Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Saraf di RSUD Kota Salatiga

Diajukan kepada:
dr. Dony Ardianto, Sp.S

Disusun oleh:
Putri Restu Wulandari
1813020009

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


Epilepsi

Disusun oleh:

Nama : Putri Restu Wulandari


NIM : 1813010009

Telah dipresentasikan

Hari/Tanggal:
Jumat, 01November 2019

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Dony Ardianto, Sp.S

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 47 tahun
Alamat : Klumpit, RT 02/RW 01, Sidorejo Kidul, Kec. Sidorejo, Salatiga
Status : Janda
Masuk IGD : 22 Juli 2019

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kejang pada kedua tangan dan kaki.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Ibu pasien mengatakan, anaknya kejang dengan durasi < 5 menit, saat kejang
pasien tidak sadar. Setelah kejang pasien tidur. Saat kejang terjadi kedua tangan dan
kaki pasien kaku kemudian kelojotan, kemudian setelah kejang kedua tangan dan kaki
rileks kembali. Saat kejang mata pasien berkedip berlebihan, lidah pasien tergigit
sampai berdarah dan mengompol. Kejang terjadi paling sering pada malam hari.
Kejang terjadi terutama dicetuskan jika pasien makan tidak teratur.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien pertama kali kejang saat kelas 2 SMA, pasien kejang berturut-turut
selama 3 hari setiap jam 23.00 WIB. Kemudian pasien dirawat di RS DR. Moewardi
Solo selama 10 hari, setelah itu pasien rutin minum obat dari dokter spesialis saraf.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Di keluarga terdapat
riwayat penyakit diabetes melitus dan asma. Riwayat penyakit hipertensi, alergi, dan
kejang disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, pasien tinggal dengan Ibunya setelah
bercerai dengan suaminya 4 tahun yang lalu. Pasien belum dikaruniai anak. Sehari-
hari pasien mengurus pekerjaan rumah tangga, makan dan minum pasien teratur, tidur
teratur. Pasien tidak mengkonsumsi alkohol maupun merokok. Pasien berobat
menggunakan asuransi kesehatan BPJS.
6. Riwayat Kelahiran, Pertumbuhan dan Perkembangan
Pasien lahir cukup bulan, spontan, lahir di dukun, saat lahir pasien tidak
menangis selama beberapa saat, ibu pasien mengatakan lupa berapa berat lahir pasien.
Pasien mendapatkan ASI hingga usia 6 bulan. Pasien tidak mendapatkan imunisasi.

3
Pertumbuhan dan perkembangan pasien dalam batas normal. Sewaktu kelas 4 SD
pasien pernah terjatuh dari pohon jambu dan kepala pasien membentur tanah. Pasien
hanya bersekolah sampai kelas 2 SMA.
C. Pemeriksaan fisik
I. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis
GCS : E4M6V5
Tinggi badan : 145 cm
Berat badan : 43 kg
Tanda Vital
- Tekanan darah : 100/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 84 x/menit, reguler.
- Frekuensi Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 oC
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Kelenjar Getah Bening
- Leher : Tidak ada pembesaran
- Aksila : Tidak ada pembesaran
- Inguinal : Tidak ada pembesaran
Kepala
Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-, refleks pupil +/+
Hidung : Sekret (-), deviasi septum (-).
Mulut : Bibir kering (-).
Telinga: kelainan kongenital (-), keluar cairan dari telinga (-)
Leher : spasme otot-otot leher (-), spasme otot bahu (-), nyeri (-)
KGB : tidak ada pembesaran KGB

Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, bentuk dada normal.
Palpasi : Gerak dinding dada simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-

4
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra.
Perkusi :
- Batas jantung kanan: SIC IV linea parasternalis dekstra.
- Batas jantung kiri : SIC V 1 jari lateral linea midclavicula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I & II reguler, gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Bentuk perut datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran hepar dan lien
Perkusi : Timpani.
Korpus Vertebra
inspeksi : tidak tampak kelainan
palpasi : tidak teraba kelainan

II. Status Neurologis


A. Tanda Rangsang Selaput Otak:
Kaku Kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Kernig Sign : Negatif
Lasegue sign : Negatif
B. Tanda Peningkatan Tekanan intrakranial:
Pupil : Isokor
Refleks cahaya : +/+
C. Pemeriksaan Saraf Kranial:
N.I (N. Olfactorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif Positif Positif
Obyektif dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.II (N. Optikus)

5
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.III (N. Okulomotorius)


Kanan Kiri
Bola mata Normal Normal
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Gerakan bulbus Normal Normal
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/Endophtalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
 Bentuk Normal Normal
 Refleks cahaya Positif Positif

 Rrefleks akomodasi Normal Normal

 Refleks konvergensi Normal Normal

N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal

Sikap bulbus Normal Normal

Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
 Membuka mulut Normal Normal
 Menggerakkan rahang Normal Normal

 Menggigit Normal Normal

 Mengunyah Normal Normal


Sensorik :
 Divisi Optalmika
 Refleks kornea Normal Normal

6
 Sensibilitas Normal Normal

 Divisi Maksila
 Refleks masseter Normal Normal

 Sensibilitas Tidak dinilai Tidak dinilai

 Divisi Mandibula
Tidak dinilai Tidak dinilai
 Sensibilitas

N. VI (N. Abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. VII (N. Facialis)


Kanan Kiri
Raut wajah Simetris Simetris
Sekresi air mata Normal Normal

Fisura palpebral Tidak dinilai Tidak dinilai

Menggerakkan dahi Normal Normal

Menutup mata Normal Normal

Mencibir/bersiul Normal Normal

Memperlihatkan gigi Normal Normal

Sensasi lidah 2/3 depan Normal Normal

N. VIII (N. Vestibulocochlearis)


Kanan Kiri
Suara berbisik Normal Normal

Detik arloji Normal Normal

Rinne test Tidak dinilai Tidak dinilai


Scwabach test Tidak dinilai Tidak dinilai
Webber test : Tidak dinilai Tidak dinilai
 Memanjang Tidak dinilai Tidak dinilai

7
 Memendek Tidak dinilai Tidak dinilai
Nistagmus : Tidak ada Tidak ada
 Pendular Tidak ada Tidak ada
 Vertikal Tidak ada Tidak ada

 Siklikal Tidak ada Tidak ada


Hiperakusis Tidak ada tidak ada
N. IX (N. Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal

Refleks muntah/Gag reflek Normal Normal

N. X (N. Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal

Uvula Normal Normal

Menelan Normal Normal


Artikulasi Normal Normal

Suara Normal Normal

Nadi 84 x/menit 84 x/menit

N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal

Menoleh ke kiri Normal Normal

Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal

Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal

N. XII (N. Hipoglossus)


Kanan Kiri
Kedudukan lidah di dalam Normal Normal
Kedudukan lidah dijulurkan Normal Normal
Tremor Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada

8
D. Pemeriksaan Keseimbangan dan koordinasi
Keseimbangan Koordinasi
Cara berjalan Normal Tes jari – hidung Normal
Romberg test Normal Tes jari – jari Normal
Stepping tes Normal Tes tumit lutut Normal
Tandem Walking tes Normal Disgrafia Tidak ada
Ataksia Tidak ada Supinasi – pronasi Normal
Rebound phenomen Tidak ada

E. Pemeriksaan Fungsi Motorik


A. Berdiri dan Berjalan Kanan Kiri
 Gerakan spontan Normal Normal

 Tremor Tidak ada Tidak ada


 Atetosis Tidak ada Tidak ada
 Mioklonik Tidak ada Tidak ada
 Khorea Tidak ada Tidak ada

Ekstremitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Normal Normal Normal Normal

Kekuatan Normal Normal Normal Normal

Trofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi

Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

F. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal

Sensibilitas nyeri Normal

Sensibilitas termis Normal

Sensibilitas kortikal Tidak dinilai

Stereognosis Tidak dinilai

Pengenalan 2 titik Normal

Pengenalan rabaan Normal

G. Sistem Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri

9
Kornea Normal Normal

Berbangkis Tidak dinilai Tidak dinilai

Laring Normal Normal

Masseter Normal Normal

Dinding perut

Atas Normal Normal

Bawah Normal Normal

Tengah Normal Normal

Biseps +2 +2

Triseps +2 +2

APR +2 +2

KPR +2 +2

Bulbokavernosus Tidak dinilai Tidak dinilai

Kremaster Tidak dinilai

Sfingter Tidak dinilai

Refleks Patologis Kanan Kiri

Lengan

Hoffman-Tromner Negatif Negatif

Tungkai

Babinski Negatif Negatif

Chaddoks Negatif Negatif

Oppenheim Negatif Negatif

Gordon Negatif Negatif

Schaeffer Negatif Negatif

Klonus kaki Negatif Negatif

3. Fungsi Otonom

10
 Miksi : Normal
 Defekasi : Normal
 Sekresi keringat : Normal

4. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia

 Reaksi bicara Normal  Reflek glabella Tidak ada

 Fungsi intelek Normal  Reflek snout Tidak ada

 Reaksi emosi Normal  Reflek menghisap Tidak ada

 Reflek memegang Tidak ada

 Refleks palmomental Tidak ada

D. Pemeriksaan penunjang
Rencana pemeriksaan tambahan :
 EEG
 Ct-Scan
 Elektrolit

E. Masalah
Diagnosis
 Diagnosis Klinis : Kejang berulang, hemiparese extremitas superior dan inferior
 Diagnosis Topik : Kortikal
 Diagnosis Etiologi : Trauma Capitis
 Diagnosis Sekunder : Kelelahan dan tidak minum obat epilepsi

F. Penatalaksanaan
Terapi
- Piracetam 800 mg / kg/bb 4/5
- B1 2/5
- Ikalep 11/2 - 0 - 11/2
- Phenitoin 1-0-1
- Clobazam 1-0-1
Nonfarmakologi
- Rutin minum obat antiepilepsi setiap hari jangan sampai putus selama 2 tahun.
- Hindari pasien dari benda-benda tajam dan berbahaya, terutama pada saat terjadi
serangan.

11
- Bila terjadi kejang longgarkan pakaian pasien seperti ikat pinggang, dan lain-lain.
- Awasi jalan nafas pasien pada saat serangan, dengan cara memiringkan pasien agar
tidak terjadi aspirasi.
- Menjauhi faktor pencetus.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Epilepsi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epileptik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala
yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang
terjadi di otak (heilbroner, 2007).
Epilepsi ditandai dengan kondisi/gejala berikut (Alberto et al, 2013):
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor.
2. Etiologi Epilepsi
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh (Mardjono, 2009):
a. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.
b. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain.
c. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau
infeksi.
d. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6
tahun  disebabkan karena febris.
e. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, birth trauma, cedera
kepala, tumor otak (usia 30-50 tahun), penyakit serebro vaskuler (> 50 tahun).

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Mardjono,
2009):

13
a. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita
epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada
usia >3tahun. Epilepsi idiopatik terjadi pada bayi, anak, remaja, dan dewasa muda
dengan MRI otak yang normal dan tidak ada riwayat kelainan medis yang bermakna
sebelumnya. Terdapat predisposisi genetik, beberapa sindrom epilepsi idiopatik
memiliki distribusi autosomal dominan yang mengakibatkan adanya gangguan pada
kanal ion.
b. Epilepsi simptomatik : Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas
struktur otak yang mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi yang mendasari.
Yang termasuk kategori ini adalah kelainan perkembangan dan kongenital baik akibat
genetik maupun didapat, misalnya : cedera kepala, infeksi SSP, lesi desak ruang,
gangguan peredaran daeah otak, toksik, metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.
c. Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy
mioklonik.
3. Patofisiologi Epilepsi
Pada tingkat selular, dua ciri khasi aktivitas epileptiform adalah hipereksitabilitas dan
hipersinkronitas neural. Hipereksitabilitas merujuk pada peningkatan respon neuron
terhadap stimulasi, sehingga sel mencetuskan beberapa potesial aksi langsung.
Hipersinkronitas yaitu peningkatan cetusan neuron pada sebagian kecil atau besar regio
di korteks (Stafstrom, 2014).
Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang fokal dan
umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
antara inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau menyebar diseluruh otak.
Ketidakseimbangan ini karena kombinasi peningkatan eksitasi dan penurunan inhibisi
(Noebels et al, 2012).

14
Gambar 2.1. Skema sederhana terjadinya epilepsi (Noebels et al, 2012).
4. Klasifikasi Epilepsi
A. Menurut Commision of Clasification and Terminology of the Internasional League
Against Epilepsy, 1981 untuk tipe serangan epilepsy (ILAE,1981):
1) Serangan Parsial
 Serangan Parsial Sederhana dengan:
a) Manifestasi Motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai
contoh, seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal seperti jari
tangan menghentak atau kekakuan pada sebagian tubuh. Gerakan ini
mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi tubuh (berlawanan dengan
area otak yang terganggu) atau meluas pada kedua sisi. Contoh yang lain
adalah kelemahan dimana dapat berpengaruh pada saat berbicara.
Penderita mungkin bisa atau tidak menyadari gerakan ini.
b) Manifestasi Sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan kejang
sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak
ada disitu, mendengar bunyi berdetak, bordering atau suara seseorang
ketika suara yang sebenarnya tidak ada, atau merasakan sensasi seperti
ditusuk jarum atau mati rasa (kebas). Kejang mungkin terasa sangat
menyakitkan pada beberapa pasien. Mereka akan merasa seperti berputar.
Mereka juga mungkin mengalami ilusi. Untuk singkatnya mereka
mungkin percaya bahwa mobil yang sedang diparkir bergerak pergi atau
suara seseorang seperti teredam ketika seharusnya terdengar jelas.

15
c) Manifestasi Autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf yang
secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya meliputi
perasaan asing atau tidak nyaman pada perut, dada dan kepala, perubahan
pada denyut jantung dan pernafasan, berkeringat.
d) Manifestasi Psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan pengalaman
akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan memori, kata yang
terbalik saat berbicara, ketidakmampuan untuk menemukan kata yang
tepat atau bermasalah dalam memahami percakapan atau tulisan. Mereka
mungkin dengan tiba-tiba merasa takut, depresi atau bahagia dengan
alasan yang tidak jelas. Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka
berada diluar tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami
sebelumnya).
 Serangan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) dengan:
a) Gambaran parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun
b) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan, kesadaran menurun sejak
permulaan serangan
 Serangan parsial yang berkembang menjadi serangan umum (tonik, klonik,
tonik-klonik)
2) Serangan Umum
a. Tonic-clonic convulsion = grand mal
Kejang ini dimulai dengan suara jeritan yang tidak wajar. Kemudian
penderita akan jatuh dan setiap otot terlihat lebih aktif. Giginya
mencengkeram. Penderita terlihat pucat, dan dalam waktu singkat akan
berubah kebiruan. Sesaat setelah dia jatuh, tangan dan badan bagian atas akan
mulai menghentak sedangkan kakinya menjadi lebih atau kurang kaku. Ini
adalah bagian terlama dari kejang ini. Pada akhirnya kejangnya berhenti dan
dia jatuh kedalam tidur yang dalam (Fisher et al, 2011).
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit. Kejang yang
berakhir lebih dari 30 menit atau tiga kali kejang tanpa periode jeda yang
normal mengindikasikan kondisi yang berbahaya disebut juga sebagai status
epileptikus. Kejang ini disebut juga sebagai grand mall. Seperti namanya
kejang ini merupakan gabungan dari kejang tonik dan kejang klonik. Fase
tonik datang pertama ditandai dengan semua otot menjadi kaku. Udara secara

16
paksa dikeluarkan dari pita suara yang menyebabkan tangisan atau erangan.
Orang tersebut akan kehilangan kesadaran dan jatuh kelantai. Lidah dan pipi
bagian dalam mungkin tergigit. Jadi ludah yang bercampur darah mungkin
keluar dari mulut. Wajah orang tersebut mungkin akan berubah jadi kebiruan.
Setelah fase tonik akan terjadi fase klonik. Tangan dan kaki biasanya akan
mulai menghentak dengan cepat dan berirama, gerakan menekuk dan relaksasi
pada siku, pangkal paha dan lutut. Setelah beberapa menit gerakan
menghentak akan melambat dan berhenti. Isi kandung kemih dan perut
terkadang ikut keluar saat tubuh relaksasi. Kesadaran kembali perlahan dan
orang tersebut mungkin mengantuk, bingung, atau depresi. Penderita yang
mengalami kejang ini dapat anak-anak maupun orang dewasa (Fisher et al,
2011).
b. Abscense attacks = petit mal
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaja. Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak
(absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti
dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak
atau awal remaja. Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip,
dengan kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering
tidak disadari Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang
sehingga penderita tidak jatuh. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali
dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan
EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang
berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh (Fisher et al,
2011).
c. Myoclonic seizure
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar
sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi
dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya
cepat (Fisher et al, 2011).
d. Atonic seizure
Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot dan jatuh tiba-tiba
(Fisher et al, 2011).
e. Klonik seizure

17
Kejang dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1– 3
detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak
diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio
cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh
ensepalopati metabolic (Fisher et al, 2011).
f. Tonik seizure
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai
dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi (Fisher et al, 2011).
3) Serangan tidak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sementara (Fisher et al, 2011).

1) Menurut ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsy (ILAE,1989). Berkaitan
dengan letak fokus
a. Idiopatik (primer)
a) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
b) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
c) Epilepsi primer saat membaca
b. Simtomatik (sekunder)
a) Lobus temporalis
b) Lobus frontalis
c) Lobus parietalis
d) Lobus oksipitalis
e) Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
f) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
c. Kriptogenik
2) Epilepsi Umum
a. Idiopatik (primer)
a) Kejang neonatus familial benigna
b) Kejang neonatus benigna
c) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
d) Epilepsi absans pada anak
e) Epilepsi absans pada remaja
f) Epilepsi mioklonik pada remaja
g) Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
h) Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak

18
b. Kriptogenik atau simtomatik
a) Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)
b) Sindroma Lennox Gastaut
c) Epilepsi mioklonik astatik
d) Epilepsi absans mioklonik
c. Simtomatik
a) Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression
 Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
b) Etiologi / sindrom spesifik
 Malformasi serebral
 Gangguan metabolisme
3) Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum (ILAE, 1989)
a. Serangan umum dan fokal
a) Serangan neonatal
b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c) Sindroma Taissinare
d) Sindroma Landau Kleffner
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4) Epilepsi berkaitan dengan situasi (sindrom khusus) (ILAE, 1989)
a) Kejang demam
b) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
c) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
d) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik).
5. Diagnosis Epilepsi
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan (Leach
et al, 2011).
1) Anamnesis
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi
vaskuler dan obat-obatan tertentu . Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
 Gejala sebelum, selama dan paska serangan
 Faktor pencetus
 Frekuensi serangan
 Pola / bentuk serangan
 Lama serangan
 Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
 Usia saat serangan terjadinya pertama
 Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

19
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :
Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder.
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.
Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum
serangan kejang-kejang (Leach et al, 2011).
Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak.Aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang
klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si
sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang
terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya
negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan
penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian
penderita bangun, termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam.
Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali (Leach et al, 2011).
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsy (Leach et al, 2011).
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran
atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik (Benbadis,
2009).
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau

20
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut (Benbadis, 2009).
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala
kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang
disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat
(Benbadis, 2009).
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan
kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya
seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial
(20% dari seluruh kasus epilepsi) (Benbadis, 2009).
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus
terletak di gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu
bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu
anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron
sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.
Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini
sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan
bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi
yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini
dulu disebut epilepsi psikomotor (Benbadis, 2009).
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,
dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar
dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri

21
dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai
beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme
membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan
aneh (Benbadis, 2009).
Untuk mendiagnosis epilepsi terutama didapatkan dari anamnesis yang baik.
Investigasi selanjutnya berguna untuk menilai gangguan fungsional dan struktural
pada otak (Leach et al, 2011).
Pada anamnesis terutama dipasktikan lebih dulu apakah suatu bangkitan
epilepsi atau bukan. Kemudian tentukan jenis bangkitan dan sindroma epilepsi
berdasarkan klasifikasi ILAE.
Dalam praktik klinis, auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata
harus mencakup pre-iktal, iktal, dan post-iktal.
(1) Pre-iktal/ Sebelum bangkitan
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, seperti perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain. Kemudian juga ditanyakan ingatan
terakhir sebelum terjadi serangan, untuk menentukan berapa lama amnesia
terjadi sebelum serangan. Gejala neurologis mungkin dapat menunjukan lokasi
fokal (Fisher et al, 2017).

Tabel 2.1. Gejala neurologis fokal berdasarkan lokalisasi (Leach et al, 2011)

(2) Iktal/ Selama bangkitan

22
Ditanyakan apakah terdapat aura atau adanya gejala yang dirasakan
pada awal bangkitan. Serta bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari
deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan
pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. Ditanyakan juga
apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, dan adakah perubahan pola dari
bangkitan sebelumnya, serta aktivitas pasien saat terjadi bangkitan, misalnya
saat tidur, saat terjaga, bermain, dan lain-lain. Serta berapa lama bangkitan
terjadi lain (Budikayanti et al, 2014).
(3) Post-iktal/ Setelah bangkitan
1. Apakah pasien langsung sadar, bingung, nyeri kepala, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
2. Faktor pencetus: kelelahan, hormonal, stress psikologi, dan alkohol
3. Riwayat epilepsi sebelumnya: Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi
bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan, dan kesadaran antar
bangkitan.
4. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap obat anti epilepsi (OAE)
sebelumnya. Perlu ditanyakan jenis dan dosis OAE, kepatuhan, serta
kombinasi OAE.
5. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik
maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
6. Riwayat epilepsi dan penyakit lain yang berhubungan dalam keluarga
7. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
8. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dan lain-lain (Budikayanti et
al, 2014).
2) Pemeriksaan Fisik Umum Dan Neurologis
Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan
dengan epilepsi, misalnya (Leach et al, 2011):
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan congenital
- Kecanduan alcohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal
atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam
beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama

23
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti (Leach et
al, 2011):
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolic (Leach et al, 2011).
Rekaman EEG dikatakan abnormal.
 Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
 Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/
tajam/lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang
kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi (Leach
et al, 2011).

24
Gambar 2.1 Gambaran EEG pada bangkitan umum (Leach et al, 2011).

Gambar 2.2 Gambaran EEG pada bangkitan parsial (Leach et al, 2011).

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan
untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak
lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan
kiri.
Pada pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi 12-14% memiliki
lesi kausal pada MRI dan 80% pasien dengan kejang berulang memiliki
abnormalitas struktur dari hasil MRI. Terdapat lima indikasi pasien epilepsi
dilakukan MRI yaitu:
- Kejang dengan onset fokal

25
- Kejang umum atau tidak terklasifikasi pada tahun pertama
kehidupan atau onset pada dewasa
- Terdapat defisit neurologis
- Kegagalan mengontrol kejang setelah pemberian OAE lini pertama
yang adekuat
- Perubahan pola kejang
MRI rutin yang optimal harus termasuk T1 dan T2-weighted, densitas
proton, dan sekuens Fluid Atenuated Inversion Recovery (FLAIR). Paling
sedikit 2 bidang ortogonal. Bidang koronal memberikan tampilan terbaik
struktur mesial temporal dan garis luar sklerosis hipokampus (Leach et al,
2011).

d. Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin (Leach et al, 2011).
 Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping
OAE
 Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping
OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
b) Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien (Leach et al, 2011)..
e. Gold standar (Leach et al, 2011).:
a) EEG iktal dengan subdural atau depth EEG
b) Longterm video EEG monitoring
6. Diagnosis Banding
a. Non-epileptic attack disorders (pseudoseizure)
Non-epileptic attack disorders (NEAD) dapat juga disebut psudoseizure namun
definisi ini bisa berarti non-psikogenik atau psychogenic non-epileptic seizure
(PNES). Merupakan kondisi yang paling sering disalahdiagnosiskan dengan
epilepsi. Mayoritas pasien adalah wanita, namun juga dapat terjadi pada laki-laki
dan lansia. Anamnesis yang paling membantu dalam membedakan keduanya
adalah tingginya frekuensi kejang (beberapa episode kejang dalam sehari) dan

26
tidak berefek dengan pemberian OAE. Adanya pencetus spesifik yang tidak biasa
pada kasus epilepsi seperti stres, marah, nyeri, gerakan tertentu, dan suara,
terutama jika pencetus diduga secara konsisten memicu kejang. Situasi saat
kejang berlangsung, dimana pada PNES biasa terjadi di tempat dengan banyak
orang dan di ruang pemeriksaan, serta jarang terjadi saat tidur. Adanya riwayat
diagnosis gangguan psikiatri dan adanya juga gejala somatisasi meningkatkan
kecurigaan terhadap PNES (Benbadis, 2009).
B. Syncope
Syncope adalah penurunan kesadaran mendadak karena kurangnya aliran darah ke
otak. Pada usia muda hal ini paling sering terjadi akibat vasovagal, dengan
penurunan tekanan darah akibat bradikardia. Respon tubuh terhadap penurunan
aliran darah otak adalah dengan peningkatan simpatis, sehingga menimbulkan
gejala presyncopal seperti berkeringat, palpitasi, pucat, dyspnea, dan perasaan
cemas. Penurunan kesadaran pada syncope berlangsung cepat dan kesadaran juga
kembali dengan cepat. Pada syncope juga dapat terjadi inkontinensia urin seperti
pada kejang. Menggigit lidah juga mungkin terjadi pada syncope tetapi biasanya
ujung lidah yang tergigit bukan pada sisi samping, dimana pada kejang injuri
lidah lebih berat. Pada syncope gerakan yang biasa terjadi adalah hentakan
myoklonik yang jelas. Mata pasien biasanya tertutup bukan mendelik, serta tidak
ada sekuele neurologis fokal. Diagnosis syncope harus disertai pemeriksaan EKG
(Benbadis, 2009).
d. Epilepsi parsial sederhana
Diagnosis ini meliputi TIA, migren, hiperventilasi, tics, mioklonus, dan spasmus
hemifasialis. TIA dapat muncul dengan gejala sensorik yang dibedakan dengan
epilepsi parsial sederhana. Keduanya paroksimal, bangkitan dapat berupa
kehilangan pandangan sejenak, dan mengalami penderita lanjut usia (Benbadis,
2009).
e. Epilepsi parsial kompleks
Diagnosis banding ini berkaitan dengan tingkat kehilangan kesadaran, mulai dari
drop attacks sampai dengan pola prilaku yang rumit.secara umum diagnosis ini
meliputi sinkrop, migren, gangguan tidur, bangkitan non epileptik, narkolepsi,
gangguan metabolik dan transient global amnesia (Benbadis, 2009).
7. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
a) Amati faktor pemicu
b) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, konsumsi kopi atau
alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.

27
b. Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni OAE mulai diberikan bila diagnosis
epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan dalam setahun,
pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek
sampingnya. Terapi dimulai dengan monoterapi. Pemberian obat dimulai dari
dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol
dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan. Penambahan
OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan
pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi
a) Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
b) Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+,
dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.
Syarat umum untuk menghentikan OAE :
 Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan
 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
 Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu
OAE yang bukan utama
Tabel 2.2. Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) berdasarkan jenis bangkitan
Jenis OAE lini OAE lini OAE yang OAE yang
bangkitan pertama kedua dipertimbang dihindari
kan
Tonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
Valproate Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate

Atonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine


Valproate Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate Acetazolamide Phenytoin

28
Fokal Carbamazepine Clobazam Clonazepam
Dengan / Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
Tanpa Sodium Levetiracetam Acetazolamide
Umum Valproate Phenytoin
Sekunder Topiramate Tiagabine
Lamotrigine
Tonik Carbamazepine Clobazam Clonazepam
Klonik Phenobarbital Levetiracetam Acetazolamide
Phenytoin Oxcarbazepine
Valproate Lamotrigine
Topiramate
Absance Sodium Clobazam Carbamazepine
Valproate Topiramate Gabapentin
Lamotrigine Oxcarbazepine

Mioklonik Sodium Clobazam Carbamazepi ne


Valproate Topiramate Gabapentin
Topiramate Levetiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam

Tabel 2.3. Mekanisme kerja OAE


Obat Mekanisme kerja
Karbamazepin Blok sodium channel konduktan pada neuro, bekerja juga pada
reseptor NMDA, asetilkolin
Fenitoine Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan konduktan
natrium, kalsium, kalium
Valproate Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium
Gabapentine Modulasi kalsium channel
Lamotrigine Blok konduktan natrium
Topiramate Blok sodium channel, meningkatkan refluks GABA

Anti konvulsan utama :


a. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
b. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
c. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
d. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari

29
Gambar 2.3. Efek samping OAE

8. Komplikasi
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress emosional.
Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti:
1. Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah
2. Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada
hippocampus, anomia ( ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama
benda)
3. Kepribadian keras : agresif dan defensive
Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:
a. Aspirasi atau muntah
b. Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
c. Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
d. Status epileptikus (SE)
Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang terus menerus,
berulang tanpa kembalinya kesadaran diantara kejang selama lebih dari 30 menit.
Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe kejang tetapi yang paling sering
adalah kejang tonik klonik. Status epileptikus mungkin menyebabkan kerusakan
pada otak atau disfungsi kognitif dan mungkin fatal. Dikenal dua tipe SE yaitu SE

30
konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat
bangkitan motorik).
a) Status Epileptikus Konvulsif
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,
atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
bangkitan.
b) Status Epileptikus Nonkonvulsif
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas
bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala
klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau “awareness”.
9. Prognosis
Ketika pasien telah bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini mungkin untuk
menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur pasien dan tipe epilepsy
yang diderita. Hampir seperempat pasien yang bebas kejang selama tiga tahun akan
tetap bebas kejang setelah menghentikan pengobatan yang dilakukan dengan
mengurangi dosis secara bertahap. Lebih dari setengah pasien anak-anak dengan
epilepsy dapat menghentikan pengobatan tanpa perkembangan pada kejang (Stafstrom
CE, 2014).

31
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
a. Pembahasan
Pasien datang ke poli saraf RSUD salatiga dengan keluhan riwayat kejang tadi
malam sebanyak 1 kali dengan durasi < 1 menit. Pasien mengeluhkan ketika sentakan
terjadi kedua kaki dan tanganya kaku namun pasien mengaku dalam kondisi sadar dan
tidak pingsan.
Orangtua pasien mengaku bahwa anaknya pernah jatuh dari pohon dan tidak
sadarkan diri kejadian tersebut terjadi ketika berusia 8 tahun saat kelas 3 sd, 1 bulan
setelahnya pasien megalami kejang hampir setiap hari namun dalam kondisi sadar
sehingga pasien langsung dibawa ke rumah sakit. Pasien menyangkal adanya mual,
muntah ataupun nyeri kepala. Dari gejala tersebut pasien mengarah pada epilepsi
parsial sederhana dimana pasien mengalami kejang pada kedua extremitas namun
tetap dalam keadaan sadar.
Pasien juga mengatakan memgalami kejang sejak usia 8 tahun dan kejang
muncul tanpa demam. Sejak Saat itu pasien rutin berobat ke rumah sakit, kejang terus
berlanjut hingga saat ini. Hal ini mendukung diagnosis epilepsi karena adanya riwayat
kejang yang terjadi cukup sering dan ini terus berlanjut hingga sekarang karena
apabila pasien mengalami kelelahan kejang sering timbul kembali.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada rangsang meningeal, peningkatan
tekanan intrakranial maupun kelainan pada nervus kranialisnya. Pada pasien belum
dilakukan pemeriksaan EEG dan CT-scan. Seharusnya pada pasien dilakukan
pemeriksaan EEG karena berdasarkan teori bahwa pemeriksaan EEG harus dilakukan
pada semua pasien epilepsi terutama dengan epilepsi berulang dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Pemeriksaan neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG. CT-scan juga dapat digunakan untuk menegakan diagnosis
karena pasien mempunyai riwayat trauma kapitis yaitu jatuh dari pohon.
Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah Fenitoin
100 mg 2x1 untuk antikonvulsan yang efektif dalam mengatasi epilepsi. Mekanisme
kerja utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang.
Karena efek samping fenitoin dapat menyebabkan anemia maka diberi Asam Folat 1
mg 1x1 yang dapat membantu pembentukan hemoglobin selain itu membantu
membangun jaringan otot, saraf, peningkatan jumlah sel dan gangguan mental dan

32
emosional. Kapsul yang berisi Piracetam 800 mg / kg/bb 4/5 B1 2/5 Ikalep 2x 1 1/2
piracetam berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kognitif tanpa menimbulkan
rangsangan pada otak dan tidak menimbulkan rasa kantuk / nootropik, vit B1 sebagai
nutrisi untuk saraf, dan ikalep yang didalamnya terdaat asam valproat sebagai
antikonvulsan. Clobazam 2x1 tablet juga berfungsi sebagai antikonvulsan.
Edukasi juga diberikan kepada pasien dan keluarga sebagai suatu bentuk
penatalaksaanaan non farmakologis seperti hindari pasien dari benda-benda tajam dan
berbahaya, terutama pada saat terjadi serangan, bila terjadi kejang longgarkan pakaian
pasien seperti ikat pinggang, dan lain-lain, awasi jalan nafas pasien pada saat
serangan, dengan cara memiringkan pasien agar tidak terjadi aspirasi. Selain itu
pasien juga sebaiknya menghindari faktor pencetus epilepsi seperti kebisingan, kurang
tidur, stress, kelelahan, alkohol, dan lain-lain.
b. Kesimpulan
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social yang
diakibatkannya. Epilepsi secara umum dibagi menjadi 2 yaitu parsial dan sederhana.
Tatalaksana utama pada epilepsi yaitu diberikan obat antikonvulsan seperti
phenitoin, fenobarbital, carbamazepam, asam valproat. Pengobatan ini bertujuan
untuk mengatasi agar tidak timbul kejang lagi, mengurangi kerusakan sel saraf di
otak, dan faktor psikososial.

DAFTAR PUSTAKA
Alberto Verrotti, Alessandra Cicconetti, dkk. Neuropsychiatr Disease and Treatment. 2013
Apr; 4(2): 365–370.
Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of
convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
Benbadis S. Differential Diagnosis of Epilepsy: A Critical Review. Elsevier. 2009:15:1521.

33
Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi. In:
Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.p.19-32
Commission on Classification and Terminology of the Internaitonal League Against
Epilepsy. Propsoal for revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981; 22:489-501.
Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatric Neurology:
Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta:
IDAI.2016
Leach JP, O’Dwyer R. Diagnosis of Epilepsy. 1 st ed. Epilepsy Simplified. Malta: Gutenberg
Press; 2011.p. 51-67
Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2009.p.439.
Noebels JL, Avoli M, Rogawski MA, Olsen RW. Jasper’s Basic Mechanism of Epilepsies.
New York: Oxford University Press; 2012.
Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topic in emergency medicine. Dalam: McMilan JA,
DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, Ed. Oski’s pediatrics. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins, 1999, h, 566-89.
Stafstrom CE. Recognizing Seizures and Epilepsy: Insights from Pathophysiology. In:
Miller JW, Goodkin HP, editors. Neurology in Practice: Epilepsy. New Jersey: Wiley
Blackwell; 2014.p. 3-20

34

Anda mungkin juga menyukai