Abstrak
Pendahuluan
Merokok memiliki banyak efek samping terhadap mukosa oral dan faring.
Outcomenya mungkin mengalami infeksi tonsil dan menjadi predisposisi terhadap
perdarahan pasca tonsilektomi (PTB).
Tujuan Tujuan penelitian kami adalah untuk menentukan apakah perokok
mengalami lebih banyak tonsilitis kronis/ rekuren yang menjadi indikasi
tonsilektomi atau mengalami lebih banyak episode PTB.
Metode. Kami melakukan sebuah penelitian retrospektif terhadap dua kelompok
orang dewasa (usia ≥ 18 tahun). Kelompok 1: Merokok diantara pasien-pasien
yang menjalani tonsilektomi untuk tonsilitis rekuren/ kronis. Kelompok 2:
Merokok diantara pasien-pasien yang membutuhkan kontrol PTB yang dioperasi
terutama untuk tonsilitis rekuren/ kronis. Kelompok 1 berperan sebagai acuan
populasi untuk yang kedua. Kami mengambil data dari rekam medis.
Hasil. Kelompok 1: 206 orang dewasa yang berusia 18 – 50 tahun (rata-rata 26 ±
7.6%). Sebanyak 28% (57 pasien) adalah perokok, berbanding 24% dan 20% pada
populasi umum (pada tahun 2000 dan 2010; p = 0.5, p = 0.18, secara berturut-
turut). Kelompok 2: 114 orang dewasa yang berusia 18 – 73 tahun (rata-rata 26 ±
7.6). Sebanyak 43% adalah perokok, yang insidensinya dua kali lipat
dibandingkan dengan pada populasi umum (p = 0.004, p = 0.0004, pada tahun
2000 dan 2010, secara berturut-turut), dan 1.5 kali lebih besar dari kelompok 1 (p
= 0.02). Angka kejadian merokok diantara yang mengalami perdarahan pada hari
8 – 10 pascaoperasi dan lebih dari hari 10 adalah 53% dan 60% (p = 0.0005 dan p
< 0.0001, secara berturut-turut). Lima dari sepuluh pasien yang memperlihatkan
PTB kedua adalah perokok. Waktu perdarahan berulang serupa dengan PTB
pertama mereka dan tanggalnya tercatat ditanggal yang sama dengan PTB kedua
untuk keseluruhan kelompok, rata-rata 5.6 hari (SD ± 3.2).
1
Kesimpulan. Perokok mungkin mengalami lebih banyak episode tonsilitis kronis/
rekuren, yang mengindikasikan tonsilektomi dan secara signifikan lebih rentan
terhadap PTB. Penghentian merokok dapat kemungkinan mengurangi tonsilitis
rekuren/ kronis. Apakah penghentian merokok pra operatif atau lamanya
penghentian merokok akan mengurangi insidensi PTB masih perlu diteliti.
Pendahuluan
Merokok memiliki efek samping terhadap permukaan mukosa oral, gingiva,
dan faring, yang menyebabkan perubahan struktural dan atropi.1,2 Selain
mengurangi aliran saliva dan penurunan imunitas mukosa, merokok telah terbukti
mempengaruhi mikroflora oral secara tidak baik.3-6 Perubahan-perubahan ini
mungkin menyebabkan mengalami lebih banyak infeksi tonsilaris. Faktanya,
merokok telah dilaporkan berkaitan dengan mengalami lebih banyak insidensi
abses peritonsil.7-9
Infeksi fossa tonsilaris (abses pertonsil, tonsilitis rekuren dan kronis)
dianggap merupakan indikasi untuk tonsilektomi. Meskipun ini merupakan
prosedur bedah yang sering digunakan, tonsilektomi dapat dipersulit oleh
komplikasi pascaoperatif yang besar, seperti perdarahan pascatonsilektomi (PTB).
Insidensi PTB pada orang dewasa baru-baru ini telah dilaporkan diantara 2 –
15%.10-12 Oleh karena itu, memahami faktor-faktor yang mungkin menyebabkan
PTB adalah hal yang sangat menarik. PTB sebelumnya berkaitan dengan faktor-
faktor risiko berikut: usia tua, yaitu diatas 35 tahun, teknik diseksi hot dissection
vis-a-vis cold, tonsilektomi komplit dibandingkan dengan tonsilotomi, kejadian
episode perdarahan pascaoperatif minor, operasi yang dilakukan selama musim
dingin, jenis kelamin laki-laki dan golongan darah O.13-18
Hingga saat ini, merokok belum jelas dianggap sebagai faktor risiko yang
sigifikan untuk PTB. Namun, merokok berkaitan dengan peningkatan angka
perdarahan pascaoperatif pada beberapa prosedur bedah lain, seperti operasi
abdomen, tiroid, dan ginjal.19-22
Tujuan penelitan ini adalah untuk meneliti kejadian merokok tembakau
diantara orang dewasa dengan tonsilitis rekuren/kronis yang membutuhkan
2
tonsilektomi, dan untuk menilai apakah perokok dewasa yang menjalani
tonsilektomi untuk indikasi tersebut lebih rentan untuk mengalami PTB. Selain
itu, disajikan pembahasan klinis praktis singkat.
3
perokok pada masing-masing kelompok, dan melaporkannya dalam angka
kejadian PTB kami.
Untuk kedua penelitian, kami mendapatkan data demografi dan klinis dari
rekam medis rumah sakit dan mencakup usia, jenis kelamin, riwayat kesehatan
masa lampau, indikasi untuk tonsilektomi, penatalaksanaan medis, pemeriksaan
darah (PTT; waktu tromboplastin parsial, PT; waktu protrombin, dan jumlah
platelet), dan kebiasaan merokok. Status “merokok”diperhitungkan jika 1) pasien
menyatakan dirinya sendiri sebagai perokok sebagaimana yang dinyatakan dalam
wawancara medis, dan 2) telah menghisap sebanyak lebih dari 5 rokok per ahri.
Untuk pasien-pasien yang datang dengan PTB (kelompok 2), kami mencatat
tanggal pascaoperatif yang mana perdarahan terjadi, angka perdarahan PTB
ulangan dan teknik pembedahan yang digunakan juga. Hari saat PTB (atau PTB
ulangan) terjadi dihitung dari hari yang mana tonsilektomi dilakukan (hari 0).
Kriteria eksklusi untuk kedua penelitian mencakup usia kurang dari 18
tahun, pasien yang menjalani tonsilektomi untuk indikasi selain tonsilitis akut atau
kronis rekuren. Kami mengeksklusikan pasien-pasien yang menjalani intervensi
yang diperluas atau tambahan sejalan dengan tonsilektomi, seperti adenoidektomi
atau UPPP (uvulo-palato-faringoplasti), karena kelainan ini mungkin memiliki
kemungkinan yang lebih tinggi untuk berdarah dan untuk membentuk suatu
kelompok yang homogen. Kami juga mengeksklusikan pasien-pasien dengan
pemeriksaan koagulasi darah yang abnormal, riwayat perdarahan yang berlebihan
di masa lampau, sedang mendapatkan penatalaksanaan anti koagulan/ anti platelet,
dan dengan penyakit apapun yang dapat berpotensi mengarahkan pada
kecenderungan perdarahan.
Analisis statistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS (IBM Corp,
Armonk, USA) untuk Windows versi 10.0 dengan menggunakan uji x 2. P < 0.05
dianggap signfikan. Dalam bagian pembahasan, kami menggunakan uji x 2 untuk
membandingkan antara hasil kami dengan hasil yang telah dilaporkan dalam
penelitian lainnya.
4
Hasil
Kelompok 1: kami mengidentifikasi 206 orang dewasa yang menjalani
tonsilektomi untuk tonsilitis rekuren/ kronis di pusat kesehatan kami dan
memenuhi kriteria persyaratan. Diantara pasien-pasien ini, sebanyak 126 (53%)
adalah wanita dan 80 (47%) adalah pria, yang berusia 18 – 50 tahun (rata-rata 26,
SD ± 7.2 tahun). Dari pasien ini, sebanyak 57 pasien (28%) adalah perokok, yang
merupakan angka yang lebih tinggi dibandingkan insidensi yang telah dilaporkan
pada populasi lokal dewasa, yaitu 24% pada tahun 2000 dan 20% pada tahun 2010
(p = 0.5 dan 0.18, secara berturut-turut).25, 26
Kelompok 2: kami mengidentifikasi 114 orang dewasa dengan PTB.
Sebanyak enam puluh pasien adalah pria (53%) dan 54 (47%) adalah wanita, yang
berusia 18 – 73 tahun (rata-rata 26, SD ± 7.6 tahun). Sebanyak 50 pasien PTB
(43%) adalah perokok, yang insidensinya dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan
pada populasi dewasa umum (p = 0.004 dan p = 0.0004, sesuai dengan tahun
2000 dan 2010, secara berturut-turut), dan 1.5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
dengan insidensi populasi acuan (kelompok 1) (p = 0.02).
5
Tabel 1. Demografik dan data, PTB pada orang dewasa
Pembahasan
Hubungan antara merokok dan penyakit infeksi tonsil diantara orang dewasa
adalah hal yang menjadi ketertarikan kami. Publikasi terbaru menunjukkan bahwa
merokok berkaitan dengan terjadinya lebih banyak kejadian episode abses
peritonsil pada orang dewasa.7,9
6
.Gambar 1. Waktu PTB perokok dibandingkan dengan bukan perokok
Gambar 1. 60% perdarahan antara hari 3 – 4 pascaoperasi. Tidak terdapat perbedaan waktu yang
signifikan antara perokok dan non perokok. Proporsi perokok diantara pasien yang mengalami
perdarahan adalah 43%, yang berlipat ganda dibandingkan pada populasi umum, 1.5 kali lipat dari
kelompok 1. Merokok diantara para pasien yang mengalami perdarahan ditemukan pada hari 8 –
10 pascaoperatif, dan setelah lebih dari 10 hari adalah 53% (p = 0.0005) dan 60% (p < 0.0001),
secara berturut-turut.
7
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Negara bagian Washington secara
berturut-turut dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. 27- 30
Mereka
melaporkan bahwa diantara 569 pasien dewasa, yang berusia 29 ± 10 tahun, yang
menjalani tonsilektomi saja, sebanyak 164 pasien (28.8%) adalah perokok. Angka
kejadian perokok dewasa yang dilaporkan pada populasi umum di Kota
Washington adalah 15% di tahun 2008, yang lebih rendah dibandingkan pada
kelompok kami dan lebih rendah dibandingkan angka di AS rata-rata. Kami telah
membandingkan angka kejadian perokok pada kelompok yang dioperasi yang
dilaporkan oleh Demars dkk, terhadap populasi umum (Kota Washington), dan
menemukan bahwa angka ini secara signifikan lebih tinggi (p = 0.016). Yang
patut diperhatikan adalah bahwa pusat kesehatan yang mana penelitian dilakukan
melayani sebagian besar personil militer dan keluarga mereka, suatu populasi
yang mana merokok pada laki-laki diperkirakan pada angka ~24% untuk usia
yang sama, sebagaimana dengan pada kelompok yang dioperasi.7,30 Meskipun
tidak semua pasien yang dioperasi adalah laki-laki yang merupakan personil
militer, bahkan perbandingan terhadap angka merokok yang lebih tinggi diantara
personil militer laki-laki memperlihatkan peningkatan angka kejadian perokok
meskipun tidak signifikan secara statistik pada kelompok yang dioperasi (p = 0.4).
Populasi kelompok pertama kami adalah kelompok yang homogen (orang
dewasa yang menjalani tonsilektomi untuk tonsilitis rekuren/ kronis), yang jelas
berbeda dari populasi umum, dalam hal angka kejadian merokok. Oleh karena itu,
ini merupakan kelompok acuan yang paling valid yang mana kita dapat
membandingkan angka kejadian perokok diantara PTB yang menjalani prosedur
yang sama untuk indikasi yang sama. Kekuatan tambahan kami adalah kelompok
pertama kami adalah usia pasien, yang dapat dibandingkan dengan baik dengan
populasi dewasa lain yang menjalani tonsilektomi untuk tonsilitis rekuren/ kronis
di penelitian lainnya.24, 27
8
Kelompok 2 menunjukkan hubungan yang jelas antara merokok dan PTB
pada orang dewasa: angka kejadian perokok diantara pasien yang mengalami
perdarahan berlipat ganda dibandingkan insidensi perokok pada populasi umum
yang relevan, dan yang lebih penting, 1.5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
populasi penelitian acuan. Hubungan ini bahkan lebih jelas diantara pasien yang
mengalami perdarahan dalam waktu yang lanjut dan teramati pada 5/10 pasien
dengan PTB ulangan. Yang penting adalah pengamatan bahwa waktu sebagian
besar PTB kedua setelah intervensi kontrol PTB pertama memiliki tanggal yang
sama dengan PTB pertama untuk keseluruhan kelompok.
Didalam artikelnya, “perdarahan setelah tonsilektomi” yang dipublikasikan
pada tahun 1938, Ashcroft menyebutkan faktor-faktor yang diduganya akan
mencetuskan PTB: alkoholisme kronis, menstruasi, pasien yang memiliki
“tempramental yang tidak stabil”, anak dengan rambut yang pirang dan perokok
berat. Ia merekomendasikan untuk tidak mengonsumsi alkohol dan merokok tiga
hari sebelum tonsilektomi untuk menghindari PTB, namun tanpa memberikan
data pendukung apapun.31
Semenjak saat itu, penelitian-penelitian telah melaporkan sejumlah faktor
risiko untuk terjadinya PTB sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Namun, hubungan antara merokok dan PTB belum diteliti secara menyeluruh.
Sebuah publikasi terbaru melaporkan 68 episode PTB pada 56 pasien dewasa,
yang mana sebanyak 28 (41%) adalah perokok Peningkatan angka kejadian PTB
yang signifikan diantara perokok yang dioperasi ditemukan ketika dibandingkan
dengan orang dewasa non perokok (10.2% dan 5.4% secara berturut-turut, p =
0.01). Patut diperhatikan bahwa penelitian ini mengikutsertakan pasien-pasien
yang telah menjalani baik itu tonsilektomi saja maupun UPPP, suatu prosedur
9
yang diperluas yang mungkin memiliki peluang yang lebih tinggi untuk
berdarah.31
10
dilaporkan sebelumnya, yaitu, sebagian besar PTB terjadi antara hari 4- 7
pascaoperasi, serta fakta bahwa rata-rata usia baik itu pasien yang mengalami
perdarahan maupun pasien yang mengalami perdarahan ulangan adalah 26
tahun.24,27,32
Penjelasan untuk lebih tingginya angka kejadian tonsilitis akut rekuren atau
kronis diantara perokok serta PTB dapat dikaitkan dengan faktor-faktor sistemik
dan lokal, karena merokok mengurangi oksigenasi jaringan dan metabolisme
aerob.33,34 Perubahan tersebut menginduksi perubahan mikroflora faring yang
memiliki efek yang tidak baik terhadap kolonisasi orofaring dengan patogen yang
berpotensi.3-5 Perokok dilaporkan memiliki defisiensi vitamin D yang signifikan,
suatu modulator sistem imun, yang mungkin memiliki dampak yang negatif. 35
Bersamaan dengan informasi bahwa orang dewasa dengan defisiensi vitamin D
menderita lebih banyak tonsilitis streptokokal akut rekuren, ini dapat memberikan
pemahaman lainnya terhadap observasi kami dalam kelompok 1.36,37
Terdapat sejumlah besar bukti yang signifikan yang menunjukkan efek
samping merokok terhadap penyembuhan luka dan perdarahan pascaoperatif.19-
22,34,38-40
Faktor-faktor lokal memiliki dampak yang tidak baik terhadap respon
penyembuhan dan perdarahan. Pemeriksaan histologi terhadap tonsil dari 22
pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tonsilitis rekuren membandingkan 10
non-perokok dengan 12 perokok. Tonsil yang diangkat dari perokok mengalami
gangguan berat pada arsitektur histologinya: matriks kolagen yang padat, fibrosis,
edema, perdarahan, dan epitel kripta dengan gangguan membrana basalis fokal,
degenerasi seluler dan erosi superfisial.2 Merokok menyebabkan penurunan
responsivitas kemotaktik sel inflamasi, fungsi migrasi, dan mekanisme
bakterisidal oksidatif. Respon proliferatif terganggu oleh penurunan migrasi dan
proliferasi fibroblaset selain gangguan sintesis dan deposisi kolagen.36
Penelitian ini memiliki beberapa keterbata san yang telah kami sadari. Ini
merupakan penelitian retrospektif dengan populasi yang tidak berskala besar.
Namun, ini memiliki sejumlah partisipan dalam jumlah yang cukup banyak dan
signifikansi telah ditunjukkan berkenaan dengan beberapa outcome. Data yang
tersedia tidak mencakup, dan oleh karena itu tidak dilaporkan, beberapa informasi
11
yang kemungkinan menarik dan relevan, secara lebih pasti, rincian merokok
pasien secara rinci yang datang dengan PTB (seberapa banyak rokok setelah
operasi). Namun, kami mengaitkan kecenderungan untuk mengalami PTB dengan
efek kronis merokok terhadap mukosa tonsil, sebagaimana yang telah dibahas
sebelumnya. Selain itu, metode operasi juga dapat mempengaruhi risiko untuk
PTB. Kami meminimalkan bias ini dengan mendaftarkan pasien PTB yang
dioperasi oleh beragam ahli bedah khusus di beberapa fasilitas kedokteran yang
menggunakan metode pembedahan yang berbeda. Kami tidak mampu
memperlihatkan bahwa perbedaan operatif menjadi predisposisi terhadap PTB
diantara pasien-pasien dalam kelompok 2 (data tidak ditunjukkan).
Saat ini, tampak bahwa PTB dapat lebih mudah terjadi dengan merokok dan
adalah hal yang beralasan untuk menganjurkan penghentian merokok sebelum
tonsilektomi. Namun, periode tidak merokok sama sekali menyebabkan suatu
penurunan PTB yang terbukti perlu diteliti.
Berdasarkan sejumlah besar data yang dilaporkan, tidak merokok sama
sekali sebelum operasi secara umum dapat mengurangi komplikasi pascaoperatif,
terutama memungkinkan penyembuhan luka yang lebih baik. Tindakan ini dapat
mengurangi komplikasi terkait anestesi umum yang lebih rentan untuk ditemukan
oleh perokok, seperti cedera barotrauma dan infeksi, mengalami hiperreaktivitas
jalan napas dan produksi sputum yang berlebihan.41-48
Kesimpulan
Meskipun telah terdapat heterogenisitas faktor-faktor yang berkaitan dengan
terjadinya tonsilitis rekuren/kronis dan PTB, selain dengan kelompok yang
terbatas, perokok dewasa tampak lebih banyak mengalami tonsilitis kronis/
rekuren yang mengindikasikan tonsilektomi dan PTB yang secara signifikan lebih
besar. Apakah penghentian merokok pra operatif atau lamanya penghentian
merokok akan mengurangi insidensi PTB masih perlu diteliti.
12
CRITICAL APPRAISAL
13
No. Pembahasan, kesimpulan, daftar pustaka +/-
1. Pembahasan dan kesimpulan terpisah +
2. Pembahasan dan kesimpulan dipaparkan dengan jelas +
3. Pembahasan mengacu pada penelitian sebelumnya +
4. Pembahasan sesuai dengan landasan teori +
5. Keterbatasan penelitian +
6. Simpulan utama -
7. Simpulan berdasarkan penelitian +
8. Saran penelitian -
9. Penulisan daftar pustaka sesuai aturan +
14