Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Patriarki
Patriarki memiliki definisi yang beragam, namun pada intinya mengacu
pada konsep yang sama yaitu, mengenai dominasi laki-laki. Bashin (1996:1)
mengatakan bahwa patriarki adalah ideologi yang mengacu pada perbedaan
gender yang menganggap bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Patriarki terbentuk secara historis dari dinamika relasi dan organisasi sosial
tempat laki-laki mendominasi perempuan. Sebagai ideologi, patriarki dapat
didefinisikan secara ringkas sebagai kekuasaan laki-laki, hubungan sosial dengan
mana laki-laki menguasai.
Secara luas patriarki dapat didefinisikan sebagai a system of interrelated
structures through which men exploit women ( suatu sistem struktur sosial yang
saling berhubungan dan di sana laki-laki mengeksploitasi wanita) (Sylvia Walby,
1990: 20).
Sementara itu, Heidi Hartman (dalam Tuti Widiastuti, 2005:59) mengatakan
bahwa: patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana
laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Patriarki
adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang
mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol
perempuan.
Sylvia Walby (dalam Tuti Widiastuti, 2005:59-60) membuat teori yang
menarik tentang patriarki. Dibedakan menjadi 2, yaitu: patriarki privat dan
patriarki publik. Inti dari teorinya adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki,
dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah luas
yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus menerus berhasil
mencengkeram dan mendomonasi kehidupan laki-laki dan perempuan.
Dalam masyarakat telah dikenal bahwa perempuan merupakan sosok yang
lemah lembut, emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin.
Sementara, laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa sehingga disebut
bersifat maskulin (Suwardi, 2011:231).
Sifat feminin dan maskulin sebagaimana diungkapkan di atas
mengkonstruksikan pemilihan kerja domestik dan publik. Selanjutnya, pemilihan
sifat dan peran tersebut mengakibatkan terjadinya dominasi dan subordinasi.
Karena sifatnya yang feminin, perempuan membutuhkan perlindungan dari laki-
laki maskulin. Dari sini muncullah dominasi laki-laki terhadap perempuan, baik
dalam kehidupan di rumah maupun di dunia publik. Dalam kehidupan rumah
tangga, laki-laki/suami dengan sifatnya yang maskulin, ditempatkan oleh budaya
pada posisi sebagai kepala ruamh tangga, sedangkan istri/perempuan sebagai
orang kedua. Istri digambarkan sebagai pendamping suami, bahkan pendamping
yang pasif (Tuti Widiastuti, 2005:60).
Patriarki memunculkan bentuk ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan. Menurut Suwardi (2011:235-236), ada beberapa bentuk
ketidaksetaraan gender yang dikembangkan dan dilanggengkan dalam tatanan
masyarakat patriarki, antara lain sebagai berikut.
a. Marjinalisasi perempuan. Laki-laki dianggap superior dan perempuan
berada di wilayah inferior (pinggiran, lebih tidak penting daripada laki-
laki). Perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan di berbagai segi
kehidupan perempuan, di tempat kerja (pembedaan upah antara laki-
laki dan perempuan), dalam rumah tangga (diskriminasi antar anggota
keluarga antara laki-laki dan perempuan), bahkan dalam perlakuan
negara (perbedaan perlakuan hukum).
b. Subordinasi. Subordinasi terhadap perempuan terjadi akibat pandangan
bias gender yang terjadi dalam segala bentuk yang berbeda, dari satu
tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu. Anggapan bahwa
perempuan itu tidak rasional, mengedepankan sifat–sifat emosional dan
lebih banyak berbicara atas dasar perasaan daripada rasionalitasnya
berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi
tidak penting, baik dalm perlakuan deskriminasi maupun kebijakan.
c. Stereotip. Adanya labelisasi (penandaan, cap, vonis) negatif terhadap
perempuan, terutama dalam konteks hubungan sosialnya dengan laki-
laki sehingga selalu menimbulkan kerugian pada perempuan.
Perempuan sudah dicap sebagai makhluk yang lemah sehingga cap ini
membuat kaum perempuan merasa tidak ada gunanya berperan lebih
luas maupun meningkatkan kualitas hidup lebih tinggi. Misalnya,
anggapan “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi toh nanti juga pada akhirnya
jadi pendamping suami dan ibu rumah tangga.”
d. Kekerasan. Penyerangan (invasi) terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis perempuan yang disebabkan oleh anggapan gender atau
acapkali disebut dengan gender-related violence. Kekerasa terjadi, baik
dalam rumah tangga (KDRT) maupun di ranah publik, seperti
pemerkosaan di jalan, pelecehan di tempat kerja, dan lain-lain.
e. Beban kerja. Kaum perempuan menanggung beban ganda (double
burden) dalam dan luar. Pembebanan pekerjaan kepada perempuan di
area sekitar rumah yang cenderung diangap rendahan dan tidak
produktif dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang biasa dikerjakan
laki-laki. Pembebanan pekerjaan domestik, rendahan, dan tidak
produktif seperti ini mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Aristoteles memberikan gambaran bahwa kehidupan perempuan bersifat
fungsional. Ia adalah istri laki-laki yang hanya digunakan untuk mempunyai anak,
dan sebagaimana budak, ia mengambil bagian untuk menyediakan kebutuhan
hidup (Arivia, 2002:8).
“Perempuan adalah perempuan dengan sifat khususnya yang kurang
berkualitas,” ujar Aristoteles. Francis Bacon memberikan penilaian yang lebih
negatif. Dikatakannya bahwa perempuan merupakan penjara bagi kaum laki-laki,
karena ia memberikan pengaruh buruk pada kehidupan laki-laki (Arivia, 2002:40).
2.2 Subordinasi Perempuan
Subordinasi perempuan adalah menganggap perempuan memiliki peran
sekunder sehingga berposisi sebagai pelengkap suami dalam berumah tangga
(Abdullah, 2002:85).
Menurut Daftar Istilah Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan
(dalam Savitri, 2006:11),
Istilah subordinasi mengacu kepada peran dan posisi perempuan
yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Subordinasi
perempuan berawal dari pembagian kerja berdasarkan gender
dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu.
Kemampuan perempuan ini digunakan sebagai alasan untuk
membatasi perannya hanya pada peran domestik dan
pemeliharaan anak, jenis pekerjaan yang tidak mendatangkan
penghasilan, yang secara berangsur menggiring perempuan
sebagai tenaga kerja yang tidak produktif dan tidak menyumbang
pada proses pembangunan.
Penjelasan di atas pada intinya menyatakan bahwa perempuan memiliki
posisi yang tidak penting. Perempuan ditempatkan paada posisi yang lebih
rendah dari laki-laki. Selain itu, hanya dibatasi dalam wilayah domestik, yaitu
mengurus rumah tangga. Adanya anggapan tentang posisi perempuan yang lebih
rendah dari laki-laki, sehingga memicu pada tindakan penindasan pada
perempuan.
Menurut Mackintosch (dalam Savitri, 2006:12) mengatakan bahwa konsep
subordinasi perempuan dari laki-laki secara umum memusatkan perhatian pada
apa yang disebut sebagai problematik feminis, yaitu hubungan antara perempuan
dan laki-laki dalam proses sosial secara keseluruhan dan bagaimana hubungan
tersebut berlangsung sehingga merendahkan posisi perempuan.
Subordinasi perempuan berpangkal pada pembagian kerja secara seksual.
Bentuk paling sederhana dari pembagian kerja secara seksual adalah dengan
membaginya menjadi dua kategori, yaitu sektor publik dan sektor privat atau
domestik. Sektor publik dianggap merupakan wilayah laki-laki, sedangkan sektor
privat atau domestik adalah milik perempuan (Savitri, 2006: 12).
Adapun salah satu konsep yang menjadikan perempuan selalu dalam posisi
yang subordinat yaitu adanya konsep dikotomik. Konsep dikotomik selalu
mengkontraskan dua hal yang berbeda. Seperti contoh baik/buruk, hitam/putih,
tua/muda, cantik/buruk, maskulin/feminin, laki-laki/perempuan, dan sebagainya.
Konsep dikotomik diyakini sebagai suatu keadaan yang alamiah; sesuatu yang
“given” (terberi), maka keberadaanya bersifat tetap (Adji dkk, 2009:46-47).
Dalam sistem dikotomik, selalu ada dominasi, sehingga pada akhirnya akan
menimbulkan penindasan. Begitu pula dalam hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang dimana laki-laki diuntungkan dengan sisem patriarki, karena
memiliki posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Konsepsi dikotomik yang
“given” inilah yang memurukkan perempuan dalam ketidakberdayaan sosial.
Sebagian perempuan menganggap bahwa tugas perempuan mengikuti apa yang
sudah digariskan oleh takdirnya menjadi pelengkap laki-laki (Adji dkk, 2009:50-
51)
2.3 Peran Patriarki dalam Keluarga Tradisional Jepang (Ie) terhadap Perempuan
sebagai Bentuk Subordinasi
Sistem keluarga tradisional Jepang dikenal dengan sebutan Ie. Sistem Ie
telah berjalan sejak zaman Tokugawa (1603-1867) sampai akhir Perang Dunia II.
Ie dalam arti biasa berarti “rumah”, sedangkan dalam arti yang lehih abstrak yaitu
“keluarga”. Kata Ie menerangkan hakikat dari keluarga sebagai entitas yang
berlangsung terus lewat garis keturunan ayah (patriakhat). Ie menempatkan anak
laki-laki pertama sebagai penerus Ie. Sedangkan fungsi perempuan dalam sebuah
Ie adalah untuk melahirkan pewaris berikutnya dan untuk menambah tenaga
kerja keluarga (Fukutake, 1989: 31-40).
Selain itu, Fukutake juga berpendapat bahwa kazoku seido (sistem
keluarga) yang berlaku dalam masyarakat Jepang diatur oleh konsepsi tentang Ie
yang mengikuti cita-cita kaum bushi (samurai) dan bahkan mendapat pengakuan
secara Hukum Sipil Meiji (1988:37).
Dalam hukum Sipil Meiji (dalam Kazuo, 1974:5-6) antara lain dinyatakan:
1. Bagi setiap anggota keluarga, kepentingan ie harus mendapat prioritas
utama daripada kepentingan pribadi
2. Kachou (kepala keluarga ie) mempunyai wewenang yang besar
menyangkut berbagai aspek penting dalam kehidupan keluarga, termasuk
aspek perekonomian keluarga, hak waris, dan pemujaan terhadap arwah
leluhur.
3. Prinsip hubungan oyako (hubungan bapak anak) lebih dijunjung tinggi
daripada hubungan suami istri.
4. Chounan (anak laki-laki tertua) mempunyai hak sebagai pewaris utama
untuk menduduki jabatan kachou, serta hak-hak lainnya yang lebih
penting dari anak laki-laki kedua dan seterusnya.
5. Harkat dan martabat laki-laki lebih diutamakan dari wanita.
6. Perkawinan lebih diutamakan sebagai penyatuan dua kelompok keluarga
ie daripada penyatuan individu suami istri.
7. Martabat honke (keluarga induk atau keluarga asal) lebih diutamakan dari
bunke atau keluarga cabang.
Sistem keluarga tradisional Ie dipengaruhi oleh ajaran konfusianisme.
Edwin O. Reischauer (1982:270) mengatakan bahwa:
Ajaran Kong Fu Tse yang telah mengakar dalam sistem keluarga Ie
merupakan warisan masyarakat patriarkal yang memandang kaum wanita
lebih penting untuk melahirkan anak dan melanjutkan keluarga ketimbang
sebagai kawan hidup atau obyek cinta. Seorang anak perempuan melalui
perkawinannya dapat memperkukuh hubungan keluarga dengan keluarga
lain dan karena itu diasuh dengan hati-hati agar menjadi barang berharga
yang terhormat dan tiada tercela dalam pasar perkawinan. Selain itu,
tidak ada kehidupan kemasyarakatan di luar keluarga yang dianggap perlu
bagi perempuan, dan sesungguhnya setiap kontak dengan laki-laki di luar
keluarga dianggap mengandung kemungkinan yang berbahaya. Karena
perkawinan ditentukan oleh kebutuhan keluarga dan bukanlah sebagai
akibat dari daya tarik antara pasangan muda, yang mungkin sekali tidak
pernah melihat satu sama lain sebelum perkawinan, kasih sayang suami
istri tampaknya merupakan soal kedua yang bisa saja, atau tidak bisa
berkembang antara keduanya.
Loyalitas kaum perempuan ditempatkan pada lingkungan domestik,
dimana harus tunduk dan patuh di bawah superioritas kaum laki-laki. Ajaran
Konfusius secara tegas mengatakan: "Seorang wanita pada masa kanak-kanak
harus mengabdi kepada bapaknya, pada masa dewasa mengabdi pada suaminya
dan pada masa tua mengabdi pada anak laki-lakinya" (Ajip Rosidi, 1981: 97). Pada
hakekatnya wanita berderajat lebih rendah daripada pria, sehingga peranan
wanita adalah mengabdi kepada pria (Masu Okamura, 1983:1)
Pada masa feodal, khususnya di masa isolasi di bawah kekuasaan Shogun
Tokugawa, wanita Jepang pada hakekatnya berderajat lebih rendah dari pada
pria. Wanita hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, belum ada pengakuan
terhadap hak mereka sebagai wanita. Wanita hanya berhak untuk melahirkan
serta membesarkan anak-anaknya. Hingga pada zaman itu seorang wanita
menginginkan anak, bukan demi kepuasan emosionalnya, tetapi karena hanya
sebagai ibu ia akan mendapatkan status (Ruth Benedict, 1982: 267).
Sejak masa kanak-kanak perempuan sudah dididik untuk menjadi istri
yang kuat dan pekerja keras. Mereka terkondisikan untuk bertanggung jawab
dalam lingkungan domestik di sekitarnya (Kikue, 1992: 142).
Laki-laki memiliki kebebasan yang lebih luas, baik dalam kehidupan sosial
maupun seksual sejauh tidak sampai melalaikan kewajiban-kewajibannya
terhadap keluarga. Seorang laki-laki kaya boleh memiliki istri tambahan atau
gundik-gundik (E. O Reischauer, 1982:271). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa sistem keluarga tradisional Ie berlandaskan pada konsep patriarki dan
menurut pada ajaran Kong Fu Tse menempatkan kaum perempuan pada
subordinat sehingga harus tunduk pada kekuasaan kaum laki-laki yang
membatasinya.
2.4 Tokoh dan Penokohan
Menurut Sudjiman (1988:16) tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh
pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau
benda yang diinsankan.
Menurut Nurgiyantoro (1995:176) berdasarkan peranan dan tingkat
pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalan novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kejadiannya lebih sedikit
dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh
utama secara langsung.
Adapun kriteria tokoh utama adalah bertindak sebagai pusat pembicaraan
dan sering diceritakan, sebagai pihak yang paling dekat kaitannya dengan tema
cerita, dan lebih sering melakukan interaksi dengan tokoh lain dalam cerita
(Sayuti, 2009:66).
Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2007:165) penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Menurut Sudjiman (1988:22) watak adalah kualitas nalar dan jiwa
tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan
penciptaan cerita tokoh ini yang disebut penokohan.
Analisis masing-masing tokoh digunakan untuk mengetahui watak dan
perannya, sehingga dapat menunjang dalam penelitian. Adanya keterlibatan para
tokoh akan mengungkapkan makna dari cerita.

Anda mungkin juga menyukai