Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus 1

ASTHMA BRONCHIAL

Oleh:
Kelompok 5
Yaldi Rosadi C014182220
Moh. Fauzan C014182222
Debiyana C014182221
Ayu Sofeya C014182223

Residen Pembimbing
Dr. Yani Oktaviani

Supervisor Pembimbing
Dr. Arif Santoso, Ph.D., Sp.P(K)

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ilham
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 18-11-1995
Umur : 24 tahun
No. RM : 379753
Pekerjaan : Buruh
Ruang Perawatan : 218 RS Labuang Baji
Tanggal Masuk/Jam : 24-11-2019/ 1:13 WITA

II. SUBJEKTIF
Keluhan Utama : Sesak napas
Anamnesis Terpimpin :
` Seorang pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak 3
bulan yang lalu dan memberat sejak 4 hari yang lalu dengan durasi kurang
dari 20 menit dan frekuensi yang tidak menentu, sesak napas kambuh jika
pasien terpapar dengan cuaca dingin, makanan berminyak dan makanan pedas,
sesak dirasakan memberat ketika beraktivitas dan berkurang ketika istirahat,
sesak napas disertai batuk dan nyeri dada yang tidak menjalar dialami kurang
lebih 4 hari yang lalu, batuk berlendir berwarna putih dan tidak berdarah
dengan durasi tidak menentu

Riwayat demam tidak ada, mual muntah tidak ada, riwayat sesak napas
pasien ada sejak umur 11 tahun dan pernah diberikan terapi inhalasi
salbutamol, setelah terapi pasien mengatakan gejala sesak napasnya membaik,
pengobatan spesifik OAT 6 bulan disangkal, riwayat kontak TB disangkal,
penurunan nafsu makan tidak ada, penurunan berat badan ada 5 kg dalam 3
bulan terakhir (100 kg => 95), ada riwayat merokok sejak umur 11 tahun
sebanyak 5 batang perhari, ada riwayat keluhan yang sama dengan keluarga

2
terutama bapak pasien yang mempunyai riwayat sesak napas, riwayat DM
disangkal, riwayat hipertensi disangkal, BAB lancar kesan normal, BAK
kuning kesan normal.

III. OBJEKTIF
 KeadaanUmum: Sakit sedang/gizi lebih/ompos mentis GCS 15
(E4M6V3)
 Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu : 36,4 0C
Saturasi : 99% tanpa nasal kanul
 Pemeriksaan Head to toe
Kepala Mata
Deformitas : Tidak ada Eksoftalmus : Tidak ada
Simetris muka : Simetris Konjungtiva : Anemis (-)
Rambut : Sukar dicabut Kornea: Refleks kornea (+)
Ukuran : Normocephal Sklera:Ikterus(-)
Bentuk : Mesocephal Pupil: Isokor

Telinga Hidung
Pendengaran : Normal Epistaksis : Tidak ada
Otorrhea : Tidak ada Rhinorrhea : Tidak ada

Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
DVS : R+2 cmH2O
Kelenjar Gondok : Pembesaran (-)
Kaku kuduk : Tidak Ada

Toraks
Inspeksi : Gerakan hemitoraks simetris saat statis dan dinamis

3
Palpasi : Vokal Fremitus simetris kiri dan kanan kedua hemitoraks,
nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor kedua hemitoraks
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II sinistra, batas kanan ICS IV linea
parasternalis dekstra, batas kiri ICS V linea
midclavicularis sinistra
Aukultasi : BJ 1/2 murni reguler. Bising jantung (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, massa tumor (-), nyeri tekan(-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Alat Kelamin : tidak diperiksa


Anus dan rektum : tidak diperiksa

Ekstremitas
Kesulitan dalam pergerakan : tidak ada
Tonus otot : baik
Edema : tidak ada
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (24/12/2019)
Darah Rutin Hasil
WBC 10000 U/L
RBC 5,57 x 106 U/L
HGB 13,6 gr/dl

4
HCT 41,6%
MCV 70,9 fl
MCH 23,2 pg
MCHC 32,7 gr/dl
PLT 255 x 103 U/L
LYMPH 35%
NEUT 42,9%

Kimia Darah Hasil


SGOT 20 U/L
SGPT 31 U/L
Ureum 16 mg/dl

Kreatinin 0,81 mg/dl


GDS 122 mg/dl

Rapid Test Hasil


Reagen 1 SD Non Reaktif

Foto Toraks (24/12/2019)

Kesan: Tidak ada kelainan pada foto toraks ini

IV. ASSESSMENT
 Asma bronchial

5
V. TATA LAKSANA
 Ringer laktat 28 tpm
 Combivent 1 respul
 Fibrolive 2 x 1
 Sucralfat syr 3 x 1 cth

VI. FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning
25/12/20 Sesak KU:sakit sedang / Asma -Ringer
19 berkurang, composmentis Bronkial laktat 28
(Hari I) batuk sesekali TD: 120/70 mmHg tpm
disertai lendir N: 88x/menit -
warna putih P: 24x/menit Combiven
S: 37,0 C t 1 respul
SpO2: 98% tanpa modalitas -Fibrolive
Toraks 2x1
Inspeksi : Gerakan -Sucralfat
hemitoraks simetris saat syr 3 x 1
statis dan dinamis cth
Palpasi : Vokal
Fremitus simetris kiri dan
kanan kedua hemithorax,
nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor
kedua hemithorax
Auskultasi :
Bunyi Pernapasan : bunyi
napas vesikuler
Bunyi Tambahan : Ronkhi
(-/-), Wheezing (-/-)

6
BAB 2

DISKUSI KASUS

I. DEFINISI

Asma merupakan penyakit heterogen, umumnya ditandai dengan


inflamasi saluran napas kronik. Asma diketahui berdasarkan riwayat gejala
pernapasan seperti mengi, sesak napas, dada tertekan dan batuk yang
bervariasi sepanjang waktu dan dalam intensitas, bersamaan dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi.1

II. EPIDEMIOLOGI
Laporan riset kesehatan dasar oleh Kementrian Kesehatan RI tahun 2013
memperkirakan jumlah pasien asma di Indonesia mencapai 4.5 persen dari
total jumlah penduduk. Provinsi Sulawesi Tengah menduduki peringkat
penderita asma terbanyak sebanyak 7.8 persen dari total penduduk di daerah
tersebut.

Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan Mei tahun 2014, angka
kematian akibat penyakit asma di Indonesia mencapai 24.773 orang atau
sekitar 1,77 persen dari total jumlah kematian penduduk. Setelah dilakukan
penyesuaian umur dari berbagai penduduk, data ini sekaligus menempatkan
Indonesia di urutan ke-19 di dunia perihal kematian akibat asma.2

III. FAKTOR RESIKO

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu


(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk
predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu
genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk
dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap
rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan
besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan
dipikirkan melalui kemungkinan :
 pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu
dengan genetik asma,
 baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

7
IV. FENOTIP ASMA
 Asma Alergi : Fenotipe yang paling sering, timbul saat masa kecil dan
dihubungkan dengan riwayat sebelumnya atau riwayat keluarga
penyakit alergi seperti eczema, rinitis alergi, alergi makanan atau ubat.
Pemeriksaan sputum sebelum terapi akan menunjukkan inflamasi
eosinofilik. Berespon dengan kortikosteroid inhalasi
 Asma non-alergi: beberapa dewasa memiliki asthma yang tidak
berhubungan dengan alergi. Sputum pasien dapat bersifat neutrofilik,
eosinofilik atau mengandungi sel inflamasi (paucigranulocytic). Tidak
berespon dengan kortikosteroid inhalasi
 Asma onset lambat : beberapa dewasa terutama wanita mengalami
serangan pertama saat dewasa. Sering akibat alergi dan memerlukan
dosis kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan refrakter pada terapi
kortikosteroid.
 Asthma with fixed airflow limitation dihubungkan dengan remodeling
saluran nafas
 Asma dengan obesitas beberapa pasien obes mengalami keluhan
respirasi prominen dan sedikit inflamasi eosinofilik.

V. PATOFISIOLOGI

VI. DIAGNOSIS
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Dari Anamnesis didapatkan Riwayat penyakit / gejala :
- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


- Riwayat keluarga (atopi)

8
- Riwayat alergi / atopi
- Penyakit lain yang memberatkan
- Perkembangan penyakit dan pengobatan
Dari Pemeriksaan Fisik, yang khas pada pasien asma iaitu didapatkan
Wheezing atau mengi pada pemeriksaan auskultasi paru.2

 Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering
ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita,
auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif
(faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan,
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas
pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda
klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan,
mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian
mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat,
tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.1

 Faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam
menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif
yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan
penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal
paru digunakan untuk menilai:
- obstruksi jalan napas
- reversibiliti kelainan faal paru
- variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).

- Spirometri

9
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung
kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator
yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan
acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/
KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.2

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :


o Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
o Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
o Menilai derajat berat asma

- Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau


pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory
flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa,
terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat
PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari
untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang
jelas.

Manfaat APE dalam diagnosis asma


o Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14
hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
o Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran


faal paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan

10
derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE
sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai
prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang
bersangkutan.

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian

Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam


hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat
diperoleh melalui 2 cara :
o Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/
perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai
APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan
nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah
bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian.
Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

o Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai


terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2
minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai
tertinggi APE malam hari).

Contoh :

Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan
didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400;
maka persentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/
400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan
untuk menilai variabiliti.

 Pemeriksaan lain untuk diagnosis

- Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus
mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya
hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi
hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil

11
positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai
gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK,
bronkiektasis dan fibrosis kistik.
- Pengukuran status alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan
cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan
positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu
dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit
tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/
kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan
kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.

VII. KLASIFIKASI

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan


pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan
jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis
sebelum pengobatan dimulai.

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis


(Sebelum Pengobatan)

12
Penilaian derajat serangan asma menurut GINA 2006 adalah sebagai berikut:

13
Terkontrol Terkontrol sebagian
Tidak
Karakteristik (semua di (muncul salah satu
terkontrol
bawah ini) pada minggu tertentu)

Tidak ada
3 atau lebih
Gejala siang hari (≤ 2 kali / > 2 kali / minggu
fitur “asma
minggu) terkontrol
sebagian”
Keterbatasan muncul pada
Tidak ada Ada minggu
aktivitas
tertentu

(kejadian
Gejala / terbangun
Tidak ada Ada eksaserbasi
Malam hari
pada minggu
manapun akan
Tidak ada dinilai sebagai
Kebutuhan obat minggu asma
(≤ 2 kali / > 2 kali / minggu
pelega tidak terkontrol)
minggu)

14
< 80% prediksi atau
Fungsi paru
Normal nilai terbaik pasien
(APE or VEP1)ǂ
tersebut

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding asma antara lain sbb :

 Dewasa
- Penyakit Paru Obstruksi Kronik
- Bronkitis kronik
- Gagal Jantung Kongestif
- Batuk kronik akibat lain-lain
- Disfungsi larings
- Obstruksi mekanis (misal tumor)
- Emboli Paru
 Anak
- Benda asing di saluran napas
- Laringotrakeomalasia
- Pembesaran kelenjar limfe
- Tumor
- Stenosis trakea
- Bronkiolitis

IX. PENATALAKSANAAN
Penanganan pertama CAP bergantung pada tingkat keparahan penyakit
pasien; kondisi medis yang mendasari, dan faktor resiko, seperti merokok; dan
kemampuan untuk mematuhi rencana pengobatan. Perlunya rawat inap adalah
keputusan pertama yang harus dibuat setelah CAP didiagnosis atau dicurigai.

Karena organisme kausatif pasti dari CAP tidak diidentifikasi pada


sebagian besar pasien, penatalaksanaan antibiotik untuk CAP bersifat empiris.
Terapi antibiotik terbagi dalam empat kategori resiko yang ditegakkan
berdasarkan skor CURB-65 dan PSI.2

15
Sistem Skor Valid Untuk Mengukur Tingkat Keparahan Penyakit Pada
Pasien Dengan CAP: Skor CURB Dan PSI (Skor Fine)
Kriteria CURB-65
- Disorientasi orang, tempat dan waktu
- Urea > 7 mmol/l
- Pernapasan ≥ 30/menit
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau diastolik ≤ 60 mmHg
- Usia ≥ 65 tahun
Kriteria Skor CURB-65 Mortalitas 30 hari
Tidak ada kriteria 0 0.7%
Satu kriteria 1 3.2%
Dua kriteria 2 3%
Tiga kriteria 3 17%
PNEUMONIA SEVERITY INDEX SCORE (PSI SCORE/FINE CURB-65

Empat kriteria 4 41.5%


Lima kriteria 5 57%
Langkah 1: Pasien dengan CAP
Jika ada salah satu dari gejala berikut, lanjutkan ke Langkah 2. Jika semua
tidak ada, masukkan ke kelas resiko I.
- Usia di atas 50 tahun
- Perubahan status mental
- Denyut nadi ≥ 125/menit
- Pernapasan > 30/menit
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Suhu < 35oC atau ≥ 40oC
- Riwayat penyakit keganasa, gagal jantung kongestif, penyakit
serebrovaskular, penyakit ginjal, penyakit hati
Langkah 2: Sistem skoring dengan poin
- Usia dalam tahun (laki-laki), dan usia dalam tahun -10 (perempuan)
- Kondisi penyerta: Penyakit neoplastik +30; penyakit hati +20; gagal
jantung kongestif +10; penyakit serebrovaskular +10; penyakit
SCORE)

ginjal +10
- Pemeriksaan fisik: Perubahan status mental +20; Pernapasan >

16
30/menit +20; Tekanan darah sistolik < 90 mmHg +20; Suhu <
35oC atau ≥ 40oC +15; Denyut nadi ≥ 125/menit +10
- Gambaran laboratorium dan radiologis: pH arteri < 7.35 +30; urea
≥11.0 mmol/l +20; natrium < 130 mmol/l +30; glukosa ≥14.0
mmol/l +10; hematokrit < 30% +10; tekanan oksigen parsial < 60
mmHg +10; efusi pleura +10
Langkah 3: Kalkulasi Mortalitas 30 hari
Kelas Resiko Total Skor Mortalitas
I - 0.1%
II ≤ 70 0.6%
III 71-90 0.9%
IV 91-130 9.3%
V >130 27.0%

 Kategori Resiko I (CAP Ringan): CURB-65: 0-1, PSI: I-II, rawat jalan
Untuk kelompok ini, terapi awal diberikan dengan antibiotik beta-
laktam spektrum sempit (pilihan pertama) atau doksisiklin (pilihan kedua).
Doksisiklin bukan pilihan pertama untuk kelompok ini karena ada
kemungkinan resistensi sebesar 9% dari S.pneumoniae terhadap
doksisiklin. Penisilin oral tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama
karena resorpsi gastrointestinalnya yang suboptimal. Karena ada
peningkatan kejadian resistensi pneumokokus terhadap makrolide (10-
14%), monoterapi dengan makrolide tidak disarankan kecuali pasien alergi
terhadap penisilin dan tidak mungkin diberikan doksisiklin (karena hamil
atau menyusui). Jika kondisinya seperti itu, berkan clarithromycin atau
azithromycin.

Jika CAP dicurigai karena infeksi Legionella, maka tes antigen urin
Legionella harus dilakukan dan terapi empiris untuk patogen ini harus
diberikan. Untuk pasien dengan kategori resiko I yang menerima
amoxicillin atau penicillin sebagai terapi awalnya tapi tidak mengalami
perbaikan setelah 48 jam, terapi harus diganti ke monoterapi makrolide

17
atau doksisiklin. Jika terapi dimulai dengan doksisiklin, menggantinya
dengan makrolide adalah tidak rasional. Dalam kasus seperti itu, rujuk
pasien ke rumah sakit.2

 Kategori Resiko II (CAP Sedang-Berat): CURB-65:2, PSI: III-IV, Rawat


Inap Non-ICU
Untuk kategori ini, terapi awal harus berupa monoterapi beta-laktam,
dan pilihan pertamanya adalah penicillin atau amoxicillin intravena.
Doksisiklin dan makrolide tidak dapat direkomendasikan karena
kemungkinan resistensi pneumokokkus. Antibiotik spektrum luas seperti
amoxicillin-clavulanate, ceuuroxime, ceftriaxone, atau cefotaxime tidak
direkomendasikan karena patogen yang ada tidak cocok dengan antibiotik
spektrum luas. Jika pasien alergi penicillin, alternatif terbaik adalah
sefalosporin generasi kedua atau ketiga atau kuinolon generasi keempat.

Jika pasien kategori II memiliki satu atau lebih faktor resiko berikut ini
untuk infeksi Legionella spp., antigen tes antigen Legionella harus
dilakukan dalam 24 jam: 1) kunjungan ke negara asing, 2) datang dari
lokasi epidemik infeksi Legionella spp., 3) gagal perbaikan kondisi setelah
penanganan ≥ 48 jam dengan antibiotik beta-laktam pada dosis adekuat
tanpa bukti absorpsi abnormal atau non0komplians. Jika tes antigen
Legionella positif, terapi harus diganti ke monoterapi levofloxacin.2

 Kategori Resiko III (CAP Berat): CURB-65: 3-5, PSI: 5, Rawat Inap Non-
ICU
Terapi harus dimulai dengan sefalosporin generasi kedua dan ketiga
karena tingginya kejadian infeksi oleh bakteri Gram-negatif dan S.aureus
pada kelompok ini. Untuk semua pasien di kategori III, tes antigen urin
Legionella dan pneumokokkal sebaiknya dilakukan sebagai prosedur rutin
dalam 12-24 jam masuk rumah sakit. Jika tes Legionella positif
direkomendasikan untuk melakukan monoterapi Legionella. Jika antigen
pneumokokkal positif, terapi dapat dipersempit ke penisilin atau
amoxicillin. Jika keduanya negatif, terapi tetap dilanjutkan dengan
sefalosporin geenrasi kedua atau ketiga.2

18
 Kategori Resiko IV (CAP Berat): Rawat Inap ICU
Untuk kategori ini, rekomendasi yang ada selalu menekankan untuk
menanggulangi infeksi S.pneumoniae, Legionella spp., S.aureus, dan
bakteri Gram-negatif sekaligus. Karena itu, biasanya ada dua pilihan yang
dapat diterima, keduanya dengan aktivitas antimikroba yang terbaik untuk
semua agen kausatif di atas. Pilihannya tergantung, di satu sisi, tergantung
pada resiko resistensi antimikroba pada tingkat populasi; di sisi lain,
tergantung pada biaya, mudahnya administrasi, dan efek samping:

- Monoterapi moxifloxacin, atau


- Terapi kombinasi sefalosporin generasi kedua atau ketiga dan
ciprofloxacin

Moxifloxacin lebih disukai daripada levofloxacin karena aktivitasnya


yang tinggi melawan pneumokokkus, karakteristik farmakodinamiknya
yang lebih disukai, dan penetrasi jaringan yang lebih baik. Pemanjangan
interval QT pada EKG harus diperhitungkan. Karena angka efek
sampingnya berkaitan dengan administrasinya melalui intravena,
makrolide tidak lagi direkomendasikan untuk kategori IV.

Untuk semua pasien kategori IV, tes antigen urin Legionella dan
S.pneumoniae harus dilakukan sebagai prosedur rutin dalam 12-24 jam
setelah pasien masuk rumah sakit. Jika tes Legionella positif, maka
berikan monoterapi untuk Legionella. Jika negatif, pasien dirawat dengan
terapi kombinasi untuk Legionella dan S,pneumoniae karena sensitivitas
tes antigen urin tidak mencapai 100%. Karena spesifisitas tes ini kurang
dari 100%, terapi antibiotik dapat disertai penicillin atau amoxicillin hanya
pada pasien dengan hasil tes positif dan tanpa patogen lain jika pasien
sudah stabil secara klinis (biasanya dalam 48 jam) atau pneumokokkus
sudah dikultur.2

Semua pasien harus diberikan antibiotik segera setelah diagnosis CAP


ditegakkan. Untuk pasien dengan CAP berat, dosis pertama harus
diberikan dalam 4 jam, meskipun masih dalam instalasi gawat darurat.

19
Jika pasien dewasa dengan CAP ringan dan sedang-berat diterapi
dengan antibiotik beta-laktam atau fluorokuinolon, lama terapi dapat
diperpendek menjadi 5 hari jika sudah membaik dalam 3 hari terapi.
Pneumonia akibat S.aureus harus diterapi untuk setidaknya 14 hari. Jika
penyebab CAP adalah M.pneumoniae atau Chlamydophila spp., umumnya
terapi juga dilakukan sampai 14 hari. Untuk Legionella, durasi terapi 7-10
hari sudah cukup jika pasien memiliki respons klinis yang baik.

Terapi harus diganti dari IV ke oral jika kondisi klinis sudah membaik,
asupan oral dan absorpsi gastrointestinal sudah adekuat, dan stabil secara
hemodinamik. Untuk pasien yang memenuhi kriteria ini, obserasi rawat
inap setelah terapi diganti ke oral sudah tidak perlu lagi dilakukan.2

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management


and Prevention. Updated 2018
2. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma dari PDPI dan Implementasi GINA
di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia , 2004

21

Anda mungkin juga menyukai