FG 1 Kelas A
o Dessy Angraini
o Dwi Agus Setiawan
o Eka Tlaga Herawati
o Khoirunnisa Damayanti
o Nurmala Sari
o Raudha Ilmi Farid
Lanjut usia akan mengalami penurunan fungsi organ tubuh, termasuk organ pada
sistem muskuloskeletal. Penurunan fugssi tersebut menyebabkan lansia masuk ke dalam
kategori usia rentan terhadap berbagai macam permasalahan sistem muskuloskeletal.
Terdapat banyak faktor yang mempegaruhi sistem musculoskeletal pada lansia yang
berhubungan dengan berbagai macam permasalahan musculoskeletal pada lansia seperti
lingkungan, aktivitas, nutrisi, dsb.
Lingkungan berperan dalam pembentukan gaya hidup lansia dari masa muda,
kemudian aktivitas juga mempengaruhi sistem musculoskeletal dari sisi mobilitas fisik.
Nutrisi mempengaruhi sistem musculoskeletal dari asupan gizi, khususnya yang berperan
dalam pembentukan tulang, sendi, dan otot. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi
resiko jatuh dan fraktur. Penelitian menjelaskan bahwa resiko jatuh akan mempengaruhi
status fungsional tubuh. Pengalaman jatuh yang sering membuat seseorang memiliki
kemampuan yag rendah dalam melakukan aktivtas sehari-hari (Kaminska, M. S.,
Brodowski, J., & Karakiewicz, B., 2015). Oleh karena itu, LTM kali ini akan membahas
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi resiko jatuh pada lansia. Jatuh merupakan
kejadian yang sering dialami lansia.
Marquis D. Foreman, (2010)
menjelaskan bahwa nutrisi yang
lemah, inkotinensia, dan bingung
merupakan faktor resiko yang
berpengaruh pada resiko jatuh (Foreman, M. D., 2010). SedangkanMiller (2012)
mengkategorikan faktor resiko jatuh menjadi perubahan usia, kondisi patologis, gangguan
fungsional, efek medikasi, dan faktor lingkungan (Miller, 2012). Hartford Institute for
Geriatric Nursing
(2008) menjelaskan
beberapa hal yang
harus menjadi
perhatian perawat
dalam mengkaji
kondisi resiko jatuh
pada lansia. Faktor-
faktor tersebut
meliputi penurunan
fungsi kognitig (demensia, perilaku impulsive, penurunan pengambilan keputusan),
medikasi (benzodiazepine, psikotropik, opioids), penurunan mobilitas, kejadian jatuh
sebelumnya, penurunnan fungsi sesori, alcohol, hipotensi postural, depresi, penggunaan
alat bantu, dan penurunan kekuatan otot (Tabloski, P. A., 2014). Berbagai macam faktor
tersebut menjelaskan bahwa proses pengkajian terhadap faktor resiko jatuh sangat penting
bagi perawat sebelum memberikan intervensu yang tepat dalam mencegah terjadinya
jatuh pada lansia. (Boele, v. H., et al, 2009)
Perubahan fisiologis fungsi tubuh lansia menyebabkan lansia rentan terpapar
faktor yang mempengaruhi terjadinya jatuh. Penurunan fungsi pendengaran dan
penglihatan, penurunan kekuatan otot, dan perubahan sistem saraf pusat, merupakan
beberapa kondisi lansia yang meningkatkan faktor resiko jatuh. Kondisi tersebut juga
dipengaruhi oleh kondidi patologis seperti hipotensi, mokturia, osteoporosis, dementia
dsb. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan penurunan fungsi kognitif seperti
demensia memiliki resiko jatuh dua kali lebih besar daripada lansia dengan tanpa
dementia (Kenny, Rubenstein, & Tinetti, 2010 dalam Miller 2012). Selain itu, kondisi
patologis mengharuskan lansia mendapatkan medikasi yang juga mejadi faktor resiko
terjadinya jatuh pada lansia.Berdasarkan penjelasan pada LTM di atas, dapat disimpulkan
bahwa terdapat berbagai macam faktor yang mampu memngaruhi sistem musculoskeletal
pada lansia. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah kondisi patologis, usia,
medikasi, dan lingkungan. Resiko jatuh merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi sistem musculoskeletal lansia. Oleh karena itu perawat harus mampu
melakukan pengkajian yag tepat dan memberikan intervensi yang akurat dalam
meminimalisir terjadinya jatuh pada lansia.
rentang gerak (Range of motion) sendi (Felson, 2008). Cairan sendi (sinovial)
mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi sehingga
mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut
dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai
pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan
peradangan pada sendi (Felson, 2008). Ligamen, bersama dengan kulit dan
tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang
gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon
mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik‑titik tertentu ketika
Otot‑otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi.
Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan
akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya.
Kontraksi otot tersebut turut meringankan stress yang terjadi pada sendi dengan
cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang
diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga meringankan
dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap
goncangan yang diterima (Felson, 2008).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi
sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika
bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai
penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum
timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui
lebih lanjut tentang kartilago (Felson, 2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua
dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul –
molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan
pada kartilago (Felson, 2008). Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular,
mensintesis seluruh elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit
menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin { Interleukin‑1 (IL‑1), Tumor
Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan
enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan
membentuk molekulmolekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini
dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan
(Felson, 2008). Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk
memecah kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks
yang dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek
dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago
(Felson, 2008).
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks yang
lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi Namun,
pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki metabolisme yang
sangat aktif (Felson, 2008). Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang
terstimulasi akan melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat
ke kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta
dan Asetaminofen. Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada pasien OA,
penggunaan obat AINS dan Inhibitor COX‑2 dinilai lebih efektif daripada
b. Non‑hormonal
- Kalsitonin
- Bifosfonat
- Kalsium
- Vitamin D dan metabolismenya
- Tiasid
- Fitoestrogen (berasal dari tumbuhan:semangi, kedelai, kacang tunggak)
Gout ini terbagi menjadi dua yaitu akut dan kronik. Pada jenis gout akut,
onsetnya muncul secara tiba-tiba dan terjadi pada perhubungan satu sendi atau
beberapa sendiri. gout jenis akut ini paling banyak terjadi di daerah persendian kaki
tetapi juga dapat berlanjut hingga sendi yang lainnya seperti lutut, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, sendi siku tangan dan kaki (Touhy, 2010). Pada gout
kronis, kristal asam piruvat disebabkan oleh kerusakan tulang dan deformitas. Pada
gout kronis kerusakan yang terjadi tidak hanya sebatas pada persendian atau
persambungan antar tulang tetapi juga dapat memengaruhi fungsi organ tubuh yang
terletak dekat dengan persendian bahkan dapat menyebabkan kematian jika tidak
dapat tertangani dengan baik (Bolzetta et al, 2012)
Kejadian gout ini sebagian besar diakibatkan karena faktor genetika (sejarah
keluarga); selain itu juga dapat diakibatkan karena diet purin tinggi seperti jamur,
kerang, daging; obesitas; obat-obatan seperti alkohol, asam asetilsalisilat (ASA),
diuretik, niasin, cyclosporines, dan levodopa. Obat-obatan tersebut perlu dihindari
karena dapat memengaruhi fungsi ginjal sehingga dapat meningkatkan risiko
hiperurisemia (Tabloski, 2014) (Touhy, 2010).
Kita bisa melihat bahwa keadaan gout ini sangat serius jika dibiarkan sehingga
perlu dilakukan manajemen keperawatan yang sesuai dimulai dari pengkajian hingga
penatalaksanaannya dan evaluasi dari yang telah diberikan kepada klien. Pengkajian
yang perlu dikaji yaitu gaya hidup klien, riwayat kesehatan keluarga, medikasi yang
pernah diberikan, serta faktor risiko lainnya yang dapat memperparah kejadian gout.
Kaji juga terkait nyeri, memar, bengkak yang tampak pada klien. Tes diagnostik juga
perlu dilakukan untuk memperkuat hasil pengkajian, hal-hal yang dapat dilakukan
seperti uji lab, dapat terlihat adanya peningkatan serum asam urat, peningkatan sel
darah putih, peningkatan sedimentasi eritrosit pada fase akut, dan terlihat adanya
sodium urate crystals pada cairan sinovial; selain itu dilakukan X-ray untuk melihat
adanya tophi dan struktur tulang (Schrefer, 2000).
Morse Fall Scale merupakan instrument yang relatif mudah digunakan dan telah
terbukti dapat digunakan dan berlaku di berbagai pengaturan perawatan kesehatan, termasuk
unit acure medis dan bedah,
daerah perawatan jangka panjang,
dan rumah sakit rehabilitasi. (Joint
Commission Resources, 2008).
MFS terdiri dari enam jenis yaitu
riwayat jatuh, diagnosis sekunder,
penggunaan bantuan ambulasi,
terapi intravena, tipe berjalan, dan
status mental. Setiap faktor risiko
pada instrument diberikan skor
yang relatif, tergantung faktor
risiko yang terjadi. Pasien dinilai
ada atau tidak adanya faktor risiko jika memiliki total skor 125. Berdasarkan total skor,
pasien dikategorikan mengalami risiko jatuh rendah (<24), menengah (25-44) dan tinggi
(>45). (Nassar, Helou, & Madi, 2014)
Palpasi bahu
- Kekuatan dan tonus otot - Mampu mengangkat bahu melawan
- Sensasi tahanan
- Tidak nyeri tekan
Palpasi bahu, skapula, dan panggung
posterior
- Tonjolan tulang
- Ukuran, kekuatan, tonus otot - Lembut & tidak nyeri tekan, tidak
- Suhu bengkak
- Sama ukurannya secara bilateral, sama
kuat
- Hangat ke dingin
Inspeksi kepala, toraks, leher
Dengan klien dalam posisi duduk menghadap pemeriksa, periksa bagian-bagian tubuh. Minta
klien untuk membuka dan menutup mulut untuk mengkaji fungsi sendi temporomandibular
Observasi kepala
- Struktur wajah dan perkembangan - Struktur simetris dan perkembangan
otot otot
- Dapat membuka mulut 2 inchi
- Fungsi sendi temporomandibular
Palpasi tangan
- Kekuatan & tonus otot - Pegangan tegas dan sama
Palpasi siku, pergelangan tangan, dan
jari
- Landmark tulang - Halus, tidak nyeri tekan
- Ukuran otot - Teratur dan sama secara bilateral
- Struktur sendi - Simetris dan sama
- Kekuatan - Sama kuat
- Suhu - Hangat
- Sensasi - Tidak nyeri tekan
Minta klien menutup mata selama 20 – 30 - Lengan tetap tanpa menyimpang
detik dengan lengan direntangkan ke depan
tubuh dengan telapak tangan membuka
Inspeksi ekstremitas bawah
Posisikan klien dalam posisi berdiri atau terlentang untuk memeriksa pinggul, dan dalam
posisi duduk dengan kaki menggantung bebas untuk memeriksa lutut, pergelangan kaki. Jika
klien tidak mampu duduk atau berdiri, penilaian dapat dilakukan dalam posisi terlentang. Kaji
ROM aktif dan pasif.
Observasi panggul, lutut, pergelangan
kaki, jari kaki
- Struktur tulang dan landmark tulang - Simetris bilateral dan sama
- Massa otot - Simetris dan sama
- Struktur sendi - Kaki tetap posisi lurus
- Panjang kaki - Panjang kaki bilateral dalam 1 inci
satu sama lain
- ROM - ROM penuh
Palpasi ekstremitas bawah
Saat struktur muskuloskeletal dari ekstremitas bawah akan melalui ROM aktif atau pasif,
palpasi tulang, landmark tulang, otot, dan sendi. Kaji kekuatan dan tonus otot
Palpasi panggul (kuadrisep,
gastrocnemius)
- Landmark tulang - Simetris bilateral dan sama
- Ukuran dan kekuatan otot - Halus, teratur, kuat
- Struktur sendi - Simetris bilateral, kuat
- Suhu - Hangat
- Sensasi - Tidak nyeri tekan
Normal (5): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi
dan melawan tahan maksimal.
Good (4): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan gravitasi dan
melawan tahanan sedang (moderat).
Fair (3): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi
tanpa tahanan.
Poor (2): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa melawan
gravitasi.
Trace (1): tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi.
Zero (0): kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi.
Daftar Pustaka:
Arenson, et al. (2009). Reichel’s care of the elderly: clinical aspects of aging. 6th Edition.
New York : Cambridge University Press.
Carlson, D. S & Pfadt, E. (2009). Clinical coach for effective nursing care for older adults.
Philadelphia: F.A David Company.
Loue, S & Sajatovic, M. (2008). Encyclopedia of aging and public health. USA: Springer.
Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing; competencies for care. USA: Jones and Bartlett
Publishers.
Nogueira, E., Gomes, A. C., Preto, A., & Paulo, A. C. (2015). Folate-targeted nanoparticles
for rheumatoid arthritis therapy. Nanomedicine: Nanotechnology, biology and
medicine. 12, 1113-1126.
Joint Commission Resources. (2008). Reducing The Risk Of Patient Harm Resulting From
Falls: Toolkit For Implementing National Patient Safety Goal 9. USA
Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Nassar, N., Helou, N., & Madi, C. (2014). Predicting falls using two instruments (the
Hendrich Fall Risk Model and the Morse Fall Scale) in an acute care setting in
Lebanon. Journal Of Clinical Nursing, 23(11/12), 1620-1629.
doi:10.1111/jocn.12278
Weber, Janet R. (2009). Nurse’s Handbook of Health Assessment. Philadelphia: Wolters
kluwer/ Lippincott Williams & Wilkins.