Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH SPESIALIT OBAT

ARITMIA

DISUSUN OLEH :

1. ILHAM SYAFAATUR R. 10116061


2. AYUNINATUS IKHZA M. 10116016
3. DYAH AYU TIARANISA 10116043
4. MEGAWATI KHAROHMATUN 10116078
5. RISMA NOVI 10116105
6. UMIROTUL AULA 10116127

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT ILMU KESEHATAN
BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
KATA PENGANTAR

Puji Tuhan, terima kasih kami ucapkan atas bantuan Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah mempermudah dalam pembuatan makalah ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat
waktu. Tanpa bantuan dari Tuhan, kami bukanlah siapa-siapa. Selain itu, Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, semua pihak terlibat yang sudah
mendukung hingga selesainya makalah ini.
Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “ARITMIA ”. Makalah ini
dibuat sebagai tugas dari mata kuliah Spesialite Obat. Kami menyadari jika mungkin ada
sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak
sama dengan pengetahuan pembaca lain. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada
kalimat atau kata-kata yang salah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Tuhan.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini banyak kesalahan dan kekurangan, oleh
karena itu kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Demikian Kami ucapkan terima kasih.

Kediri, 25 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Cover makalah ……………………………………………………………………

Kata Pengantar ……………………………………………………………………

Daftar Isi ………………………………………………………………………….

Bab I Pendahuluan

a. Latar Belakang…………………………………………………………

b. Rumusan Masalah……………………………………………………..

c. Tujuan …………………………………………………………………

Bab II Tinjauan Pustaka

a. Pengertian …………………………………………………..
b. Manifestasi Klinik ……………………………………………………
c. Klasifikasi Gagal Jantung………………………………………………
d. Patofisiologi……………………………………………………………..
e. Diagnosis Gagal Jantung………………………………………………..
f. Tata Laksana Non
Farmakologi……………………………………………………………..
g. Tata Laksana Farmakologi………………………………………………

Bab III Hasil ……………………………………………………………………….

Bab IV Penutup…………………………………………………………………….

a. Kesimpulan ……………………………………………………………..

b. Saran ……………………………………………………………………

Daftar Pustaka………………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gagal jantung merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas.
Akhir-akhir ini insiden gagal jantung mengalami peningkatan. Kajian epidemiologi
menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang mendahului dan menyertai gagal
jantung. Kondisi tersebut dinamakan faktor resiko. Faktor resiko yang ada dapat
dimodifikasi artinya dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup atau kebiasaan
pribadi dan faktor resiko yang non modifiable yang merupakan konsekuensi genetik
yang tak dapat dikontrol, contohnya ras, dan jenis kelamin. Gagal jantung adalah
keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi
kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini
adalah pertama definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh,
kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan.
(Abdullah,2005).
Saat ini, congestive heart failure (CHF) atau yang biasa disebut gagal jantung
kongestif merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskular yang insiden dan angka
kejadiannya (prevalensinya) terus meningkat. Resiko kematian akibat gagal jantung
berkisar antara 5-10% per tahun pada kasus gagal jantung ringan, yang akan
meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Selain itu, gagal jantung
merupakan penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang dirumah sakit ,
meskipun pengobatan rawat telah diberikan secara optimal.
CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh
(Ebbersole,Hess,1998). Resiko CHF akan meningkat pada orang lanjut usia (lansia)
karena penurunan fungsi ventrikel akibat proses penuaan. CHF ini dapat menjadi
kronis apabila disertai dengan penyakit-penyakit seperti hipertensi,penyakit katup
jantung, kardiomiopati (kelainan fungsi otot jantung), dan lain-lain. CHF juga dapat
berubah menjadi akut dan berkembang secara tiba-tiba pada kasus miokard infark (
penyakit serangan jantung akibat aliran darah ke otot jantung).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit Gagal Jantung?
2. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Gagal Jantung?
3. Bagaimana alogaritma dari penyakit Gagal Jantung?
4. Bagaimana terapi obat untuk penyakit Gagal Jantung?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari penyakit Gagal Jantung.
2. Mengetahui patofisiologi dari penyakit Gagal Jantung.
3. Mengetahui alogaritma dari penyakitGagal Jantung.
4. Mengetahui terapi obat untuk penyakit Gagal Jantung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peningkatan
pengisian ventrikel kiri (Noer,1996). Gagal jantung sering disebut gagal jantung
kongestif, adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat
untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer,2001). Gagal
jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk memompa darah yang diperlukan
untuk metabolisme tubuh (Barbara, 1999).

B. MANIFESTASI KLINIK (ISO Farter Jilid 1)


 Gejala yang dirasakan pasien bervariasi dari asimtomatis (tak bergejala)
hingga syok kardiogenik.
 Gejala utama yang timbul adlah sesaknafas (terutama ketika bekerja) dan
kelelahan yang dapat menyebabkan intoleransi terhadap aktivitas fisik. Gejala
pulmonari lain termasuk diantaranya oropnes, parozysmal nocturnal dispnea,
takhipnea dan batuk.
 Tingginya produksi cairan meyebabkan kongesti pulmonari dan udem perifer.
 Gejala nonspesifik yang dpaat timbul diantaranya termasuk nocturia,
hemotisis, sakit pada bagian abdominal, anoreksia, mual,kembung, dan
perubahan status mental.
 Penemuan pemeriksaan fisik yang dapat tampak diantaranya timbul suara
berderak pada paru-paru, respirasi Cheyne-Stokes, kardiomegali,
takikardia,udem perifer, jugular venous distention, hepatojogular refulks, dan
hepatomegali.
C. Klasifikasi Gagal Jantung
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau berdasarkan
gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA.
D. PATOFISIOLOGI (ISO Farter jilid 1, Hal 88)
 Penyebab disfungsi sistolik (penurunan kontraktilitas) adalah penurunan
massa otot (misalnya,Infark miokardial), kardiomiopati yang terdilasi (dilated
cardiomyopathy), serta hipertrofi ventrikel. Hipertrofi ventrikel dpat
deisebabkan oelh tingginya tekanan darah (misalnya karena hipertensi
sistemik atau pulmonary,maupun stenosis pada katup aortik atau pulmonik
atau tingginya volume darah (misalnya regurgitasi katup (valvular), high
output states).
 Penyebab disfungsi diastolik (restriksi pada pengisian ventrikel) adalah
peningkatan kekakuan vntrikel, hipertropi ventrikel, penyakit-penyakit
miokardial yang beersifat infiltratif, iskemia maupun infark miokardial,
stenosis pada katup mitral maupun trikuspidalis dan penyakit-penyakit
perikardial (misalnya perikarditis, hemoperikardium).
 Penyebab gagal jantung paling umum adalah penyakit jantung
iskemik,hipertensi, atau keduanya.
 Sejalan dengan penurunan fungsi kardiak, kerja jantung bergantung kepada
mekanisme kompensatori sebagai berikut :
 Takikardia dan peningkatan kontraktilitas melalui aktivasi sistem saraf
simpatik.
 Mekanisme Frank-Starling, dimana peningatan pra beban dapat
meningkatkan volume sekuncup
 Vasokonstriksi
 Hipertropi ventrikel dan remodeling.

Walaupun mekanisme kompensatori tersebut pada awalnya dapat menjaga


fungsi kardiak, namun mekanisme tersebut juga berperan dalam pemunculan
gejala gagaljantung dan dapat memperparah penyakit.

 Model neurohormonal GJ dapat menjelaskan bahwa sebuah kejadian inisiasi


(misalnya infark miokard akut) dapat berlanjut ke penurunan output kardiak
yang selanjutnya dapat menyebabkan GJ menjadi penyakit sistemik, dimana
tingkat keparahanya didominasi oleh pengaruh mediasi senyawa-senyawa
neurohormon serta faktor-faktor autokrin/parakrin. Senyawa-senyawa tersebut
diantaranya angiotensin II, norepinefrin, aldosteron, peptida natriuretik,
vasopreain arginin, dan sitokin-sitokin poinflamatori (TNF α, interleukin-6,
dan interleukin-1β), endothelin-1.
 Faktor-faktor lain yang berperan dalam memperparah Gagaj Jantung poada
pasien misalnya ketidakpatuhan pada medikasi, iskemik koroner, penggunaan
medikasi yang kurang tepat, kejadian kardiak (misalnya Infark miokard,
fibrilasi atrial) dan infeksi pulmonari.
 Obat dapat memperparah gagaljantung karena sifat inotropik
negatif,kardiotoksik, maupun sifat retensi natrium yang dimilikinya.
Tabel. Patofiologi congestive heart failure (CHF)
E. Diagnosis Gagal Jantung
Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan dengan dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang. Gejala yang didapatkan pada pasien dengan gagal jantung antara lain
sesak nafas, Edema paru, peningkatan JVP , hepatomegali , edema tungkai.
Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio
kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali
dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi
perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian
besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV,
gangguan konduksi, aritmia.
Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan
abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat
disinggirkan (Smeltzer,2001).
F. TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI (Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung
th 2015, Hal 13).
1 MANAJEMEN PERAWATAN MANDIRI Manajemen perawatan mandiri
mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat
memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional,
kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas
fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung.
2 Ketaatan pasien berobat Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas,
mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien
yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
3 Pemantauan berat badan mandiri Pasien harus memantau berat badan rutin setap
hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus
menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan
bukti C).
4 Asupan cairan Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan
klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)
5 Pengurangan berat badan Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30
kg/m2) dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal
jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi
IIa, tingkatan bukti C).
6 Kehilangan berat badan tanpa rencana Malnutrisi klinis atau subklinis umum
dijumpai pada gagal jantung berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan
prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat
badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan,
pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan
hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
7 Latihan fisik Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A)
8 Aktvitas seksual Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi
tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan
tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III,
tingkatan bukti B)
G. TATA LAKSANA FARMAKOLOGI
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu meminimalisir hingga
menghilangkan timbulnya gejala , meningkatkan kualitas hidup, mengurangi angka
rawat inap,memperlambat peningkatan keparahan penyakit dan memperpanjang
ketahanan (ISO Farter jilid 1, Hal 90).
Gambar Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung kronik simptomatik
(NYHA fc II-IV). Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 2012
1 ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan
kadar kalium normal.

Indikasi pemberian ACEI :

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala

Kontraindikasi pemberian ACEI :


 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI pada gagal jantung (Tabel 9)

Inisiasi pemberian ACEI

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit


 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah
terapi ACEI

Naikan dosis secara titrasi

Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.

 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau


hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di
rumah sakit.
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11).
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap
6 bulan sekali

2. PENYEKAT β

Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien


gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian penyekat β :

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %


 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi pemberian penyekat β :

 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung (Tabel 9)

 Inisiasi pemberian penyekat β


 Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada
pasien dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat Tabel 11.

Naikan dosis secara titrasi

 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.


Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi
simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)
 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)

Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:

 Hipotensi simtomatik
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardia
3. ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis
kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35
% dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA)
tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak
ACEI dan ARB)

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron :

 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L


 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen
kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB

Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal


jantung (Tabel 9)

Inisiasi pemberian spironolakton

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.


 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8
minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi
ginjal atau hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4
minggu setelah menaikan dosis
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)

Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian


spironolakton:

 Hiperkalemia
 Perburukan fungsi ginjal
 Nyeri dan/atau pembesaran payudara
4. ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik
walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali
juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai
alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi
angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan
sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran
ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI,
tetapi ARB tidak menyebabkan batuk

Kontraindikasi pemberian ARB :

 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema


 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB
digunakan bersama ACEI

Cara pemberian ARB pada gagal jantung (Tabel 10)

Inisiasi pemberian ARB

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.


 Dosis awal lihat Tabel 11 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4
minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi
ginjal atau hiperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan
selanjutnya tiap 6 bulan sekali
 Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian
ARB: Sama seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan
batuk
5. HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).

Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN :


 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat
ditoleransi
 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan
ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN :

 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat

Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung (Tabel 10)


Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN

 Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari


 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4
minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target
(hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
 Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian
kombinasi H-ISDN: Hipotensi simtomatik, Nyeri sendi atau
nyeri otot.
6. DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat
lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung
simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus,
digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek
terhadap angkakelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti
B).

Cara pemberian digoksin pada gagal jantung

Inisiasi pemberian digoksin

 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hari
 Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi
digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:

 Blok sinoatrial dan blok AV


 Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna

7. DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan
dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering
dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur
sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan
serum elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop
dibandingkan tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis
lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat
diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten

Dosis diuretik (Tabel 13)


 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan
tanda kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering
(tanpa retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan
dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering
dengan dosis diuretik minimal
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur
dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan
 Pengelolaan pasien resisten diuretik terdapat pada Tabel 14.
8. Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan (dengan manfaat
yang tidak terbukti)
 Statin Walaupun telah banyak penelitian-penelitian besar mengenai
statin dengan data yang membuktikan manfaat statin, namun
sebagain banyak penelitian tersebut tidak memasukan pasien gagal
jantung dedalam subyeknya. Ada beberapa penelitian mengenai
statin pada gagal jantung kronis, namun hasilnya tidak menyatakan
manfaat yang jelas statin, walaupun tidak juga menyatakan bahaya
dari pemberian obat ini
 Renin inhibitors
 Antikoagulan oral Sampai saat ini belum terdapat data yang
menyatakan bahwa antikoagulan oral terbukti lebih baik dalam
penurunan mortalitas dan morbiditas pada gagal jantung bila
dibandingkan dengan plasebo atau aspirin.
BAB III

HASIL DISKUSI

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung berakibat
jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peningkatan pengisian ventrikel kiri (Noer,1996).

Congestive Heart Failure (CHF) atau yang biasa disebut gagal jantung kongestif merupakan
satu-satunya penyakit kardiovaskular yang insiden dan angka kejadiannya (prevalensinya)
terus meningkat. Resiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-10% per tahun pada
kasus gagal jantung ringan, yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat.
Tatalaksana pengobatan jantung ada 2 yaitu :

a. TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI
 Manajemen perawatan diri
 Ketaatan pasien berobat
 Pemantauan berat badan mandiri
 Asupan cairan
 Pengurangan berat badan
 Kehilangan berat badan tanpa rencana
 Latihan fisik
 Aktivitas seksual Penghambat 5-phosphodiesterase
b. TATA LAKSANA FARMAKOLOGI
 ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI) \
 PENYEKAT β
 ANTAGONIS ALDOSTERON
 ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
 HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
 DIGOKSIN
 DIURETIK
 Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan (dengan manfaat yang tidak
terbukti).

Pengobatan jantung mempunyai efek samping sebagai berikut :


1. ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema.
2. Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β: Hipotensi
simtomatik, Perburukan gagal jantung, Bradikardia.
3. Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
Hiperkalemia, Perburukan fungsi ginjal, Nyeri dan/atau pembesaran payudara.
4. Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian ARB: Sama seperti ACEI,
kecuali ARB tidak menyebabkan batuk
5. Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN:
Hipotensi simtomatik, Nyeri sendi atau nyeri otot.
6. Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian digoksin: Blok sinoatrial
dan blok AV, Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tatalaksana pengobatan gagal jantung dibagi menjadi :

 ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI) \


 PENYEKAT β
 ANTAGONIS ALDOSTERON
 ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
 HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
 DIGOKSIN
 DIURETIK
 Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan (dengan manfaat yang tidak
terbukti).

B. Saran

Penggunaan obat jantung harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita


oleh pasien agar pengobatan yang diberikan optimal
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2005. Sistem Kardiovaskular. Jakarta :EGC.

Barbara. 1999. Dasar Farmakologi Terapi,ed 10. Penerbit Buku Kedokteran


EGC.Jakarta.875.

Dipiro,J,Talbert, R,Yee, G, Matzke, G,Wells, B,Posey,L.2008. Pharmacotherapy A


Pathophysiologic Approach, Seventh Edithion. McGraw-Hill Medical Publishing. New York.
174-213

Harrison. 2013. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam ed 13. Jakarta

Noer. 1996. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta

Buku ISO FARMAKOTERAPI JILID 1

BUKU PANDUAN GAGAL JANTUNG 2015

Anda mungkin juga menyukai