A. PENGERTIAN
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negative dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan.
Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung.
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan.
a. Aktualisasi diri
Pernayataan diri tentangkonsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman
nyata yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positif
Apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri dan
menyadari hal-hal positif maupun yang negative dari dirinya
c. Harga diri rendah
Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan merasa rendah dari orang lain.
d. Kerancuan identitas
Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak
kedalam kematangan aspek psikososial kepribadi an pada masa dewasa yang harmonis.
e. Depersonalisasi
Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan
kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua, harapan orang tua
yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai dengan jenis
kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan kebudayaan
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak percaya pada anak,
tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.
E. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota tubuh,
berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya
produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional
maupun kronik.
a. Situasional
Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa disebabkan
oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami
kecelakaan, mejadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk
penjara. Selain itu dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri
seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak
nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh serta
perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.
b. Kronik
Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak lama
yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pikiran
negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
F. AKIBAT (EFFECT)
Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi sosial
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan
dengan orang lain. Isosial sosial dapat mengakibatkan perubahan persepsi sensori: halusinasi
yang pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi perilaku kekerasan.
Tanda dan gejala isolasi sosial:
a. Rasa bersalah
b. Adanya penolakan
c. Marah, sedih dan menangis
d. Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
e. Mengungkapkan tidak berdaya
f. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
g. Menghindar dari orang lain (menyendiri)
h. Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien
lain/perawat
i. Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
j. Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
k. Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap
l. Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari
H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan jangka panjang
serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri yang menyakitkan.
a. Pertahanan jangka pendek
1. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis identitas (misal
: bermain musik, bekerja keras, menonton TV)
2. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara (ikut serta
dalam aktivitas sosial, agama, klub politik, kelompok/geng)
3. Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri (misal : olahraga
yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk mendapatkan popularitas)
4. Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah identitas
menjadi kurang berarti dalam kehidupan idividu (misal : penyalahgunaan obat)
b. Pertahanan jangka panjang
1. Penutupan identitas : Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang
penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan potensi diri
individu tersebut
2. Identitas negatif : Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima
oleh nilai dan harapan masyarakat.
A. PENGERTIAN
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi (higiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK (Toileting).
Kurang perawatan diri : higiene adalah keadaan dimana individu mengalami kegagalan
kemampuan untuk melaksanakan atau menyelesaikan aktivitas kebersihan diri.
D. RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket
Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3rd ed. Jakarta : EGC.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1. Bandung : RSJP.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. PENGERTIAN
Suatu sikap di mana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu
merasa bahwa ia kehingan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi
perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara
spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada
perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain.
Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan maupun komunikasi dengan orang lain.
Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena
merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa,
pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan
orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup berbagi pengalaman.
Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap
yang negatif dan mengancam.
C. RENTANG RESPONS
Respons Adaptif Respons Maladaptif
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
a. Respons adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas
normal ketika menelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk respons
adaptif.
1. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2. Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
4. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
b. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan
di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons maladaptif.
1. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain.
2. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
3. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
4. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
D. ETIOLOGI
Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor presipitasi.
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi dan stressor presipitasi.
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku menarik
diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya
pada diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini
dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari
orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan kegiatan sendiri terabaikan.
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan
masalah.
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan Interpersonal.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
Masa Bermain
mandiri
Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung
Masa Prasekolah
jawab, dan hati nurani
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
Masa Sekolah
berkompromi
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
Masa Praremaja
jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
Masa Remaja
bergantung pada orang tua.
Menjadi saling bergantung antara orangtua dan
Masa Dewasa Muda teman, mencari pasangan, menikah, dan
mempunyai anak.
Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah
Masa Tengah Baya
dilalui.
Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
Masa Dewasa Tua
perasaan keterikatan dengan budaya.
2. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam
berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu
keadaan di mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar
keluarga.
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu
faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini
disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap
anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
4. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien
skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur
yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk
sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.
b. Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal
dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
1. Faktor eksterna
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh faktor
sosial budaya seperti keluarga.
2. Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 1999.Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC.
Keliat Budi Ana. 1999. Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book.
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI
A. PENGERTIAN
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar.
Walaupun tampak sebagai suatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari
kehidupan mental penderita yang “terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasarr-dasar
organik fungsional, psikotik, maupun histerik.
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang
mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal). Disertai dengan suatu pengurangan
berlebih-lebihan atau kelainan berespon terhadap stimulus.
Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya rangsangan dari luar.
Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran individu tersebut
penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima
rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespon terhadap
rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan.
E. FAKTOR PRESIPITASI
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan
yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu
seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada
dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi
karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
a. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah
dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan
Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur bio-psiko-sosio-
spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan eksternal
yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa
kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri. Individu asik
dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga
jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam
dirinya atau orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan pada klien
yang mengalami halusianasi adalah dengan mengupayakan suatu proses
interaksi yang menimbulkan penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan
manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami
halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan
keberadaanya serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
b. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi
stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping
tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan
budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan
stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
c. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian
masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
d. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat
orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang
menyenangkan bagi klien. Karakteristik :
Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan
Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran
Perilaku yang muncul :
Tersenyum atau tertawa sendiri
Menggerakkan bibir tanpa suara
Pergerakan mata yang cepat
Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat menyebabkan
antipasti.
Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh
pengalaman tersebut
Mulai merasa kehilangan kontrol
Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
Perhatian terhadap lingkungan menurun
Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat,
dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik :
Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
Isi halusinasi menjadi atraktif
Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
Klien menuruti perintah halusinasi
Sulit berhubungan dengan orang lain
Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panic
Perilaku yang muncul :
Resiko tinggi menciderai
Agitasi atau kataton
Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan seseorang
yang menarik diri dari lingkungan karena orang tersebut menilai dirinya rendah. Bila
klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada
kejelekan maka akan berisiko terhadap perilaku
A. PENGERTIAN
Waham adalah keyakinan yang salah dan kuat dipertahankan walaupun tidak diyakini
oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas social.
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien.
Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan,
kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya.
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan knyataan, tetapi dipertahankan
dan tidak dapay diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien
yang sudah kehilangan kontrol.
C. RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif
F. MEKANISME KOPING
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
a. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas
b. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri
d. Pada keluarga ; mengingkari
Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo.
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa
Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book.
Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif.
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik.
C. RENTANG RESPON
Respon Adaptif Respon Maladaptif
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku
kekerasan diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang
melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut :
1. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons
agresif
2. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetil kolin
dan serotinin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta penurunan
serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan factor
predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
3. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal (narapidana)
4. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak,
penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak
kekerasan merupakan pengungkapan secra terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
2. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-
anak tanpa factor predisposisi biologic.
c. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan
sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat ,erupakan factor predisposisi
terjadinya perilaku kekerasan
E. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
a. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunya percaya
diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
b. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis dan lain-
lain.
Hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain
sebagai berikut :
a. Kesulitan kondisi social ekonomi
b. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
c. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam
menempatkan diri sebagai orang yang dewasa
d. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan obat dan
alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
F. MEKANISME KOPING
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila
kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri
rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan
orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan
yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada
keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang
baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping
keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau
menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen teurapeutik
inefektif).
Aziz R, dkk, 2003 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo,
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
Keliat Budi Ana, 1999, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC,
Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book,
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran,EGC;Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO TINGGI BUNUH DIRI
A. PENGERTIAN
Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan
individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku
bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan
kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri.
Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko untuk menyakiti
diri sendiri atatu melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain
dikatakan bahwa bunuh diri sebagai tindakan destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap benSP
aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu
yang diinginkan.
C. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif
Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
tidak langsung
Keterangan :
a. Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
b. Beresiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku destruktif atau
menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri.
c. Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang
membutuhkan dirinya unSP mempertahankan diri.
d. Pencenderaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencenderaan diri akibat hilangnya
harapan terhadap situasi yang ada.
e. Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh stress.
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :
a. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri, atau
sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada
tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian,
perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang
keinginan unSP mati
b. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan
yang konkrit unSP melakukan bunuh diri
c. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang
dalam, bahkan ancaman unSP mengakhiri hidupnya
d. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan
pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah
pada percobaan unSP melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena individu mengalami
ambivalen antara mati, hidup dan tidak berencana unSP mati. Individu ini masih
memiliki kemauan unSP hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami
konflik mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang
berjuang dengan stres yang tidak mampu di selesaikan
e. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi
individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan,
walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
a. Faktor genetik dan teori biologi
Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya.
Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang
berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
b. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang
tidak terintegrasi pada kelompok sosial) , atruistik (Melakukan bunuh diri unSP
kebaikan masyarakat) dan anomik ( Bunuh diri karena kesulitan dalam berhubungan
dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
c. Teori psikologi, memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma
interpersonal, dan kecemasam berkepanjangan yang nungkin dapat memicu seseorang
unSP mencederai diri. Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri
merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.
d. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan dari
pertemuan dalam hidup, masa anak-anak mendapat perlakuan kasar serta tidak
mendapatkan kepuasan
e. Penyebab lain :
1. Adanya harapan yang tidak dapat di capai
2. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak-berdayaan
3. Cara untuk meminta bantuan
4. Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah
E. FAKTOR PRESIPITASI
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami individu.
Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri :
SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih tinggi
dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering 3 kali
dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih muda, 45
tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65 tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri mengalami
sindrome depresi.
4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah pernah
(Percobaan melakukan percobaan sebelumnya
sebelumnya)
5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang menyalahnugunakan
alkohol
6 Rational thinking Loss Orang skizofrenia dan dementia lebih sering melakukan
( Kehilangan berpikir bunuh diri disbanding general populasi
rasional)
7 Sosial support lacking ( Orang yang melakukan bunuh diri biasanya kurannya
Kurang dukungan dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang bermakna
social) serta dukungan spiritual keagaamaan
8 Organized plan Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh diri
(perencanaan yang merupakan resiko tinggi
teroranisasi)
9 No spouse (Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih rentang dibanding
memiliki pasangan) menikah
10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi
melakukan bunuh diri.