Anda di halaman 1dari 22

Perubahan Fisiologis Sistem Integumen pada Lansia

Focus Group 4

Anisa Fitri Marsyia 1306464890

Fitri Windiastri 1306377865

Fitri Wulandari 1306402375

Marisa Diah Lestari 1306409394

Niken Ratnaningtias 1306377650

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2016
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya pula, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah
Keperawatan Gerontik yang berjudul “Perubahan Fisiologis Sistem Integumen pada Lansia”
dengan tepat waktu. Penyusunan makalah ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati, Skep., MN. selaku fasilitator mata
ajar Keperawatan Gerontik kelas A yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada tim
penyusun sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat kepada pembaca.

Depok, 18 Maret 2016

Tim penyusun

ii
Daftar Isi
COVER…………………………………………………………………………......i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...…ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................1
1.4 Metode Penulisan ........................................................................................2
1.5 Sistematika penulisan ………………………………………………………2
BAB 2 ISI
2.1 Perubahan Fisiologis Sistem Integumen yang Terjadi pada Lansia………...3

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kulit pada Lansia…………………......6

2.3 Gangguan Patologis Sistem Integumen yang sering terjadi pada Lansia......8

2.4 Ulkus Dekubiktus pada Lansia……………………………………………..10

2.5 Pengkajian Kulit pada Lansia……………………………………………....12

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………...….17
3.2 Saran ..........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada lansia dapat terjadi berbagai perubahan yang ditemui, salah satunya adalah
adanya perubahan pada kulit lansia. Hal ini dilatar belakangi oleh perubahan anatomis
dan fisiologis sistem integumen pada lansia. Banyak perubahan kulit yang muncul pada
saat memasuki lansia, seperti berkurangnya elastisitas kulit atau munculnya keriput dan
lain-lain. Semua perubahan pada kulit yang terjadi pada lansia tersebut akan bertambah
banyak pula jika lansia mempunyai banyak faktor penyebab yang akan membuat
perubahan pada kulit semakin banyak.
Lansia pun akan lebih rentan terhadap munculnya gangguan patologis pada kulit
diakibatkan fungsi sistem imun yang menurun serta faktor risiko lainnya. Contoh
gangguan patologis yang muncul adalah adanya indikasi keratosis seboroik, ulkus
hingga kanker kulit. Oleh karena itu, seorang perawat pun harus mampu memberikan
asuhan keperawatan, termasuk di dalamnya melakukan pengkajian agar gangguan
patologis yang terjadi pada lansia dapat dideteksi lebih dini sehingga gangguan
patologis pada kulit lansia pun dapat diminimalisasi atau tidak semakin parah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perubahan yang terjadi pada kulit lansia?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kulit lansia?
3. Apakah gangguan patologis yang sering terjadi pada kulit lansia?
4. Apa saja pengkajian yang perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi kulit pada
lansia (derajat dekubitus)
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan perubahan yang terjadi pada kulit lansia.
2. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kulit lansia.
3. Menjelaskan gangguan patologis yang sering terjadi pada kulit lansia.
4. Memahami pengkajian yang perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi kulit pada
lansia (derajat dekubitus).

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan metode studi literatur dari buku
keperawatan, media online, dan artikel jurnal keperawatan untuk mengumpulkan data,
informasi, dan pengetahuan.

1.5 Sistematika Penulisan

1
Makalah ini terdiri dari empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II berupa kajian pustaka yang berisi teori-teori sebagai landasan untuk menganalisa dan
memecahkan kasus. Bab III berisi pembahasan kasus. Bab IV berisi kesimpulan dan saran.
Semua bab tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu sama lain.

2
BAB II

ISI

2.1. Perubahan Fisiologis Sistem Integumen yang Terjadi pada Lansia


Pada masa lansia, penuaan merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari.
Manusia akan mengalami proses penuaan secara bertahap seiring dengan bertambahnya usia.
Penuaan tersebut akan terjadi pada seluruh sistem tubuh manusia, salah satunya penuaan pada
kulit atau sistem integumen. Sistem integumen merupakan salah satu indikator yang paling
terlihat dari efek penuaan yang terjadi pada sistem tubuh manusia. Secara structural sistem
integumen terdiri atas kulit yang tersusun atas epidermis, dermis dan jaringan subkutan.
Sistem integumen juga memiliki struktur tambahan seperti rambut, kuku dan kelenjar
keringat.

Kulit merupakan lapisan penyelimut tubuh yang berfungsi sebagai pertahanan utama
tubuh, pelindungi jaringan, dan regulasi tubuh. Martini et al, (2012) menjelaskan bahwa kulit
merupakan organ yang paling luas pada tubuh, yaitu berkisar 16% dari total berat badan..
Perubahan dari efek penuaan yang dapat terlihat pada kulit ialah seperti kulit kering, kulit
keriput, dan kulit kendur (DeLaune & Ladner, 2002). Selain itu, Sato, Kitaha dan Fujimura,
(2014) menjelaskan bahwa perubahan kulit lansia akan menunjukan kerutan, bercak pada
kulit, kulit kering serta rentan terhadap gatal. Selain itu, pH kulit pada lansia diatas 80 tahun
juga akan mengalami peningkatan di bandingkan dengan pH kulit orang dewasa.

Gambar 1. Struktur dan komponen sistem integumen

Sumber : Martini et al, (2012)

3
Epidermis merupakan bagian terluar dari kulit yang berfungsi sebagai pelindung
utama dan pencegah hilangnya cairan tubuh dan zat dari lingkungan luar. Epidermis tersusun
atas sel-sel yang sangat rapat yang terdiri atas jaringan epitel skuamosa bertingkat yang
mengalami keratinasi (Martini et al, 2012). Epidermis terdiri atas lapisan sel yang mengalami
siklus regenarasi & terus berkembang dan akan bermigrasi ke bagian permukaan kulit. Pada
lansia, sel-sel pada epidermis akan menjadi lebih besar dan lebih bervariasi bentuknya.
Seiring dengan bertambahnya usia, sel-sel pada epidermis akan menjadi lebih besar dan lebih
bervariasi bentuknya.

Melanosit merupakan bagian dari sel epidermis yang memberikan warna pada kulit
dan pelindung terhadap radiasi ultraviolet. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah
melanosit akan mengalami penurunan dan menyebabkan perubahan warna pada rambut
(beruban), pigmentasi kulit tidak merata dan berkurangnya perlindungan dari sinar
ultraviolet. Sel langerhans yang berfungsi sebagai makrofag juga mengalami penurunan dan
menyebabkan rangsang terhadap partikel asing berkurang. Selain itu, pada lansia terjadi pula
penurunan kelembapan pada lapisan kulit yang menyebabkan perataan pada kulit sehingga
kulit menjadi keriput, kasar dan kering.

Dermis merupakan jaringan di bawah epidermis yang memiliki fungsi sebagai


pengaturan suhu. Pada lansia, terjadi penurunan kekuatan elastisitas kulit yang akan
mengakibatkan perobek dan peregangan yang berlebihan pada kulit. Ketebalan kulit dermis
pada lansia juga akan menurun yang akan menyebabkan penurunan kolagen dan berakibat
pada berkurangnya turgor kulit. Pembuluh darah lansia juga akan mengalami pengecilan
sehingga menyebabkan warna kulit menjadi pucat, atrofi dan fibrosis rambut dan kelenjar
keringat.

Selain itu, penurunan jumlah fibroblast dan sel mast juga akan menyebabkan
penurunan repson imun. Jaringan subkutaneus merupakan lapisan dalam jaringan lemak yang
berfungsi untuk melindungi jaringan dari trauma, penyimpanan kalori dan regulasi
kehilangan panas tubuh. Pada lansia, jaringan subkutan akan mengalami penipisan. Hal
tersebut berperan terhadap kelemahan kulit dan penampilan kulit yang kendur di atas tulang
rangka. Jaringan disekitar subkutan juga akan mengalami hipertrofi dan akan menyebabkan
meningkatnya proporsi jaringan lemak. Peningkatan jaringan lemak tersebut terjadi pada
bagian abdomen, khususnya bagia paha pada wanita dan pinggang pada pria.

4
Kelenjar keringat merupakan salah satu organ tambahan pada sistem integumen.
Kelenjar keringat banyak terdapat pada bagian telapak tangan, telapak kaki dan ketiak.
Kelenjar keringat terbagi atas kelenjar keringat eccrine dan apocrine. Kelenjar keringat
eccrine berperan dalam mengatur panas tubuh, sedangkan kelenjar keringat apocrine
berfungsi untuk menghasilkan sekresi bau badan yang khas pada seseorang. Pada masa
lansia, kelenjar eccerine dan apocrine akan mengalami penurunan jumlah dan fungsinya.

Selain itu, pada masa lansia, rambut merupakan salah satu penuaan yang dapat terlihat
oleh mata. Pada lansia, terjadi penurunan jumlah folikel rambut yang menyebabkan rambut
menjadi tipis. Warna rambut menjadi tidak merata (beruban) karena penurunan produksi
melanosit. Pertumbuhan kuku lansia juga akan mengalami pertumbuhan secara melambat.
Hal ini akan menyebabkan kuku menjadi rapuh, rentan dan kusam. Perubahan lain yang
terjadi pada lansia ialah terjadi peningkatan keratinosit lempeng kuku yang akan
menyebabkan garis-garis longitudinal pada kuku.

Perubahan fisiologis sistem integumen pada lansia dapat berupa perubahan pada kulit
(epidermis, dermis dan jaringan subkutan), kelenjar keringat, rambut dan kuku. Perubahan
pada sistem integumen merupakan hal yang paling terlihat dari efek penuaan yang terjadi
pada sistem tubuh manusia. Fungsi sistem integumen pada lansia rata-rata akan mengalami
penurun an fungsi dari setiap organnya. Perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi
mekanisme pertahanan tubuh dan regulasi tubuh. Penurunan fisiologi sistem integumen pada
lansia dapat dilihat pada tabel berikut:

Nama Organ Perubahan yang terjadi Efek


Kulit
a. Epidermis - Penurunan jumlah - Perubahan warna pada
melatonin rambut (beruban),
pigmentasi tidak merata
dan berkurangnya
perlindungan kulit dari
sinar ultraviolet.
- Penurunan sel - Rangsang terhadap
Langerhans partikel asing berkurang.
- Kerusakan struktur - Pertumbuhan abnormal
nucleus seperti keratosis
seboroik dan lesi kulit
papilomatosa.
- Penurunan kelembapan - Kulit keriput, kasar dan
kulit kering.
- Penurunan elastisitas - Peregangan dan
b. Dermis
perobekan yang
5
berlebihan pada kulit.
- Penurunan ketebalan - Penurunan kolagen
kulit (berkurangnya turgor
kulit).
- Penurunan jumlah - Penurunan respon imun.
fibroblast dan sel mast
- Pengecilan pembuluh - Pucat, atrofi dan fibrosis
darah dermal rambut dan kelenjar
keringat.
- Penurunan jaringan - Kulit menjadi kendur
c. Kelenjar subkutan
lemak dan peningkatan suhu.
- Peningkatan proporsi - Penumpukan lemak dan
lemak perubahan citra diri.
Kelenjar keringat - Peningkatan kelenjar - Penurunan seksresi
keringat sebum.
- Penurunan produksi - Penurunan bau badan.
apocrine
- Penurunan produksi - Penurunan fungsi
eccerine termoregulasi.
Rambut - Penurunan folikel - Penipisan rambut pada
rambut kepala.
- Penurunan produksi - Perubahan warna pada
melanosit rambut (beruban).
Kuku - Pertumbuhan kuku - Kuku menjadi rapuh,
melambat rentan terkelupas dan
kusam.
- Peningkatan keratinosit - Peningkatan jumlah
lempeng kuku badan pertinax.
Tabel 1. Perubahan Fisiologi Sistem Integumen Pada Lansia

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kulit pada Lansia


2.2.1. Keturunan

Keturunan dapat mempengaruhi fungsi kulit pada lansia. Perbedaan keturunan yang
dimaksud disini bisa dilihat dari warna kulit, rambut dan mata. Orang-orang yang berkulit
terang, rambut terang dan mata terang lebih sensitif terhadap sinar radiasi ultraviolet (Miller,
2012). Hal ini dibuktikan bahwa banyak orang yang berkulit putih mengalami kanker kulit.
Orang yang berkulit putih hanya mempunyai sedikit melanin untuk melindungi kulit mereka
dari sinar UV. Sedangkan berbeda dengan orang yang berkulit hitam mempunyai melanin
yang tebal. Melanin ini mempunyai mempunyai kemampuan sebagai pelindung dengan cara
menghamburkan sinar UVR (Brenner & Hearing, 2008). Maka fungsi melanin disini dapat
menurunkan resiko kanker kulit untuk orang-orang yang berkulit hitam.

6
2.2.2. Lingkungan

Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi lansia adalah paparan radiasi dari
matahari. Sinar radiasi matahari yang berbahaya adalah radiasi ultraviolet (UVR). UVR ini
dibedakan menjadi 2 tipe, Ultraviolet A (UVA) dan Ultraviolet B (UVB). Ultraviolet A dapat
menyebabkan premature aging dan juga menurunkan fungsi sistem imun. Sedangkan UVB
akan mempengaruhi jaringan epidermis, yang nantinya dapat merusak DNA dalam keratinosit
dan melanosit (Puizina-Ivi, 2008). Kedua sinar radiasi tesebut mempunyai efek yang buruk
bagi kulit yang harus dihindari oleh lansia.

2.2.3. Gaya hidup

Gaya hidup seperti merokok menyebakan beberapa perubahan pada kulit lansia, sama
seperti kebotakan dan rambut keabuan (Miller, 2012). Orang yang merokok akan terlihat
banyak keriput. Merokok juga dapat menurunkan kelembapan kulit. Hal ini menyebakan kulit
dapat menjadi kering dan juga merusak jaringan kolagen. Faktor yang berkontribusi pada
keriput adanya perubahan otot, berkurangnya jaringan lemak subkutan, gaya gravitasi, dan
kehilangan subkutan dari tulang facial dan kartilago (Puizina-Ivi, 2008). Sedangkan rambut
berubah menjadi abu-abu akibat adanya kerusakan jaringan elastis.

Faktor kebudayaan, tingkah laku sosial, dan trends mempengaruhi kebersihan dan
perawatan kulit (Miller, 2012). Orang yang tinggal dalam kawasan sosial yang tinggi
biasanya sering mandi dan menggunakan produk atau kosmetik komersial. Mungkin hal ini
tidak akan mempunyai efek yang buruk ketika muda, akan tetapi beberapa akan
mempengaruhi kebiasaan lansia nantinya. Misalnya keseringan mandi dengan sabun
deodorant keras dapat menyebabkan masalah penguapan kulit menjadi kering dalam lansia.
Regenerasi kulit lansia membutuhkan waktu yang lama daripada saat mudanya. Waktu
regenerasi yang lama ini dapat membuat penyembuhan luka menjadi lama juga. Hal ini
berakibat adanya peningkatan resiko infeksi sekunder.

2.2.4. Efek Samping pemakain obat

Obat memiliki efek samping bagi tubuh lansia, salah satunya yaitu mempengaruhi
pada bagian kulit. Efek dari pengobatan terhadap kulit termasuk dalam pruritis, dermatosa,
dan photosensitif. Kemudian agen cytotoxic juga dapat menyebabkan kerontokan rambut,
dan obat lain dapat menyebabkan alopecia misalnya antikoagulan, levodopa, indomethacin,

7
propanolol, dan obat yang digunakan untuk encok dan kolesterol. Lalu kehilangan cairan dari
obat diuretik dapat memperburuk xerosis dan menyebabkan ketidaknyamanan atau masalah
kulit dalam lansia (Miller, 2012). Hal ini harus diperhatikan perawat karena kulit merupakan
salah satu yang dapat dilihat perubahannya.

2.2.5. Penyakit

Penuaan berhubungan dengan penurunan aliran darah dalam kulit dan berbagai
perubahan dalam struktur kulit termasuk kolagen, ketebalan dan vaskularisasi. Dalam sebuah
penelitian juga dijelaskan mengenai kulit lansia akan mengalami penipisan pada lapisan
dermis dan penebalan lapisan stratum korneum. Penipisan dalam lapisan dermis menunjukan
bahwa terjadi vaskularisasi yang sedikit pada kulit lansia jika dibandingkan dengan saat
muda. Hal ini juga bertambah parah dengan penderita diabetes melitus. Penipisan kulit
membuat kulit menjadi semakin rentan untuk rusak dan seperti kasus DM lainnya, kulit
menjadi sulit untuk sembuh. Lapisan lemak subkutan juga mengalami penurunan pada lansia
dan akan tambah menurun pada penderita DM. Hal ini juga dapat membuat kerentanan pada
lapisan kaki meningkat pada penderita DM, terutama saat berjalan (Petrofsky, Prowse &
Lohman, 2008). Kemudian selain itu terdapat korelasi antara BMI dengan lapisan lemak
subkutan. Seorang yang kurus akan mengalami kerentanan kerusakan kulit lebih tinggi.

2.3. Gangguan Patologis yang Sering Terjadi pada Lansia (Sistem Integumen)

Terdapat dua gangguan patologis sistem integumen yang sering terjadi pada lansia.
Pertama adalah kanker kulit. Menurut Miller (2012), kanker kulit dapat didefinisikan sebagai
pertumbuhan abnormal kulit serta merupakan tipe kanker yang paling sering terjadi serta
yang paling dapat dilakukan pencegahannya. Terdapat 3 jenis dari kanker kulit, pertama
adalah karsinoma sel basal (Basal cell Carcinoma) yang sering ditemukan di area kepala dan
leher. Karsinoma sel basal merupakan tumor ganas yang berasal dari lapisan dasar (basal)
dari epidermis. Ciri-ciri yang tampak adalah adanya nodul kecil yang licin berwarna putih
kemerahan.
Kedua adalah sel Skuamosa (Squamous Cell Carcinoma), dengan ciri-ciri kulit tampak
berwarna coklat kemerahan dan terlihat seperti bersisik atau keropeng hingga adanya bercak.
Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor ganas yang muncul karena adanya proliferasi
yang terjadi pada sel skuamosa di epidermis. Jenis kanker ini bisa terdapat di area yang

8
terkspos maupun tidak terekspos matahari, seperti tangan dan lidah serta sering terjadi di area
yang sudah terkena luka atau iritasi kronik.
Ketiga adalah melanoma. Ini merupakan jenis kanker yang paling serius serta sering
melakukan metastasis ke area lain hingga dapat menyebabkan kematian. Melanoma sendiri
muncul karena adanya proliferasi abnormal dari melanosit. Gambaran klinis yang tampak
pada penderita ini adalah batas dari melanoma tidak rata, bentuknya asimetris, diameter lebih
dari 6 mm, munculnya sensasi seperti terbakar, gatal hingga nyeri.
Menurut Syrigos (2005), terdapat beberapa penyebab serta faktor risiko dari penyakit
kanker kulit, diantaranya adalah defisiensi imunitas yang biasanya dialami oleh lansia akibat
faktor umur sehingga membuatnya rentan untuk terkena kanker kulit, adanya paparan sinar
matahari atau ultraviolet terhadap kulit secara intermiten terlebih lagi jika sudah terpapar
sejak usia muda, orang dengan kulit putih dan mata biru yang mana hal itu merujuk pada
bangsa kaukasia yang mempunyai sedikit melanin, serta adanya riwayat keluarga penderita
kanker kulit atau adanya riwayat seseorang pernah terpapar zat-zat toksik yang menyebabkan
indikasi kanker kulit tersebut.

3.

4.

5.
Gambar 2. Karsinoma Sel Basal Gambar 3. Karsinoma sel Skuamosa Gambar 4. Melanoma
Sumber: Tabloski (2014)

Menurut Carlson (2009), beberapa pemeriksaan diagnostik terkait kanker kulit ini
adalah dengan melakukan pemeriksaan biopsi jaringan untuk mendiagnosis jenis tumor atau
kanker tersebut. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap terkait adanya
diagnosis kanker tersebut seperti adanya peningkatan jumlah leukosit dsb. Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan adalah CT Scan, X-Ray dada atau MRI jika diindikasikan melanoma
telah melakukan metastasis ke organ lain.

Menurut Wiggin et al (2016), manajemen medis yang dapat dilakukan terkait kanker
kulit ini diantaranya adalah dengan melakukan prosedur pengobatan seperti elektrodesikasi
(prosedur bedah dengan listrik), prosedur radiasi (menggunakan sinar) hingga pemberian
agen topikal anti tumor seperti imiquimod dan 5-fluorouracil yang bisa menjadi pilihan aman
bagi pasien lansia untuk memerangi kanker yang dideritanya.

9
Gangguan patologis lain yang sering dialami lansia adalah keratosis seboroik, yakni
papula, plak atau tumor jinak berwarna coklat atau hitam dengan batas tepi yang terlihat jelas
dan tajam yang sering muncul di bagian wajah dan leher (Miller, 2012). Keratosis seboroik
ini merupakan salah satu jenis lesi dari beberapa jenis lesi yang sering ditemukan pada lansia.
Penyebab dari adanya lesi ini adalah karena adanya paparan dari sinar matahari atau sinar
ultraviolet secara intermiten.

Pemeriksaan diagnostik yang digunakan adalah pemeriksaan biopsi untuk mengetahui


apakah tumor yang diderita klien jinak atau ganas, serta dapat dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk melihat respon tubuh klien, terhadap gangguan patologis yang muncul.
Kemudian, menurut Scheinfeld (2011), manajemen utama yang dapat dilakukan pada pasien
dengan keratosis seboroik ini adalah prosedur krioterapi untuk memisahkan lesinya dan
pemberian krim topikal 5-fluorouracil.

Gambar 5. Keratosis Seboroik (Miller, 2012)

2.4. Ulkus Dekubitus Pada Lansia

Gangguan patologis sistem integumen pada lansia yang kedua ialah ulkus dekubitus.
Terdapat beberapa definisi dari ulkus dekubitus. The National Pressure Ulcers Advisory Panel
(NPUAP) mendefinisikan pressure ulcer sebagai “localized injury to the skin and/or
underlying tissue, usually over a bony prominence, as a result of pressure, or pressure in
combination with shear/or friction” . Sedangkan menurut Dorothy Carlson (2009), pressure
ulcer adalah area nekrosis local dari jaringan bawah kulit atau kulit yang terjadi akibat adanya
tekanan ketika bagian kulit tertekan dengan friksi ataupun gesekan serta faktor eksternal lain
dengan durasi waktu yang cukup lama. Faktor-faktor penyebab terjadinya ulkus dekubitus,
menurut EPUAP dan NPUAP (2009), yaitu:
2.4.1. Dampak dari posisi duduk semi-Fowler untuk memfasilitasi pasien lansia tersebut
bernapas dan makan ketika diharuskan dirawat di rumah sakit.
2.4.2. Terlalu lama duduk di kursi roda
2.4.3. Lansia yang mengalami gangguan kognitif atau sensorik

10
2.4.4. Malnutrisi protein-kalori menjadi faktor risiko terjadinya pressure ulcer pada lansia
karena hal tersebut menyebabkan integritas kulit yang buruk dan kulitnya pun mudah
rusak.
Faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus pada lansia diantaranya faktor kondisi fisik
lansia , kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-penyakit
neurogenik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh), perawatan yang
diberikan oleh petugas kesehatan, serta kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan
kotor atau peralatan medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu.
Pressure ulcer pada lansia terjadi ketika tekanan pada jaringan lunak antara tonjolan
tulang dan permukaan eksternal seperti kasur dan kursi roda menekan kapiler dan
menghambat aliran darah pada daerah tersebut. Kemudian, jika tekanan tersebut dilepaskan
atau terjadinya mobilisasi maka periode singkat dilatasi kapiler terjadi kembali (hyperemia
reaktif) dan tidak terjadi kerusakan jaringan akibat tidak mengalirnya aliran darah pada
bagian tersebut. Namun, apabila periode tekanan terjadi begitu lama dan terus menerus tanpa
adanya mobilisasi pada bagian tersebut maka kemungkinan besar mikrothrombi terbentuk
pada kapiler dan mengoklusi penuh aliran darah.
Awalnya, akan terbentuk bula dan jika bula pecah maka akan timbul luka terbuka. Luka
terbuka sangat mudah terkolonisasi oleh bakteri permukaan. Bakteri akan berproliferasi yang
pada akhirmya menyebabkan timbulnya biofilm yang tidak mudah dipenetrasi oleh antibiotic.
Dengan lamanya periode tekanan secara intens, otot menjadi iskemik kemudian
menyebabkan nekrosis pada otot yang cedera. Kebocoran darah yang lama pada permukaan
kulit menyebabkan bagian kulit yang cedera berwarna ungu. Bagian nekrotik tersebut lambat
laun berkembang menjadi eskar yang lebih besar dan dalam dari sebelumnya (Black, Joyce M
& Hawks, Jane Hokanson, 2009).

Gambar 6. Faktor risiko ulkus dekubitus Miller, Carol. A. (2012)

Ulkus dekubitus dapat diklasifikasi berdasarkan kedalaman luka dan karakteristiknya.

11
Tabel 2. Klasifikasi ulkus pada tabel berikut menurut (EPUAP dan NPUAP, 2009)
Klasifikasi Kedalaman luka/lokasi Karakteristik
Cedera bagian dalam Tidak dapat ditentukan Area lokal ungu atau merah tua pada kulit
utuh
Derajat I Epidermis Kulit utuh dengan kemerahan yang tidak
pucat pada area lokal
Derajat II Epidermis, ketebalan Abrasi, ulkus dangkal terbuka, kering
parsial kulit dermis atau mengkilap, merah muda
Derajat III Epidermis, Dermis,dan Kehilangan jaringan dengan ketebalan
Jaringan subkutan penuh, terdapat eksudat atau jaringan
nekrotik, terdapat saluran
luka/terowongan
Derajat IV Epidermis, dermis, Hilangnya jaringan dengan ketebalan
jaringan subkutan, otot, penuh dengan tulang, otot atau tendon
tulang yang terpajan eskar terdapat dibagian
dasar luka dan terdapat saluran luka
(lubang)
Derajat yang tidak Tidak dapat ditentukan Berdasarkan luka yang tertutupi oleh
dapat ditentukan eksudat (nanah), atau formasi dari eskar

2.5. Pengkajian Kulit Pada Lansia

Kulit dapat menjadi salah satu indikator kesehatan bagi setiap individu. Observasi pada
kulit dapat menunjukkan status nutrisi, hidrasi, serta perawatan diri pada individu tersebut
Miller, 2012). Pengkajian yang dilakukan pada kulit mencakup rambut, kuku, serta bagian
kulit itu sendiri. Menurut Miller (2012), pengkajian kulit pada lansia pertama mengobservasi
pada bagian kulit. Hal-hal yang perlu dikaji pada kulit ialah, warna kulit, pigmentasi kulit
yang tidak teratur, kulit yang mengalami luka bakar atau tidak, terdapat varises atau tidak di
bagian ekstremitas, suhu kulit, kelembaban kulit (kering, basah, atau berminyak), tekstur kulit
(halus atau kasar), turgor kulit, serta terdapat bekas luka atau tidak. Pengkajian yang kedua
ialah mengobservasi unsur umum pada bagian kuku, diantaranya warna kuku, ukuran dari
kuku (pendek atau panjang), serta kebersihan kuku (Miller, 2012). Pengkajian yang ketiga
yaitu mengobservasi pada rambut diantaranya, warna rambut, pola persebaran rambut, serta
masalah rambut seperti terdapat ketombe pada rambut.

Selain pengakajian dengan cara observasi atau inspeksi, pengkajian pada kulit dapat
dilakukan dengan cara palpasi. Pada saat lansia, proses penuaan akan menyebabkan kulit
12
kehilangan elastisitasnya dan regenerasi sel menjadi semakin lambat (Dewi, 2014). Oleh
karena itu, pengkajian secara palpasi dibutuhkan. Palpasi dapat dilakukan untuk mengetahui
turgor kulit pada lansia. Palpasi dilakukan dengan mencubit sebagian kulit dari lansia, di
bagian pergelangan tangan atas, kemudian dilihat kembalinya kulit dari lansia tersebut. Pada
kulit dewasa normal, kulit akan segera kembali ke asal setelah dicubit (Dewi, 2014). Selain
mengkaji turgor kulit, palpasi dapat dilakukan untuk mengetahui capillary refill time (CRT).
Umunya, nilai normal dari CRT ialah kurang dari 1,5 – 2 detik (McCance, Huether, Brashers,
dan Rote, 2010). Dengan melakukan penekanan pada salah satu bagian dari kuku lansia,
seorang perawat dapat mengetahui status sirkulasi dari lansia tersebut.

Pengkajian kulit pada lansia bersifat penting karena beberapa penyakit seperti ulkus
dekubitus dapat terjadi. Ulkus dekubitus terjadi pada lansia yang mendapat perawatan
berbaring di tempat tidur dalam jangka panjang. Salah satu faktor predisposisi terjadinya
ulkus dekubitus dengan perawatan berbasis rumah sakit ialah orang dengan usia lanjut
(Bergquist, 2003). Ulkus dapat terjadi pada orang lanjut usia karena orang lanjut usia
mengalami perubahan pada kulitnya seperti penurunan turgor dan elastisitas kulit (Plawecki,
Amrhein, dan Zortman, 2010). Keempat tahapan dan kedua kategori tambahan ulkus
dekubitus menurut EPUAP dan NPUAP (2009), yaitu:

2.5.1. Tahap pertama, kemerahan. Pada tahap ini kulit menjadi kemerahan. Pada daerah
lokal kemerahan tersebut akan nampak lebih menonjol dari pada tulang. Pada daerah
tersebut akan terasa nyeri, teksturnya terasa lembut, serta suhunya berbeda dengan
daerah sekitar kulit. Pada pengkajian dengan inspeksi, luka mungkin akan terlihat
seperti kulit memerah atau memar (Plawecki, Amrhein, dan Zortman, 2010). Tahapan
ini bersifat berisko terhadap kondisi ulkus dekubitus.

Gambar 7. Ulkus tahap pertama (Miller,2012)

13
2.5.2. Tahap kedua, kehilangan sebagian ketebalan dari lapisan dermis. Tahap ini akan
tampak luka terbuka dangkal. Luka yang tampak akan berwarna merah muda.

Gambar 8. Ulkus tahap kedua (Miller, 2012)


2.5.3. Tahap ketiga, kehilangan ketebalan kulit secara penuh. Pada tahap ini jaringan lemak
subkutan akan tampak terlihat, tetapi tulang, tendon atau otot tidak tampak pada tahap
ketiga ini. Kedalaman luka pada tahap ini bergantung sesuai lokasi anatomi tubuh.
Seperti contoh, apabila luka tahap ketiga ini terjadi pada organ hidung, telinga, serta
oksiput, yang tidak memiliki jaringan subkutan (adiposa), luka akan bersifat dangkal.

Gambar 9. Ulkus tahap ketiga (Miller, 2012)


2.5.4. Tahap keempat, kehilangan ketebalan kulit secara penuh hingga tampak pada tulang.
Kedalam tahap ini hampir sama dengan tahap tiga, yaitu bergantung dengan letak
anatomisnya. Pada tahap ini, luka akan melebar ke jaringan lainnya seperti tendon dan
sendi.

14
Gambar 10. Ulkus tahap keempat (Miller, 2012)

Dua kategori tambahan terkait ulkus menurut EPUAP dan NPUAP (2009), yaitu:

a. Luka yang tidak terklasifikasikan. Kategori ini terjadi jika kehilangan ketebalan
jaringan penuh hingga luka mencapai kedalam yang tidak diketahui. Pada kategori ini
luka ulkusnya tertutup dengan cairan (slough) yang berwana kuning, hijau, atau
coklat. Slough ini harus dihilangkan terlebih dahulu untuk mengetahui kedalam luka
ulkus. Kategori ini memiliki persamaan pada tahapan ketiga dan keempat.

Gambar 11. Kategori luka ulkus yang tidak terklasifikasikan (Miller, 2012)
b. Taksiran luka jaringan dalam hingga kedalaman luka yang tak diketahui. Pada
ketegori ini, area yang mengalami luka akan nampak warna ungu atau merah marun.
Perubahan warna ini karena kerusakan pada jaringan lunak akibat tekanan yang lama
pada area tersebut. Area luka tersebut akan terasa sakit, lunak, serta terjadi perubahan
suhu. Penanganan yang optimal dapat mencegah terjadinya pelebaran luka pada
jaringan di dalamnya. Kategori ini memiliki kesaaman ciri pada tahapan pertama dan
kedua.

15
Gambar 12. Kategori ulkus perkiraan cedera jaringan dalam (Miller, 2012)

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Sistem integumen akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan usia.


Semakin bertambahnya usia maka fisiologis sistem integumen menjadi menurun. Hal ini
sejalan dengan regenerasi sel yang semakin tua sehingga kemampuannya pun juga menurun.
Kemudian banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sistem integumen lansia.
Faktor-faktor tersebut dapat merusak lebih cepat ataupun menunda kerusakan sistem
integumen lansia. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang menyeluruh dengan
membandingkannya keadaan lansia sekarang dengan perkembangan normalnya. Pengkajian
tersebut kemudian digunakan sebagai bahan penentuan masalah yang terjadi pada sistem
integumen lansia. Beberapa penyakit yang sering terjadi pada lansia yaitu kanker kulit dan
ulkus dekubitus. Keduanya berpengaruh buruk terhadap kesehatan lansia terutama pada
sistem integumen.

3.2. Saran

Lansia dengan perubahan fisiologis pada sistem integumen diperlukan perhatian


khusus dalam menanganinya. Perawat harus memahami fisiologis normal dan perubahan
yang terjadi sehingga dapat digunakan untuk menentukan masalah keperawatan yang tepat
untuk lansia. Selain itu diharapkan juga perawat dapat menggali lagi pengetahuan dengan
melakukan penelitian berkaitan dengan sistem integumen pada lansia. Misalnya pada bagian
faktor resiko, karena selama hidup pasti lansia akan bersinggungan dengan berbagai hal yang
berbahaya untuk kesehatan lansia.

17
Daftar Pustaka

Bergquist, S. (2003). Pressure ulcer prediction in older adults receiving home health care:
Implications for use with the OASIS. Advances in Skin & Wound Care, 16(3), 132
139.

Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. (2009). Medical surgical nursing: Clinical
management for positive outcomes. Singapore: Elsevier.
Brenner, M., & Hearing, V. J. (2008). The protective role of melanin against UV damage in
human skin. Photochemistry and photobiology, 84(3), 539-549.

Carlson, Dorothy., and Pfadt, Ellen. (2009). Clinical coach for effective nursing care for
older adults. Philadelphia: F.A Davis Company.
DeLaune, S.C. & Ladner, P.K. (2002). Fundamentals of nursing: standards and practice, 2nd
edition. USA: Delmar Thomson Learning

Dewi, S. R. (2014). Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta: BUDI UTAMA

European Pressure Ulcer Advisory Panel (EPUAP) & National Pressure Ulcer Advisory
Panel (NPUAP). (2009). Prevention of pressure ulcers: Quick reference guide.
Washington DC: NPUAP

Martini, F., Nath, J.L. & Bartholomew, E. E. (2012). Fundamentals of anatomy and
physiology ninth edition. San Fransisce: Pearson Education

McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L., dan Rote, N. S. (2010). Pathophysiology:
The biologic basic for disease in adults and children. United States of America:
MOSBY ELSEVIER

Miller, C. A. (2012). Nursing for Wellness in Older Adults: Theory and Practice.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Petrofsky, J.S., Prowse, Michelle & Lohman, E. (2008). The influence of ageing and diabetes
on skin and subcutaneus fat thickness in different region of the body. The Journal of
Applied Research, 8(1), 55-62.

18
Plawecki, Lawrence H, RN,J.D., L.L.M., Amrhein, D. W., M.D., & Zortman, T., R.N.
(2010). Under pressure: Nursing liability and skin breakdown in older
patients. Journal of Gerontological Nursing, 36(2), 23-5.

Puizina-Ivi, N. (2008). Skin aging. Acta Dermatoven APA, 17(2), 47.

Sato, N. Kitahara, T & Fujimura,T. (2014). Age-Related Changes of Stratum Corneum


Functions of Skin on the Trunk and the Limbs. Japan: Kao Corporation. Retrivied from:
http://search.proquest.com/docview/1544387230/804F095A8BF046C9PQ/1?
accountid=17242

Scheinfeld, N. (2011). Skin Disorders in Older Adults: Benign Growths and Neoplasm.
Consultant Journal. Volume 51, Issue 9. Page 2.

Syrigos et al. (2005). Skin Cancer in Elderly. In Vivo Journal, volume 19, Page number 643
645.

Tabloski, Patricia A.(2014). Gerontological Nursing. New Jersey : Pearson.

Wiggin et al. (2016). Management of elderly patients with skin cancer. Journal of Geriatric
Oncology, Volume 7, Issue 1, Page number 7-9.

19

Anda mungkin juga menyukai