Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PRIBADI

• Nama :Tn. O
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Umur : 53 thn
• Alamat : Jl. Tanah Sersal XIII No 27,
Jakarta Barat
• Status : Sudah menikah
• Agama : lslam

I. ANAMNESA

Tanggal dan jam pemeriksaan : 20 Agustus 2019 jam 13:00 WIB


Keluhan utama : lemas pada lengan dan tungkai kiri
Riwayat penyakit sekarang
Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan lemas sisi tubuh sebelah kiri secara
mendadak sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Istri pasien mengatakan
sebelumnya, gejala diawali dengan mengeluh sakit kepala yang muncul tiba-tiba
pada pukul 08.00 pagi, dirasakan terus menerus makin lama makin memberat. Sakit
kepala dirasakan seperti ditusuk-tusuk di kepalase sebelah kanan. Beberapa menit
setelah sakit kepala muncul, pasien mengeluh pandangan berbayang. Pada jam 9
pagi, saat pasien berbicara, mulutnya mengot ke arah kanan dan bicaranya tidak
jelas. Kemudian jam 10 pagi pasien mengalami kelemahan lengan dan tungkai kiri
dalam waktu bersamaan. Kelemahan diawali dengan kesemutan, kemudian baal.
Semakin lama semakin bertambah berat hingga pasien sulit mengangkat tangan
maupun kakinya. Mual, muntah dan kejang disangkal.
Riwayat penyakit serupa disangkal oleh pasien. Pasien memiliki penyakit
hipertensi (+), minum obat namun tidak terkontrol. Sudah setahun pasien tidak
meminum obat darah tinggi. Kencing manis, alergi, penyakit paru, jantung
disangkal oleh pasien.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Sopor
GCS : E2M4Vafasia
Tekanan darah : 200/110 mmHg
Nadi : 102 x /menit
Suhu : 37 C
Frekuensi Napas : 20x/menit
SpO2 : 99
BB : 60 kg

KEPALA
Bentuk : normocephali
Ukuran : normal
Simetris : simetris
Hematom : (-)
Pulsasi : (-)
Deformitas : (-)
Benjolan : (-)

Toraks :
Pulmo
Inspeksi : dada bagian belakang simetris, skapula normal,
columna verterbralis di tengah
Dada bagian depan simetris, iga-iga mendatar, ruang
sela iga normal, sternum dan klavikula normal,
frekuensi pernapasan 19x/menit, reguler,
thorakoabdominal, retraksi saat inspirasi (-)
Palpasi : krepitasi (-), benjolan (-), gerakan dinding thoraks
kanan-kiri pergerakan simetris, stem fremitus kanan-
kiri pada lapangan paru atas, bawah, dan samping,
depan dan belakang sama kuat
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler pada kedua hemitoraks kiri dan
kanan, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Cor
Inspeksi : bentuk dada simetris saat diam dan bernapas, pulsasi
ictus cordis tidak tampak
Palpasi :pulsasi ictus cordis teraba 3 cm (2 jari) di ICS V MCL
Sinistra, thrill(-), heave (-)
Perkusi : redup
batas atas : ICS II parasternal line sinistra
batas kanan : ICS IV sternal line dextra
batas kiri : ICS V midclavicula line sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-) di ICS V MCL Sinistra

Abdomen
Inspeksi : tampak buncit, tidak ada sikatriks, tampak striae, tidak
tampak gerakan usus, tidak ada hernia maupun
peradangan di umbilikus.
Palpasi: : supel, tidak ada nyeri tekan di seluruh lapang abdomen,
tidak ada nyeri tekan di supra symphisis pubis, hepar dan
lien tidak teraba membesar.
Perkusi : timpani di 4 kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok
CVA kanan kiri,
Auskultasi : bising usus positif 11x/menit, bruit (-), friction rub (-)

Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema Tidak ada Tidak ada ada Tidak ada
Clubbing finger Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Akral dingin Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Akral sianosis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
CRT < 2 detik < 2 detik < 2 detik < 2 detik
Kuku Tidak Tidak Tidak Tidak
tampak tampak tampak tampak
spoon nails spoon nails spoon nails spoon nails

Kulit : Kulit keriput, warna hitam, kering, tidak ikterus, tidak sianosis

STATUS NEUROLOGIS
 Fungsi Luhur
o Orientasi : sulit dinilai
o Gangguan bicara dan bahasa : afasia motorik
o Daya ingat : sulit dinilai
 Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : negatif
Brudzinsky I : negatif
Brudzinsky II : negatif
Brudzinsky III : negatif
Brudzinsky IV : negatif
Kernig : >135º/> 135o
Laseque : > 60º/>60o

Saraf Kranialis
Nervus Olfactorius (N.I) Kanan Kiri
Daya Penghidu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus Opticus (N.II) Kanan Kiri
Visus Menurun Menurun
Lapang pandang Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nervus Occulomotor (N.III) Kanan Kiri
Ptosis Positif Positif
Gerak mata ke superior Sulit dinilai Sulit dinilai
Gerak mata ke inferior Sulit dinilai Sulit dinilai
Gerak mata ke medial Sulit dinilai Sulit dinilai
Pupil (bentuk & ukuran) bulat, 3 mm bulat, 2 mm
Refleks cahaya langsung Positif melambat Positif melambat
Refleks cahaya tak langsung Positif melambat Positif melambat
Nervus Trochlearis (N.IV) Kanan Kiri
Gerak mata ke lateroinferior Sulit dinilai Sulit dinilai
Nervus Trigeminus (N.V) Kanan Kiri
Sensorik (cabang oftalmikus, Sulit dinilai Sulit dinilai
maxillaris, mandibularis)
Motorik (membuka mulut, Sulit dinilai Sulit dinilai
menggerakkan rahang, menggigit)
Nervus Abducens (N.VI) Kanan Kiri
Gerak mata ke lateral Sulit dinilai Sulit dinilai
Nervus Facialis (N.VII) Kanan Kiri
Lagophtalmus Negatif Negatif
Mengerutkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat alis Sulit dinilai Sulit dinilai
Sulcus nasolabialis Tidak simetris Tidak simetris
Menyeringai Sudut mulut sebelah kiri tertinggal
Nervus vestibulocochlearis (N VIII)
Tes Romberg Sulit dinilai
Nistagmus
Sulit dinilai
Tes pendengaran (gesekan jari) Sulit dinilai
Nervus Glossopharyngeus (N.IX) dan N. Vagus
Pallatum molle Miring kekiri
Arcus faring Miring kekiri
Uvula Deviasi ke kiri
Disfagia Sulit dinilai
Disfonia Sulit dinilai
Bersuara Positif
Mengejan Sulit dinilai
Nervus Accessorius (N.XI) Kanan Kiri
Menoleh kanan-kiri Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat bahu Sulit dinilai Sulit dinilai
Nervus Hypoglossus (N.XII)
Sikap lidah Deviasi ke kanan
Menjulurkan lidah Sulit dinilai
Disartria Sulit dinilai

 Pemeriksaan Motorik
Trofi otot : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Tonus otot : Normotonus hipotonus
Normotonus hipotonus
Kekuatan : 5555 2222
5555 2222
 Refleks Fisiologis
Biceps : ++/+
Triceps : ++/+
Patella : ++/+
Achilles : ++/+

 Refleks Patologis
Hoffman-Tromner : negatif/negatif
Babinski : negatif /positif
Chaddock : negatif positif
Oppenheim : negatif /positif
Gordon : negatif /positif
Schaefer : negatif /positif
Klonus paha : negatif/negatif
Klonus kaki : negatif/negatif

Sensasi nyeri Menurun pada sisi yang lemas


Sensasi raba Menurun pada sisi yang lemas
Eksteroseptif
halus Menurun pada sisi yang lemas
Sensasi suhu
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 20 Agustus 2019, Pukul 14.00

Nama tes Hasil Satuan Nilai acuan


Hematologi
Eritrosit 5.43 Juta/uL 4.50-5.90
Hemoglobin 15.3 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 46.2 % 41.0-53.0
Trombosit 390 Ribu/ uL 150-440
Leukosit 18,7 Ribu/ uL 4.0-11.0
Indeks leukosit
MCV/VER 85.1 fL 80.0-100.0
MCH/HER 28.2 pg 26.0-34.0
MCHC/KHER 33.1 % 31.0-37.0
Kimia darah
Elektrolit
Kalium darah 3.6 Mmol/L 3.5-5.0
Natrium 144 Mmol/L 136-146
Chloride 101 Mmol/L 98-106
Calcium 1.10 Mmol/L 1.15-1.29
Ureum darah 21 mg/dL 10-50
Kreatinin darah 1.3 mg/dL 0.1-1.5
Glukosa
sewaktu 140 mg/dL 70-199
Koagulasi
Masa perdarahan 3.0 menit 1.0-5.0
Masa pembekuan 9.0 menit 6.0-10.0
Rontgen thoraks pada tanggal 20 Agustus 2019

Cor: besar dan bentuk normal


Pulmo: tak tampak infiltrate
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Hilus kanan kiri tampak baik
Hemidiafragma kanan kiri tampak baik
Trakea ditengah
Tulang dan soft tissue tampak baik

Kesimpulan:
Saat ini cor dan pulmo tidak tampak kelainan
Pemeriksaan EKG tanggal 20 Agustus 2019

Kesimpulan : EKG dalam batas normal

CT-Scan Kepala Axial/ Coronal Tanpa Kontras pada tanggal 20 Agustus 2019

Potongan axial dan coronal tanpa kontras


Hasil pemeriksaan CT-Scan kepala irisan axial reformatted coronal dan sagittal
tanpa kontras
Tampak lesi hyperdense pada corona radiata kana-putamen-globus pallidus kanan
disertai hippocampus kanan dengan perifocal edema disekitarnya yang mendesak
ventrikel III dan ventrikel lateralis kanan ke kiri
Tampak lesi hypodense batas tidak tegas di sentrum semiovale kiri-corona radiata
kiri- basal ganglia kiri dan thalamus kiri
Sulcy dan giri di luar lesi tampak baik
Sistem ventrikel dan sisterna tampak baik
Pons dan cerebellum tampak baik
Sinus frontalis, ethmoidalis, sphenoidalis, dan maxillaris kanan kiri tampak baik
Calvaria tampak baik
Kesimpulan:
-ICH (49cc) di corona radiata kanan-putamen-globus pallidus kanan disertai
hippocampus kanan dengan perifocal edema di sekitarnya yang mendesak
ventrikel III dan ventrikel lateralis kanan ke kiri
-subakut ischemic cerebral infarction di sentrum semiovale kiri, corona
radiata kiri, basal ganglia kiri, dan thalamus kiri

IV. Resume
Pasien datang dibawa oleh keluarganya datang ke IGD RS Sumber
Waras pada tanggal 20 Agustus 2019 pukul 13.00 WIB dengan keluhan
lemas sisi tubuh sebelah kiri dan bicara tidak jelas. Keluhan sakit kepala
(+), pandangan berbayang (+).
Pemeriksaan fisik tampak sakit sedang, sopor E2M4Vafasia,
frekuensi nadi 102 x /menit, isi cukup , regular, TD: 200/110 mmHg, SpO2
: 99% tanpa bantuan O2, RR: 20x/menit. , rangsang meningeal negatif. Pada
pemeriksaan status neurologis terdapat gangguan pada saraf kranial ke II,
III, VII, XI, X, XII disisi kanan, penurunan kekuatan motorik dan pada
lengan dan tungkai kiri
Hasil pemeriksaan laboratorium darah pada 20 Agustus 2019
didapatkan peningkatan leukosit. Pada hasil pemeriksaan CT Scan kepala
non kontras pada tanggal 20 Agustus 2019, didapatkan gambaran ICH
(49cc) di corona radiata kanan-putamen-globus pallidus kanan disertai
hippocampus kanan dengan perifocal edema di sekitarnya yang mendesak
ventrikel III dan ventrikel lateralis kanan ke kiri. Subakut ischemic cerebral
infarction di sentrum semiovale kiri, corona radiata kiri, basal ganglia kiri,
dan thalamus kiri

V. Daftar masalah
 Diagnosis kerja
ICH temporoparietal dextra

VI. Tatalaksana
Farmakologi
 Mannitol 4x250 cc selama 30 menit
 Kalnex 500 mg 3x1 ampul IV
 Injeksi nicardipine 0,5mcg dlm 90 cc/jam
Nonfarmakologi
 Elevasi kepala 30 derajat
 Alat bantu O2 jika SpO2 menurun
 Pasang NGT ukuran 16
 Pasang urin bag
 Pasang infus RL 500 cc 12 tpm
 Konsul bedah saraf
VII. Rencana Evaluasi
 Mengevaluasi keadaan umum, kesadaran dan TTV
 Mengevaluasi peningkatan TIK
 Mengevaluasi keseimbangan cairan
 Mengevaluasi komplikasi yang dapat terjadi

VIII. Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang definisi dari
penyakit, kondisi pasien, tatalaksana dan prognosis terhadap
penyakit stroke hemoragik.

IX. Komplikasi
- Hidrosefalus
- Vasospasme
- Hemiparesis
- Epilepsi
- Kerusakan parenkim otak permanen
- Kematian

X. Prognosis
- Ad vitam : dubia ad malam
- Ad functionam : dubia ad malam
- Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Stroke didefinisikan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak.3 Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan
neurologi yang bersifat akut dan salah satu penyebab kecacatan dan kematian
tertinggi didunia.3,4

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan
tahun 2018, prevalensi penyakit tidak menular (PTM) mengalami kenaikan jika
dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Stroke menjadi salah satu penyakit
terbanyak selain kanker, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi.
Dijelaskan pada Riskesdas 2018, prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9%
(Gambar 2.1). Diabetes dan hipertensi yang juga merupakan faktor resiko dari
stroke mengalami peningkatan dari 6,9% menjadi 8,5% berdasarkan pemeriksaan
gula darah pada diabetes mellitus dan peningkatan 25,8% menjadi 34,1%
berdasarkan pemeriksaan tekanan darah pada hipertensi.4

Gambar 2.1 Prevalensi Stroke pada Berbagai Provinsi di Indonesia4


Terdapat perbedaan prevalensi di berbagai propinsi dengan posisi tiga besar
yaitu Kalimantan Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Utara
(Gambar 2.1). Prevalensi stroke juga meningkat seiring dengan bertambahnya usia
(Gambar 2.2). Di Indonesia, prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin
didapatkan sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan
(Gambar 2.3).4,5 Prevalensi stroke berdasarkan tempat tinggal lebih tinggi di
perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan (Gambar 2.3).4 Kenaikan prevalensi
penyakit tidak menular ini berhubungan dengan pola hidup tidak sehat seperti
merokok, konsumsi minimal beralkohol, kurangnya aktivitas fisik, serta kurangnya
konsumsi buah dan sayur.4,5

Gambar 2.2 Prevalensi Stroke Berdasarkan Kelompok Umur4

Gambar 2.3 Prevalensi Stroke Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tempat


Tinggal4

Presentase stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan dengan stroke


hemoragik. Adapun angka kematian akibat stroke iskemik relatif lebih kecil
dibandingkan dengan stroke hemoragik. Secara umum, dari 61,9% pasien stroke
iskemik yang dilakukan pemeriksaan CT Scan di Indonesia didapatkan infark
terbanyak pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lacunar (11,7%), dan infark
pada sirkulasi posterior (4,2%).5

2.3 Faktor Resiko


Sroke adalah penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor atau yang sering disebut
multifaktor. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian stroke dibagi
menjadi dua, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor resiko
yang dapat dimodifikasi.5,6 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia,
ras, gender, genetik atau riwayat keluarga yang menderita stroke. Sedangkan faktor
resiko yang dapat dimodifikasi berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung,
diabetes melitus, obesitas, alkohol, dan dislipidemia.5
Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Usia
Semakin bertambah tua usia, semakin tinggi risiko terkena stroke yaitu 0,4% (usia
18-44 tahun), 2,4 % (usia 65-74 tahun), hingga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih)
sesuai dengan studi Framingham yang berskala besar. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan terjadinya aterosklerosis seiring peningkatan usia dan dihubungkan
dengan faktor resiko lainnya. Dua pertiga dari semua serangan stroke terjadi pada
orang yang berusia di atas 65 tahun.5,6

2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena stroke daripada perempuan. Risiko stroke pada
laki-laki 1,25-2,5 kali lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini berhubungan
dengan estrogen. Estrogen berperan dalam pencegahan plak aterosklerosis seluruh
pembuluh darah, termasuk pembuluh darah serebral. Dengan demikian, perempuan
pada usia reproduktif memiliki proteksi terhadap penyakit vaskular dan
aterosklerosis yang menyebabkan kejadian stroke lebih rendah dibandingkan laki-
laki. Namun, pada keadaan premenopause dan menopause yang terjadi pada usia
lanjut, produksi estrogen menurun sehingga menurunkan efek proteksi tersebut.5
3. Genetik
Faktor genetik yang sangat berperan antara lain adalah riwayat penyakit stroke,
riwayat penyakit hipertensi, riwayat penyakit jantung, riwayat penyakit diabetes
melitus.5,6
4. Ras dan etnik
Berdasarkan suku bangsa didapatkan suku kulit hitam Amerika mengalami risiko
stroke lebih tinggi dibandingkan kulit putih. Insiden stroke pada kulit hitam sebesar
246 per 100.000 penduduk dibandingkan 147 per 100.000 penduduk untuk kulit
putih.5

Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi


1. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan pengerasan dan
penyumbatan arteri. Penderita hipertensi memiliki faktor risiko stroke empat hingga
enam kali lipat dibandingkan orang yang tanpa hipertensi dan sekitar 40 hingga
90% pasien stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Sejumlah
penelitian menunjukkan obat-obatan anti hipertensi dapat mengurangi risiko stroke
sebesar 38% dan pengurangan angka kematian karena stroke sebesar 40%.
Patofisiologi hipertensi menyebabkan terjadinya perubahan pada pembuluh darah.
Perubahan dimulai dari penebalan tunika intima dan peningkatan permeabilitas
endotel oleh hipertensi lama. Proses akan berlanjut dengan terbentuknya deposit
lipid terutama kolestrol dan kolestrol oleat pada tunika muskularis yang akan
menyebabkan lumen pembuluh darah menyempit.5
Pengerasan dinding pembuluh darah dapat mengakibatkan gangguan
autoregulasi, berupa kesulitan untuk berkontraksi atau berdilatasi terhadap
perubahan tekanan darah sistemik. Jika terjadi penurunan tekanan darah sistemik
yang mendadak, tekanan perfusi otak menjadi tidak adekuat, sehingga
menyebabkan iskemik jaringan otak. Sebaliknya, jika terjadi peningkatan tekanan
perfusi yang hebat yang akan menyebabkan hiperemia, edema, dan perdarahan.5,6
2. Diabetes Melitus
Sebanyak 10-30% penyandang DM mengalami stroke. Penelitian menunjukkan
adanya peranan hiperglikemi dalam proses aterosklerosis, yaitu gangguan
metabolisme berupa akumulasi sorbitol didinding pembuluh darah arteri. Hal ini
menyebabkan gangguan osmotik dan kandungan air didalam sel yang dapat
mengakibatkan kurangnya oksigenasi. Penyandang DM sering disertai dengan
hiperlipidemia yang merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis.5

3. Dislipidemia
Meskipun tidak seberat yang dilaporkan sebagai penyebab penyakit jantung, salah
satu penelitian observasional menunjukkan hubungan peningkatan kadar lipid
plasma dengan kejadian stroke iskemik. Komponen dislipidemia yang diduga
berperan yakni kadar HDL yang rendah dan kadar LDL yang tinggi. Kedua hal
tersebut mempercepat aterosklerosis pembuluh darah koroner dan serebral.5
4. Rokok
Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan stroke
sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan banyaknya konsumsi rokok. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa mekanisme. Salah satunya adalah erivat rokok yang
sangat berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga berpengaruh pada sistem saraf
simpatis dan proses trombotik. Dengan adanya nikotin, kerja sistem saraf simpatis
akan meningkat termasuk jalur simpatis sistem kardiovaskular, sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan meningkatnya aliran darah ke otak.
Selain itu merokok dalam waktu lama akan meningkatkan agregasi trombosit, kadar
fibrinogen dan viskositas darah serta menurunkan aliran darah ke otak yang
menyebabkan terjadinya stroke iskemik.5
5. Asam Urat
Hiperurisemia diduga merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
agregasi trombosit.5

2.4 Anatomi
Pada kebanyakan kasus stroke, keluhan dan gejala neurologi yang ditimbulkan
dapat menentukan lokasi dari lesi pada otak menurut vaskularisasinya (Gambar
2.4)6
Gambar 2.4 Vaskularisasi Otak6

2.4.1 Sirkulasi Anterior (Karotis)


Sirkulasi otak anterior memasok sebagian besar korteks serebral dan white matter
subkortikal, ganglia basalis, dan kapsula interna. Sirkulasi ini terdiri dari arteri
karotis interna dan cabang-cabangnya: arteri koroid anterior, arteri serebral
anterior, dan arteri serebral media (Tabel 2.1 dan Gambar 2.5). Stroke sirkulasi
anterior umumnya dikaitkan dengan gejala dan tanda-tanda disfungsi hemisfer,
seperti afasia, apraxia, atau agnosia. Gejala dan tanda yang juga sering ditimbulkan
adalah hemiparesis, gangguan hemisensorik, dan cacat bidang visual tetapi ini bisa
terjadi dengan stroke sirkulasi posterior juga (Tabel 2.3).6
Gambar 2.5 Sirkulasi anterior6

2.4.2 Sirkulasi Posterior (Vertebrobasilar)


Sirkulasi otak posterior memasok batang otak, otak kecil, talamus, dan bagian dari
oksipital dan lobus temporal. Terdiri dari sepasang arteri vertebralis, arteri basilar,
dan cabang-cabangnya: arteri cerebellar posterior inferior, arteri cerebellar anterior
inferior, arteri cerebellar superior, dan arteri serebri posterior. Arteri serebral
posterior juga mempercabangkan talamoperforata dan talamogeniculata. (Tabel
2.2). Stroke sirkulasi posterior menghasilkan gejala dan tanda-tanda batang otak
atau disfungsi otak kecil atau keduanya, termasuk koma, pingsan tanpa kehilangan
kesadaran, vertigo, mual dan muntah, palsi nervus kranial, ataksia, dan defisit
sensorimotor yang mempengaruhi wajah di satu sisi tubuh dan anggota badan di
sisi lain. Hemiparesis, gangguan hemisensori, dan defisit bidang visual juga dapat
terjadi, tetapi tidak spesifik untuk stroke sirkulasi posterior.6

Tabel 2.3 Perbedaan tanda dan gejala yang ditimbulkan6


Tanda dan gejala Insiden (%)
Anterior Posterior
Nyeri kepala 25 3
Penurunan kesadaran 5 16
Afasia 20 0
Penurunan lapang 14 22
pandang
Diplopia 0 7
Vertigo 0 48
Disartria 3 11
Drop attacks 0 16
Hemi or monoparesis 38 12
Hemisensori deficit 33 9

2.5 Klasifikasi
Proses patologis yang mendasari pada stroke bisa iskemia atau perdarahan,
biasanya timbul karena suatu lesi arteri. Membedakan keduanya sulit dengan
anamnesis dan pemeriksaan neurologis, tetapi CT scan atau MRI memungkinkan
diagnosis pasti.7 Di antara stroke iskemik, sekitar 35% adalah dikaitkan dengan
oklusi arteri besar, 25% oklusi arteri kecil, 20% untuk emboli jantung, 15% tidak
diketahui penyebab (kriptogenik), dan 5% untuk proses lainnya (Tabel 2.4).6,7
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Stroke Hemoragik
Patofisiologi stroke hemoragik umumnya didahului oleh kerusakan dinding
pmebuluh darah kecil di otak akibat hipertensi. Hipertensi kronik dapat
menyebabkan terbentuknya aneurisma. Proses turbulensi aliran darah
mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid yaitu nekrosis sel/jaringan dengan
akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi dinding arteriol dan rupture tunika
intima sehingga terbentuk mikroaneurisma yang disebut Charcot-Bouchard.
(Gambar 2.7). Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat tekanan darah arteri
meningkat mendadak. Pada beberapa kasus, pecahnya pembuluh darah tidak
didahului oleh terbentuknya aneurisma, namun semata-mata karena peningkatan
tekanan darah yang mendadak.
Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem aurtoregulasi pembuluh darah
serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah sistemik
meningkat, sistem ini bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh darah serebral.
Sebaliknya bila tekanan darah sistemik menurun, akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup
tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini mengakibatkan
terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah, sehingga elastisitasnya
menurun. Kondisi ini berbahaya karena pembuluh darah serebral tidak lagi dapat
menyesuaikan dengan fluktuasi tekanan darah sistemik, kenaikan tekanan darah
secara mendadak akan menyebabkan pecah pembuluh darah.
Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah
(hematom) di parenkim otak. Volume hematom tersebut akan bertambah, sehingga
memberikan efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta menyebabkan
peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien yang umumnya
berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan yang terus berlangsung
dengan edema disekitarnya, serta efek desak ruang hematom mengganggu
metabolisme dan aliran darah.
Pada hematom yang besar, efek desak ruang menyebabkan pergeseran garis
tengah (mid line shift) dan herniasi otak yang pada akhirnya mengakibatkan
iskemia dan perdarahan sekunder. Pergeseran tersebut juga dapat menekan sistem
ventrikel otak dan mengakibatkan hidrosefalus sekunder. Kondisi ini sering terjadi
pada kasus stroke hemoragik akibat pecahnya pembuluh darah arteri serebri
posterior dan anterior.
Sebagai kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, tekanan arteri
juga akan meningkat. Dengan demikian, akan didapatkan peningkatan tekanan
darah sistemik pascastroke. Prinsip ini harus menjadi pertimbangan dalam memberi
terapi yang bertujuan menurunkan tekanan darah pascastroke karena penurunan
secara drastic akan me nurunkan perfusi darah ke otak da akan membahayakan
bagian otak yang masih sehat. Hematom yang sudah terbentuk dapat menyusut
sendiri jika terjadi absorbs. Darah akan kembali ke peredaran sistemik melalui
sistem ventrikel otak. Stroke hemoragik dapat terjadi melalui berbagai macam
mekanisme. Stroke hemoragik yang dikaitkan dengan hipertensi biasanya terjadi
pada struktur otak bagian dalam yang diperdarahi oleh penetrating artery seperti
pada area thalamus, putamen, pons, dan serebelum. Stroke hemoragik lobaris pada
usia lanjut dihubungkan dengan cerebral amyloid angiopathy, sedangkan pada usia
muda seringkali disebabkan oleh malformasi pembuluh darah.
Stroke hemoragik juga dapat disebabkan etiologic lain seperti tumor
intracranial, penyakit Moyamoya, penyalahgunaan alkohol dan kokain,
penggunaan obat antiplatelet dan antikoagulan, serta gangguan pembekuan darah
seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.

Gambar 2.7: Stroke hemoragik


2.7 Manifestasi klinis
Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah otak yang
terkena.
Defisit neurologis yang ditimbulkan dapat bersifat fokal maupun global, yaitu :
 Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan ekstremitas,
kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, bicara dan sebagainya
 Gangguan fungsi keseimbangan
 Gangguan fungsi penghidu
 Gangguan fungsi penglihatan
 Gangguan fungsi pendengaran
 Gangguan fungsi somatik sensoris
 Gangguan fungsi kognitif
 Gangguan global berupa gangguan kesadaran.
Beberapa gejala klinis stroke hemoragik berkembang dari defisit neurologis dan
peningkatan TIK berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan kejang serta
perburukan klinis defisit neurologis seiring dengan perluasan lesi perdarahan.2
2.8 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis terdiri dari identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat
kebiasaan. Menanyakan identitas untuk mengecek kesadaran pasien apakah ada
disorientasi atau penurunan kesadaran dan dapat digunakan untuk menilai fungsi
luhur. Hal-hal yang ditanyakan pada identitas yaitu nama, usia, alamat, status
pernikahan, agama, suku, cekat tangan. Menanyakan cekat tangan untuk
mengetahui pusat bahasa lebih dominan di hemisfer cerebri kanan atau kiri. Pada
kinan (cekat tangan kanan), 90% pusat bahasa berada di hemisfer kiri sehingga jika
ada lesi di hemisfer kiri dapat mengakibatkan gangguan bicara atau afasia.
Sedangkan pada kidal (cekat tangan kiri), 60% pusat bahasa berada kiri dan 40%
berada di kanan, sehingga gangguan bicara tidak menonjol karena masih
terkompensasi.
Untuk menetapkan keluhan utama, kita harus mengetahui termasuk ke dalam
kasus apakah penyakit tersebut. Dalam hal ini, stroke termasuk ke dalam penyakit
vaskular dimana harus terdapat kata kunci yang menandakannya yaitu awitan yang
terjadi secara tiba-tiba atau mendadak. Ada 3 hal yang harus disebutkan dalam
keluhan utama, yaitu defisit neurologi yang terjadi, onset, dan kata kunci yang
menandakan kasus tersebut.
Riwayat penyakit sekarang harus digali sedalam mungkin, karena 90%
anamnesis dapat menegakkan diagnosis. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
terdapat dua jenis stroke yaitu stroke hemoragik dan stroke iskemik. Gejala stroke
hemoragik diawali dengan peningkatan tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala
hebat, muntah, pandangan ganda, dan penurunan kesadaran.
Sedangkan pada stroke iskemik diawali dengan gejala lateralisasi yang
mencakup gangguan motorik, sensorik, dan otonom. Kelemahan pada anggota
gerak menandakan adanya gangguan fungsi motorik. Rasa kesemutan dan mati rasa
/ baal berhubungan dengan fungsi sensorik. Untuk mengetahui adanya gangguan
otonom dapat ditanyakan tentang alvi, uri, dan hidrosis. Adanya inkontinensia
menandakan lesi UMN dan retensi pada lesi LMN. Bicara pelo dan mulut mencong
berhubungan dengan nervus VII. Riwayat tersedak ketika makan atau minum
berhubungan dengan nervus IX, X. Sedangkan bicara cadel berhubungan dengan
nervus XII. Hal-hal tersebut dapat ditanyakan ketika anamnesis pasien.
Awitan / onset pada pasien stroke terjadi secara mendadak. Maka dari itu perlu
ditanyakan waktu kejadian dan apa yang sedang pasien lakukan sebelum terjadi
serangan. Stroke iskemik dapat disebabkan oleh trombus atau embolus. Pada pasien
stroke iskemik dengan penyebab trombus, serangan biasanya terjadi saat pasien
sedang beristirahat atau saat aktivitas ringan yang tidak meningkatkan kerja
jantung. Kelemahan anggota gerak yang terjadi bersifat progresif, semakin lama
semakin memburuk. Sedangkan pada pasien stroke iskemik dengan penyebab
embolus umumnya terjadi saat pasien sedang beraktivitas berat yang meningkatkan
kerja jantung, seperti olahraga, menaiki dan menuruni tangga, atau emosi yang
meningkat. Kelemahan anggota gerak yang tidak bersifat progresif.
Hal-hal yang ditanyakan pada anamnesis :
Perjalanan penyakit ditanyakan sejak muncul gejala pertama, sampai
gejala-gejala yang menyusul berikutnya, secara berurutan
Waktu dan lamanya keluhan berlangsung
Gejala-gejala yang menyertai serangan (tanda-tanda lateralisasi,
peningkatan TTIK)
Sifat dan beratnya serangan
Lokasi dan penyebarannya
Hubungan dengan waktu (kapan saja terjadinya)
Hubungannya dengan aktivitas (keluhan dirasakan setelah melakukan
aktivitas apa saja)
Keluhan-keluhan yang menyertai serangan (tidak dapat melirik ke satu
sisi, mulut mencong, tersedak, cadel, pelo, lidah mencong, mengompol,
baal)
Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang
memperberat atau meringankan serangan
Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan
yang sama
Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala
sisa
Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang
telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan
dengan penyakit yang saat ini diderita

 Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj Stroke Score :

Keterangan :
1. SSS > 1 : stroke hemoragik
2. SSS -1 s.d. 1 : perlu dikonfirmasi dengan CT-scan kepala
3. SSS < -1 : stroke iskemik

2.9 Pemeriksaan Fisik


o Pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang
disusun oleh Cincinnati menggunakan singkatan FAST mencakup F
yaitu facial droop, A yaitu arm weakness, S yaitu speech difficulities,
serta T yaitu time to seek medical help. FAST memiliki sensitivitas 85%
dan spesitifitas 68% untuk menegakkan diagnosis stroke, rehabilitas
yang baik pada dokter dan peranmedis.
o Tanda vital ( tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, suhu)
o Status Generalis (head to toe)
o Status Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mengkonfirmasi anamnesis yang
telah ditanyakan. Komponen status neurologis yang dinilai :
o GCS
o Tanda rangsang meningeal
o Nervus cranialis
o Fungsi motorik
o Fungsi sensorik
o Fungsi otonom
o Fungsi kognitif.2
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang yaitu untuk
menentukan diagnosis, preventif dalam menanggulangi faktor resiko, dan
untuk menentukan prognosis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan terdiri
dari pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan radiologi yang
dilakukan adalah CT-scan kepala non kontras yang merupakan pemeriksaan
gold standard. Pada stroke hemoragik akan terlihat adanya gambaran
hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat adanya gambaran
hipodens. EKG dilakukan untuk menyingkirkan faktor resiko stroke.2,7
Perbandingan hasil CT-scan kepala pada stroke hemoragik dan iskemik
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan:
1. Elektrokardiogram (EKG)
2. Pencitraan otak : CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI
dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance angiogram (MRA)
3. Doppler karotis dan vertebralis
4. Doppler transkranial
5. Pemeriksaan laboratorium
a) Hematologi rutin
b) Glukosa darah sewaktu
c) Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
d) Pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam pp
e) HbA1C
f) Profil lipid
g) C-reactive protein (CRP)
h) Laju endap darah
i) Pemeriksaan hemostasis
j) Pemeriksaan enzim jantung
k) Fungsi hati
l) Pemeriksaan elektrolit.2,7,8,9

TATALAKSANA STROKE HEMORAGIK


I. Tatalaksana umum bertujuan mengoptimalkan metabolisme otak meskipun
dalam keadaan patologis:
1. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
Untuk mencapai tujuan tatalaksana umum, hal utama adalah melihat
serta melakukan stabilisasi jalan napas dan saluran pernapasan untuk
menghindari hipoksia. Apabila terdapat gangguan ventilasi dapat
dilakukan pemasangan pipa endotrakeal untuk menjaga potensi jalan
nafas pasien.
2. Stabilisasi hemodinamik
Keadaan hemodinamik pasien diharapkan tetap stabil dengan tidak
menurunkam tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion
Pressure/CPP) hingga menginduksi hipoksia. Untuk menjaga
hemodinamik atau mengatasi keadaan dehidrasi dapat diberikan cairan
kristaloid atau koloid intravena (IV), pemasangan central venous
catheter (CVC) bila diperlukan untuk memantau kecukupan cairan,
optimalisasi tekanan darah, dan pada pasien dengan defisiti neurologis
nyata, dianurkan pemantauan berkala status neurologis, nadi, tekanan
arah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dalam 72 jam. Hindari
penggunaan cairan hipotonik seperti glukosa.
3. Tatalaksana peningkatan TIK
Hal-hal berikut yang harus dilakukan dalam menangani peningkatan
TIK”
a. Pemantauan ketat terhadap pasien yang berisiko mengalami dema
serebral dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda klinis
neurologis dalam 48 jam pertama serangan stroke
b. Monitor tekanan intrakranial terutaa pada pasien dengan perdarahan
intraventrikular (dilakukan sebagai monitoring tekanan intrakranial
dan evakuasi perdarahan intraventrikular). Target terapi adalah TIK
<20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
c. Penatalaksanaan peningkatan TIK meliputi:
 Meninggikan posisi kepala 300
 Menghindari penekanan vena jugularis
 Menghindari hipertermia
 Pemberian osmoterapi atas indikasi: Manitol 0,25-0,50g/kgBB
selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan target
osmolaritas darah <310mOsm/L. Agen osmoterapi lain yang dpaat
digunakan adalah NaCl 3%
 Furosemid (atas indikasi) dengan dosis inisial 1mg/kgBB IV

4. Pengendalian suhu tubuh


Peningkatan suhu 10C akan meningkatkan energi 7% . Oleh karena itu
setiap pasien stroke yang disertai febris harus diberikan antipiretik, yakni
paracetamol 3x1000mg baik peroral atau IV kemudian dicari dan diatasi
penyebabnya.
5. Tatalaksana cairan
a. Pada umumnya kebutuhan cairan sebanyak 30mL/kgBB/hari
(parenteral maupun enteral)
b. Pemberian cairan isotonik seperti NaCl 0,9% untuk menjaga kondisi
euvolemia. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12mmHg
c. Perhatikan keseimbangan cairan dengan melakukan pengukuran
cairan masuk dan keluar secara ketat.
d. Elektrolit (sodium, kalium, kalsium, magnesiu) harus selalu diperiksa
dan diatasi bila terjadi kekurangan.
e. Gangguan keseimbangan asam basa harus segera dikoreksi dengan
monitor analisis gas darah.
6. Nutrisi
a. Pemberian nutrisi enteral harus dilakukan sedini mungkin bila tidak
terjadi perdarahan lambung
b. Bila terjadi gangguan menelan atau kesadaran menurun manakan
diberikan melalui pipa nasogastrik (Nasogatric tube/NGT)
c. Jika tidak terdapat gangguan pencernaan atau residu lambung ≤150cc,
maka dapat diberikan nutrisi enteral 30cc perjam dalam 3 jam
pertama. Jika toleransi baik berupa tidak terdapatnya residu pipa
nasogatrik maka dapat dilanjutkan pemberian makanan enteral.
Pemberian nutrisi enteral selanjutnya disesuaikan dengan target
kebutuhan yang terbagi dalam 6 kali perhari.
d. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori adalah 20-25 kkal/kg/hari
dengan komposisi:
 Karbohidrat 50 – 60 % dari total kalori
 Lemak 25 – 30 %
 Protein 10 – 20 % : kebutuhan protein normal perhari sebanyak
0,8-1,0g/kgBB/hari. Pada keadaan adanya stressor pada tubuh,
kebutuhan protein ditingkatkan menjadi 1,4-2,0g/kgBB/hari, dan
pada gangguan fungsi ginjal kebutuhan protein diturunkan menjadi
0,6-0,8g/kgBB/hari.
e. Pada keadaan pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, boleh
diberikan secara parenteral.
7. Pencegahan dan penanganan komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
seperti aspirasi, malnutrisi, pneumonia, trombosis vena dalam, emboli
paru, dekubitus, komplikasi ortopedik, dan kontraktur.
b. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai
kasur antidekubitus
c. Pencegahan trombosis vena dalam dan emboli paru dengan
intermittent pneumatic compression, tidak direkomendasikan
penggunaan compression stocking
d. Pencegahan tromboemboli vena pada pasien imobilisasi setelah 1-4
hari onset, dapat diberikan low molecular weight heparin (LMWH)
dosis rendah subkutan atauunfractionated heparin, setelah
terdokumentasi tidak ada lagi perdarahan.
e. Antikoagulan sistemik atay pemasangan vena kaca filter dapat
diindikasikan pada pasien dengan gejala trombosis vena dalam atau
emboli paru.

8. Penatalaksanaan Medik Lain


a. Pemantauan kadar gula darah sangat diperlukan:
 Hipergikemia (kadar glukosa darag >180mg/dL) pada stroke akut
harus diobati dengan titrasi insulin
 Target yang harus dicapai adalah normoglikemia
 Hipoglikemia berat (<50mg/dL) harus diobati dengan dekstrosa
40% IV atau infus glukosa 10-20%.
b. Jika pasien gelisah dapat dilakukan terapi psikologi atau pemberian
major and minor tranquilizer, seperti benzodiazepin short acting atau
propofol
c. Pemberian analgesik, antimuntah, dan antagonis H2 sesuai indikasi
d. Hati-hati dalam menggerakkan penghisapan lendir (suction), atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK
e. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil
f. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermitena
g. Rehabilitasi
h. Edukasi keluarga
i. Dischrge planning
9. Pengendalian kejang
a. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20mg dan diikuti
fenitoin loading dose 15-20mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum
50mg/menit.
b. Bila kejang beum teratasi, maka perlu dirawat di ruang rawat intensif
(ICU)
II. Tatalaksana khusus
Bertujuan untuk mencegah perdarahan berlanjut (koreksi koagulopati),
mengontrol perdarahan berlanjut, mengontrol tekanan darah, identifikasi
kondisi yang membutuhkan intervensi bedah, serta melakukan diagnosis dan
terapi terhadap penyebab perdarahan.
1. Perawatan di unit stroke
Perawatan di unit stroke akan menurunkan kematian dan dependensi
dibandingkan dengan perawatan di bangsal biasa.
2. Koreksi koagulopati
a. Melakukan pemeriksaan hemostasis. Terapi hemostatik: Eptacog alfa,
Aminocaproic acid dan pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam.
Epsilon aminocaproat 30 - 36 gr/hari, Asam Traneksamat 6 x 1 gr untuk
mencegah lisisnya bekuan darah yamg sudah terbentuk oleh tissue
plasminogen. E
b. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia
berat harus diberikan factor replacement therapy atau trombosit.
Pemberian frozen plasma atau prothrombin complex concentrate dan
vitamin K. Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg. Pasien PIS akibat
penggunaan heparin diberikan protamine Sulfat, pasien dengan
trombositopenia diberikan dosis tunggal Desmopressin
c. Evaluasi status koagulasi seperti pemberian protamin 1 mg pada pasien
yang mendapatkan heparin 100 mg & 10 mg vitamin K intravena pada
pasien yang mendapat warfarin dengan prothrombine time memanjang.
Untuk mengurangi kerusakan jaringan iskemik disekeliling hematom
dapat diberikan obat-obat yang mempunyai sifat neuropriteksi.

3. Tekanan darah
a. Pada stroke hemoragik akut penurunan tekanan darah secara afresif
dengan target sistolik <140 mmHg dalam waktu <1 jam aman untuk
dilakukan dan lebih superior dibandingkan dengan target TD sistolik
<180 mmHg. Untuk menurunkan tekanan darah dapat diberikan
antihipertensi intravena seperti nikardipin, labetolol, atau esmolol
maupun antihipertensi oral.
4. Mempertahankan cerebral perfusion pressure
5. Penatalaksanaan bedah
Secara umum indikasi bedah pada perdarahan intraserebral sebagai berikut:
 Hematom serebral dengan diameter >3cm yang disertai penekanan
batang otak dan atau hidrosefalus.
 Perdarahan dengan kelainan struktural seperti aneurisma atau
malformasi arteriovena.
 Perdarahan lobaris dengan ukuran sedang-berat yang terletak dengan
korteks pada pasien berusia <45 tahun dengan GCS 9-12.
 Evakuasi rutin hematom supratentorial dengan kraniotomi standar dalam
96 jam tidak direkomendasikan kecuali pada hematom lobaris 1 cm dari
korteks.
6. Pencegahan perdarahan intraserebral berulang
Tatalaksana hipertensi non-akut merupakan hal yang sangat penting
untuk menurunkan resiko perdarahan berulang
7. Rehabilitasi medik
a. Fisioterapi
b. Mobilisasi2

2.11 Komplikasi
Komplikasi klinis sering terjadi setelah stroke dan bisa sangat mempengaruhi
hasil. Mereka dapat terjadi baik di awal kursus atau selama pemulihan kronis.
1. Afasia dan disartria dapat merespons bahasa dan pelatihan pidato dan
penggunaan komunikasi perangkat.
2. Inkontinensia kandung kemih dan usus harus diselidiki dan ditangani
3. Gangguan kognitif setelah stroke dapat ditangani melalui pengayaan
lingkungan, latihan fisik,dan membatasi penggunaan obat-obatan psikoaktif.
4. Trombosis vena dalam harus profilaksis berat molekul rendah subkutan atau
tidak terfraksi heparin, dengan atau tanpa kompresi pneumatik kaki yang
intermiten, jika ambulasi terganggu.
5. Depresi umum terjadi setelah stroke, dengan cacat fisik, keparahan stroke,
depresi sebelumnya, atau gangguan kognisi membawa peningkatan risiko.
Pasca-stroke depresi dapat merespons antidepresan, stimulan (misalnya,
methylphenidate), olahraga, atau psikososial singkat terapi.
6. Disfagia diamati pada sekitar setengahnya pasien setelah stroke, dan dapat
menyebabkan aspirasi, kekurangan gizi, dan dehidrasi. Skrining untuk disfagia
harus dilakukan di awal fisioterapi dan, jika ada, menelan harus dinilai dengan
videofluoroscopy atau endoskopi fiberoptik. Ketika menelan terganggu setelah
stroke, pemberian selang nasogastrik harus dimulai dalam 1 minggu dan dapat
dilanjutkan hingga 3 minggu. Jika diperlukan pemberian susu tabung periode
yang lebih lama, gastrostomi perkutan harus dipekerjakan.
7. Falls dapat dikurangi dengan latihan keseimbangan, olahraga program, dan
alat bantu (misalnya, tongkat atau alat bantu jalan).
8. Nyeri bahu hemiplegia harus dikurangi dengan latihan penentuan posisi dan
rentang gerak.
9. Infeksi, terutama pneumonia dan saluran kemih infeksi, mempersulit stroke
pada 25-65% pasien. Faktor yang berkontribusi termasuk keduanya yang
disebabkan oleh stroke imunodepresi dan faktor-faktor seperti aspirasi dan
kateterisasi urin. Namun, terapi antibiotik profilaksis tidak meningkatkan hasil
pada pasien dengan stroke.
10. Osteoporosis dan risiko terkait patah tulang dapat mempersulit stroke,
setelain itu kepadatan mineral tulang biasanya menurun, terutama pada
hemiparetik sisi dan pada pasien yang tidak rawat jalan. Suplementasi dengan
kalsium dan vitamin D dapat diindikasikan.
11. Nyeri sentral pasca stroke (Dejerine-Roussy atau sindrom nyeri thalamik)
paling sering terjadi setelah stroke melibatkan sistem spinothalamic di ventral
posterior thalamus. Biasanya dimulai berbulan-bulan setelah stroke dan
berpengalaman di daerah defisit sensorik. Nyeri dapat merespons pengobatan
dengan amitriptyline, lamotrigin, atau transkranial listrik atau berulang
stimulasi magnetik korteks motorik.
12. Kejang terjadi dalam beberapa hari pertama setelah stroke masuk
hingga 25% pasien, paling sering dalam 24 jam pertama, dan terutama setelah
stroke kortikal. Namun, profilaksis kejang poststroke rutin dengan obat
antikonvulsan tidak dianjurkan.
13. Disfungsi seksual sering terjadi setelah stroke, dengan penurunan libido,
ereksi, dan ejakulasi pada pria dan gangguan pelumasan dan orgasme pada
wanita. Intervensi termasuk mengatasi kemungkinan faktor psikologis,
membatasi penggunaan obat yang mengganggu fungsi seksual, dan
farmakoterapi (misalnya, sildenafil).
14. Kerusakan kulit dan kontraktur harus dijaga melawan dengan memutar dan
memposisikan, memperhatikan kulit perawatan, penggunaan kasur dan bantal,
dan orthotic perangkat yang ditunjukkan.
15. Kelenturan dapat dihilangkan dengan toksin botulinum, oral obat
antispastisitas (misalnya, baclofen, dantrolene, atau tizanidine), atau baclofen
intratekal. (lange)

2.12 Prognosis

Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease,


disability,discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis
tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar
aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut
harus dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG,
saturasi oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus menerus selama 24
jam setelah serangan stroke. Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai
faktor dan keadaan yang terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai
sebagai tolok ukur diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan
motorik, disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Adapun prognosis da
vitam, ad sanationam, dan ad fungsionam pada pasien stroke iskemik biasanya
dubia ad bomam.2,4
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Penyakit Tidak Menular. Jakarta :
Departemen kesehatan RI; 2018
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Jakarta : PERDOSSI; 2016
3. Misbach J, Lamsudin R, Aliah A, Basyiruddin, Suroto, Alfa AY. Guideline
Stroke tahun 2011. Jakarta. PERDOSSI; 2011
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. Laporan Riset
Kesehatan Dasar (RISKEDAS) 2018. Jakarta: Departemen kesehatan RI;
2019
5. Rasyid A, Hidayat R, Harris S, Kurniawan M, Mesiana T. Buku Ajar
Neurologi. Jilid 2. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Penerbit Kedokteran Indonesia. Jakarta; 2017
6. Roger PS, Michael JA, David AG. Clinical Neurology. 10th Ed. Lange.
United States; 2018

Anda mungkin juga menyukai