Anda di halaman 1dari 14

Etnografi Indonesia

Kain Sasirangan Sebagai Simbol Suku Banjar

Disusun Oleh:

1. M. Riza Ramadhan F (071811733047)

2. Auliyya Salsabila (071811733048)

3. Avieza Aini A. A (071811733050)

4. Amillia Suci K. P (071811733051)

5. Ade Tania (071811733054)

Dosen Pengampu Mata Ajar:

Drs. Yusuf Ernawan M.Hum

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Etnografi Indonesia dengan judul Etnisitas yang ada
pada Suku Banjar sesuai dengan yang diharapkan.

Penyusunan tugas Etnografi Indonesia ini jauh dari kesempurnaan, mengingat


keterbatasan kami sebagai penulis dalam hal kemampuan yang masih dalam taraf belajar oleh
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam penulisan tugas Etnografi
Indonesia ini sangat kami harapkan dan semoga penulisan tugas Etnografi Indonesia ini
bermanfaat bagi kami dan dapat menambah bahan referensi bagi pembaca.

Surabaya, 30 Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang beragam. Adanya pluralitas
sudah menjadi identitas negara Indonesia, seperti yang diungkapkan pada semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Masyarakat Indonesia terbagi oleh
berbagai macam ras, etnis dan agama. Keragaman budaya di Indonesia pun sudah tidak
diragukan lagi. Hal itu dibuktikan dari luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari belasan
ribu pulau dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing daerah atau wilayah
di Indonesia memiliki kebudayaan khasnya sendiri. Tiap daerah pun memiliki lebih dari
satu etnis yang tiap etnisnya juga mempunyai perbedaan ciri khas. Walaupun berada dalam
satu daerah, tiap etnis tetap mempunyai perbedaan budaya yang bisa menjadi keunggulan
dari suku lainnya. Arti kebudayaan sendiri menurut Koentjaraningrat dalam Inrevolzon
(2015) adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat.
Berbicara tentang kebudayaan memang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Karena,
semua hal yang dilakukan atau dibentuk oleh manusia bisa menjadi sebuah kebudayaan
dan suatu kebudayaan bisa tetap eksis sampai sekarang juga karena adanya masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut. Masyarakat pendukung suatu kebudayaan biasanya
disebut suku atau etnis. Etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama dan
asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebutyang terikat pada sistem dan
norma budaya. Dan memiliki rasa tanggung jawab sebagai bagian dari kelompok tersebut
(Freddrick Barth dalam Rahmawati, 2017).
Salah satu etnis di Indonesia yang akan dibahas dalam makalah ini adalah etnis Banjar.
Etnis Banjar merupakan salah satu dari ratusan etnis yang ada di Indonesia. Etnis ini
menetap di Pulau Kalimantan, tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Tapi, sudah banyak
juga dari mereka yang melakukan migrasi ke beberapa wilayah lain, seperti Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dll.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana sejarah awal mula Etnis Banjar?
1.2.2 Bagaiamana sejarah dan fungsi kain Sasirangan?
1.2.3 Bagaimana motif kain Sasirangan?
1.2.4 Bagaimana perkembangan kain Sasirangan pada masa kini?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk menjelaskan keberagaman budaya yang ada pada suku Banjar.
1.3.2 Agar mahasiswa Antropologi dapat menambah pengetahuan mengenai budaya suku
Banjar.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Pembaca
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai keunikan yang ada
pada Suku Banjar
2. Memberikan referensi yang dapat dipercaya
1.4.2 Bagi Penulis
1. Menambah pengetahuan mengenai Etnisitas yang ada pada Suku Banjar
2. Mengetahui susunan penulisan makalah yang baik dan benar
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Etnis Banjar


Kata “banjar” berasal dari bahasa Melayu yang berarti kampung. Suku banjar adalah
penduduk Kalimantan Selatan yang secara historis sebenarnya adalah hasil membaurnya
bangsa Melayu dengan penduduk asli Kalimantan, yaitu Maanyan, Lawangan, Bukit atau
Ngaju. Berdasarkan bukti ini, dapat diduga suku Banjar bukanlah penduduk asli daerah ini,
dibandingkan suku Dayak. Beberapa ahli antropologi mengatakan orang Banjar yang
mendiami daerah Kalimantan Selatan adalah perpaduan dari suku-suku Maanyan,
Lawangan, Bukit, dan Ngaju yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Jawa. Hal ini
dibuktikan dengan adanya legenda kerajaan Tanjungpura di daerah Tabalong yang
diidentifikasi sebagai kerajaan orang Melayu pertama di kawasan Kalimantan Selatan. Di
Daerah Tabalong, budaya Melayu sangat dominan ditambah pula unsur budaya lain seperti
Ngaju, Bugis dan Jawa yang dibawa oleh pedagang dari Jawa.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebelum berdirinya kerajaan Banjarmasin, di Kuin
terdapat sebuah Bandar yang dipimpin oleh Patih Masih. Bandar itu dikenal dengan nama
“Bandar Masih”, berasal dari Bandar Oloh Masi. Oloh Masi merupakan sebutan untuk
orang Melayu yang kemudian berubah menjadi “Banjarmasin” dan penduduknya dikenal
dengan nama orang Banjar.
Bukti lainnya dapat dilihat dari bahasa yang digunakan orang Banjar, yaitu bahasa
Banjar. Telah disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa beberapa ratus tahun yang lalu
suku Dayak sebagai suku asli banjar berinteraksi dan berasimilasi dengan suku Melayu dan
suku Jawa. Kegiatan ini secara otomatis mengakibatkan terjadinya transaksi dan
peminjaman kosa-kata dari masing-masing suku sebagai akibat dari kegaitan komunikasi
yang mereka lakukan. Sehingga terciptalah bahasa asli Banjar yang tercipta dari hasil
asimilasi beberapa bahasa tersebut, yaitu Melayu, Jawa dan Dayak.

2.2 Sejarah dan Fungsi Kain Sasirangan


2.2.1 Sejarah Kain Sasirangan

Awal mula kain Sasirangan terdapat dalam Sahibul Hikayat atau cerita rakyat.
Menurut Ganie dalam Kholis (2016:2-3), kain Sasirangan merupakan kain adat suku
Banjar di Kalimantan Selatan yang diwariskan secara turun temurun sejak abad XII
sampai XIV pada masa kerajaan Dipa di Kalimantan Selatan, saat Lambung
Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa. Cerita yang berkembang di masyarakat
Kalimantan Selatan adalah bahwa kain Sasirangan pertama kali dibuat oleh Patih
Lambung Mangkurat setelah bertapa 40 hari 40 malam di atas rakit Balarut Banyu.
Konon menjelang akhir tapanya, rakitnya tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Di
tempat ini, ia mendengar suara perempuan yang keluar dari segumpal buih.
Perempuan itu adalah Putri Junjung Buih, yang kelak menjadi Raja di daerah ini.
Sang Putri hanya akan menampakkan wujudnya jika permintaannya dikabulkan,
yaitu sebuah istana Batung dan selembar kain yang ditenun dan dicalap (diwarnai)
oleh 40 putri dengan motif wadi/padiwaringin. Menurut cerita masyarakat setempat,
motif padiwaringin disebut sebagai motif pertama pada kain Sasirangan. Pada hari yang
telah disepakati tersebut, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan
tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika
itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan
anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya pada saat itu tidak lain adalah kain
Langgundi berwarna kuning hasil tenunan 40 wanita yang masih perawan. Kedua
permintaan itu harus selesai dalam waktu satu hari. Kain yang dicalap itu kemudian
dikenal sebagai kain sasirangan yang pertama kali dibuat. Kain sasirangan dipercaya
memiliki kekuatan magis yang bermanfaat untuk pengobatan (batatamba),
khususnya untuk mengusir roh-roh jahat dan melindungi diri dari gangguan makhluk
halus. Agar bisa digunakan sebagai alat pengusir roh jahat atau pelindung badan,
kain sasirangan biasanya dibuat berdasarkan pesanan (pamintaan). Kain sasirangan
merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pengetahuan lokal masyarakat
Kalimantan Selatan. Dengan mengenal sejarah kain sasirangan, kita bisa mengetahui
beraneka macam nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat setempat.
Seperti nilai tentang keyakinan, budaya, dan ekonomi. (Andriana. 2018)

2.2.2 Fungsi Kain Sasirangan


Seiring bergulirnya waktu, kain Langgundi tersebut dipercaya sebagai kain yang
mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Pada mulanya Kain Sasirangan dikenal
dengan nama Kain Pamintan, Pamintan adalah singkatan dari parmintaan (permintaan).
Seseorang yang mengidap penyakit berobat kepada seorang yang diyakini sebagai
‘orang pintar.’ Lalu setelah ‘orang pintar’ tersebut menerawang penyakitnya, maka ia
akan mengajukan permintaan berupa sebuah kain kepada pengrajin kain Pamintan
untuk mengobati penyakitnya. Kain Pamintan yang diyakini dapat menyembuhkan ini
berwarna dasar kuning dengan pinggiran hijau dan motif modang (ketupat merah)
terletak tepat di bagian tengah kain (Wijaya, Fianto, dan Hidayat. 2015).

Teori yang berkaitan dengan fungsi kain ini adalah teori fungsionalisme, yang
mana Malinowski menganggap individu adalah sebuah organisme yang psikologis
dan biologisnya perlu dipenuhi. Fungsi yang dimaksud adalah sama seperti “guna”
yang dikaitkan dengan kebutuhan psikologis dan biologis manusia. Maka setiap sistem
budaya itu harus dipenuhi kebutuhannya agar dapat bertahan. Setiap sistem budaya
juga mempunyai syarat fungsional tertentu untuk mempertahankan eksistensinya dan
saling berhubungan (Marzali, A. 2014) .

2.3 Motif kain Sasirangan

Kain sasirangan kebanyakan mengambil beberapa motif yang nantinya akan dipadukan
dengan motif lain. Zaman dahulu motif kain sasirangan dibuat dari berbagai bentuk dan
terinspirasi dari alam benda yang terdapat di sekitar kita, ide penciptaan motif kain sasirangan
terinspirasi oleh elemen yang ada di alam sekitar Kalimantan Selatan seperti benda, hewan,
dan tumbuhan. Beberapa motif yang sudah umum dan yang terkenal diantaranya ada motif
gigi haruan, motif hiris gagatas, motif bintang, motif bayam raja, motif kulat karikit, motif
hiris pudak, motif gelombang, dan motif kambang kacang.
1. Motif Gigi Haruan (gigi ikan gabus)
Motif ini sangat sederhana dengan mengambil dari salah satu bagian dari ikan
haruan yaitu giginya yang tajam dan runcing.
2. Motif Hiris Gagatas

Motif ini oleh masyarakat suku Banjar disebut juga rincung gagatas yang bermakna
cantik. Di sebut sedemikian rupa karena teknik memotongnya yang menyerupai wajik,
motif hiris gagatas diambil dari bentuk potongan kue khas Kalimantan Selatan yaitu kue
gagatas yang berbentuk wajik.

3. Motif Bintang Bahambur


Penerapan pada motif ini berbentuk bintang dengan berbagai sudut, yaitu: sudut
Empat, Lima, tujuh, delapan sesuai dengan kreasi yang akan dibuat. Motif ini berbeda
dengan motif lainnya dikarenakan ide yang di gagas untuk membuat motif ini berkaitan
dengan Sang Pencipta.

4. Motif Bayam Raja


Masyarakat suku banjar dahulu membuat motif ini berdasarkan bagian bunga
yang terdapat pada bayam raja, karena bagian bunga adalah bagian yang paling cantik
dari tanama bayam raja.
5. Motif Hiris Pudak

Hiris pudak adalah sebutan oleh masyarakat banjar yang artinya pandan yang di
potong kecil-kecil, pandan adalah tanaman sekitar rumah tangga yang daunnya berbau
harum. Bentuk daunnya agak panjang dan ramping yang mempunyai banyak kegunaan
seperti pengharum ketika memasak nasi, pewarna kue, dan perlengkapan upacara adat.

6. Motif Kambang Kacang

Kambang kacang merupakan istilah bahasa Banjar yang artinya bunga kacang.
Motif kambang kacang ide dasar penciptaannya diambil dari batang kacang yang
merambat dan melengkung pada suatu media seperti kayu.
7. Motif Gelombang

Motif gelombang merupakan motif yang ide dasarnya di ambil dari gelombang
yang ada di lautan

2.4 Perkembangan Kain Sasirangan

Kain sasirangan merupakan kain yang teknik pembuatannya dengan cara dijelujur, yaitu
dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya lalu disimpul / diikat dengan benang lainnya
kemudian diwarnai dengan cara dicelup dengan warna serta bahan pilihan (sintetis / alami)
sesuai dengan kebutuhan pewarnaan. Menurut sejarahnya, kain sasirangan awalnya digunakan
untuk ritual pengobatan dan aksesoris dalam upacara adat, seperti aung (ikat kepala adat
Banjar), kakamban (serudung), udat (kemben), babat (ikat pinggang), tapih bahalai (sarung
/ jarik untuk perempuan), dsb. Ada tiga rangkaian dalam proses pembuatan kain sasirangan,
Pertama adalah seseorang yang sedang sakit. Kedua adalah tabib yang memberikan nasehat
kepada seseorang yang sakit tersebut untuk menyediakan kain sasirangan sebagai terapi
pengobatan dengan tujuan kesembuhan. Ketiga adalah pengrajin yang mampu membuatkan
kain sasirangan sebagai sarana pengobatan. Semua rangkaian tersebut dilakukan secara tertutup
dan tidak diperuntukan untuk umum.

Pada zaman dahulu, pewarnaan dalam kain sasirangan menggunakan bahan-bahan alami
dan warna yang dihasilkan biasanya warna-warna yang soft. Dalam pemilihan warna juga tidak
sembarangan, karena warna-warna yang akan digunakan disesuaikan dengan penyakit yang
diderita seseorang, contohnya warna kuning untuk mengobati penyakit kuning, warna merah
untuk mengobati sakit kepala dan insomnia, warna hijau untuk mengobati penyakit lumpuh,
dll. Motif pada kain ini juga sangat beragam, ada sekitar lebih dari 15 motif tradisional yang
masih dipertahankan sampai sekarang. Motif tradisional kain sasirangan antara lain: gigi
haruan, kambang kacang, hiris gagatas, daun jaruju, tampuk manggis, bintang, kangkung
kaumbakan, bayam raja, kulat karikit, hiris pudak,ular lidi, naga balimbur, dara manginang,
ramak sahang, gelombang, dan daun katu.

Namun seiring berkembangnya zaman dan teknologi yang semakin canggih, kain
sasirangan banyak sekali mengalami perubahan. Mulai dari perubahan fungsi, teknik
pembuatan, motif dan pewarnaan. Jika pada zaman dahulu kain sasirangan hanya digunakan
untuk pengobatan dan aksesoris pada upacara adat, saat ini kain sasirangan dijadikan berbagai
macam produk seni maupun produk sehari-hari, seperti tas, topi, dompet, kopiah, tempat tisu,
dll. Bahkan sekarang, kain sasirangan menjadi pakaian seragam Pegawai Negeri Sipil di
Kalimantan Selatan.

Teknik pembuatan kain sasirangan pun mengikuti perkembangan zaman. Sekarang, kain
sasirangan juga dipadukan dengan teknik modern seperti teknik bordir yang melahirkan jenis
baru, yaitu kain sasirangan bordir (memadukan teknik tradisional dan modern).

Lalu, karena sudah mengalami pergeseran fungsi dan teknik pembuatan, motif dan
pewarnaan pun juga sudah terikat oleh aturan-aturan lama lagi. Oleh orang-orang kreatif dan
inovatif, kain sasirangan terus menerus dibuatkan motif-motif terbaru, ada kambang cengkeh,
awan beringin, pelangi, dan masih banyak lagi. Bahan yang digunakan dalam pewarnaan pun
tidak lagi menggunakan bahan alami, melainkan menggunakan bahan-bahan kimia. Hal ini
dilakukan karena bahan-bahan kimia pembuatannya lebih efektif dan bisa menghasilkan
banyak warna-warna yang mencolok, dibandingkan menggunakan bahan-bahan alami yang
proses pembuatannya cukup lama dan hanya menghasilkan warna yang monoton.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Suku banjar adalah penduduk Kalimantan Selatan yang secara historis sebenarnya
adalah hasil membaurnya bangsa Melayu dengan penduduk asli Kalimantan, yaitu Maanyan,
Lawangan, Bukit atau Ngaju. Suku Banjar sendiri memiliki bermacam-macam kearifan lokal
serta ciri khas yang menjadikan symbol dari suku banjar, salah satunya yaitu Kain sasirangan.
Kain sasirangan merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pengetahuan lokal
masyarakat Kalimantan Selatan. Kain sasirangan memiliki beberapa motif yang nantinya akan
dipadukan dengan motif lain.
Pada mulanya kain Sasirangan digunakan sebagai media pengusir roh-roh jahat,
sekarang berubah menjadi berbagai macam produk, seperti baju pesta, sandal, tas, dan dompet.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya industri kain Sasirangan yang berkembang pesat
di Kalimantan Selatan.
DAFTAR PUSTAKA

Inrevolzon. 2015. Kebudayaan dan Peradaban. IAIN Raden Fatah Palembang, Palembang,
Indonesia.

Rahmawati, Rini. 2017. Analisis Hubungan Sosial Antar Suku Bali dan Jawa (Studi Kasus
Pada Masyarakat Margomulyodi Kabupaten Luwu Timur). UIN Alauddin Makassar,
Makassar, Indonesia.

Yasin, Moh Fatah. 2017. Menelusuri Jati Diri Orang dan Bahasa Banjar. UNLAM
Banjarmasin, Banjarmasin, Indonesia.

Andriana, Yunita Fitra. 2018. Pergeseran Fungsi dan Makna Simbolis Kain Sasirangan.
Program Studi Desain Produk, FIKT, Universitas Trilogi, Jakarta. Jurnal Rupa Vol. 03. Edisi
2 No. 01

Marzali, A. (2014). Struktural-Fungsionalisme. Universitas Indonesia.

Wijaya, Fianto, dan Hidayat. 2015. Penciptaan Buku Ilustrasi Kain Sasirangan Sebagai Upaya
Promosi Seni Budaya Banjarmasin kepada Remaja. Surabaya: Jurnal DKV STIKOM

Diakses tanggal 31 Oktober 2019 dari https://www.asikbelajar.com/sasirangan-sejarah-arti-


dan-motif/

Eka, Kartika. 2019. Oktober 03. Diakses tanggal 31 Oktober 2019

Dari https://www.kompasiana.com/kaekaha.4277/5d94e5520d823045c02c8ca4/mengenal-
sasirangan-kain-batik-khas-banua-kalimantan-selatan?page=all

Kholis, Noor. 2016. Kain Tradisional Sasirangan “Irma Sasirangan” Kampung Melayu
Kalimantan Selatan. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai