Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam family
lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk
membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus
lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab
munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan
menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk
mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit
(Nursalam 2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini
bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan
menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, 2007)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya
sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar
antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2014, kasus HIV dan AIDS di
Indonesia dalam triwulan bulan Juli sampai dengan September tercatat kasus HIV 7.335, kasus
sedangkan kasus AIDS 176 kasus. Estimasi dan proyeksi jumlah Orang Dengan HIV dan AIDS
(ODHA) menurut populasi beresiko dimana jumlah ODHA di populasi wanita resiko rendah
mengalami peningkatan dari 190.349 kasus pada tahun 2011 menjadi 279.276 kasus di tahun
2016 (Kemenkes RI, 2013).
Pada tahun 2013 World Health Organization (WHO) mengumumkan 34 juta orang di dunia
mengidap virus HIV penyebab AIDS dan sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan
dan di negara berkembang. Data WHO terbaru juga menunjukkan peningkatan jumlah
pengidap HIV yang mendapatkan pengobatan. Tahun 2012 tercatat 9,7 juta orang, angka ini
meningkat 300.000 orang lebih banyak dibandingkan satu dekade sebelumnya (WHO, 2013).
HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan
penggunaan jarum suntik yang sering dikaitkan dengan kesehatan reproduksi terutama
kelompok perempuan. Kerentanan perempuan dan remaja putri untuk tertular umumnya
karena kurangnya pengetahuan dan informasi tentang HIV dan AIDS ataupun kurangnya
akses untuk mendapatkan layanan pencegahan HIV (Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, 2008).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
A. Pengertian
Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-behavior therapy
yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi
sebagai bagian utama terapi. Fokus terapi yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para
ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists
(NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu
pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita
merasakan dan apa yang kita lakukan.
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua pendekatan
dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif
memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi
individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan
dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking. Sedangkan terapi
tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku, menenangkan
pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat
keputusan yang tepat. Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat
membawa individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti depresi,
trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya
diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam terapi,
pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali
berfungsi secara normal.
CBT didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat
mempengaruhi emosi. Melalui CBT, siswa terlibat aktivitas dan berpartisipasi dalam
training untuk diri dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang
mengacu pada self-regulation (Matson & Ollendick, 1988: 44). Teori Cognitive-Behavior
pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-
Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR
dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan
bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Sementara dengan adanya keyakinan
bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional,
di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku
yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan
bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya,
bertindak, dan memutuskan kembali.
Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, siswa diharapkan dapat mengubah
tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT,
maka CBT adalah pendekatan terapi yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik
secara fisik maupunpsikis. CBT merupakan terapi yang dilakukan untuk meningkatkan dan
merawat kesehatan mental. Terapi ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir,
merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil
keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan, pendekatan pada
aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan.
CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara
langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan kemudian secara tidak langsung
juga akan mengubah tingkah laku yang nampak (overt action). Beck (dalam Spiegler &
Guevremont, 2003) menekankan CBT pada pandangan individu tentang keyakinan
(hipotesa) sementaranya dan kemudian menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti-
bukti untuk menolak atau mendukung hipotesanya. Pucci (2005) menambahkan bahwa
CBT berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu
dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat.
B. Tujuan
Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan
membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan
dapat membantu siswa dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak.
CBT bertujuan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan “situasi emosional
positif”, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi spesifik, seperti restrukturisasi
kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi lainnya (McGinss, 2000). Beck (dalam
Spiegler & Guevremont, 2003) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama CBT adalah
untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi
pemikiran yang lebih rasional.
Hackney & Cormier (dalam Cengage Learning, 2008) dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa CBT terbukti lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah
emosional dan fisik. CBT juga merupakan terapi yang efektif sebagai treatmen untuk
berbagai gangguan psikologis dan juga meningkatkan kesejahteraan psikologis dan
emosional (Bortholomew, 2013).
C. Teknik CBT
Dalam pelaksanaan CBT, perlu dilakukan analisa fungsional berdasarkan prinsip “S-
O-R-C”. Berdasarkan analisa fungsional ini dapat diidentifikasi kognisi yang terdistorsi,
serta pola perilaku maladaptifnya. Prinsip S-O-R-C tersebut secara rinci adalah sebagai
berikut:
S (Stimulus) : peristiwa yang terjadi sebelum individu menunjukkan perilaku tertentu.
O (Organism) : individu dengan aspek kognisi (K) dan Emosi (E) di dalamnya.
R (Response) : apa yang dilakukan oleh individu atau organism, sering juga disebut
dengan perilaku (behavior), baik perilaku yang tampak (overt behavior)
ataupun perilaku yang tidak tampak (covert behavior).
C (Consequences) : peristiwa yang terjadi setelah atau sebagai hasil dari perilaku atau
response. Consequences termasuk apa yang terjadi secara langsung pada
individu, pada orang lain, dan pada lingkungan fisik sebagai hasil dari
perilaku tersebut. Ketika consequences atas perilaku adalah positif,
individu akan lebih cenderung untuk mengulangi perilaku yang sama.
Sebaliknya, ketika consequences atas perilaku adalah negatif, individu
cenderung mengurangi untuk melakukan perilaku yang sama.
Consequences dapat berasal dari dalam (internal)

CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk


membantu individu kearah yang lebih positif. Berbagai variasi teknik perubahan
kognisi, emosi, dan tingkah laku menjadi bagaian terpenting dalam Cognitive Behavior
Therapy.
Metode ini berkembang sesuai dengan kebutuhan konseli, dimana konelor
bersifat aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada konseli. Konselor
atau terapis Cognitive Behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi
untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli.
Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam Cognitive Behavior
Therapy (CBT) yaitu:
1. Menata keyakinan irasional.
2. Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang
menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
3. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play
dengan konselor.
4. Mencoba berbagai penggunaan pernyataan diri yang berbeda dalam situasi riil.
5. Mengukur perasaan, misalnya mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat
ini dengan skala 0-100.
6. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan
mengubahnya menjadi pikiran positif Desensitization systematic. Digantinya
respon takut dan cemas dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan
permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat
sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.
7. Pelatihan keterampilan sosial.
8. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
9. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak
tegas.
10. Penugasan rumah. Mempraktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi
konseling.
11. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan
memasuki situasi tersebut.
12. Convert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan
kepada proses psikologis yang terjadi didalam diri individu. Peranannya didalam
mengontrol perilaku berdasarkan kepada imajinasi dan presepsi.
D. Prinsip CBT
Berikut ini adalah prinsip-prinsip dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh
Aron T Beck:
1. Prinsip 1: Cognitive Behavior Therapy berdasarkan pada formulasi yang terus
berkembang dai permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli.
Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari
setiap sesi konseling. Pada momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan
penemuan-penemuan konseptualisasi.33kognitif konseli yang menyimpang dan
meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara
berpikir, merasa, dan bertindak.
2. Prinsip 2: Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama
antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui
situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas
respon terhadap permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang sama
tehadap permasalahan yang dihadapi konseli. Konseli tersebut akan menunjukan
sebuah keberhasilan dari konseling.
3. Prinsip 3: Cognitive Behvior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif.
Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling. Maka keputusan konseling
merupakan keputuasan yang dispakati dengan konseli. Konseli akan lebih aktif
dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus
dilakukan dari setiap sesi konseling.
4. Prinsip 4: Cognitive Behavior Therapy berorentasi pada tujuan dan berfokus pada
permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui
tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli
terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap
befokus pada permasalahan konseli
5. Prinsip 5: Cognitive Behavior Therapy berfokus pda kejadian saat ini. Konseling
dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan disini. Perhatian
konseling beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan
sumber kekuatan dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak
pada proses berpikir yang menyimpang dan keyakinan konseli di masa lalunya yang
berpotensi merubah kepercayaan dan tingkah laku ke arah yang lebih baik.
6. Prinsip 6: Cognitive Behavior Therapy merupakan edukasi , bertujuan mengajarkan
konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada
pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan
permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-behavior
serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi
dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan
mengevaluasi proses berpikir serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan
rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
7. Prinsip 7: Coginitive Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas.
Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14
sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu panjang, diharapkan secara
kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help.
8. Prinsip 8: Cognitive Behavior Therapy yang terstruktur ini terdiri dari tiga bagian
konseling. Bagian awal, manganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis
kejadian yang terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan
agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas
rumah, membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang berlangsung,
serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir,
melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi
konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih dipahami oleh
konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan selfhelp
diakhir sesi konseling.
9. Prinsip 9: Cognitive Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggai pemikiran disfungsional dan
keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki kesempatan dalam pemikiran-
pemikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi, dan tingkah
laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta
menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang
mengarahkankonseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkah laku dan
mengurangi kondisi psikologis negatif.
10. Prinsip 10: Cognitive Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk
merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaan-pertanyaan yang
berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konsling
cognitivebehavior. Pertanyaan dalam bentuk sokratik merupakan inti atau kunci
dari evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak mempermasalahkan
konselor menggunakan teknikteknik dalam konseling lain seperti teknik Gestalt,
Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling
yang lebih singkat dan memudahkan konselor dalam membantu konseli. Jenis
teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor terhadap
konseli, masalah yang sedang ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling
tersebut34 .

E. Aplikasi Cognitive Behavior dalam Praktek Psikoterapi


Teori Cognitive Behavior memerlukan sedikitnya 12 sessi, namun penerapannya di
Indonesia seringkali mengalami hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih
fleksibel. Efisiensi terapi menjadi 5 sessi diharapkan dapat memberikan bayangan yang
lebih jelas dan mengundang kreativitas yang lebih tinggi.
a. Sessi 1: Asesmen dan diagnosa awal Dalam sessi ini,
terapis diharapkan mampu :
(1) Melakukan asesmen, observasi, anamnese, dan analisis gejala, demi menegakkan
diagnosa awal mengenai gangguan yang terjadi.
(2) Memberikan dukungan dan semangat kepada klien untuk melakukan perubahan.
(3) Memperoleh komitmen dari klien untuk melakukan terapi dan pemecahan masalah
terhadap gangguan yang dialami.
(4) Menjelaskan kepada klien formulasi masalah dan situasi kondisi yang dihadapi
b. Sessi 2: Mencari emosi negatif, pikiran otomatis, dan keyakinan utama yang
berhubungan dengan gangguan
Beberapa tokoh meyakini bahwa sessi ini sebaiknya dilakukan di sessi (paling tidak) 8-
10. Namun pada prakteknya sessi ini lebih 45 mudah dilakukan segera setelah asesmen
dan diagnosa, selain karena tuntutan klien akan gambaran yang lebih jelas dalam waktu
yang singkat, klien juga menuntut adanya manfaat terapi yang dapat segera dirasakan
dalam pertemuan kedua, dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu :
(1) Memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran otomatis sangat erat
hubungannya dengan emosi dan tingkah laku, dengan cara menolak pikiran negatif
secara halus dan menawarkan pikiran positif sebagai alternatif untuk dibuktikan
bersama.
(2) Memperoleh komitmen klien untuk melakukan modifikasi secara menyeluruh,
mulai dari pikiran, perasaan sampai perbuatan, dari negatif menjadi positif Pada
umumnya, dalam sessi ini klien cukup dapat menerima penjelasan terapis dan
tertarik untuk mencoba bereksperimen dengan pikiran dan perasaannya. Namun
seringkali, mereka melaporkan kesulitan dalam menerapkan teknik-teknik
modifikasi pikiran dan perasaan, karena sistem keyakinan mereka sudah
membentuk semacam rajutan yang kokoh dalam ingatannya. Semakin negatif
pikiran seseorang semakin gelap dan tebal pula rajutan distorsi kognitifnya. Oleh
karena itu, hipnoterapi sudah dapat dilkukan dalam sessi ini, karena umumnya klien
akan dapat langsung merasakan manfaat 46 hipnoterapi segera setelah
menyelesaikan sessi ini, terutama terhadap perasaanya. Klien juga diberikan
rekomendasi untuk melakukan latihan di rumah, demi mencapai ketrampilan “auto
hypnose” yang diharapkan dapat meningkatkan potensi keberhasilan terapi.
c. Sessi 3: Menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekwensi positif-
konsekwensi negatif kepada klien dan kepada “significant persons”.
Terapis diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip teori belajar dengan
memberikan penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) secara kreatif
kepada klien dan keluarganya sebagai orang-orang yang signifikan dalam hidupnya.
Terapis juga diharapkan dapat memantapkan komitmen untuk merubah tingkah laku dan
keinginan untuk merubah situasi. Namun seringkali terjadi, istilah hukuman dan hadiah
kurang dapat diteima klien, terutama pada klien dewasa. Oleh karena itu terapis dapat
menampilkan kreativitas dengan memberikan istilah yang lebih sesuai, misalnya istilah
konsekwensi positif dan negatif. Terapis juga perlu memperjelas hubungan antara
pikiran negatif yang menghasilkan konsekwensi negatif, dan pikiran positif yang
menghasilkan konsekwensi posiif.
Klien diajak membuat komitmen tentang bagaimana ia dan terapis menerapkan
konsekwensi positif dan negatif terhadap kemajuan proses belajarnya. Keterlibatan
“significant persons” untuk turut memberi dan menerima konsekwensi yang telah
disepakati akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi. Penggunaan
konsekwensi positif dan negatif ini pada tahap selanjutnya bahkan dianggap sebagai
faktor utama dalam kemampuan klien mengatasi relapse (kekambuhan).
d. Sessi 4: Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku lanjutan.
Formulasi status yang dilakukan adalah lebih kepada kemajuan dan
perkembangan terapi. Terapis diharapkan dapat memberikan feed back atas hasil
kemajuan dan perkembangan terapi, mengingatkan fokus terapi, dan mengevaluasi
pelaksanaan intervensi tingkah laku dengan konsekwensi-konsekwensi yang telah
disepakati. Beberapa perubahan mungkin dilakukan untuk memberikan efek yang lebih
maksimal. Dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu memberikan:
(1) Dukungan dan semangat kepada kemajuan yang dicapai klien
(2) Keyakinan untuk tetap fokus kepada masalah utama
e. Sessi 5: Pencegahan Relapse
Pada sessi ini, diharapkan klien sudah memiliki pengalaman yang lebih mendalam
tentang Cognitive Behavior dan bagaimana manfaat langsung dari hipnoterapi, serta
pentingnya melakukan ketrampilan “auto hypnose” untuk mencegah relapse (kembalinya
gejala gangguan). Pengetahuan umum tentang istilah relapse perlu 48 diperjselas oleh
terapis di awal sessi untuk meyakinkan agar klien memahami artinya dan mampu memilih
tindakan yang harus dilakukan. Dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu memperoleh:
(1) Komitmen klien untuk melanjutkan terapi dalam sessi yang lebih jarang dan melakukan
metode “self help” secara berkesinambungan.
(2) Komitmen klien untuk secara aktif membentuk pikiranperasaan-perbuatan positif
dalam setiap masalah yang dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I Ii
    Bab I Ii
    Dokumen40 halaman
    Bab I Ii
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Askep Gadar 1
    Askep Gadar 1
    Dokumen14 halaman
    Askep Gadar 1
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar, Daftar Isi
    Kata Pengantar, Daftar Isi
    Dokumen3 halaman
    Kata Pengantar, Daftar Isi
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Diet Makanan
    Diet Makanan
    Dokumen4 halaman
    Diet Makanan
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • BAB I Anemia
    BAB I Anemia
    Dokumen25 halaman
    BAB I Anemia
    aji10
    Belum ada peringkat
  • Rekam Medis Lansia
    Rekam Medis Lansia
    Dokumen12 halaman
    Rekam Medis Lansia
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Absen Profesi
    Absen Profesi
    Dokumen2 halaman
    Absen Profesi
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • LP Jiwa Fix-1
    LP Jiwa Fix-1
    Dokumen92 halaman
    LP Jiwa Fix-1
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Absen Profesi
    Absen Profesi
    Dokumen2 halaman
    Absen Profesi
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Alamanda
    Alamanda
    Dokumen12 halaman
    Alamanda
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Laporan ABK1
    Laporan ABK1
    Dokumen16 halaman
    Laporan ABK1
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • 146-Article Text-461-1-10-20190418
    146-Article Text-461-1-10-20190418
    Dokumen9 halaman
    146-Article Text-461-1-10-20190418
    Ulfah Niawaty
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Proposal Nurshing Enterpreneurship 2k18
    Proposal Nurshing Enterpreneurship 2k18
    Dokumen19 halaman
    Proposal Nurshing Enterpreneurship 2k18
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen39 halaman
    Makalah
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • LP Post Partum Jade
    LP Post Partum Jade
    Dokumen16 halaman
    LP Post Partum Jade
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Sap Vulva Hygine2
    Sap Vulva Hygine2
    Dokumen12 halaman
    Sap Vulva Hygine2
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen33 halaman
    Bab Ii
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen52 halaman
    Bab I
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Biopori
    Biopori
    Dokumen4 halaman
    Biopori
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Dan Fisiologi
    Anatomi Dan Fisiologi
    Dokumen26 halaman
    Anatomi Dan Fisiologi
    Rosela Hibiscus Sabdariffa
    Belum ada peringkat
  • FG 2
    FG 2
    Dokumen28 halaman
    FG 2
    ZackyAhmad
    Belum ada peringkat
  • FG 2
    FG 2
    Dokumen28 halaman
    FG 2
    ZackyAhmad
    Belum ada peringkat