DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
FARMASI B
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
A. FARMAKOEKONOMI .........................................................................
D. FARMAKOEPIDEMIOLOGI .............................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical
Care ). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus
pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien.
Perubahan orientasi ini mengharuskan apoteker untuk memiliki peran yang
lebih luas dari hulu ke hilir mulai dari pembuatan, pengawasan, penyerahan
hingga pemastian bahwa obat yang akan digunakan oleh pasien memenuhi
prinsip-prinsip rasionalitas. Hal ini berarti bahwa apoteker wajib berinteraksi
dengan pasien dalam rangka memberikan informasi yang tepat terhadap obat
yang akan digunakan oleh pasien. Untuk menjalankan peran ini maka setiap
apoteker tidak hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu alam (natural
sciences), analisis farmasi, dan teknologi farmasi tetapi lebih dari itu,
apoteker juga diwajibkan menguasai farmasi klinik dan farmasi sosial.
Farmasi Sosial, yaitu suatu disiplin ilmu (field of study) kefarmasian yang
berkembang dengan dukungan disiplin ilmu lain yang terkait untuk menguji,
meneliti, memahami, dan mengatasi persoalan-persoalan yang senantiasa
timbul dalam pengabdian profesi farmasi. Tujuan ilmu tersebut adalah
pemahaman dan penjelasan menyeluruh tentang masalah-masalah yang
berkaitan dengan farmasi atau sedang dihadapi oleh farmasi (Harding dkk.,
1994).
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah adanya farmasi sosial ? Dan apa itu farmasi sosial ?
2. Bagaimana posisi farmasi sosial dalam ilmu farmasi ?
3. Bagaimana kaitan farmasi sosial dalam bidang ilmu farmakoekonomi,
farmasi klinik, farmakoepidemiologi, konseling kefarmasian, dan
manajemen farmasi ?
5
BAB II
PEMBAHASAN
Pada awalnya, sekitar dua dekade lalu, farmasi sosial disinonimkan dengan
farmakoepidemologi dan disitribusi sosial/demografi penggunaan obat.
Tetapi saat ini, cakupan farmasi sosial menjadi lebih luas dan tidak hanya
dibatasi oleh pemetaan distribusi obat pada sebuah populasi.
Dalam farmasi sosial, pengobatan dilihat dari persepektif sains, sosial dan
humanistik. Farmasi sosial mencakup semua faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi penggunaan obat seperti kepercayaan pasien terhadap obat,
regulasi, kebijakan, perilaku, informasi obat, dan etik. Bahkan Schafer, dkk
6
(1992) memberikan pengertian yang lebih luas dengan merumuskan farmasi
sosial sebagai berikut :
Dalam bagan ini diilustrasikan bahwa farmasi klinik menjadi jembatan yang
overlap sekaligus menghubungkan antara ilmu alam dan farmasi sosial.
Dalam bagan ini juga diketahui bahwa farmasi sosial memiliki hubungan
yang erat dengan praktek kefarmasian. Dan juga dapat dikatakan farmasi
sosial menjadi penyempurna ilmu kefarmasian.
7
Pengetahuan yang berasal dari farmasi sosial dapat membantu pengembangan
kemampuan personal dan interpersonal apoteker sehingga mampu
memberikan komunikasi dan konseling yang efektif dalam rangka
meningkatkan kualitas pengobatan. Farmasi sosial juga diharapkan dapat
membantu apoteker dalam meningkatkan profesionalisme dan kualitas
kepemimpinannya.
1. FARMAKOEKONOMI
8
Kategori biaya-biaya medis langsung, antara lain : pengobatan,
pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan
dan penanganan,
2) Direct nonmedical costs
Biaya yang dikeluarkan oleh pasien tidak terkait langsung dengan
pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit,
makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah
sakit (Orion, 1997; Vogenberg, 2001).
3) Indirect medical costs
Biaya yang dapat mengurangi produktivitas pasien (Vogenberg,
2001). Biaya yang hilang akibat waktu produktif yang
hilang. Sebagai contoh pasien kehilangan pendapatan karena
sakit yang berkepanjangan sehingga tidak dapat memberikan
nafkah keluarganya, pendapatan berkurang karena kematian yang
cepat (Vogenberg, 2001).
4) Intangible costs
Merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan medis,
tidak dapat diukur dalam mata uang (Vogenberg, 2001). Biaya
yang sulit diukur seperti rasa nyeri/ sakit, cacat, kehilangan
kebebasan, efek samping. Sifatnya psikologis, sukar
dikonversikan dalam bentuk rupiah sehingga sering diabaikan
(Vogenberg, 2001).
5) Opportunity costs
Menunjukkan besarnya manfaat ekonomis ketika membatalkan
suatu alternatif terapi sebagai pengganti terapi alternatif
terbaik berikutnya, dimana manfaat itu telah terbukti.
(Vogenberg, 2001 ).
9
2. KONSELING FARMASI
Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah suatu
tanggung jawab profesi dari apoteker dalam mengoptimalkan terapi
dengan cara mencegah dan memecahkan masalah terkait obat (Drug
Related problem). Ketidakpatuhan (non compliance) dan
ketidaksepahaman (non corcondance) pasien dalam menjalankan terapi
merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi. Hal ini sering
disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien
tentang obat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan
obat untuk terapinya. Oleh karena itu, untuk mencegah penggunaan obat
yang salah (drug misuse) dan untuk menciptakan pengetahuan dan
pemahaman pasien dalam penggunaan obat yang akan berdampak pada
kepatuhan pengobatan dan keberhasilan dalam proses penyembuhan maka
sangat diperlukan pelayanan informasi obat untuk pasien dan keluarga
melalui konseling obat. Pasien yang mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang obatnya akan menunjukkan peningkatan ketaatan pada regimen
obat yang digunakannya sehingga hasil terapi akan meningkat pula. Oleh
karena itu, apoteker mempunyai tanggung jawab untuk memberikan
informasi yang tepat tentang terapi obat kepada pasien.
Konseling obat sebagai salah satu metode edukasi pengobatan
secara tatap muka atau wawancara, merupakan salah satu bentuk
pelayanan kefarmasian dalam usaha untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman pasien dalam penggunaan obat. Apoteker baik di rumah
sakit maupun di sarana pelayanan kesehatan lainnya berkewajiban
menjamin bahwa pasien mengerti dan memahami serta patuh dalam
penggunaan obat sehingga diharapkan dapat meningkatkan penggunaan
obat secara rasional. Untuk itu Apoteker perlu mengembangkan
keterampilan dalam menyampaikan informasi dan memberi motivasi agar
pasien dapat mematuhi dan memahami penggunaan obatnya terutama
untuk pasien-pasien geriatri, pediatri dan pasien-pasien yang baru pulang
dari rumah sakit serta pasien-pasien yang menggunakan obat dalam
10
jangka waktu lama terutama dalam penggunaan obat-obat tertentu seperti
obat-obat cardiovasculer, diabetes, TBC, asthma, dan obatobat
untuk penyakit kronis lainnya. Konseling obat diharapkan tidak hanya
memberikan informasi tentang obat tetapi sekaligus memberikan
pendidikan dan pemahaman tentang pengobatannya dan memastikan
bahwa pasien dapat menggunakan obat dengan benar.
Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan elemen
kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak
hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga
harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana
dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care Dapat disimpulkan bahwa
pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang
mempunyai tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan
informasi dan edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat.
Kegiatan konseling dapat diberikan atas inisiatif langsung dari
apoteker mengingat perlunya pemberian konseling karena pemakaian
obat-obat dengan cara penggunaan khusus, obat-obat yang membutuhkan
terapi jangka panjang sehingga perlu memastikan untuk kepatuhan pasien
meminum obat. Konseling yang diberikan atas inisiatif langsung dari
apoteker disebut konseling aktif. Selain konseling aktif dapat juga
konseling terjadi jika pasien datang untuk berkonsultasi kepada apoteker
untuk mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan obat dan pengobatan, bentuk konseling seperti ini disebut
konseling pasif .
a. Tujuan Konseling
Tujuan Umum
1) Meningkatkan keberhasilan terapi.
2) Memaksimalkan efek terapi.
3) Meminimalkan resiko efek samping.
4) Meningkatkan cost effectiveness.
5) Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi.
11
Tujuan Khusus
b. Manfaat Konseling
Bagi pasien
1) Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan.
2) Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya.
3) Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri.
4) Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu.
5) Menurunkan kesalahan penggunaan obat.
6) Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi.
7) Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan.
8) Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan.
12
3. FARMASI KLINIK
Istilah farmasi klinis mulai muncul pada tahun 1960-an di
Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi
farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care)
kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan
yang maksimal. Secara filosofis, tujuan dari farmasi klinis adalah agar
efek terapi bisa tercapai secara maksimal, meminimalkan resiko yang
tidak diinginkan, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati
pilihan pasien terhadap pemilihan terapi yang akan mereka lakukan. Saat
ini disiplin ilmu farmasi klinis semakin dibutuhkan dengan adanya
paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada
pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas seperti
apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan, dll tempat dimanapun terjadi
peresepan ataupun penggunaan obat harus memiliki kompetensi yang
dapat mendukung pelayanan farmasi klinis yang berkualitas.
13
d. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan
meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
e. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara
lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi,
farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
f. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas
menjalankan pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan
melihat profil farmakokinetik untuk optimasi regimen dosis obat.
g. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi
obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
h. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
14
samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena kesalahan dalam
perintah pengobatan (Leape et al, 1999).
15
meningkatkan pencapaian target tekanan darah yang diinginkan
(Kusumaningjati, 2008).
4. FARMAKOEPIDEMIOLOGI
Farmakoepidemiologi adalah suatu studi cabang ilmu yang
menghubungkan disiplin ilmu epidemiologi dan farmasi klinik bertujuan
untuk mendalami efek suatu obat terhadap suatu populasi.
Farmakoepidemiologi dapat mengevaluasi hasil treatment, sehingga
diperoleh keamanan dan efikasi yang lebih baik ketika digunakan pada
pasien. Studi memiliki peranan penting dalam melihat keberhasilan
ataupun kegagalan terapi obat yang diberikan Farmakoepidemiologi juga
memberikan rekomendasi pengambilan keputusan yang tepat dalam
pemilihan terapi obat agar dapat menurunkan derajat mortalitas dalam
suatu populasi akibat ketidaktepatan dalam pengobatan.
16
4. Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun perencanaan, penanggualangan
masalah kesehatan, serta menentuka prioritas masalah keseahatan
masyarakat
17
diperoleh berbagai manfaat yang jika disederhanakan adalah sebagai
berikut :
18
masalah kesehatan, maka akan diperoleh keterangan tentang keadaan
masalah kesehatan tersebut. Keadaan yang dimaksud di sini
merupakan perpaduan dari keterangan menurut cirri – cirri Manusia,
tempat dan Waktu.
5. MANAJEMEN KEFARMASIAN
19
2. Pengorganisasian.
3. Kepemimpinan, bagaimana bisa mempengaruhi orang lain untuk
melakukan sesuatu.
4. Pengendalian (monitoring dan evaluasi).
Manajemen Farmasi
20
1. Perencanaan
Adalah proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, serta harga
perbekalan farmasi yang mana sesuai dengan kebutuhan serta
anggaran, agar menghindari kekosongan obat dengan menggunakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan serta dasar perencanaan
yang telah ditentukan.
2. Pengadaan
Adalah kegiatan agar merealisasikan kebutuhan yang direncanakan
serta telah disetujui . pengadaan dapat berupa:
a. Pembelian, dapat berupa tender ataupun pembelian langsung
dari pabrik/distributor pedagang besar farmasi/rekan.
b. Produksi, ada dua yaitu produksi steril serta non steril
Sumbangan/droping/hibah.
3. Produksi
Adalah kegiatan untuk membuat, merubah bentuk, serta pengemasan
kembali sediaan farmasi steril ataupun non steril agar memenuhi
kebutuhan pelayan kesehatan di rumah sakit.
4. Penerimaan
Adalah proses untuk menerima perbekalan farmasi yang mana telah
diadakan sesuai aturan yang berlaku, dengan jalan membeli
langsung, tender, konsinyasi ataupun dengan sumbangan.
5. Penyimpanan
Merupakan aktivitas pengaturan perbekalan farmasi sesuai dengan
persyarataan, seperti:
a. Dibedakan menurut bentuk sediaan serta jenisnya
b. Dibedakan menurut suhu kestabilannya
c. Mudah tidaknya meledak/terbakar
d. Tahan/tidaknya terhadap cahaya
21
6. Pendistribusian
Merupakan segala aktivitas mendistribusikan perbekalan farmasi di
rumah sakit agar pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien
rawat inap serta rawat jalan dan juga agar menunjang pelayan medis.
7. Pencatatan serta Pelaporan
Hal ini dilakukan guna mengetahui ragkaian aktivitas dalam rangka
penatausahaan obat-obatan secara tertib, baik obat yang diterima,
disimpan didistribusikan ataupun yang telah digunakan dalam unit
pelayanan rumah sakit. Tujuan kegiatan ini adalah guna tersedianya
data mengenai jenis serta jumlah penerimaan persedian,
pengeluaran/penggunaan serta data mengenai waktu dari seluruh
rangkaian aktivitas mutasi obat.
8. Penggunaan
Hal ini adalah salah satu dari mata rantai yang mana tak dapat
dipisahkan dengan fungsi pengolalaan obat lainnya, yaitu berupa
perencaan, pengadaan, serta pendistribusian obat.
9. Penghapusan obat
Merupakan rangkaian aktivitas untuk pembebasan obat-obatan milik
maupun kekayaan Negara dari tanggungjawab berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang telah berlaku. Adapun tujuan dari
penghapusan obat ini:
a. Menjaga keselamatan kerja serta menghindarkan dari pengotoran
lingkungan
b. Menghindarkan atas pembiayaan atas barang yang mana sudah
tak layak untuk dipelihara
c. Penghapusan pertanggungjawaban petugas terhadap obat-obatan
yang telah diurus, yang mana sudah ditetapkan untuk dihapus
sesuai dengan aturan yang berlaku.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Farmasi Sosial, yaitu suatu disiplin ilmu (field of study)
kefarmasian yang berkembang dengan dukungan disiplin ilmu lain
yang terkait untuk menguji, meneliti, memahami, dan mengatasi
persoalan-persoalan yang senantiasa timbul dalam pengabdian
profesi farmasi. Tujuan ilmu tersebut adalah pemahaman dan
penjelasan menyeluruh tentang masalah-masalah yang berkaitan
dengan farmasi atau sedang dihadapi oleh farmasi.
B. SARAN
Penyusunan makalah ini tidak luput dari segala kekurangan. Kami
selaku penyusun menerima kritik dan saran untuk perbaikan makalah
ini kedepannya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Harding, K. 1994. The methylation status of DNA derived from potato plants
recovered from slow growth. Plant Cell, Tiss. and Org. Cult. 37:31-38.
Anonim, 1994, Model Quality Assurance Program for Hospital Pharmacy, 2nd
Ed, USA
24