Disusun oleh : Sandhi Yudha Ulsi Putra 17/409786/PT/07375
LABORATORIUM TERNAK POTONG, KERJA DAN KESAYANGAN
DEPARTEMEN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2019 Makalah Kelompok 1 : Pengembangan sapi Aceh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sapi Aceh merupakan sapi lokal Indonesia yang banyak ditemukan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sapi Aceh adalah tipe sapi potong berukuran kecil serta mempunyai kontribusi yang cukup besar bagi pemenuhan kebutuhan daging di daerah. Daerah daerah seperti Aceh Besar yang didominasi oleh topografi berbukit dan pegunungan umumnya terdapat di kecamatan Lembah Seulawah, Seulimun, Kota Jantho, Kota Cot Glie, Indrapuri, dan Krueng Raya dengan bentang lahan didominasi padang rumput di wilayah tersebut menjadikan budidaya ternak ruminansia dengan sistim penggembalaan menjadi pilihan bagi masyarakat. Selain itu dari segi sapi aceh sendiri memiliki potensi yang menjajikan untuk dikembangkan karena sapi Aceh adaptif terhadap lingkungan di Nanggroe Aceh Darussalam. Sapi local Aceh saat ini menyumbang sekitar 75%kebutuhan daging di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan ternak sapi Aceh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah masih kurangnya akses peternak terhadap pemasaran, peternak masih memposisikan diri sebagai pemelihara dengan tenaga kerja yang berasal dari keluarga, kecilnya skala kepemilikan ternak (2 – 4 ekor per keluarga) dengan lokasi yang terpencar, belum intensifnya pola pengembangbiakan sapi potong sehingga penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB) masih kurang optimal, dan ditambah terjadinya pemotongan sapi betina produktif dalam mencukupi kebutuhan daging sapi. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya tingkat keberhasilan kebuntingan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan tingkat produktivitas sapi Aceh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong adalah dengan menggunakan bibit sapi potong yang berkualitas. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas sapi Aceh adalah melakukan pemurnian dan pengembangan sapi Aceh melalui program pembibitan dengan sistem perkawinan yang terkontrol agar tidak terjadi perkawinanan sedarah (in breeding), karena tidak ada recording dan pengaturan perkawinan serta tidak adanya seleksi pada sapi jantan.
Makalah Kelompok 2 : Pengembangan sapi Jabres di Kabupaten
Brebes Sapi Jabres merupakan sapi lokal yang banyak dipelihara di kecamatan di Kabupaten Brebes dan sudah beradaptasi baik dengan lingkungan Kabupaten Brebes. Populasi sapi Brebes menurut data yang terbaru adalah sekital 23.000 ekor yang tersebar dibeberapa kecamatan salah satunya di Bandarharjo. Sapi Jabres sangat potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas sapi potong untuk menunjang kebutuhan daging sapi daerah Brebes khususnya ditunjang dengan karakteristik khas Sapi Jabres yang cenderung mudah untuk dibudidayakan. Populasi Sapi Jabres setiap tahun mengalami peningkatan, Secara ekonomi sapi Jabres di Brebes dipelihara oleh peternak rakyat sebagai bentuk tabungan atau simpanan harta yang berarti dijual ketika ada kebutuhan yang mendesak. Secara environmentally sound sapi Jabres saat ini masih banyak dipelihara oleh masyarakat di berbagai daerah di Brebes tanpa mengganggu lingkungan. Sapi Jabres sebagian besar dipelihara secara intensif dengan sistem penyediaan hijauan pakan cut and carry. Berdasarkan social acceptable, sapi Jabres lebih banyak dipelihara didalam kandang dengan cara ditambat seperti peternakan rakyat secara umum di Pulau Jawa. Permasalahan dalam pengembangan sapi Jabres yaitu terkait ketersediaan pakan, limbah peternakan dan pemasaran. Peternak mengalami mengalami kesulitan mendapatkan pakan hijauan ketika musim kering. Musim kering masuk pada bulan Agustus sampai November. Hijauan pakan ternak terbatas karena sulit untuk tumbuh. Kebutuhan pakan dipenuhi dengan mencari hijauan sejauh sekitar 20 sampai 25 km dari lokasi. Feses sapi belum dimanfaatkan secara optimal. Feses sapi belum dipandang mempunyai nilai ekonomi yang berarti. Pemanfaatan feses hanya langsung diberikan pada tanah tanpa melalui proses pengomposan. Permasalahan selanjutnya yaitu pemasaran sepenuhnya mengandalkan blantik yang beroperasi di desa. Solusi dari permasalahan dalam pengembangan sapi Jabres antara lain dengan penerapan preservasi pakan hijauan seperti pembuatan silase dan hay. Penerapan pengolahan limbah peternakan terutama feses untuk dijadikan pupuk.
Makalah Kelompok 3 : Pengembangan Sapi Perah jantan sebagai
Ternak Potong Sapi perah jantan merupakan komoditas yang potensial untuk dijadikan ternak potong. Jumlah populasi sapi perah jantan di Indonesia sekitar 70.000 ribu ekor. Sapi perah jantan dapat dikembangkan sebagai sapi potong seperti yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat. Masalah utama penggunaan sapi perah jantan sebagai sapi potong adalah pengunaan sapi perah jantan untuk ternak potong masih belum optimal. Penyebab masalah tersebut diantaranya dari pertumbuhan dari sapi perah jantan ini masih kalah dibandingkan dengan sapi sapi yang memang khusus untuk tujuan dipotong sehingga dikalangan peternak terutama peternak rakyat sapi perah jantan kurang diminati. Salah satu solusi yang tepat bagi permasalahan pengembangan sapi perah jantan sebagai sapi potong yaitu pendirian badan usaha atau lembaga yang memang khusus untuk mengembangkan sapi perah jantan untuk sapi potong serta mengontorl dan meregulasi persebaran sapi perah pejantan. Makalah Kelompok 4 : Pengembangan sapi Bali di Pulau Tomia Wakatobi Pulau Tomia terkenal sebagai destinasi wisata laut yang indah. Pulau yang termasuk wilayah administratif Kabupaten Wakatobi ini memiliki bentang alam berupa lahan dataran rendah sampai menengah yang ditumbuhi oleh pepohonan khas tropis. Populasi sapi di Wakatobi khususnya pulau Tomia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Potensi lahan untuk pengembalaan ternak ialah seluas 1.759,5 Ha. Pengembangan peternakan sapi di Tomia diarahkan pada sistem pertanian terpadu berbasis ekologi (integrated ecofarming system), yaitu mengintegrasikan peternakan ke dalam pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan (agro-forestry pasteur). Permasalahan untuk pengembangan sapi Bali di pulau Tomia adalah masalah dari sistem transportasinya, pengembangan sapi Bali di Pulau Tomia hanya akan menjadi sebatas untuk pemenuhan kebutuhan daging dipulau ini ketika akses transportasi terutama untuk transportasi ternak terbatas. Makalah Kelompok 5 : Pengembangan sistem Integrasi Sapi-Sawit di Sumatra-Kalimantan. Lahan sawit di Sumatra dan Kalimantan setiap tahun meningkat luasnya. Lahan sawit sangat potensial sebagai pengembangan ternak potong terutama sapi karena di selain pohon sawit yang tumbuh, di lahan sawit juga tumbuh berbagai jenis rumput yang dapat dijadikan sebagai sumber hijauan pakan bagi sapi. Selain itu keberadaan sapi di lahan sawit dapat mengurangi gulma yang mengganggu pertumbuhan pohon sawit serta kotoran yang dihasilkan oleh sapi dapat menjadi pupuk organik bagi sawit. Luas lahan sawit pada 2018 tercatat berjumlah 14,3 juta hektare (ha). Adapun untuk areal yang potensial untuk integrasi ini luasnya mencapai 4,4 juta ha. Saat ini kebun sawit yang telah dimanfaatkan untuk integrasi mencakup kawasan seluas sekitar 132.000 ha. Aktivitas integrasi ini tersebar di 15 provinsi dengan total populasi sapi yang dikembangkan mencapai 66.000 ekor. Permasalahan terkait pengembangan sapi-sawit baik di Sumatra dan Kalimantan saat ini yaitu belum optimalnya introduksi sapi ke lahan sawit. Berbagai alasan yang menyebabkan hal tersebut diantaranya adanya perbedaan kepentingan yang signifikan antara peternak dengan pengusaha perkebunan sawit. Selain itu umur pohon sawit juga berpengaruh terhadap pengembangan sapi-sawit, ketika pohon sawit sudah tinggi ketersediaan hijauan pakan semakin menipis karena adanya naungan yang menyebabkan tidak semua jenis tanaman dapat hidup dibawah pohon sawit. Masalah keamanan sapi dari pencurian juga masih sangat menghantui sistem integrasi sapi sawit. Alternatif solusi dari pengembangan sapi sawit ini adalah keterlibatan dari stakeholder stakeholder terkait seperti pemerintah untuk mendorong pemilik lahan sawit untuk mau memelihara atau bekerjasama dalam sitem integrasi sapi sawit. Makalah Kelompok 6 : Pengembangan Kerbau Moa di Pulau Moa Kabupaten Maluku Barat Daya Kerbau Moa adalah kerbau rawa yang ditemukan di Pulau Moa Kabupaten Maluku Barat Daya. Pulau Moa sendiri memiliki bentang alam berupa padang rumput yang luas sehingga potensinya sangat besar untuk pengembangan ternak terutama kerbau. Kerbau di Pulau Moa mayoritas dipelihara secara semi intensif dengan melepas kerbau di padang penggembalaan dan dikandangkan kettika malam hari. Secara ekonomi keberadaan kerbau Moa membantu masyarakat Pulau Moa. Kerbau Moa dipelihara untuk simpanan karena pemeliharaan kerbau sebagai kerja sampingan disamping kerja utama sebagai petani dan nelayan. Secara budaya peran kerbau Moa adalah sering dipergunakan sebagai mas kawin atau bentuk pembayaran denda akibat melanggar peraturan adat. Secara lingkungan keberadaan kerbau Moa sudah menjadi bgian ekosistem alamiah di Pulau Moa yang banyak memiliki hamparan padang rumput. Permasalahan pengembangan kerbau Moa saat ini adalah terjadinya penurunan kualitas genetik karena terjadinya inbreeding atau perkawinan sedarah. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah pejantan kerbau Moa yang ada di Pulau Moa terbatas. Akibat yang ditimbulkan oleh kejadian inbreeding akan menurnan kualitas genetic yang nantinya juga mengarah pada penurunan produktivitas. Solusi dari permasalahan ini adalah penerapan program inseminasi buatan. Makalah Kelompok 7 :Pengembangan Kerbau Kalang di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Kerbau kalang merupakan kerbau rawa yang hidup dirawa-rawa wilayah pulau Kalimantan seperti di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kalang merupakan kandang yang dibuat dari kayu atau sejenisnya yang digunakan untuk melindungi kerbau ketika malam hari. Wilayah Hulu Sungai Utara memiliki potensi yang besar untuk pengembangan kerbau Kalang karena sebagian besar wilayah HSU adalah rawa-rawa yang menjadi habitat dari kerbau Kalang. Kerbau kalang akan dilepas ke area rawa rawa ketika pagi hari sampai sore, saat malam hari kerbau akan naik ke kalang. Secara ekonomi kerbau Kalang merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat HSU karena kerbau juga menjadi bahan pangan di Kalimantan Selatan yang diminati selain sapi. Secara environmentally sound keberadaan kerbau Kalang sangat efektif terutama dalam pemanfaat lahan rawa yang luas sebagai tempat sumber pakan bagi kerbau. Permasalahan dalam pengembangan kerbau Kalang adalah perkembangan dan pertumbuhan populasi kerbau kalang fluktuatif tiap tahunnya. Bahkan ditahun 2016 populasi kerbau kalang di Hulu Sungai Utara mengalami penurunan sekitar 10%. Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi kerbau Kalang di Hulu Sungai Utara diantaranya yaitu sistem penggembalaannya belum tertata sehingga ketika musim hujan dan banjir ketersediaan hijauan pakan berkurang serta terjadinya alih fungsi lahan. Selain itu ditahun 2016 terjadi serangan parasit berupa cacing Fasciola hepatica menyebabkan penurunan populasi. Solusi dari permasalahan pengembangan kerbau Kalang antara lain penerapan penggembalaan bergililr (rotational grazing), pemberian obat pada kerbau secara berkala, serta pembuatan aturan pemanfaat lahan rawa. Makalah Kelompok 8 : Pengembangan Kambing Samosir di Kabupaten Samosir Sumatera Utara Kambing Samosir merupakan kambing asli yang banyak dipelihara didaerah Kabupaten Samosir dan sekitarnya. Kambing Samosir dapat beradaptasi dengan kondisi alamyang cenderung kering berbatu-batu serta topografi berbukit, ternakkambing diduga sudah mengalami evolusi dan beradaptasi baik dengan lingkungan Pulau Samosir sehingga dapat membentuk kambing spesifikasi Kambing Samosir yang dikenal sampai sekarang. Secara economically profitable, kambing Samosir dipelihara secara tradisional skala peternakan rakyat yang sudah turun temurun. Kambing Samosir dipelihara sebagai tabungan atau simpanan karena berkaitan dengan budaya yaitu kambing Samosir ini hanya digunakan dalam upacara adat bukan untuk dionsumsi setiap hari. Dari sisi environmentally sound, kambing Samosir diterima oleh masyarakat dibuktikan oleh SK dari Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa kambing Samosir adalah kambing asli Indonesia yang sudah lama berkembang di Pulau Samosir dan sekitarnya. Permasalahan dari pengembangan kambing Samosir saat ini adalah populasi kambing Samosir turun. Berbagai aspek yang menghambat pertambahan populasi kambing Samosir di Kabupaten Samosir diantaranya sumber pakan terbatas ditambah lagi dengan alih fungsi lahan lahan sumber hijauan. Selain itu manajemen pemeliharaan kambing Samosir masih tradisional disamping karena orientasi pemeliharaan kambing Samosir saat ini belum ke pemenuhan kebutuhan daging sehari hari. Solusi dari masalah masalah terkait pengembangan kambing Samosir adalah dengan pengadaan suatu event seperti kontes sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk memelihara kambing Samosir dengan manajemen pemeliharaan yang tentunya lebih baik karena orientasi pemeliharaannya untuk kontes. Makalah Kelompok 9 : Pengembangan Kambing Gembrong di Kabupaten Karangasem Bali Kambing Gembrong adalah kambing asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali. Keberadaan kambing Gembrong di dunia sudah terancam, dibuktikan dengan populasi nya saat ini kurang dari 100 ekor saja. Kambing Gembrong memiliki ciri spesifik yaitu rambutnya panjang bahkan muka sampai tertutupi oleh rambut pada yang jantan. Secara social acceptable, kambing Gembrong memiliki keterkaitan dengan budaya masyarakat Bali terutama dengan kesenian yakni tari barong. Dahulu rambut barong yang digunakan untuk pentas tari barong berasal dari rambut kambing Gembrong. Permasalahan dari pengembangan kambing Gembrong saat ini adalah populasi kambing terbatas dan sedikit, sehingga kemungkinan terjadinya perkawinan sedarah tinggi. Akar masalah dari populasi kambing Gembrong yang sedikit antara lain kinerja reproduksi kambing Gembrong rendah seperti angka mortalitas anaknya tinggi, selain itu saat ini peminat kambing Gembrong menurun sehingga nilai ekonomi nya ikut turun. Upaya meningkatkan populasi ternak kambing Gembrong tersebut, maka dapat dilakukan beberapa solusi yaitu memperhatikan kinerja indukguna perbaikan reproduksi,perlu intervensi teknologi DNA moleculer guna perbaikan genetik, aplikasi teknologi formulasi ransum berbasis bahan pakan lokal, adanya penangkaran, dan bisa membuat sperma beku dari pejantan kambing Gembrong. Upaya lainnya yang dapat dilakukan adalah pengadaan even seperti kontes atau lainnya yang dapat menarik minat masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan kambing Gembrong. Makalah Kelompok 10 : Pengembangan Kelinci Potong di Kaliurang. Kelinci potong merupakan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat. Biasanya berkembang di dataran tinggi, seperti di Lembang, Kaliurang, Dieng, dan Baturraden. Perkembangan kelinci potong di Indonesia masih dibilang lambat, karena masyarakat masih menganggap kelinci sebagai ternak hias yang lucu sehingga belum terbiasa dijadikan sebagai ternak potong. Produk ternak kelinci yaitu daging kelinci belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Permasalahan kelinci potong yang ada di wilayah Kaliurang adalah pasar kelinci sendiri masih belum tinggi peminatnya atau masih fluktuatif. Permintaan kelinci potong di Kaliurang meningkat ketika musim liburan tiba karena memang wilayah Kaliurang sendiri dikenal sebagai kawasan wisata. Ketika pasar nya kurang begitu stabil maka minat masyakat untuk memelihara kelinci sebagai ternak potong tidak tinggi seperti yang terjadi di Kaliurang. Kelinci yang dipotong diwilayah Kaliurang saat ini merupakan kelinci hasil pengembangbiakan dari daerah lain seperti Kulonprogo, Magelang hingga Klaten. Solusi dari permasalahan terkait pengembangan ini adalah meningkatkan pasar agar permintaan setiap waktunya stabil. Caranya bisa saja dengan meningkatkan atau mengoptimalkan wisata sehingga kunjungan wisatawan meningkat dan stabil. Makalah Kelompok 11 : Pengembangan Domba di Yogyakarta. Domba di Yogyakarta merupakan komoditas ternak potong yang memiliki pangsa pasar yang tinggi. Pasar yang tinggi di Yogyakarta ini ada kaitannya dengan terdapat banyaknya kuliner seperti sate yang memang menarik konsumen. Sehingga untuk pengembangan domba di Wilayah Yogyakarta masih sangatlah potensial, masih bisa dikatakan produksi domba di Yogyakarta masih belum mampu memenuhi kebutuhan di Yogyakarta sendiri. Domba dari luar Yogkarta seperti Temanggung, Magelang, Solo pun masuk ke wilayah Yogyakarta. Permasalahan dari pengembangan domba sendiri adalah tingginya biaya pembiakan serta apabila usaha fattening adalah tingginya harga bakalan domba yang biasanya didatangkan dari wilayah Jawa Timur. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut diantaranya membuat biaya transportasi bakalan seefisien mungkin serta penerapan majemen pemeliharaan yang baik seperti penerapan teknologi pengolahan pakan.. Makalah Kelompok 12 : Pengembangan Kuda Potong di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Kabupaten Jeneponto merupakan daerah yang memang terkenal karena pasar kudanya terutama kuda untuk dipotong. Dibuktikan dengan adanya pasar kuda yag buka setiap hari tertentu dalam seminggu sekali. Kuda yang diketemukan didaerah Jeneponto adalah kuda kuda local seperti Sandelwood, kuda Bima dan lainnya. Secara ekonomi keberadaan kuda di Kabupaten Jeneponto telah mampu menopang perekonomian masyarakat seperti pengembangbiakan kuda sudah menjadi pekerjaan utamanya. Hal ini disebabkan salahsatunya oleh budaya dari masyarakat Jeneponto yang mengkonsumsi daging kuda seperti kuliner khasnya coto Makassar yang didalamny ada daging kudanya. Acara acara adat seperti pernikahan di Kabupaten Jeneponto mewajibkan sajian makanan dari daging kuda. Permasalahan dari pengemabangan kuda potong di Jeneponto adalah dengan tingginya angka pemotongan menyebabkan peternak kuda di Jeneponto tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Kuda-kuda dari Nusa Tenggara banyak didatangkan untuk memenuhi permintaan pasar di Jeneponto. Berbagai hal yang menyebabkan permasalahn tersebut seperti manajemen pemeliharaan kuda masih tradisional dengan orientasi sebagian besar sebagai tabungan ketika ada kebutuhan mendesak. Solusi dari pemecahan masalah ini adalah dengan melatih masyarakat untuk mampu dan paham bagaimana cara mengembangkan kuda potong untuk orientasi bisnis. PEMBAHASAN Berdasarkan uraian penjelasan diatas diketahui bahwa dalam pengembangan komoditas ternak potong seperti sapi, kambing, domba, kelinci bahkan kuda membutuhkan dukungan dari berbagai pihak serta kajian tentang wilayah yang akan digunakan sebagai pengembangan. Dari berbagai pengembangan yang sudah dibahas, yang memiliki potensi paling besar adalah pengembangan sapi integrasi lahan sawit atau yang dikenal siska di wilayah pulau Kalimantan dan Sumatra mengingat betapa luasnya lahan sawit saat ini. Selain itu pengembangan domba potong di Yogyakarta juga potensial sekali karena pasar daging domba di Yogyakarta terbilang tinggi dan stabil sementara produksi domba di Yogyakarta masih belum mampu mencukupi. Untuk pengembangan ternak lainnya yang permasalahannya terkait penurunan populasi serta minat masyarakat untuk memelihara seperti kambing Samosir dan Kambing Gembrong dalam upaya pengembangannya dapat dikaitkan dengan pengadaan kontes atau event lomba sejenis. Selain itu masalah dari pengembangan ternak potong sebagian besar adalah terkait dengan pola pemeliharaannya. Sebagian besar ternak ternak masih dipelihara secara tradisional yang sudah turun temurun sejak para pendahulu masyarakat di suatu wilayah pengembangan. KESIMPULAN Proyek pengembangan ternak potong sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kondisi sosial budaya serta ekonomi masyarakat. Kondisi lingkungan erat kaitannya dengan bentang alam dari suatu wilayah tersebut dapat ditinjau dari potensi lahan, kondisi iklim dan lainnya. Kondisi social budaya erat kaitannya dengan kebudayaan dari masayarakat di wilayah pengembangan seperti terkait dengan adat istiadat ataupun lainnya. Berbagai ternak potong seperti kambing, kerbau, sapi, kuda dan domba dalam pengembangannya harus memperhatikan aspek aspek tersebut.