"SYOK HIPOVOLEMIK"
Oleh :
F. Pemeriksaan Diagnostik
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan (Baren et al., 2009). Ketidakstabilan
hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung,
penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena
sentral (Leksana, 2015). Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya
syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi nadi, tekanan
darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu dan turgor kulit (Hardisman,
2013).
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab
yang mungkin pada hipovolemik dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri. Pemeriksaan
laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada keadaan syok hipovolemik, antara lain (Schub
dan March, 2014):
1. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan hemoglobin,
hematokrit dan platelet.
2. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya
disfungsi ginjal.
3. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
4. Produksi urin, mungkin <400 ml/hari atau tidak ada sama sekali.
5. Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen.
6. AGDA, mungkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
7. Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan APTT.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain (Kolecki dan
Menckhoff, 2014):
1. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.
2. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicurigai adanya perdarahan gastrointestinal.
3. Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen.
4. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC, yaitu pada airway
dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen di atas
95%. Pada circulation, hal utama yang perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang
terlihat, lakukan akses intravena, dan nilai perfusi jaringan (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 2008).
Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran besar (minimal
nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena perifer pada orang dewasa adalah
vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila keadaan tidak memungkinkan pada pembuluh
darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh darah sentral. Bila kaketer intravena sudah
terpasang, contoh darah diambil untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch,
pemeriksaan laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Setelah akses intravena terpasang,
selanjutnya dilakukan resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk mengganti volume
darah yang hilang dan mengembalikan perfusi organ (Kelley, 2005). Tahap awal terapi dilakukan
dengan memberikan bolus cairan secepatnya. Dosis umumnya 1-2 liter untuk dewasa. Cairan
resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian
cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamik
(Hardisman, 2013).
Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi dalam evaluasi
awal pasien. mengetahui kehilangan volume darah yang harus digantikan sangat penting untuk
menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi yang
adekuat, yaitu produksi urin, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan
darah yang normal (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda hemodinamik, maka
dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah (Harisman, 2013). Tujuan utama transfusi
darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam intravaskular (American
College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Untuk melakukan transfusi, harus didasari
dengan jumlah kehilangan perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan darah.
Jika pasien sampai di IGD dengan derajat syok yang berat dan golongan darah spesifik tidak
tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan O. Golongan darah spesifik
biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit (Kelley, 2005).
Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok hipovolemik. Jumlah
produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal karena menandakan
aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah produksi urin yang normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam
pada orang dewasa (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Defisit basa
juga dapat digunakan untuk evaluasi resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalitas pada pasien
syok hipovolemik (Privette dan Dicker, 2013).
H. Komplikasi
Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat napas akut, koagulasi
intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga kematian (Greenberg, 2005).
I. Asuhan Keperawatan
III. Intervensi
Kolaborasi pemberian
cairan IV
Berikan cairan
Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
IV. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008. Shock. In: Advanced Trauma Life
Support for Doctors (Student Course Manual). 8th Edition. USA: American College of
Surgeons.
Amin huda nurafif dan Hardhi kusuma. Aplikasi NANDA NIC-NOC jilid 2. Yogyakarta:
MediAction
Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
. Brunner and Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 3. Jakarta: EGC. 2002
Carpenito, 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim PSIK
UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta.
Doenges Marilynn E, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku Kedikteran EGC, Jakarta.
Greenberg, M. I. 2005. Hypovolemic Shock. In: Greenberg's Text Atlas of Emergency Medicine.
Philadelphia: Lippicott Williams & Willkins.
Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2(3): 178-182.
Jakarta : EGC.
Using Base Deficit to Think Outside of The ATLS Box. Critical Care. 17: 124.
Toni Ashadi, (2006). Syok Hipovolemik. (online). Http:// www. Medicastore. Com/med/.detail-