Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007). Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, 2007) HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007). Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2014, kasus HIV dan AIDS di Indonesia dalam triwulan bulan Juli sampai dengan September tercatat kasus HIV 7.335, kasus sedangkan kasus AIDS 176 kasus. Estimasi dan proyeksi jumlah Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) menurut populasi beresiko dimana jumlah ODHA di populasi wanita resiko rendah mengalami peningkatan dari 190.349 kasus pada tahun 2011 menjadi 279.276 kasus di tahun 2016 (Kemenkes RI, 2013). Pada tahun 2013 World Health Organization (WHO) mengumumkan 34 juta orang di dunia mengidap virus HIV penyebab AIDS dan sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan dan di negara berkembang. Data WHO terbaru juga menunjukkan peningkatan jumlah pengidap HIV yang mendapatkan pengobatan. Tahun 2012 tercatat 9,7 juta orang, angka ini meningkat 300.000 orang lebih banyak dibandingkan satu dekade sebelumnya (WHO, 2013). HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik yang sering dikaitkan dengan kesehatan reproduksi terutama kelompok perempuan. Kerentanan perempuan dan remaja putri untuk tertular umumnya karena kurangnya pengetahuan dan informasi tentang HIV dan AIDS ataupun kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pencegahan HIV (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2008). 1.2 RUMUSAN MASALAH 1.3 TUJUAN A. Pengertian Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama terapi. Fokus terapi yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan. Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking. Sedangkan terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat membawa individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti depresi, trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam terapi, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara normal. CBT didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat mempengaruhi emosi. Melalui CBT, siswa terlibat aktivitas dan berpartisipasi dalam training untuk diri dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation (Matson & Ollendick, 1988: 44). Teori Cognitive-Behavior pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus- Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, siswa diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT, maka CBT adalah pendekatan terapi yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupunpsikis. CBT merupakan terapi yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Terapi ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan, pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan kemudian secara tidak langsung juga akan mengubah tingkah laku yang nampak (overt action). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003) menekankan CBT pada pandangan individu tentang keyakinan (hipotesa) sementaranya dan kemudian menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti- bukti untuk menolak atau mendukung hipotesanya. Pucci (2005) menambahkan bahwa CBT berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat. B. Tujuan Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan dapat membantu siswa dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak. CBT bertujuan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan “situasi emosional positif”, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi spesifik, seperti restrukturisasi kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi lainnya (McGinss, 2000). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama CBT adalah untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional. Hackney & Cormier (dalam Cengage Learning, 2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa CBT terbukti lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah emosional dan fisik. CBT juga merupakan terapi yang efektif sebagai treatmen untuk berbagai gangguan psikologis dan juga meningkatkan kesejahteraan psikologis dan emosional (Bortholomew, 2013). C. Teknik CBT Dalam pelaksanaan CBT, perlu dilakukan analisa fungsional berdasarkan prinsip “S- O-R-C”. Berdasarkan analisa fungsional ini dapat diidentifikasi kognisi yang terdistorsi, serta pola perilaku maladaptifnya. Prinsip S-O-R-C tersebut secara rinci adalah sebagai berikut: S (Stimulus) : peristiwa yang terjadi sebelum individu menunjukkan perilaku tertentu. O (Organism) : individu dengan aspek kognisi (K) dan Emosi (E) di dalamnya. R (Response) : apa yang dilakukan oleh individu atau organism, sering juga disebut dengan perilaku (behavior), baik perilaku yang tampak (overt behavior) ataupun perilaku yang tidak tampak (covert behavior). C (Consequences) : peristiwa yang terjadi setelah atau sebagai hasil dari perilaku atau response. Consequences termasuk apa yang terjadi secara langsung pada individu, pada orang lain, dan pada lingkungan fisik sebagai hasil dari perilaku tersebut. Ketika consequences atas perilaku adalah positif, individu akan lebih cenderung untuk mengulangi perilaku yang sama. Sebaliknya, ketika consequences atas perilaku adalah negatif, individu cenderung mengurangi untuk melakukan perilaku yang sama. Consequences dapat berasal dari dalam (internal)
CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk
membantu individu kearah yang lebih positif. Berbagai variasi teknik perubahan kognisi, emosi, dan tingkah laku menjadi bagaian terpenting dalam Cognitive Behavior Therapy. Metode ini berkembang sesuai dengan kebutuhan konseli, dimana konelor bersifat aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada konseli. Konselor atau terapis Cognitive Behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam Cognitive Behavior Therapy (CBT) yaitu: 1. Menata keyakinan irasional. 2. Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan. 3. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor. 4. Mencoba berbagai penggunaan pernyataan diri yang berbeda dalam situasi riil. 5. Mengukur perasaan, misalnya mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100. 6. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif Desensitization systematic. Digantinya respon takut dan cemas dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli. 7. Pelatihan keterampilan sosial. 8. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. 9. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas. 10. Penugasan rumah. Mempraktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi konseling. 11. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut. 12. Convert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses psikologis yang terjadi didalam diri individu. Peranannya didalam mengontrol perilaku berdasarkan kepada imajinasi dan presepsi. D. Prinsip CBT Berikut ini adalah prinsip-prinsip dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Aron T Beck: 1. Prinsip 1: Cognitive Behavior Therapy berdasarkan pada formulasi yang terus berkembang dai permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi.33kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara berpikir, merasa, dan bertindak. 2. Prinsip 2: Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang sama tehadap permasalahan yang dihadapi konseli. Konseli tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling. 3. Prinsip 3: Cognitive Behvior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling. Maka keputusan konseling merupakan keputuasan yang dispakati dengan konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling. 4. Prinsip 4: Cognitive Behavior Therapy berorentasi pada tujuan dan berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap befokus pada permasalahan konseli 5. Prinsip 5: Cognitive Behavior Therapy berfokus pda kejadian saat ini. Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan disini. Perhatian konseling beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berpikir yang menyimpang dan keyakinan konseli di masa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan tingkah laku ke arah yang lebih baik. 6. Prinsip 6: Cognitive Behavior Therapy merupakan edukasi , bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berpikir serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya. 7. Prinsip 7: Coginitive Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help. 8. Prinsip 8: Cognitive Behavior Therapy yang terstruktur ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, manganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah, membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan selfhelp diakhir sesi konseling. 9. Prinsip 9: Cognitive Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggai pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki kesempatan dalam pemikiran- pemikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi, dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkankonseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkah laku dan mengurangi kondisi psikologis negatif. 10. Prinsip 10: Cognitive Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konsling cognitivebehavior. Pertanyaan dalam bentuk sokratik merupakan inti atau kunci dari evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak mempermasalahkan konselor menggunakan teknikteknik dalam konseling lain seperti teknik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling yang lebih singkat dan memudahkan konselor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor terhadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut34 .
E. Aplikasi Cognitive Behavior dalam Praktek Psikoterapi
Teori Cognitive Behavior memerlukan sedikitnya 12 sessi, namun penerapannya di Indonesia seringkali mengalami hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih fleksibel. Efisiensi terapi menjadi 5 sessi diharapkan dapat memberikan bayangan yang lebih jelas dan mengundang kreativitas yang lebih tinggi. a. Sessi 1: Asesmen dan diagnosa awal Dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu : (1) Melakukan asesmen, observasi, anamnese, dan analisis gejala, demi menegakkan diagnosa awal mengenai gangguan yang terjadi. (2) Memberikan dukungan dan semangat kepada klien untuk melakukan perubahan. (3) Memperoleh komitmen dari klien untuk melakukan terapi dan pemecahan masalah terhadap gangguan yang dialami. (4) Menjelaskan kepada klien formulasi masalah dan situasi kondisi yang dihadapi b. Sessi 2: Mencari emosi negatif, pikiran otomatis, dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan Beberapa tokoh meyakini bahwa sessi ini sebaiknya dilakukan di sessi (paling tidak) 8- 10. Namun pada prakteknya sessi ini lebih 45 mudah dilakukan segera setelah asesmen dan diagnosa, selain karena tuntutan klien akan gambaran yang lebih jelas dalam waktu yang singkat, klien juga menuntut adanya manfaat terapi yang dapat segera dirasakan dalam pertemuan kedua, dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu : (1) Memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran otomatis sangat erat hubungannya dengan emosi dan tingkah laku, dengan cara menolak pikiran negatif secara halus dan menawarkan pikiran positif sebagai alternatif untuk dibuktikan bersama. (2) Memperoleh komitmen klien untuk melakukan modifikasi secara menyeluruh, mulai dari pikiran, perasaan sampai perbuatan, dari negatif menjadi positif Pada umumnya, dalam sessi ini klien cukup dapat menerima penjelasan terapis dan tertarik untuk mencoba bereksperimen dengan pikiran dan perasaannya. Namun seringkali, mereka melaporkan kesulitan dalam menerapkan teknik-teknik modifikasi pikiran dan perasaan, karena sistem keyakinan mereka sudah membentuk semacam rajutan yang kokoh dalam ingatannya. Semakin negatif pikiran seseorang semakin gelap dan tebal pula rajutan distorsi kognitifnya. Oleh karena itu, hipnoterapi sudah dapat dilkukan dalam sessi ini, karena umumnya klien akan dapat langsung merasakan manfaat 46 hipnoterapi segera setelah menyelesaikan sessi ini, terutama terhadap perasaanya. Klien juga diberikan rekomendasi untuk melakukan latihan di rumah, demi mencapai ketrampilan “auto hypnose” yang diharapkan dapat meningkatkan potensi keberhasilan terapi. c. Sessi 3: Menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekwensi positif- konsekwensi negatif kepada klien dan kepada “significant persons”. Terapis diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip teori belajar dengan memberikan penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) secara kreatif kepada klien dan keluarganya sebagai orang-orang yang signifikan dalam hidupnya. Terapis juga diharapkan dapat memantapkan komitmen untuk merubah tingkah laku dan keinginan untuk merubah situasi. Namun seringkali terjadi, istilah hukuman dan hadiah kurang dapat diteima klien, terutama pada klien dewasa. Oleh karena itu terapis dapat menampilkan kreativitas dengan memberikan istilah yang lebih sesuai, misalnya istilah konsekwensi positif dan negatif. Terapis juga perlu memperjelas hubungan antara pikiran negatif yang menghasilkan konsekwensi negatif, dan pikiran positif yang menghasilkan konsekwensi posiif. Klien diajak membuat komitmen tentang bagaimana ia dan terapis menerapkan konsekwensi positif dan negatif terhadap kemajuan proses belajarnya. Keterlibatan “significant persons” untuk turut memberi dan menerima konsekwensi yang telah disepakati akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi. Penggunaan konsekwensi positif dan negatif ini pada tahap selanjutnya bahkan dianggap sebagai faktor utama dalam kemampuan klien mengatasi relapse (kekambuhan). d. Sessi 4: Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku lanjutan. Formulasi status yang dilakukan adalah lebih kepada kemajuan dan perkembangan terapi. Terapis diharapkan dapat memberikan feed back atas hasil kemajuan dan perkembangan terapi, mengingatkan fokus terapi, dan mengevaluasi pelaksanaan intervensi tingkah laku dengan konsekwensi-konsekwensi yang telah disepakati. Beberapa perubahan mungkin dilakukan untuk memberikan efek yang lebih maksimal. Dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu memberikan: (1) Dukungan dan semangat kepada kemajuan yang dicapai klien (2) Keyakinan untuk tetap fokus kepada masalah utama e. Sessi 5: Pencegahan Relapse Pada sessi ini, diharapkan klien sudah memiliki pengalaman yang lebih mendalam tentang Cognitive Behavior dan bagaimana manfaat langsung dari hipnoterapi, serta pentingnya melakukan ketrampilan “auto hypnose” untuk mencegah relapse (kembalinya gejala gangguan). Pengetahuan umum tentang istilah relapse perlu 48 diperjselas oleh terapis di awal sessi untuk meyakinkan agar klien memahami artinya dan mampu memilih tindakan yang harus dilakukan. Dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu memperoleh: (1) Komitmen klien untuk melanjutkan terapi dalam sessi yang lebih jarang dan melakukan metode “self help” secara berkesinambungan. (2) Komitmen klien untuk secara aktif membentuk pikiranperasaan-perbuatan positif dalam setiap masalah yang dihadapi.