Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KESEHATAN DAN FARMASI SOSIAL

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

FARMASI B

SITI NUR FADILAH G 701 15 007


AGRIANTY RANTELINO G 701 15 058
GRATIA POSUNDU G 701 15 067
AYU CAHYANI G 701 15 132
SRI RAHAYU AULIA G 701 15 187
SALLY NORCELINA G 701 15 219
REGITA CAHYANI SEPTIARIKA G 701 15 269

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENEGTAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Palu, 01 Maret 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................

I.1 LATAR BELAKANG .................................................................................

I.2 RUMUSAN MASALAH .........................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................

II.1 SEJARAH DAN DEFINISI FARMASI SOSIAL.....................................

II.2 POSISI FARMASI SOSIAL DALAM ILMU FARMASI ........................

A. FARMAKOEKONOMI .........................................................................

B. KONSELING FARMASI ......................................................................

C. FARMASI KLINIK ...............................................................................

D. FARMAKOEPIDEMIOLOGI .............................................................

E. MANAJEMEN FARMASI ..................................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................

III.1 KESIMPULAN ...........................................................................................

III.2 SARAN ......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical
Care ). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus
pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien.
Perubahan orientasi ini mengharuskan apoteker untuk memiliki peran yang
lebih luas dari hulu ke hilir mulai dari pembuatan, pengawasan, penyerahan
hingga pemastian bahwa obat yang akan digunakan oleh pasien memenuhi
prinsip-prinsip rasionalitas. Hal ini berarti bahwa apoteker wajib berinteraksi
dengan pasien dalam rangka memberikan informasi yang tepat terhadap obat
yang akan digunakan oleh pasien. Untuk menjalankan peran ini maka setiap
apoteker tidak hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu alam (natural
sciences), analisis farmasi, dan teknologi farmasi tetapi lebih dari itu,
apoteker juga diwajibkan menguasai farmasi klinik dan farmasi sosial.
Farmasi Sosial, yaitu suatu disiplin ilmu (field of study) kefarmasian yang
berkembang dengan dukungan disiplin ilmu lain yang terkait untuk menguji,
meneliti, memahami, dan mengatasi persoalan-persoalan yang senantiasa
timbul dalam pengabdian profesi farmasi. Tujuan ilmu tersebut adalah
pemahaman dan penjelasan menyeluruh tentang masalah-masalah yang
berkaitan dengan farmasi atau sedang dihadapi oleh farmasi (Harding dkk.,
1994).

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah adanya farmasi sosial ? Dan apa itu farmasi sosial ?
2. Bagaimana posisi farmasi sosial dalam ilmu farmasi ?
3. Bagaimana kaitan farmasi sosial dalam bidang ilmu farmakoekonomi,
farmasi klinik, farmakoepidemiologi, konseling kefarmasian, dan
manajemen farmasi ?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Pengertian

Di Eropa dan Amerika kesadaran untuk memperkaya kurikulum apoteker


dengan aspek-aspek farmasi sosial telah dimulai pada tahun 80-an. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan dasar farmasi
dirasakan tidak cukup mendukung orientasi apoteker yang telah mengarah
pada pasien. Peran baru ini menyebabkan apoteker akan berada pada
lingkungan praktek baru yang menuntut interaksi dengan pasien dan tenaga
kesehatan lainnya. Oleh karena itu, apoteker harus dilengkapi dengan
kemampuan yang dapat memaksimalkan peran apoteker dalam lingkungan
sosial ini. Disinilah farmasi sosial muncul sebagai isu utama untuk menjawab
tantangan ini.

Pada awalnya, sekitar dua dekade lalu, farmasi sosial disinonimkan dengan
farmakoepidemologi dan disitribusi sosial/demografi penggunaan obat.
Tetapi saat ini, cakupan farmasi sosial menjadi lebih luas dan tidak hanya
dibatasi oleh pemetaan distribusi obat pada sebuah populasi.

Untuk mencapai hasil yang optimum dalam asuhan kefarmasian


(pharmaceutical care) apoteker harus memiliki pemahaman mengenai aspek
psikologi dan perilaku (behaviour) dari pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
Konsep ilmu psikologi dan prilaku inilah yang menjadi konsep fundamental
dari ilmu farmasi sosial.

Dalam farmasi sosial, pengobatan dilihat dari persepektif sains, sosial dan
humanistik. Farmasi sosial mencakup semua faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi penggunaan obat seperti kepercayaan pasien terhadap obat,
regulasi, kebijakan, perilaku, informasi obat, dan etik. Bahkan Schafer, dkk

6
(1992) memberikan pengertian yang lebih luas dengan merumuskan farmasi
sosial sebagai berikut :

“The endeavor to integrate drugs into a broader perspective and to include


legal, ethical, economic, political, social, communicative, and psychological
aspects into their evaluation in order to contribute to the safe and rational use
of drugs”

B. Posisi Farmasi sosial dalam Ilmu Farmasi

Untuk menjelaskan dimana dan bagaimana kedudukan farmasi sosial dalam


rumpun kelimuan bagan yang dapat diambil adalah yang disediakan oleh
Sorensen dkk (2003).

Dalam bagan ini diilustrasikan bahwa farmasi klinik menjadi jembatan yang
overlap sekaligus menghubungkan antara ilmu alam dan farmasi sosial.
Dalam bagan ini juga diketahui bahwa farmasi sosial memiliki hubungan
yang erat dengan praktek kefarmasian. Dan juga dapat dikatakan farmasi
sosial menjadi penyempurna ilmu kefarmasian.

7
Pengetahuan yang berasal dari farmasi sosial dapat membantu pengembangan
kemampuan personal dan interpersonal apoteker sehingga mampu
memberikan komunikasi dan konseling yang efektif dalam rangka
meningkatkan kualitas pengobatan. Farmasi sosial juga diharapkan dapat
membantu apoteker dalam meningkatkan profesionalisme dan kualitas
kepemimpinannya.

1. FARMAKOEKONOMI

Hasil ekonomi adalah pengaruh akibat intervensi dari biaya pelayanan


kesehatan. Pengukuran dan analisis hasil ekonomi menggunakan
prinsip ekonomi atau farmakoekonomi.
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil
yang diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan
kesehatan. Farmakoekonomi juga didefinisikan sebagai deskripsi dan
analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan.
Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk
pengobatan pada kondisi yang sama, selain itu juga membandingkan
pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda. Hasilnya dapat
digunakan sebagai informasi yang dapat membantu para pembuat
kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternative-alternatif pengobatan
yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan
ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya
dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan
obat mana yang akan digunakan.
b. Tipe-tipe biaya :
1) Direct medical costs
Biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait dengan
pelayanan jasa medis, yang digunakan untuk mencegah atau
mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat
yang diresepkan, lama perawatan, perawatan kesehatan dirumah
(Orion,1997; Vogenberg, 2001).

8
Kategori biaya-biaya medis langsung, antara lain : pengobatan,
pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan
dan penanganan,
2) Direct nonmedical costs
Biaya yang dikeluarkan oleh pasien tidak terkait langsung dengan
pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit,
makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah
sakit (Orion, 1997; Vogenberg, 2001).
3) Indirect medical costs
Biaya yang dapat mengurangi produktivitas pasien (Vogenberg,
2001). Biaya yang hilang akibat waktu produktif yang
hilang. Sebagai contoh pasien kehilangan pendapatan karena
sakit yang berkepanjangan sehingga tidak dapat memberikan
nafkah keluarganya, pendapatan berkurang karena kematian yang
cepat (Vogenberg, 2001).
4) Intangible costs
Merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan medis,
tidak dapat diukur dalam mata uang (Vogenberg, 2001). Biaya
yang sulit diukur seperti rasa nyeri/ sakit, cacat, kehilangan
kebebasan, efek samping. Sifatnya psikologis, sukar
dikonversikan dalam bentuk rupiah sehingga sering diabaikan
(Vogenberg, 2001).
5) Opportunity costs
Menunjukkan besarnya manfaat ekonomis ketika membatalkan
suatu alternatif terapi sebagai pengganti terapi alternatif
terbaik berikutnya, dimana manfaat itu telah terbukti.
(Vogenberg, 2001 ).

9
2. KONSELING FARMASI
Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah suatu
tanggung jawab profesi dari apoteker dalam mengoptimalkan terapi
dengan cara mencegah dan memecahkan masalah terkait obat (Drug
Related problem). Ketidakpatuhan (non compliance) dan
ketidaksepahaman (non corcondance) pasien dalam menjalankan terapi
merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi. Hal ini sering
disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien
tentang obat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan
obat untuk terapinya. Oleh karena itu, untuk mencegah penggunaan obat
yang salah (drug misuse) dan untuk menciptakan pengetahuan dan
pemahaman pasien dalam penggunaan obat yang akan berdampak pada
kepatuhan pengobatan dan keberhasilan dalam proses penyembuhan maka
sangat diperlukan pelayanan informasi obat untuk pasien dan keluarga
melalui konseling obat. Pasien yang mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang obatnya akan menunjukkan peningkatan ketaatan pada regimen
obat yang digunakannya sehingga hasil terapi akan meningkat pula. Oleh
karena itu, apoteker mempunyai tanggung jawab untuk memberikan
informasi yang tepat tentang terapi obat kepada pasien.
Konseling obat sebagai salah satu metode edukasi pengobatan
secara tatap muka atau wawancara, merupakan salah satu bentuk
pelayanan kefarmasian dalam usaha untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman pasien dalam penggunaan obat. Apoteker baik di rumah
sakit maupun di sarana pelayanan kesehatan lainnya berkewajiban
menjamin bahwa pasien mengerti dan memahami serta patuh dalam
penggunaan obat sehingga diharapkan dapat meningkatkan penggunaan
obat secara rasional. Untuk itu Apoteker perlu mengembangkan
keterampilan dalam menyampaikan informasi dan memberi motivasi agar
pasien dapat mematuhi dan memahami penggunaan obatnya terutama
untuk pasien-pasien geriatri, pediatri dan pasien-pasien yang baru pulang
dari rumah sakit serta pasien-pasien yang menggunakan obat dalam

10
jangka waktu lama terutama dalam penggunaan obat-obat tertentu seperti
obat-obat cardiovasculer, diabetes, TBC, asthma, dan obatobat
untuk penyakit kronis lainnya. Konseling obat diharapkan tidak hanya
memberikan informasi tentang obat tetapi sekaligus memberikan
pendidikan dan pemahaman tentang pengobatannya dan memastikan
bahwa pasien dapat menggunakan obat dengan benar.
Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dan elemen
kunci dari pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak
hanya melakukan kegiatan compounding dan dispensing saja, tetapi juga
harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana
dijelaskan dalam konsep Pharmaceutical Care Dapat disimpulkan bahwa
pelayanan konseling pasien adalah suatu pelayanan farmasi yang
mempunyai tanggung jawab etikal serta medikasi legal untuk memberikan
informasi dan edukasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat.
Kegiatan konseling dapat diberikan atas inisiatif langsung dari
apoteker mengingat perlunya pemberian konseling karena pemakaian
obat-obat dengan cara penggunaan khusus, obat-obat yang membutuhkan
terapi jangka panjang sehingga perlu memastikan untuk kepatuhan pasien
meminum obat. Konseling yang diberikan atas inisiatif langsung dari
apoteker disebut konseling aktif. Selain konseling aktif dapat juga
konseling terjadi jika pasien datang untuk berkonsultasi kepada apoteker
untuk mendapatkan penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan obat dan pengobatan, bentuk konseling seperti ini disebut
konseling pasif .
a. Tujuan Konseling
Tujuan Umum
1) Meningkatkan keberhasilan terapi.
2) Memaksimalkan efek terapi.
3) Meminimalkan resiko efek samping.
4) Meningkatkan cost effectiveness.
5) Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi.

11
Tujuan Khusus

1) Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan


pasien.
2) Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien.
3) Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya.
4) Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan
penyakitnya.
5) Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
6) Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem.
7) Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya
sendir dalam hal terapi.
8) Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan.
9) Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien.

b. Manfaat Konseling
Bagi pasien
1) Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan.
2) Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya.
3) Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri.
4) Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu.
5) Menurunkan kesalahan penggunaan obat.
6) Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi.
7) Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan.
8) Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan.

12
3. FARMASI KLINIK
Istilah farmasi klinis mulai muncul pada tahun 1960-an di
Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi
farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care)
kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan
yang maksimal. Secara filosofis, tujuan dari farmasi klinis adalah agar
efek terapi bisa tercapai secara maksimal, meminimalkan resiko yang
tidak diinginkan, meminimalkan biaya pengobatan, serta menghormati
pilihan pasien terhadap pemilihan terapi yang akan mereka lakukan. Saat
ini disiplin ilmu farmasi klinis semakin dibutuhkan dengan adanya
paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada
pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas seperti
apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan, dll tempat dimanapun terjadi
peresepan ataupun penggunaan obat harus memiliki kompetensi yang
dapat mendukung pelayanan farmasi klinis yang berkualitas.

Macam Aktivitas Farmasi Klinik


Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas
farmasi klinik meliputi :
a. Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis
terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran
pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien
secara langsung.
b. Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan
dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan
formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
c. Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug-jawab mencari
informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan
kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi
pelayanan kesehatan dan pasien.

13
d. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan
meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
e. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara
lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi,
farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
f. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas
menjalankan pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan
melihat profil farmakokinetik untuk optimasi regimen dosis obat.
g. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi
obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
h. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.

Manfaat Farmasi Klinik Dalam Optimasi Hasil Terapi

Banyak penelitian telah membuktikan peran farmasi klinik


terhadap berbagai outcome terapi pada pasien, baik dari sisi humanistik
(kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik (kontrol yang lebih baik pada
penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan biaya kesehatan). Hasil
review publikasi antara tahun 1984-1995 oleh Inditz et al (1999)
menyimpulkan bahwa pelayanan farmasi klinik efektif untuk mengurangi
biaya pelayanan kesehatan, dan efektif dalam meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Hal ini terutama diperoleh dengan melakukan
pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat.\

Bond et al (1999) juga melaporkan bahwa pelayanan farmasi klinik


dapat menurunkan angka kematian di RS secara signifikan. Terdapat
perbedaan sampai 195 kematian/tahun/RS antara RS yang menjalankan
aktivitas farmasi klinik dengan yang tidak. Sebuah studi lain yang
dilakukan di Massachusetts General Hospital di Boston menjumpai
bahwa partisipasi farmasis dalam visite (kunjungan) ke bangsal perawatan
intensive care unit (ICU) dapat mengurangi sampai 66% kejadian efek

14
samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena kesalahan dalam
perintah pengobatan (Leape et al, 1999).

Dalam hal outcome klinis, misalnya pada terapi antikoagulan,


pengaturan penggunaan antikoagulan yang berlebihan dengan cara
melakukan pemantauan melalui telepon oleh farmasis klinik telah berhasil
meningkatkan outcome klinis pasien dibandingkan dengan cara pelayanan
farmasi secara tradisional (Witt dan Humphries, 2003).

Bagaimana di Indonesia? Karena setiap negara memiliki situasi


berbeda dalam hal pelayanan farmasi klinik, perlu dilakukan juga
pengamatan serupa terhadap dampak pelayanan farmasi terhadap
peningkatan hasil terapi maupun kualitas hidup pasien. Adalah kenyataan
yang tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak terjadi masalah terkait
dengan penggunaan obat (drug-related problem, DRP) di berbagai tempat
pelayanan kesehatan.

Di sebuah RS di Kalimantan Timur misalnya, dijumpai 88,6%


pasien diabetes mellitus mengalami DRP, dengan masalah terbanyak
adalah adanya indikasi penyakit yang tidak diterapi secara memadai
(Utami, 2009). Dari 52 pasien hemodialisis di sebuah RS di Jawa Timur,
90,4% mengalami DRP, dengan jenis terbanyak adalah pasien tidak
menerima obat (Irawaty, 2009). Kejadian serupa masih banyak dijumpai,
misalnya DRP pada penatalaksanaan stroke (Rahajeng, 2006),
penggunaan antibiotika profilaksis (Blegur, 2007), penatalaksanaan nyeri
kanker (Guswita, 2007), dengan berbagai jenis DRP lainnya.

Karena itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya dapat mengurangi


kejadian DRP tersebut, dan lebih jauh dapat meningkatkan hasil terapi
pasien. Intervensi farmasis dalam hal pemberian konseling pada pasien
diabetes mellitus berhasil meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup
pasien (Ikawati et al, 2008; Hermawan, 2009). Demikian pula pada pasien
hipertensi di sebuah RS di Jawa Tengah, konseling farmasis dapat

15
meningkatkan pencapaian target tekanan darah yang diinginkan
(Kusumaningjati, 2008).

4. FARMAKOEPIDEMIOLOGI
Farmakoepidemiologi adalah suatu studi cabang ilmu yang
menghubungkan disiplin ilmu epidemiologi dan farmasi klinik bertujuan
untuk mendalami efek suatu obat terhadap suatu populasi.
Farmakoepidemiologi dapat mengevaluasi hasil treatment, sehingga
diperoleh keamanan dan efikasi yang lebih baik ketika digunakan pada
pasien. Studi memiliki peranan penting dalam melihat keberhasilan
ataupun kegagalan terapi obat yang diberikan Farmakoepidemiologi juga
memberikan rekomendasi pengambilan keputusan yang tepat dalam
pemilihan terapi obat agar dapat menurunkan derajat mortalitas dalam
suatu populasi akibat ketidaktepatan dalam pengobatan.

TUJUAN EPIDEMIOLOGI DALAM KESEHATAN MASYARAKAT


Secara umum, dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam
epidemiologi adalah memperoleh data frekuensi, distribusi dan determinan
penyakit atau fenomena lain yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat,
misalnya:
1. Penelitian epidemiologis yang dilakukan pada kejadian luar biasa
akibat keracunan makanan dapat digunakan untuk mengungkapkan
makanan yang tercemar dan menemukan penyebabnya.
2. Penelitian epidemiologis yang dilakukan untuk mencari hubungan
antara karsinoma paru-paru dengan asbes, rokok dengan penyakit
jantung dan hubungan-hubungan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya
3. Menentukan apakah hipotesis yang dihasilkan dari percobaan heawan
konsisten dengan data epidemiologis

16
4. Memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun perencanaan, penanggualangan
masalah kesehatan, serta menentuka prioritas masalah keseahatan
masyarakat

Peranan Epidemiologi Dalam Kesehatan Masyarakat


Dalam bidang kesehatan, epidemiologi mempunyai peranan yang
cukup besar karena hasilnya dapat digunakan untuk:
1. Mengadakan anlisis perjalanan penyakit di masyarakat serta
perubahan-perubahan yang terjadi akibat intervensi alam atau manusia
2. Mendeskripsikan pola penyakit pada berbagai kelompok masyarakat
3. Mendeskripsikan hubungan antara dinamika penududuk dengan
penyebaran penyakit

Dari kemampuan epidemiologi untuk mengetahui distribusi dan


faktor-faktor penyebab masalah kesehatan dan mengarahkan intervensi
yang diperlukan maka epidemiologi diharapkan mempunyai peranan
dalam bidang kesehatan masyarakat berupa :

1. Mengidentifikasi berbagai faktor penyebab maupun faktor risiko yang


berhubungan dengan timbulnya penyakit dan masalah kesehatan
lainnya
2. Menerangkan besarnya masalah dan gangguan kesehatan serta
penyebarannya dalam suatu penduduk tertentu
3. Mengembangkan metodologi untuk menganalisis keadaan suatu
penyakit dalam upaya untuk mengatasi atau menanggulanginya.
4. Mengarahkan intervensi yang diperlukan untuk menanggulangi
masalah yang perlu dipecahkan

Manfaat Epidemiologi Dalam Kesehatan Masyarakat


Apabila Epidemiologi dapat dipahami dan diterapkan dengan baik, akan

17
diperoleh berbagai manfaat yang jika disederhanakan adalah sebagai
berikut :

1. Membantu Pekerjaan Administrasi Kesehatan.


Yaitu membantu pekerjaan dalam Perencanaan ( Planning ) dari
pelayanan kesehatan, Pemantauan ( Monitoring ) dan Penilaian
(Evaluation ) suatu upaya kesehatan.
Data yang diperoleh dari pekerjaan epidemiologi akan dapat
dimanfaatkan untuk melihat apakah upaya yang dilakukan telah sesuai
dengan rencana atau tidak (Pemantauan) dan ataukah tujuan yang
ditetapkan telah tercapai atau tidak (Penilaian).
2. Dapat Menerangkan Penyebab Suatu Masalah Kesehatan.
Dengan diketahuinya penyebab suatu masalah kesehatan, maka dapat
disusun langkah – langkah penaggulangan selanjutnya, baik yang
bersifat pencegahan ataupun yang bersifat pengobatan.
3. Dapat Menerangkan Perkembangan Alamiah Suatu Penyakit.
Salah satu masalah kesehatan yang sangat penting adalah tentang
penyakit. Dengan menggunakan metode Epidemiologi dapatlah
diterangkan Riwayat Alamiah Perkembangan Suatu Penyakit ( Natural
History of Disease ). Pengetahuan tentang perkembangan alamiah ini
amat penting dalam menggambarkan perjalanan suatu penyakit.
Dengan pengetahuan tersebut dapat dilakukan berbagai upaya untuk
menghentikan perjalanan penyakit sedemikian rupa sehingga penyakit
tidak sampai berkelanjutan. Manfaat / peranan Epidemiologi dalam
menerangkan perkembangan alamiah suatu penyakit adalah melalui
pemanfaatan keterangan tentang frekwensi dan penyebaran penyakit
terutama penyebaran penyakit menurut waktu. Dengan diketahuinya
waktu muncul dan berakhirnya suatu penyakit, maka dapatlah
diperkirakan perkembangan penyakit tersebut.
4. Dapat Menerangkan Keadaan Suatu Masalah Kesehatan.
Karena Epidemiologi mempelajari tentang frekwensi dan penyebaran

18
masalah kesehatan, maka akan diperoleh keterangan tentang keadaan
masalah kesehatan tersebut. Keadaan yang dimaksud di sini
merupakan perpaduan dari keterangan menurut cirri – cirri Manusia,
tempat dan Waktu.

5. MANAJEMEN KEFARMASIAN

Farmasi merupakan suatu profesi kesehatan yang kaitannya dengan ilmu


kesehatan dan ilmu kimia, serta dibebankan untuk memastikan keamanan dan
efektifitas suatu obat. Meskipun demikian, menjadi apoteker tidak mudah,
karena terdapat suatu standar kompetensi yang harus dimiliki sehingga dapat
diakui sebagai apoteker. Secara umum, materi kefarmasian terbagi menjadi
tiga yaitu farmasi praktik, farmasetik, dan farmakognosi/kimia medisinal.
Pada materi farmasi praktiklah ditemukan materi mengenai farmasi
komunitas.
Farmasi komunitas, erat kaitannya pula dengan apotek. Terdapat
dua macam apotek yaitu apotek OTC Plus dan apotek ethical Plus.
Keduanya tetap memiliki apoteker penanggung jawab apotek (APA).
Bedanya pada apotek OTC Plus, penekanannya pada resep sehingga
terlihat dengan jelas pada struktur bangunannya memiliki ruang
peracikan yang lebih besar, ruang konseling, dan ruang tunggu, serta
biasanya berupa gedung sendiri dengan adanya lahan parkir. Sementara
apotek ethical Plus, penekanannya pada OTC, penerimaan resep hanya
sebagai tambahan saja, biasanya berada di dalam mall. Contoh apotek
OTC Plus adalah kimia farma, sementara contoh apotek ethical plus
adalah Century.

Manajemen merupakan serangkaian aktivitas yang diarahkan pada


sumber-sumber daya organisasi. Aktivitas dasar dari manajemen antara
lain:
1. Planning (perencanaan)

19
2. Pengorganisasian.
3. Kepemimpinan, bagaimana bisa mempengaruhi orang lain untuk
melakukan sesuatu.
4. Pengendalian (monitoring dan evaluasi).

Sumber daya pada organisasi antara lain manusia (sebagai aset


utama), finansial (ibarat darah dalam tubuh kita, kita tidak bisa hidup
tanpa darah, organisasi tidak bisa jalan tanpa dukungan finansial), fisik,
dan informasi. Ada juga yang mendefinisikan sumber daya organisasi
dengan 6M yaitu man, money, market, material, machine, and method.

Struktur organisasi dari suatu manajemen diilustrasikan seperti


gambar di bawah ini:

Manajemen Farmasi

Pengertian manajemen adalah usaha untuk mengelola kegiatan farmasi


atau mengatur proses yang berkaitan dengan obat-obatan yang terdapat
dalam sebuah instansi.

Dalam sebuah instansi pastilah membutuhkan manajemen, yang


mana digunakan untuk mencapai tujuan dari sebuah instansi tersebut.
Berikut tahapan manajemen yang dibutuhkan :

20
1. Perencanaan
Adalah proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, serta harga
perbekalan farmasi yang mana sesuai dengan kebutuhan serta
anggaran, agar menghindari kekosongan obat dengan menggunakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan serta dasar perencanaan
yang telah ditentukan.
2. Pengadaan
Adalah kegiatan agar merealisasikan kebutuhan yang direncanakan
serta telah disetujui . pengadaan dapat berupa:
a. Pembelian, dapat berupa tender ataupun pembelian langsung
dari pabrik/distributor pedagang besar farmasi/rekan.
b. Produksi, ada dua yaitu produksi steril serta non steril
Sumbangan/droping/hibah.
3. Produksi
Adalah kegiatan untuk membuat, merubah bentuk, serta pengemasan
kembali sediaan farmasi steril ataupun non steril agar memenuhi
kebutuhan pelayan kesehatan di rumah sakit.
4. Penerimaan
Adalah proses untuk menerima perbekalan farmasi yang mana telah
diadakan sesuai aturan yang berlaku, dengan jalan membeli
langsung, tender, konsinyasi ataupun dengan sumbangan.
5. Penyimpanan
Merupakan aktivitas pengaturan perbekalan farmasi sesuai dengan
persyarataan, seperti:
a. Dibedakan menurut bentuk sediaan serta jenisnya
b. Dibedakan menurut suhu kestabilannya
c. Mudah tidaknya meledak/terbakar
d. Tahan/tidaknya terhadap cahaya

21
6. Pendistribusian
Merupakan segala aktivitas mendistribusikan perbekalan farmasi di
rumah sakit agar pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien
rawat inap serta rawat jalan dan juga agar menunjang pelayan medis.
7. Pencatatan serta Pelaporan
Hal ini dilakukan guna mengetahui ragkaian aktivitas dalam rangka
penatausahaan obat-obatan secara tertib, baik obat yang diterima,
disimpan didistribusikan ataupun yang telah digunakan dalam unit
pelayanan rumah sakit. Tujuan kegiatan ini adalah guna tersedianya
data mengenai jenis serta jumlah penerimaan persedian,
pengeluaran/penggunaan serta data mengenai waktu dari seluruh
rangkaian aktivitas mutasi obat.
8. Penggunaan
Hal ini adalah salah satu dari mata rantai yang mana tak dapat
dipisahkan dengan fungsi pengolalaan obat lainnya, yaitu berupa
perencaan, pengadaan, serta pendistribusian obat.
9. Penghapusan obat
Merupakan rangkaian aktivitas untuk pembebasan obat-obatan milik
maupun kekayaan Negara dari tanggungjawab berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang telah berlaku. Adapun tujuan dari
penghapusan obat ini:
a. Menjaga keselamatan kerja serta menghindarkan dari pengotoran
lingkungan
b. Menghindarkan atas pembiayaan atas barang yang mana sudah
tak layak untuk dipelihara
c. Penghapusan pertanggungjawaban petugas terhadap obat-obatan
yang telah diurus, yang mana sudah ditetapkan untuk dihapus
sesuai dengan aturan yang berlaku.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Farmasi Sosial, yaitu suatu disiplin ilmu (field of study)
kefarmasian yang berkembang dengan dukungan disiplin ilmu lain
yang terkait untuk menguji, meneliti, memahami, dan mengatasi
persoalan-persoalan yang senantiasa timbul dalam pengabdian
profesi farmasi. Tujuan ilmu tersebut adalah pemahaman dan
penjelasan menyeluruh tentang masalah-masalah yang berkaitan
dengan farmasi atau sedang dihadapi oleh farmasi.

2. Pengetahuan yang berasal dari farmasi sosial dapat membantu


pengembangan kemampuan personal dan interpersonal apoteker
sehingga mampu memberikan komunikasi dan konseling yang
efektif dalam rangka meningkatkan kualitas pengobatan. Farmasi
sosial juga diharapkan dapat membantu apoteker dalam
meningkatkan profesionalisme dan kualitas kepemimpinannya.
3. Farmasi sosial mencakup berbagai bidang ilmu seperti farmasi
klinik, farmakoekonomi, farmakoepidemiologi, konseling farmasi,
dan manajemen farmasi.

B. SARAN
Penyusunan makalah ini tidak luput dari segala kekurangan. Kami
selaku penyusun menerima kritik dan saran untuk perbaikan makalah
ini kedepannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Bustan MN (2002). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta

Harding, K. 1994. The methylation status of DNA derived from potato plants
recovered from slow growth. Plant Cell, Tiss. and Org. Cult. 37:31-38.

Anonim, 1994, Model Quality Assurance Program for Hospital Pharmacy, 2nd
Ed, USA

Anonim, 1998, Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 72 Tahun 1998 tentang


PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Putri, I, U., 2017, OVERVIEW FARMAKOEPIDEMIOLOGI, Farmaka volume 4


nomor 4, Bandung.

24

Anda mungkin juga menyukai