinggi pada perlakuan B
perlakuan C, terutama pada hari ke-14, 84, 98,
dan C, terutama setelah hari ke-56.
dan 112.
Konsentrasi nitrat pada awal penelitian
cukup tinggi di semua perlakuan, hal ini Sulfate Reducing Bacteria (SRB) dan
sebagai akibat adanya pemupukan awal, Sulfur Oxidizing Bacteria (SOB)
sedangkan fitoplankton dan bakteri pada Pada bulan I hari ke-28 dan bulan ke-II hari
waktu itu kemungkinan populasinya masih ke-56 populasi bakteri SRB cukup tinggi di
rendah. Sehingga masih sedikit nutrien di air perlakuan B dan A yaitu mencapai 107 cfu/mL,
tambak yang dimanfaatkan untuk pertum- sedangkan di perlakuan C pada kepadatan 106
buhan fitoplankton dan bakteri. Namun cfu/mL. Pada bulan ke-III hari ke-84 dan bulan
selanjutnya konsentrasi nitrat terus menurun ke-IV hari ke-112 populasi bakteri SRB telah
sejalan dengan semakin lamanya penelitian menurun menjadi 104 cfu/mL di semua per-
berlangsung dan semakin meningkatnya lakuan. Pada dasarnya selama penelitian
konsentrasi klorofil-a di air tambak terutama berlangsung populasi bakteri SRB di perlakuan
setelah hari ke-56 hingga hari ke-112. Hal ini C cenderung selalu lebih rendah daripada di
berbeda dengan konsentrasi fosfat, di mana perlakuan A dan B (Gambar 7 atas). Sedangkan
pada awalnya rendah, namun semakin lama bakteri SOB pada bulan pertama hari ke-28
penelitian berlangsung konsentrasi fosfat populasinya cukup tinggi yaitu pada kepadatan
semakin meningkat, terutama setelah hari ke- 107-108 cfu/mL di semua perlakuan. Pada bulan
42 (Gambar 4 bawah). Hal ini menandakan ke-II (hari ke-56), bulan ke-III (hari ke-84) dan
bahwa lebih banyak nitrat yang dimanfaatkan ke-IV (hari ke-112) populasi bakteri SOB di
oleh fitoplankton daripada fosfat. perlakuan A relatif stabil, sedangkan di
Populasi Bakteri Vibrio sp. pada Air perlakuan B dan C pada bulan ke-II (hari ke-56)
dan Sedimen Tambak dan bulan ke-III ( hari ke-84) menurun sampai
kepadatan 106 cfu/mL. Pada bulan ke-IV (hari
Pada awal penelitian sampai hari ke-28, ke-112) populasi bakteri SOB di perlakuan C,
konsentrasi bakteri Vibrio sp. di air tambak nampak meningkat secara tajam menjadi 108
perlakuan A sedikit lebih tinggi daripada cfu/mL (Gambar 7 bawah). Sedangkan di
perlakuan B dan C. Hal ini karena bakteri perlakuan A dan B, populasi SOB tetap pada
heterotrof nampak lebih rendah di perlakuan kepadatan 107 cfu/mL.
A daripada di perlakuan B dan C. Pada hari ke-
42 sampai dengan hari ke-56 giliran populasi Pertumbuhan Udang Windu
Vibrio sp. di perlakuan C yang lebih tinggi
Pertumbuhan udang windu di tiga per-
daripada di perlakuan A dan B. Meskipun pada
lakuan yang diuji nampak semuanya lambat
hari ke-70 sudah mulai dilakukan penggantian
karena pada umur 112 hari bobot udang hanya
air, tetapi tidak nampak adanya penurunan
mencapai 13,9 ± 0,27g/ekor (A), 13,7 ± 1,41g/
populasi Vibrio sp. di air. Pada hari ke-98 hingga
ekor (B), dan 14,5 ± 0,09 g/ekor (C). Analisis
ke-112, populasi Vibrio sp. di air tambak
statistik menunjukkan perbedaan yang tidak
perlakuan A lebih rendah daripada di perlakuan
signifikan (P>0,05) di antara ketiga perlakuan
B dan C.
tersebut. Anonymous (2010) melaporkan di
Pada perlakuan B dan C nampak bahwa Brackishwater Aquaculture Research Centre,
pada hari ke-14 dan 28 populasi Vibrio sp. di Gelang Patah, Johor, Malaysia juga telah
401
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
160
0.16
0.14 A (KH 62%)
Nitrat (Nitrate) (mg/L)
0.12 B (5 mg/L)
0.10 C (10 mg/L)
0.08
0.06
0.04
0.02
0
1 14 28 42 56 70 84 98 112
Hari (Day)
0.30
Fosfat (Phosphate) (mg/L)
A (KH 62%)
0.25
B (5 mg/L)
0.20 C (10 mg/L)
0.15
0.10
0.05
0
1 14 28 42 56 70 84 98 112
Hari (Day)
402
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
4.0
3.5
9
Bacteria total (Log cfu/mL)
8
7
Total bakteri
6
5
4
A (KH 62%)
3
B (5 mg/L)
2
C (10 mg/L)
1
0
1 14 28 42 56 70 84 98 112
Hari (Day)
Gambar 5. Fluktuasi populasi bakteri Vibrio sp. di air (atas) dan total
bakteri heterotrof di air (bawah) tambak budidaya udang
windu pola intensif dengan pemberian sumber C
karbohidrat dan fermentasi probiotik
Figure 5. The fluctuation of Vibrio sp. (upper) and heterothrophic
bacterial population in the pond waters of tiger shrimp
cultured in the intensive systems treated with the addi-
tion of starch powder and probiotic fermentation
mencoba memelihara benur windu SPF PL-15 tidak jauh berbeda karena selama 112 hari rata-
yang didatangkan dari hatcheri udang windu rata bobot udang yang diperoleh mencapai
di Phuket, Thailand yang merupakan hatcheri 13-15 g/ekor. Hal ini sangat berbeda dengan
asosiasi dari Moana Nukleus Breeding Center yang dikemukakan oleh Murdjani et al. (2007)
di Hawai, dipelihara di tambak dengan padat bahwa standar pertumbuhan udang windu
tebar 17-25 ekor/m2 selama 120 hari diperoleh yang dibudidayakan secara intensif pada umur
ukuran dengan kisaran 10-17g/ekor dan 112 hari seharusnya telah mencapai ukuran
selanjutnya yuwana udang tersebut di- 26,1-30 g/ekor. Pada penelitian ini salinitas
pindahkan ke tambak lainnya dengan padat selama masa pemeliharaan udang di tambak
tebar 20-25 ekor/m2 selama 120 hari sehingga cukup tinggi yaitu pada kisaran 36-46 ppt di
mencapai ukuran 30-35 g/ekor. Apabila semua perlakuan, suhu air yang rendah pada
dibandingkan dengan pertumbuhan udang malam hingga pagi hari mencapai 22 o C
windu yang diperoleh pada penelitian ini, maka terutama pada bulan Juli hingga September.
403
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
3
A (KH 62%)
2
B (5 mg/L)
1 C (10 mg/L)
0
1 14 28 42 56 70 84 98 112
Hari (Day)
12
Bacteria total (Log cfu/mL)
10
Total bakteri
6
A (KH 62%)
4
B (5 mg/L)
2 C (10 mg/L)
0
1 14 28 42 56 70 84 98 112
Hari (Day)
Di samping itu juga kemungkinan kualitas (C). Hal ini karena benur yang digunakan adalah
pakan yang kurang memenuhi standar untuk tokolan PL-25 yang berdasarkan deteksi PCR
pakan udang windu yang dibudidayakan adalah bebas penyakit White Spot Syndrome
secara intensif. Pertumbuhan udang windu Virus (WSSV). Penggunaan PL-25 diharapkan
akan berbeda yaitu lebih cepat kemungkinan bahwa benur sudah cukup kuat beradaptasi
mencapai sesuai standar yang ditetapkan oleh terhadap perubahan lingkungan. Benur windu
Murdjani et al. (2007) apabila salinitas air tersebut diperoleh dari panti benih yang
tambak pada kondisi optimal (15-25 ppt). jaraknya tidak jauh dari tambak penelitian
Sintasan Udang Windu yaitu hanya 1,5 jam perjalanan dengan mobil,
sehingga benur tidak banyak mengalami stres
Sintasan udang windu di tiga perlakuan akibat dari transportasi. Di samping itu
yang diuji rata-rata cukup tinggi yaitu 90,27 ± penebaran benur dilakukan pada pagi hari
24,1% (A), 91,42 ± 8,33% (B), dan 98,86 ± 0,23% pukul 06.00, di mana suhu air masih rendah
404
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
10 A (KH 62%)
9
B (5 mg/L)
8
10
9
8
SOB (Log cfu/mL)
7
6
5
4
3 A (KH 62%)
2 B (5 mg/L)
1 C (10 mg/L)
0
I II III IV
Bulan (Month)
(22oC), juga semakin siang hari benur di- tinggi. Hasil analisis statistik terhadap nilai
hadapkan pada lingkungan tambak yang sintasan dari ketiga perlakuan yang diuji
semakin baik, karena konsentrasi oksigen di menunjukkan perbedaan yang tidak berarti
air tambak akan semakin meningkat. (P>0,05). Penelitian terdahulu menggunakan
petak tambak ukuran 500 m2 sistem resirkulasi
Awal pemberian pakan dimulai satu hari
dan diaplikasikan fermentasi probiotik dengan
setelah tebar dan kincir mulai dioperasionalkan
padat tebar udang windu sebanyak 8 ekor/m2
sebanyak satu unit terutama pada malam hari
dan satu unit kincir kekuatan 1 PK sebagai
setelah satu minggu pemeliharaan. Dengan
penyuplai oksigen, diperoleh sintasan udang
demikian kondisi pakan kecukupan dan
windu pada kisaran 74-78% selama 85 hari
kondisi lingkungan tambak terutama suplai
pemeliharaan di tambak. Faktor yang sangat
oksigen selalu di atas ambang minimal 3 mg/L.
penting untuk menunjang keberhasilan
Kemudian pengelolaan air melalui sistem
budidaya udang di tambak di samping kondisi
tandon, maka diperoleh sintasan udang yang
405
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
16
14
benur yang ditebar, juga dipengaruhi oleh tambak dengan banyak kepemilikan penge-
sistem kepemilikan tambak yaitu apakah satu lolaannya susah dikendalikan dalam semua
hamparan dengan banyak kepemilikan atau hal, misalnya waktu tebar, pemilihan benur,
satu hamparan tambak dengan satu kepemi- tingkat pengetahuan bertambak, dan lain-lain,
likan sehingga pengelolaan akan lebih mudah sehingga justru malah sering gagalnya
dikontrol. Sedangkan pada satu hamparan daripada berhasilnya dalam budidaya udang.
Tabel 4. Rata-rata bobot akhir, produksi, sintasan, dan nilai konversi pakan budidaya udang
windu pola intensif dengan penambahan sumber karbohidrat dan fermentasi
probiotik dengan dosis berbeda
Table 4. The means of shrimp final weight, survival, production, and feed conversion of
tiger shrimp culture in intensive pond system and treated with the addition of
starch powder and probiotic fermentation
Nilai
Bobot Berat akhir Produksi konversi
Sint asan
Perlakuan aw al Final (kg)/4. 000 m2 pakan
Survival
Treat m ent s Init ial weight Product ion Feed
rat e (%)
weight (g) (g) (kg)/4,000 m 2 convert ion
rat io
Keterangan (Notes):
A. Penambahan sumber C karbohidrat (tepung tapioka) sebanyak 62% dari total pakan yang
diberikan per hari dan diberikan setiap 3-5 hari sekali; B. Aplikasi fermentasi probiotik 5 mg/L/
minggu; C. Aplikasi fermentasi probiotik 10 mg/L /minggu (A. The addition of carbohydrate (starch
flour) as much as 62% of the total given feed per day and was applied every 3-5 days; B. probiotic
fermentation application 5 mg/L/week; C. Probiotic fermentation application 10 mg/L/week)
406
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
407
J. Ris. Akuakultur Vol.5 No.3 Tahun 2010: 393-409
408
Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (tepung tapioka) dan ..... (Gunarto)
vannamei) pola intensif. J. Ris. Akuakultur, K., Mardjono, M., Sutikno, E., Supito, Latief,
4(2): 241-255. M.S., Cokarkin, C., & Proyoutomo, T.P. 2007.
Gunarto & Burhanuddin. 2009. Pemeliharaan Penerapan best management practices
benur windu dengan penambahan sumber (BMP) pada budidaya udang windu (Penaeus
C-karbohidrat pada skala laboratorium. monodon Fabricus) intensif. Departemen
Prosiding seminar Tahunan VI, Hasil Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal
Penelitian Perikanan dan Kelautan. Jilid I, Perikanan Budidaya Balai Besar pengem-
Budidaya Perikanan, Jurusan Perikanan dan bangan Budidaya Air Payau, Jepara, 67 hlm.
Kelautan Fakultas Pertanian UGM, hlm. 1-7. Poernomo, A. 1978. Masalah udang penaeid
Gunarto, Burhanuddin, & Muliani. 2009. di Indonesia. Simposium modernisasi
Penambahan sumber C- karbohidrat dengan perikanan rakyat, Jakarta, 27 hlm.
frekuensi berbeda pada pemeliharaan Poernomo, A. 2004. Teknologi probiotik untuk
benur vaname di laboratorium. Prosiding mengatasi permasalahan tambak udang
Seminar Nasional Perikanan, Teknologi dan lingkungan budidaya. Makalah disa-
Budidaya Perikanan, 3-4 Desember 2009 jikan pada simposium nasional tentang
Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, hlm. 107- Perkembangan Ilmu dan Teknologi Inovasi
113. dalam bidang Akuakultur, pada tanggal
Hari, B., Kurup, B.M., Varghese, J.T., Schrama, 27–29 Januari 2004 di Semarang, 20 hlm.
J.W., & Verdegem, M.C.J. 2004. Effects of Samocha, T.M., Susmita, P., Burger, J.S., Almeida,
carbohydrate addition on production in R.V., Abdul-Mehdi, A., Zarrein, A., Harisanto,
extensive shrimp culture systems. Aqua- M., Horowitz, A., & Brock, D.L. 2006. Use of
culture, 241: 179-194. molasses as carbon source in limited dis-
Hari, B., Kurup, B.M., Varghese, J.T., Schrama, charge grow-out systems for Litopenaeus
J.W., & Verdegem, M.C.J. 2006. Effects of vannamei. Aquaculture America, p. 1-2.
carbohydrate addition on water quality and Smith, D.M., Burford, M.A., Tabrett, S.J., Irvin, S.J.,
the nitrogen budget in extensive shrimp & Ward, L. 2002. The effects of feeding
culture systems. Aquaculture, 252: 248- frequency on water quality and growth of
263. the black tiger shrimp (Penaeus monodon).
Ivan, D.S. 2005. Biosekurity budidaya Aquaculture, 207: 125-136.
Litopenaeus vannamei dan informasi Strickland, J.D.H. & Parsons, T.R. 1972. A practi-
beberapa penyakit. CP Prima, Surabaya, 26 cal handbook of seawater analysis (2nd Ed.).
hlm. Fisheries Research Board of Canada, 310
Matiasi, H.B., Yusoff, F.M., Shariff, M., & Azhari, pp.
O. 2002. Effects of commercial microbial Wang, Y.B., Xu, Z.R., & Xia, M-S. 2005. The
products on water quality on tropical shrimp effectiveness of commercial probiotics in
culture ponds. Asian Fisheries Sciences, northern white shrimp Penaeus vannamei
15: 239-248. ponds. Fisheries Science, 71(5): 1,036-
Murdjani, Arifin, Z., Adiwidjaya, D., Komaruddin, 1,041.
U., Nur, A., Susanto, A., Taslihan, A., Ariawan,
409