Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

DERMATITIS ATOPIK

Disusun Oleh:
Lisa Sari 112019097

Pembimbing:
dr. Saskia Retno Ayu Hapsari, Sp.KK

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Periode 25 November – 28 Desember 2019
RSUD Tarakan Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang


kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium
akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan
distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan
kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya.1
Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70 % kasus dermatitis
atopik umumnya dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja /
dewasa.2 Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-
episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu.
Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian
kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa. Diperkirakan angka
kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1%
dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir.3
Pada penderita DA 30% akan berkembang menjadi asma, dan 35%
berkembang menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma,
and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam
atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua
persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan
Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada
survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai
lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2
persen kasus berat.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan
riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma
bronchial).4
Bentuk Dermatitis Atopik
Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama
(70-80% pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai
dengan peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik
atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan
tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada patogenesis
dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa
berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type)
yang terkait dengan sensitisasi terhadap alergen hirup atau alergen makanan
disertai dengan peningkatan kadar IgE.5

Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial).
Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia
kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,
mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma.6

Faktor pencetus lain diantaranya


 Makanan

3
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge
(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat
mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi
makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE
spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji
kulit positif terhadap suatu makanan tertentu tidak berarti bahwa penderita
tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut
untuk menentukan kepastiannya.2,5 Prevalensi reaksi alergi makanan lebih
banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan yang sering
mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan
kedelai dan makanan laut.5
 Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat
dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat
inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR)
bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4
musim.
 Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik
yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis
atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada
penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni
Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi
Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada
penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang
penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan
mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang
dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang
dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan
Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga

4
dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat
sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan
makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin.

Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan.4,5
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom
5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga
melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan
bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang
kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah
86%.3
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi
keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila
salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi
bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA
yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul
utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap
sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan
semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi

5
alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering.5,6
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset
CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari
darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,
sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan
terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-
4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-
CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil.
Imunopatologi kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah
CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk
mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh
darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari
sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+,
CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan
Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak
menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan
protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g
yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya
peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi
oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada
di microenvironment.
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara
lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis.8
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopic.10

6
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan
rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang
disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang
selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan
secara imunologik dan nonimunologik.8
d. Imunopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel
ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak
dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa.9 Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE.10
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin
spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-
4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan
IgE.
• Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar
IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang
moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di
kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan
bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.

7
• Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat
berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada
lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi
sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih
rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA
akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%
penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik
(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,
bakteri, dan jamur meningkat.9
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,
leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai
saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat
antihistamin pada DA.5 Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan
TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis, yang
selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya
eksema.6

e. Antigen Presenting Cells


Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori

8
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi.
f. Faktor non imunologis
Faktor non-imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,
sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.11

g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung
antibody IgE terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut
merupakan protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena
kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau
sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat
dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga
dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan
alergi dan autoimunitas.

Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).


Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan
pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2
(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan
allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan

9
aktivasi serta pelepasan mediator-mediator yang dapat menimbulkan early
(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada
EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed
dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator
tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin
yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,
termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,
eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived
neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,
IL-13 dangranulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides
juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi.10

10
Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap
anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa.4
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid
diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,
sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan.

Subyektif selalu terdapat pruritus. Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:


1. Bentuk infantil (0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,
biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi.5 Karena
letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut
eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul
dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan
berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor,
dan ekstensor.12
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak
gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA
infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami
infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat
terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.9

11
Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)


Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,
akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah lesi DA pada anak juga bisa terjadi dipaha dan bokong.

Gambar 4.a : Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah

ekstensor (luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan


lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi.8,10

12
Gambar 4.b.

Gambar 4.c.
Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson
E.L., & Hanifin J.M., 2005).

13
3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak.9 Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan
hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital
dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat
menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll.11
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh
apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang
rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian
menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai
usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua.12

Gambar 5.a.

14
Gambar 5.b.

Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Gambar 6: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

Gambar 7: tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009).

Stigmata pada dermatitis atopik

15
Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
• ‘White dermatographism’
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan
garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
• Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.
Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan
terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan
dibandingkan dengan orang normal.13 Hal ini diduga karena adanya
pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat dijaringan
sekelilinnya.

• Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)


• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan
pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan
tanda khas untuk DA.
• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis
palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang
hidup.11
• Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun
dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian
bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan
sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah
namun bukan merupakan atonogmomik DA.
• Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat
gatal.
• ‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan
garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan
melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
• Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.

16
• Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering bersisik, pecah-pecah, dan
berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah
kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan
sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.14
• ‘Delayed blanch’
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya
keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan
dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
peningkatan permeabilitas kapiler.
• Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus
bertambah.
• Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA
gatal dapat bertahan selama 45 menit.
• Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim
belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit
penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim
panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan
berpengaruh baik pada kulit penderita DA.7,8
hertoge’s Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata.

Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium : Peningkatan kadar serum IgE dan eusinofilia

 Macam-Macam uji alergi


Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji
tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel).

1. Pemeriksaan Laboratorium

17
Adanya peningkatan serum IgE

2. Uji gores kulit (SPT)

Disarankan sebagai metode utama untuk diagnosis alergi yang


dimediasi IgE dalam sebagian besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan
relatif sensitivitas dan spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah,
baik tolerabilitas, dan demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka.
Namun akurasinya tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi
variabilitas. 16

3. Patch Tes (Tes Tempel).


Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil
tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia
tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh
bergesekan.
2. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung
steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat
oles, krim atau salep.

18
Diagnosis Kerja
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis
yang tampak menonjol, terutama gejala gatal. Dalam perkembangan selanjutnya
untuk mendiagnosis dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin
pricktest) dan pemeriksaan kadar IgE total sebagai kriteria diagnosis. 9,12 Pada
tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu kriteria diagnosis dermatitis
atopik yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor. Diagnosis
dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor jika
menggunakan kriteria Hanifin and Rajka.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik Hanifin and Rajka


MAYOR MINOR
 Pruritus (gatal)  Xerosis kutis
 Infeksi kulit
 Dermatitis wajah /  Dermatitis non-spesifik tangan
ekstensor pada bayi kaki
dan anak
 Bersifat kronik  Iktiosis/hiperlinierpalmaris/
eksaserbasi keratosis piliaris
 Ada riwayat atopi  Pitiriasis alba
individu atau
Keluarga
 Dermatitis papilla mamae
 White dermographism dan
delayed blanch respone

 Keilitis
 Lipatan infra orbital Dennie-
Morgan

 Konjugtivitis berulang
 Keratokonus

19
 Katarak subkapsular anterior
 Orbita menjadi gelap
 Muka pucat / eritem
 Gatal bila berkeringat
 Intolerans terhadap wol /
pelarut lemak
 Aksentuasi perifolikular
 Hipersensitif terhadap
makanan
 Perjalanan penyakit
dipengaruh oleh faktor
lingkungan dan emosi
 Tes kulit alergi tipe dadakan
positif
 Kadar IgE dalam serum
meningkat
 Awaitan pada usia dini

Kriteria William, dkk untuk mendiagnosis dengan cepat yaitu,


1. Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih

Table 2 : Kriteriam Willliam, dkk


1. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun)
2. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
atopi pada anak)
3. Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terkahir
4. Eczema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan, luar pada anak
5. Mulai terkena pada anak usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada
anak < 4 tahun

Kriteria Atopik dari Svensson, yaitu :


Kelompok kesatu (p<0.001, bernilai 3):
1. Perjalanan penyakitnya dipengaruhi musim
2. Xerosis
3. Diperburuk dengan tegangan jiwa

20
4. Kulit kering secara berlebihan atau terus menerus
5. Gatal pada kulit yang sehat apabila berkeringat
6. Serum IgE 80 IU/ml
7. Menderita rinitis alergika
8. Riwayat rinitis alergika pada keluarga
9. Iritasi dengan tekstil
10. Hand eczema pada waktu anak-anak
11. Riwayat dermatitis atopik pada keluarga

Kelompok kedua (p<0.001, bernilai 2):


1. Kulit muka yang pucat/kemerahan
2. Knucle dermatitis (dermatitis dengan likenifikasi pada jari-jari)
3. Penderita menderita asma
4. Keratosis pilaris
5. Alergi terhadap makanan
6. Dermatitis numularis
7. Nipple eczema

Kelompok ketiga (p<0.05, bernilai1):


1. Pomfolik
2. Ikhtiosis
3. Dennie-Morgan fold

Luas luka (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala
penilaian 0-100. Tanda-tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria:
eritema, edema/papul, ekskoriasi, likenifikasi, krusta, dan kulit kering yang
masing-masing dinilai dari skala 0-3. Gejala subjektif (C) terdiri dari pruritus dan
gangguan tidur yang masing-masing dinilai dengan visual analogue scale dari
skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini adalah 20. Formula
SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 + C. Pada formula ini A adalah luas luka (0-100), B
adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala subjektif (0-20). Skor maksimal
SCORAD adalah 10. 5.16
Rumus SCORAD = A/5 + 7B/2 + C
Keterangan :
A : Jumlah luas permukaan kulit yang terkena dermatitis atopic di luar kulit kering
dengan mengikuti rule of nine dengan jumlah skor tertinggi kategori A, adalah
100
B: Jumlah dari 6 kriteria inflamasi yaitu eritema / kemerahan, edem / papul /
gelembung yang melepuh, krusta, ekskoriasi, likenifikasi/berkerak/bersisik, kering

21
kulit, semua mempunyai nilai masing-masing berskala 0-3 (0 = tidak ada, 1 =
rirngan, 2 = sedang, 3 = berat) jumlah skor tertinggi kategori B ini adalah 18
C : adalah jumlah dari nilai gatal dan gangguan tidur dengan skala 0 – 10 dengan
jumlah skor tertinggi kategori C adalah 20.5.

Gambar 1 : Rule of nine sebelum usia 2 tahun

Gambar 2 : Rule of nine usia diatas 2 tahun

Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi:

22
1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit menjadi
kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder.
2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit kemerahan,
infeksi kulit ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.
3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal,
likenifikasi, gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat.

Diagnosis Banding

 Dermatitis seboroik

Ditandai dengan erupsi berskuama, salmon colored atau kuning


berminyak yang mengenai kulit kepala, pipi, badan, ekstremitas dan
diaper area.
Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset
invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.
Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis
atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik
akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.17

 Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada
kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena
sepatu.
 Dermatitis Numularis
Penyakit yang ditandai lesi yang berbentuk koin dengan ukuran
diameter 1 cm atau lebih dan timbul pada kulir yang kering
 Psoriasis
Lesi psoriasis berwarna merah dengan skuama seperti perak micaceous
(seperti mika), tempat predileksi terutama pada siku, lutut, kulit kepala
dan daerah genital.

23
Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan
pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan. Pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah
sebagai berikut:
 Menghindari bahan iritan
 Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
 Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
 Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)
 Kortikostreroid topikal
 Pemberian antibiotik
 Pemberian antihistamin
 Mengurangi stress
 Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.

Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan dermatitis atopik (DA) memerlukan
suatu pendekatan sistemik dan bercabang yang menggabungkan edukasi
tentang tahapan penyakit, hidrasi kulit, terapi farmakologi, dan identifikasi
juga eliminasi dari faktor perburukan seperti iritan, alergen, agen infeksius,
dan stressor emosional. Walaupun DA tidak dapat disembuhkan sepenuhnya,
gejala klinis dapat dikontrol dengan berbagai terapi obat – obatan dan juga
berbagai perawatan-diri.

Menjaga Hidrasi Kulit

Menjaga hidrasi kulit sangat penting dalam penatalaksanaan dermatitis atopik


(DA).

1. Emolien

24
Emolien adalah krim atau salep yang melembabkan dan mencegah
kekeringan kulit. Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara
teratur sangat penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki
integritas sawar kulit Pada penderita DA, emolien yang dianggap paling
baik adalah krim atau salep yang kental dan mengandung sedikit atau
tanpa air. Emolien dapat diaplikasikan 2x sehari atau seperlunya, dan
paling baik jika diberikan setelah mandi.18

2. Mandi

Mandi dengan air yang hangat dapat menghidrasi kulit dan


menghilangkan rasa gatal akibat DA secara temporer. Jangan mandi dengan air
terlalu panas, karena dapat menambah rasa gatal, jangan memakai handuk
dengan menggosok pada kulit melainkan menepuk-nepuknya, hindari
sabun/ pembersih kulit yang mengandung antiseptik, karena dapat
mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi sekunder.

3. Wet dressing

Wet dressing dapat diberikan untuk membantu menenangkan dan


menghidrasi kulit, mengurangi gatal dan kemerahan, melembutkan area yang
berkrusta, dan mencegah luka pada kulit akibat proses menggaruk. Kompres
basah bermanfaat dalam menangani eksema yang berat, sedangkan
pembalut yang mengandung obat misalnya pasta zinc dn iktamol atau zinc
oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid topical bermanfaat
untuk mengobati eksema pada ekstremitas.5 Kortikosteroid topikal dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan efek samping lokal (atrofi, striae,
hipertrikosis, hipopigmentasi, teleangiektasis, dsb).20 Maupun sistemik
(supresi aksis hipothalamus- pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan,
sindrom Chusing).
4. Antihistamin untuk mengurangi rasa gatal

25
Mengatasi Iritasi Kulit
Beberapa regimen obat dapat digunakan untuk mengatasi iritasi kulit
dalam penatalaksanaan dermatitis atopik (DA). Contoh regimen yang dapat
digunakan adalah steroid dan calcineurin inhibitor topikal.

1. Steroid Topikal

Steroid topikal merupakan terapi pilihan utama untuk DA. Bahan dasar
salep lebih disukai terutama pada lingkungan yang kering. Terapi inisial yang
dapat digunakan adalah hidrokortison 1% yang diaplikasikan 2 kali sehari
pada lesi di area wajah dan lipatan. Pilihan lain adalah steroid dengan potensi
sedang seperti triamsinolon dan betametason valerate yang diaplikasikan 2
kali sehari. Steroid dihentikan saat lesi menghilang dan dilanjutkan kembali
saat lesi baru muncul.17,18 Untuk terapi pemeliharaan, regimen bubuk
hidrokortison 1.25% dalam Acid Mentle yang digunakan tipis-tipis sebagai
emolien dengan bahan dasar steroid dinilai efektif dan aman untuk digunakan
dalam periode yang lama (bulan).

2. Calcineurin Inhibitor Topikal

Takrolimus dan pimekrolimus topikal sudah dikembangkan sebagai


imunomodulator nontopikal dan dapat digunakan sebagai terapi lini kedua.
Salep takrolimus 0.03% sudah disetujui sebagai terapi berkala untuk DA
sedang hingga berat pada anak usia 2 tahun ke atas, dan salep takrolimus 0.1%
pada pasien dewasa. Salep takrolimus dapat diberikan dengan cara dioleskan
tipis pada area dermatosis sebanyak 2 kali sehari , serta dapat digunakan
sampai gejala DA hilang. Sedangkan krim pimekrolimus 1% dapat digunakan
sebagai terapi DA ringan hingga sedang pada pasien anak usia 2 tahun ke atas
dan dapat digunakan 2 kali sehari. Baik takrolimus dan pimekrolimus terbukti
aman dan efektif untuk digunakan sebagai terapi, dengan lama penggunaan
selama 4 tahun untuk salep takrolimus, dan lama penggunaan sampai 2 tahun
dengan krim pimekrolimus.

26
3. Fototerapi

Sinar matahari alami memberikan manfaat terhadap pasien DA, namun


sinar matahari yang terlalu panas dan menyengat akan memicu keringat dan
pruritus. Oleh karena itulah, fototerapi dapat dijadikan sebagai pilihan.
Fototerapi dapat diberikan dengan broadband UVB, broadband UVA,
narrowband UVB (311 nm), UVA-1 (340 to 400 nm), dan kombinasi UVAB
sebagai terapi tambahan yang bermanfaat pada pasien DA.20

Efek jangka pendek akibat fototerapi berupa eritema, nyeri kulit,


pruritus dan pigmentasi. Sedangkan efek jangka panjang adalah penuaan kulit
dini dan keganasan kulit.

Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi


kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara
pemakaian.
Prinsip penggunaan:
i. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat
dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama
ii. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas tinggi
(muka, interginosa, bayi).
iii. Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/
likenifikasi berat.
iv. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2
minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti
dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk
terapi pemeliharaan.18,19
v. Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan
kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi
sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya
sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper, serta
meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap

27
takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3
tahun keatas)

Tatalaksana Dermatitis Atopik refrakter


i. Kortikosteroid sistemik,
Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi oleh
tubuh.
ii. Fototerapi
Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen
(fotokemoterapi) dapat memperbaiki DA dan menyebabkan remisi
panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan dini dan keganasan
kulit pada pengobatan jangka panjang.18,20
iii. Obat lainnya
Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,
interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,
imunoterapi alergen dan probiotik).

Komplikasi
 Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di
kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah
mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
 Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan
disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum
ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela,
baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi
akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada
daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi
penyebaran ke daerah kulit normal.
 Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni
Staphylococcus aureus (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Pencegahan

28
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang
diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan
keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI
eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari
pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi
alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu
melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi
sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan
menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk
menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor
imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI
eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita dermatitis
atopic.15,17

Prognosis

Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih


buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan
spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja,
sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu:


 DA luas pada anak
 Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.
 Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung
 Awitan (onset) DA pada usia muda
 Anak tunggal
 Kadar IgE serum sangat tinggi.

Indikasi Penggunaan Antibiotik sistemik pada Dermatitis Atopik adalah:


- Mencegah eksaserbasi akut krn infeksi di tempat lain
- Dengan indikasi : superinfeksi bakteri, Antibiotik sistemik
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
DA yang luas dengan infeksi sekunder.

29
BAB III
KESIMPULAN

Dermatitis atopik adalah suatu peradangan kulit kronik dan residif (atau
sekelompok gangguan yang berkaitan), yang sering ditemukan pada penderita
rhinitis alergika dan asma serta diantara para anggota keluarga mereka, yang
ditandai dengan kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural) tubuh. Gatal
merupakan keluhan utama dermatitis atopik disertai dengan kelainan kulit berupa
plak eritematosa, papul, vesikel, krusta, likenifikasi yang dapat ditemukan pada
wajah, tangan, kulit kepala, hingga seluruh tubuh. Penegakkan diagnosis
dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi serta uji
laboratorium dengan menggunanakan beberapa criteria diagnosis, diantaranya
Hanifin dan Rajka, skor Svennson, Kriteria William,dkk., dan SCORAD.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.


2. Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic
Information; www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.
3. Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding
and risk of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran,
Volume 39, No. 4, Hal. 192-198.
4. Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik.
dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S.,
(Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51
5. Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45,
No. 11. 460-65.
6. Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.
7. Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito
T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51.
8. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.
Dermatitis Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II.
Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal.
9. Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis
Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M.,
Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Hal.12-20.
10. Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).
Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55

31
11. Endaryanto E., & Harsono A., 2010. Prospek Probiotik dalam pencegahan
alergi melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
12. Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS
dan UNS Press. Surakarta. Hal.8-12.
13. Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74.
14. Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis.
J Am Acad Dermatol. 53(1): 115-28.
15. Bhakta I.M.,2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal: 632-35
16. Akdis, C.A.,et al. Diagnosis and treatment in Children and Adult
with Atopic Dermatitis. J All Clin Imun, 2006. 118(1) : p.152-169
17. Irvine, A. D., Mclean, W. I., Leung, D. Y. Filaggrin Mutations
Associated with Skin and Allergic Diseases. NEJM, 2011. 365 :
p.1315-1328.
18. Weston, W. L., Howe, W. Actopic Dermatitis. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/atopic-dermatitis- eczema-
beyond-the- basics
19. Haeck, I., et al. Topical corticosteroids in atopikc dermatitis and
the risk of glaucoma and cataracts. J Am Acad Dermatol, 2011.
64 (2), 275-81. Available from:
http://reference.medscape.com/medline/abstract/21122943.
20. Wahyuni TD. Atopic dermatitis wound cleaning with normal saline. J Kep
[internet]. Januari 2014 [disitasi 2019 Desember]; 5(1): 79-91.

32

Anda mungkin juga menyukai