Anda di halaman 1dari 25

Resume Sistem Muskuloskeletal pada Lansia

FG 1 Kelas A
o Dessy Angraini
o Dwi Agus Setiawan
o Eka Tlaga Herawati
o Khoirunnisa Damayanti
o Nurmala Sari
o Raudha Ilmi Farid

1. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

Tulang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kalsium, memproduksi sel-sel darah,


dan melindungi organ dan jaringan penting dalam tubuh. Tulang terdiri dari lapisan luar yang
keras (korteks atau compact bone), inner, spongy mesh work (trabecular atau cancellous
bone). Sedangkan, otot dikendalikan oleh neuron motorik yang mempengaruhi semua
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kerjasama antara tulang, otot, sendi, dan saraf
akan memfasilitasi gerakan pada manusia (Miller, 2012).
Terkadang sulit untuk membedakan antara proses penyakit pada sistem
muskuloskeletal dan proses alami dari penuaan (degeneratif). Oleh karena itu, berikut adalah
perubahan normal akibat penuaan pada sistem muskuloskeletal lansia dapat dipaparkan
sebagai berikut:
Organ/Jaringan Perubahan Fisiologis Efek
Tulang 1. Berkurangnya penyerapan kalsium  Osteoporosis (Kurnianto,
(Arenson, 2009). 2015).
 Tulang menyusut dan
melemah.
 Kekurangan nutrisi
(Arenson, 2009).
2. Sedikit sel-sel sumsum fungsional  Gerakan menjadi lamban
karena penggantian sumsum dengan (Kurnianto, 2015).
sel-sel lemak (Miller, 2012).
3. Penurunan estrogen pada wanita dan  Osteoporosis (Stanley &
testosteron pada laki-laki (Miller, Beare, 2007).
2012).
Otot 1. Penurunan ukuran dan jumlah serat  Sarcopenia yaitu hilangnya
otot (Kurnianto, 2015). massa otot, kekuatan, dan
daya tahan tubuh. Otot
dapat berkurang hinggal
50% pada usia 80 tahun
(Wallace, 2008).
2. Kehilangan motor neuron (Miller,  Kekurangan refleks,
2012). kekuatan, koordinasi dan
kecepatan (Wallace, 2008).
3. Berkurangnya jumlah mitokondria  Menurunkan kapasitas
sebagai penghasil ATP (Kurnianto, respirasi otot (Kurnianto,
2015) 2015).
4. Penggantian jaringan otot oleh jaringan  Berkurangnya daya tahan
ikat menjadi jaringan lemak. (cepat merasa lelah) dan
koordinasi otot (Miller,
2012).
5. Kerusakan sel membran otot dan  Kekurangan nutrisi
kalium. (Wallace, 2008).
6. Berkurangnya sintesis protein (Miller,
2012).
Sendi 1. Berkurangnya viskositas cairan  Menurunnya perlindungan
sinovial (Miller, 2012). ketika bergerak (Miller,
2012).
2. Erosi tulang (Miller, 2012).  Menghambat pertumbuhan
tulang rawan (Miller,
2012).
3. Degenerasi kolagen dan sel elastin.  Penurunan fleksibilitas,
4. Fragmentasi struktur fibrosa di jaringan stabilitas, dan imobilitas
ikat. (Kurnianto, 2015).
5. Pembentukan jaringan parut di kapsul
sendi dan jaringan ikat (Miller, 2012).
6. Penurunan kapasitas gerakan, seperti:  Gangguan fleksi dan
penurunan rentang gerak pada lengan ekstensi sehingga kegiatan
atas, fleksi punggung bawah, rotasi sehari-hari menjadi
eksternal pinggul, fleksi lutut, dan terhambat.
dorsofleksi kaki (Miller, 2012).
Saraf 1. Penurunan gerakan refleks.  Berjalan lebih lambat.
2. Gangguan proprioception terutama  Berkurangnya respon
pada wanita. terhadap rangsangan
3. Berkurangnya sensasi pada ektremitas lingkungan (Miller, 2012).
bagian bawah (Miller, 2012).

2. Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Muskuloskeletal

Lanjut usia akan mengalami penurunan fungsi organ tubuh, termasuk organ pada
sistem muskuloskeletal. Penurunan fugssi tersebut menyebabkan lansia masuk ke dalam
kategori usia rentan terhadap berbagai macam permasalahan sistem muskuloskeletal.
Terdapat banyak faktor yang mempegaruhi sistem musculoskeletal pada lansia yang
berhubungan dengan berbagai macam permasalahan musculoskeletal pada lansia seperti
lingkungan, aktivitas, nutrisi, dsb.
Lingkungan berperan dalam pembentukan gaya hidup lansia dari masa muda,
kemudian aktivitas juga mempengaruhi sistem musculoskeletal dari sisi mobilitas fisik.
Nutrisi mempengaruhi sistem musculoskeletal dari asupan gizi, khususnya yang berperan
dalam pembentukan tulang, sendi, dan otot. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi
resiko jatuh dan fraktur. Penelitian menjelaskan bahwa resiko jatuh akan mempengaruhi
status fungsional tubuh. Pengalaman jatuh yang sering membuat seseorang memiliki
kemampuan yag rendah dalam melakukan aktivtas sehari-hari (Kaminska, M. S.,
Brodowski, J., & Karakiewicz, B., 2015). Oleh karena itu, LTM kali ini akan membahas
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi resiko jatuh pada lansia. Jatuh merupakan
kejadian yang sering dialami lansia.
Marquis D. Foreman, (2010)
menjelaskan bahwa nutrisi yang
lemah, inkotinensia, dan bingung
merupakan faktor resiko yang
berpengaruh pada resiko jatuh (Foreman, M. D., 2010). SedangkanMiller (2012)
mengkategorikan faktor resiko jatuh menjadi perubahan usia, kondisi patologis, gangguan
fungsional, efek medikasi, dan faktor lingkungan (Miller, 2012). Hartford Institute for
Geriatric Nursing
(2008) menjelaskan
beberapa hal yang
harus menjadi
perhatian perawat
dalam mengkaji
kondisi resiko jatuh
pada lansia. Faktor-
faktor tersebut
meliputi penurunan
fungsi kognitig (demensia, perilaku impulsive, penurunan pengambilan keputusan),
medikasi (benzodiazepine, psikotropik, opioids), penurunan mobilitas, kejadian jatuh
sebelumnya, penurunnan fungsi sesori, alcohol, hipotensi postural, depresi, penggunaan
alat bantu, dan penurunan kekuatan otot (Tabloski, P. A., 2014). Berbagai macam faktor
tersebut menjelaskan bahwa proses pengkajian terhadap faktor resiko jatuh sangat penting
bagi perawat sebelum memberikan intervensu yang tepat dalam mencegah terjadinya
jatuh pada lansia. (Boele, v. H., et al, 2009)
Perubahan fisiologis fungsi tubuh lansia menyebabkan lansia rentan terpapar
faktor yang mempengaruhi terjadinya jatuh. Penurunan fungsi pendengaran dan
penglihatan, penurunan kekuatan otot, dan perubahan sistem saraf pusat, merupakan
beberapa kondisi lansia yang meningkatkan faktor resiko jatuh. Kondisi tersebut juga
dipengaruhi oleh kondidi patologis seperti hipotensi, mokturia, osteoporosis, dementia
dsb. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan penurunan fungsi kognitif seperti
demensia memiliki resiko jatuh dua kali lebih besar daripada lansia dengan tanpa
dementia (Kenny, Rubenstein, & Tinetti, 2010 dalam Miller 2012). Selain itu, kondisi
patologis mengharuskan lansia mendapatkan medikasi yang juga mejadi faktor resiko
terjadinya jatuh pada lansia.Berdasarkan penjelasan pada LTM di atas, dapat disimpulkan
bahwa terdapat berbagai macam faktor yang mampu memngaruhi sistem musculoskeletal
pada lansia. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah kondisi patologis, usia,
medikasi, dan lingkungan. Resiko jatuh merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi sistem musculoskeletal lansia. Oleh karena itu perawat harus mampu
melakukan pengkajian yag tepat dan memberikan intervensi yang akurat dalam
meminimalisir terjadinya jatuh pada lansia.

3. Gangguan Patologis Sistem Muskuloskeletal: Osteoathritis (OA) dan


Osteoporosis

A. Pengertian Osteoarthritis dan Osteoporosis


1. Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit inflamasi degeneratif yang terjadi pada
perlekatan sendi dan otot, tendon, dan ligamen, yang ditandai dengan adanya
nyeri, pembengkakan, dan pergerakan yang terbatas (Miller, 2012). OA juga
merupakan penyakit peradangan sendi kronis yang biasanya terjadi pada lansia
(Dahaghin, Bierma-Zeinstra, Ginaiet al, 2005 dalam Xia, Chen, Zhang, Hu, Jin,
Tong, 2014). OA terjadi pada persendian yang menopang pada tubuh, seperti pada
sendi di lutut, pinggul, dan tulang belakang.
2. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit degeneratif yang terjadi pada tulang ditandai
dengan penurunan massa tulang, karena matriks dan mineral yang berkurang,
disertai dengan kerusakan jaringan tulang dan penurunan kekuatan tulang
(Lindsay, 2008). Menurut WHO osteoporosis merupakan penurunan Bone
Mineral Density (BMD) lebih dari -2,5 SD dari rata-rata BMD normal pada
dewasa yang sehat (Cyrus & Robert, 2005). Osteoporosis biasanya disebut dengan
pengerosan tulang yang terjadi pada lansia.

B. Penyebab Osteoarthritis dan Osteoporosis


1. Osteoarthritis
Penyebab osteoarthritis tidak diketahui secara jelas (ideopatik), namun biasanya
terjadi karena adanya trauma, dengan stress yang berulang atau berkaitan dengan
deformitas kongenital (Corwin, 2009). Faktor risiko osteoarthritis ini adalah
genetik, penuaan, obesitas, jenis kelamin, dan ketidakselarasan pada otot dan
sendi (Rai & Sandell, 2011). Adapun gejala klinis osteoarthritis ini adalah adanya
rasa nyeri yang kronis, sendi yang tidak stabil, pembengkakan, kekakuan,
deformitas sendi, spasme otot, dan penyempitan ruang sendi (Goldring &
Goldring, 2007; Corwin, 2009).
Osteoarthritis berdasarkan etiologinya diklasifikasikan menjadi 2, yaitu
osteoarthritis primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer merupakan
osteoarthritis yang umum terjadi dan penyebabnya tidak jelas, seperti lokalisasi
osteoarthritis (mempengaruhi satu atau dua sendi), general osteoarthritis
(mempengaruhi tiga atau lebih sendi), dan erosive osteoarthritis (menggambarkan
adanya erosi sendi dan tanda proliferasi di proksimal dan distal sendi
interfarangeal tangan. Osteoarthritis sekunder merupakan osteoarthritis yang
disebabkan oleh penyakit atau kondisi lain, misalnya karena trauma, gangguan
sendi, gangguan metabolik sistemik atau gangguan endokrin (Hansen & Elliot,
2005).
2. Osteoporosis
Proses osteoporosis sering terjadi pada lansia, karena penurunan proses regenerasi
sel-sel tulang (osteoblas, osteosit, dan osteoklas). Osteoporosis ini terjadi apabila
adanya penurunan massa dan kerapuhan tulang. Penurunan massa tulang dan
kerapuhan meningkat dapat terjadi karena kegagalan untuk mencapai puncak
massa tulang yang optimal, kehilangan tulang yang diakibatkan oleh reasorpsi
tulang meningkat, atau penggantian kehilangan tulang yang tidak adekuat sebagai
akibat penurunan pembantukan tulang (Raisz, 2005). Hal ini akan terus
berlangsung selama tidak ada remodeling tulang.
Osteoporosis berdasarkan penyebabnya diklasifikasikan menjadi 2, yaitu
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer merupakan
osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya. Osteoporosis primer dibagi
menjadi 2 tipe, yaitu osteoporosis tipe 1 (osteoporosis pasca menopause) dan
osteoporosis tipe 2 (gangguan absorpsi kalsium di usus). Osteoporosis sekunder
merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit lain, defisiensi atau
konsumsi obat, seperti kelainan genetic (kistik fibrosis, penyakit gaucher, dll),
keadaan hipogonad, gangguan endokrin, dan gangguan induksi obat.
C. Patofisiologi Osteoarthritis dan Osteoporosis
1. Osteoarthritis
OA merupakan gangguan keseimbangan dari metabolism kartilago dengan
kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui (Soeroso,
2006). Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi
serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan
cedera (Felson, 2008). Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung
sendi yaitu : Kapsula dan ligament sendi, otot‑otot, saraf sensori aferen dan tulang

di dasarnya. Kapsula dan ligamen‑ligamen sendi memberikan batasan pada

rentang gerak (Range of motion) sendi (Felson, 2008). Cairan sendi (sinovial)
mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi sehingga
mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut
dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai
pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan
peradangan pada sendi (Felson, 2008). Ligamen, bersama dengan kulit dan
tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang
gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon

mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik‑titik tertentu ketika

sendi bergerak (Felson, 2008).

Otot‑otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi.

Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan
akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya.
Kontraksi otot tersebut turut meringankan stress yang terjadi pada sendi dengan
cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang
diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga meringankan
dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi untuk menyerap
goncangan yang diterima (Felson, 2008).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi
sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika
bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai
penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum
timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui
lebih lanjut tentang kartilago (Felson, 2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua
dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul –
molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul
proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan
pada kartilago (Felson, 2008). Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular,
mensintesis seluruh elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit
menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin { Interleukin‑1 (IL‑1), Tumor

Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan
enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan
membentuk molekulmolekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini
dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan
(Felson, 2008). Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk
memecah kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks
yang dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek
dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago
(Felson, 2008).
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks yang
lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi Namun,
pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki metabolisme yang
sangat aktif (Felson, 2008). Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang
terstimulasi akan melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat
ke kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta

jalinan‑jalinan kolagen akan mudah mengendur (Felson, 2008).

Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi akan


meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi (Felson, 2008). Terjadinya
osteoarthritis tidak lepas dari banyak persendian yang ada di dalam tubuh.
Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan kolagen pada
rawan sendi. Osteoarthritis terjadi akibat kondrosit gagal mensistesis matriks yang
berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks
ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI, dan X yang berlebihan dan
sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan
pada diameter dan orientasi dari serta kolagen yang mengubah biomekanik dari
tulang rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya
yang unik (Setiyohadi B. 2003).
2. Osteoporosis
Lansia sudah mencapai puncak massa tulang, namun adanya remodeling yang
menyebabkan massa tulang tetap. Osteoporosis terjadi akibat gangguan
remodeling tulang, sehingga menyebabkan kerapuhan tulang. Adanya gangguan
pada remodeling tulang menyebabkan tidak terjadinya proses perbaikan kerusakan
makro pada tulang dan kurangnya suplai kalsium tulang untuk mempertahankan
kalsium serum tulang. Sementara pada osteoporosis primer terjadi karena
kegagalan mencapai puncak massa tulang yang optimal, kehilangan tulang yang
diakibatkan oleh reabsorpsi tulang meningkat, atau penggantian tulang yang tidak
adekuat sebagai akibat menurunnya pembentukan tulang. Osteoporosis secara
seluler disebabkan oleh jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlahnya
dan aktivitas sel osteoklas. Hal inilah yang menyebabkan massa tulang menurun.
D. Pemeriksaan Diagnostik Osteoarthritis dan Osteoporosis
1. Osteoarthritis
a. Pemeriksaan Radiologis
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang
terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik ( Soeroso,
2006 ). Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:
- Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban seperti lutut)
- Peningkatan densitas tulang subkondral (sklerosis)
- Kista pada tulang
- Osteofit pada pinggir sendi
- Perubahan struktur anatomi sendi

Berdasarkan temuan‑temuan radiografis diatas, maka OA dapat diberikan

suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis dikenal sebagai


kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA dimulai dari tingkat ringan
hingga tingkat berat.

b. Magnetic resonance imarging (MRI). MRI merupakan gelombang radio dan


medan magnet kuat untuk menghasilkan gambar yang jelas dari tulang dan
jaringan lunak, termasuk tulang rawan. Hal ini dapat membantu untuk
mengetahui penyebab pasti rasa sakit pada persendian.
c. Pemeriksaan Laboratorium
- Tes darah. Tes darah dapat membantu mengetahui penyebab lain dari sakit
persendian, misalnya rheumatoid arthritis.
- Analisis cairan sendi. Digunakan jarum khusus untuk menyedot cairan dari
persendian yang sakit, kemudian cairan tersebut diperiksakan di
laboratorium untuk menentukan apakah ada peradangan atau disebabkan
oleh encok atau infeksi.
2. Osteoporosis
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan dan
postur tubuh.
b. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
1.) Kadar serum (puasa) kalsium (Ca), fosfat (PO) dan fosfatase alkali
2.) Bila ada indikasi, dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi
(rutin) tiroid, hati dan ginjal. Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam
berguna untuk menentukan pasien malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24
jam kurang dari 100 mg) dan untuk pasien yang jumlah ekskresi kalsium
sangat tinggi (lebih dari 250 mg/24 jam) yang bila diberi suplemen
kalsium atau vitamin D atau metabolismenya mungkin berbahaya. Bila
dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme, maka
perlu diperiksa kadar hormon paratiroid (PTH). Bila ada dugaan ke arah
malabsorpsi maka perlu diperiksa kadar 25 OHD.
- Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi
osteoporosis lanjut, atau jika hasil BMD yang diperoleh dari pemeriksaan
dengan menggunakan alat densitometer menunjukkan positif tinggi.
- Pemeriksaan densitometer (Ultrasound)
Pemeriksaan dengan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang
(BMD), berdasarkan Standar Deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut.
Densitometer merupakan alat test terbaik untuk mendiagnosismseseorang
menderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes ini tidak dapat
menentukan cepatnya proses kehilangan massa tulang. Dengan demikian,

jika densitometer ultrasound menunjukkan nilai rendah (Tscore dibawah ‑

2,5), sebaiknya disarankan menggunakan densitometer X‑ ray (rontgen).

Penilaian Osteoporosis dengan alat densitometer :

i. Kondisi normal : Kepadatan tulang (BMD) antara +1 sampai ‑1


ii. Osteopenia : Kepadatan tulang (BMD) antara – 1 sampai ‑2,5

iii. Osteoporosis : Kepadatan tulang (BMD) < ‑2,5.

E. Penatalaksanaan Osteoarthritis dan Osteoporosis


1. Ostearthritis
Pengobatan
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul,
mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasimanifestasi
klinis dari ketidakstabilan sendi (Felson, 2008).

a. Obat Antiinflamasi Nonsteroid (AINS), Inhibitor Siklooksigenase‑2 (COX‑2),

dan Asetaminofen. Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada pasien OA,

penggunaan obat AINS dan Inhibitor COX‑2 dinilai lebih efektif daripada

penggunaan asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih


tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama
dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk mengurangi dampak
toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara mengombinasikannnya dengan

menggunakan inhibitor COX‑2 (Felson, 2008).

b. Chondroprotective Agent. Chondroprotective Agent adalah obat – obatan yang


dapat menjaga atau merangsang perbaikan
2. Osteoporosis
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1142/Menkes/Sk/Xii/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis, pasien
yang memerlukan pengobatan umumnya telah mengalami kehilangan massa
tulang yang cukup berat, sehingga pada umumnya telah mengalami satu atau
beberapa kali fraktur tulang. Dengan demikian tujuan utama pengobatan
osteoporosis simptomatis adalah mengurangi rasa nyeri dan berusaha untuk
menghambat proses resorpsi tulang dan meningkatkan proses formasi tulang
untuk meningkatkan kekuatan tulang serta meningkatkan sampai di atas ambang
fraktur. Beberapa jenis hormon dan obat yang dapat diberikan:
a. Hormonal
- Estrogen. Pemberian estrogen saat ini masih pro dan kontra, sehingga

pemberiannya perlu berhati‑hati dan harus diberikan oleh ahlinya.


- Kombinasi estrogen dan progesterone
- Testosteron
- Steroid anabolic

b. Non‑hormonal

- Kalsitonin
- Bifosfonat
- Kalsium
- Vitamin D dan metabolismenya
- Tiasid
- Fitoestrogen (berasal dari tumbuhan:semangi, kedelai, kacang tunggak)

4. Gangguan Patologis Sistem Muskuloskeletal: Rheumatoid Arthritis Syndrome


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah suatu penyakit kronik, inflamatori, dan
sistemik yang memengaruhi hubungan jaringan di dalam sendi synovial dan memiliki
karakteristik eksaserbasi dan kekambuhan (Carlson & Pfadt, 2009). Sedangkan
menurut Kumar, et al (2015) rheumatoid arthritis adalah suatu radang sendi yang
timbul sebagai suatu penyakit autoimun, terjadi pada tulang yang disebabkan oleh
malfungsi dari sistem imun. Faktor risiko dari RA antara lain usia, autoimun, riwayat
keluarga, wanita, genetic dan lingkungan (Carlson & Pfadt, 2009). Dari hasil
penelitian Wan, S. W et al (2015) dengan design penelitian cross sectional diketahui
bahwa prevalensi terjadinya RA 2-4 kali lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki.
Manifestasi klinis dari RA antara lain, anemia, anoreksia, konjungtivitis, letih,
nyeri sendi, letargi, demam derajat rendah, terjadi kekakuan di pagi hari kurang lebih
selama 1 jam, pembengkakan sendi, neuropati perifer, kelemahan, dan penurunan
berat badan (Carlson & Pfadt, 2009). Lansia mungkin mengalami gejala awal RA
setelah usia 65 tahun, dikenal dengan perkembangan denovo RA. Pada pengkajian,
sendi akan mengalami kemerahan yang parah, pembengkakan, dan terasa hangat pada
jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyakit, lansia mungkin mengalami beberapa
gejala yang cukup parah tapi tidak menimbulkan deformitas (kelainan betuk). RA
biasanya terjadi pada sendi tangan (interphalangeal proksimal, metacarpophalangeal,
pergelangan tangan), siku, lengan, lutut, pergelangan kaki dan kaki
(metatarsophangeal). Sedangkan RA yang terjadi pada lansia yang telah didiagnosis
RA sebelum usia 65 tahun. Setelah beberapa lama, RA menjadi suatu penyakit aditif
simetris dari sendi. Tekanan fisik dan perubahan inflamasi dari penyakit
menghasilkan deformitas sendi. Dalam 2 tahun ditetapkan diagnosis, lebih dari 10 %
pasien akan mengalami deformitas pada tangan. Nodul subkutan juga terjadi pada RA
yang lebih lanjut. Nodul biasanya timbul pada daerah yang sering tertekan seperti siku
atau sacrum. Pasien dengan RA yang sudah parah akan mengalami manifestasi
sistemik dan non sendi. Sehingga sering sulit untuk menentukan kondisi yang
disebabkan oleh RA itu sendiri atau efek dari obat yang digunakan (Tabloski, 2014).
Penyebab dari RA masih (Nogueira, et al,
belum diketahui, tetapi 2015)
kemungkinan besar
disebabkan oleh beberapa
macam faktor lingkungan
yang tidak diketahui (agen
infeksius, paparan bahan
kimia) yang menjadi
pencetus suatu respon
autoimun terhadap suatu antigen
yang tidak dikenal. Predisposisi
genetik merupakan faktor utama
kelemahan dan keparahan dari
RA. Paparan yang sering dan
dalam waktu yang lama terhadap
antigen yang menyerang (virus
atau bakteri yang tidak diketahui)
menyebabkan antibodi normal
(IgG dan IgM) berubah menjadi
autoantibodi. Perubahan antibodi
ini (faktor rheumatoid) dapat
menyebabkan terjadinya respon
inflamasi secara terus menerus.
Faktor rheumatoid biasanya
muncul di dalam cairan synovial
dan darah dari seseorang dengan RA. Perubahan patologis awal muncul di dalam
jaringan synovial dan menghasilkan proliferasi ringan pada sel. Setelah beberapa
lama, imun dan proses inflamasi yang kompleks membentuk suatu neoplasma seperti
masa di dalam sinovium yang dikenal dengan pannus. Pannus kemudian membentuk
jaringan granulasi yang mengikis sendi, jaringan lunak, kartilago dan tulang serta
dapat menyebabkan perkembangan tulang yang abnormal. Hasil akhir dari
pembentukan pannus adalah perkembangan jaringan scar yang memperpendek tendon
dan sendi, menghasilkan kontraktur (kehilangan ruang sendi atau pengikisan tulang).
Pembentukan pannus menyebabkan kerusakan sendi dan ini merupakan fokus dari
(Nogueira, et al, 2015)
pengobatan RA (Tabloski, 2014).
Tidak ada pemeriksaan yang pasti
untuk menentukan diagnosis dari RA,
tetapi diagnosis yang lebih baik
ditentukan dengan beberapa penemuan
hasil observasi lebih dari periode
waktu tertentu (Loue & Sajatovic, 2008). Pemeriksaan secara serologi dan prosedur
diagnostik radiologi biasanya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium penting untuk
mengetahui faktor rheumatoid atau antibody di dalam serum yang meliputi
Erythrocyte sedimentation rate (ERS), tanda inflamasi meliputi cairan sendi dan
serum dapat diukur. Sedangkan radiografi untuk mengetahui hubungan otot, area
sendi, bengkak dan kalsifikasi (Kumar, et al, 2015). Sekarang mulai berkembang
dengan penggunaan MRI dan ultrasound untuk pemeriksaan diagnostik dari RA
karena lebih sensitif dalam menilai kerusakan sendi sebelum radiografi biasa dapat
menemukan perubahan (Arenson, et al, 2009).
Pengobatan RA hampir sama dengan osteoarthritis dengan pengecualian obat
anti-inflammatory dan immune-suppressing mungkin memiliki peran yang penting.
DMARDs (disease-modifying anti-rheumatic drugs) juga digunakan untuk RA.
Pengobatan ini mungkin tidak menunjukkan hasil dalam beberapa bulan dan perawat
harus memberikan edukasi kepada pasien untuk mengenali tanda dari infeksi seperti
lemah, nyeri, dan demam. Selain itu juga dilakukan program edukasi yang meliputi
latihan dan aktivitas serta fokus pada kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-
hari (Mauk, 2006).

5. Gangguan Patologis Sistem Muskuloskeletal: Gout Arthritis


Gout merupakan bentuk umum dari inflamatory joint disease yang lebih
sering menyerang pada laki-laki jika dibandingkan dengan perempuan
(Sodeman, 2006). Puncak dari gout pada laki-laki yaitu ketika mereka telah
menginjak umur 40-50 tahun. Sedangkan pada wanita biasanya terjadi setelah
mengalami menopause (Tabloski, 2014). secara umum, gout terjadi pada 8.4 per 1000
orang dewasa dengan prevalensi yang meningkat menyesuaikan usia. Untuk lansia
wanita yang berumur 65 sampai 74 tahun, prevalensi meningkat secara signifikan
menjadi 16 per 1000 lansia; sedangkan pada lansia laki-lai sekitar 24 per 1000 lansia
(Tabloski, 2014). Namun secara garis besar kejadian gout ini menyerang
populasi lansia rentang umur 75-84 tahun (Stamp & Jordan, 2011).

Gout merupakan penyakit yang diakibatkan karena adanya peningkatan level


dari serum asam urat pada sendi. Patofisiologi gout berhubungan erat dengan
kejadian metabolisme purin dan fungsi ginjal. asam urat merupakan produk
sampingan dari purin yang telah disintesis dari bahan makanan yang dimakan. Pasien
yang didiagnosis gout memiliki kelainan genetik metabolisme purin, baik itu akibat
ekskresi yang kurang atau kelebihan produksi dari asam urat. Dengan kata lain, pasien
tersebut memiliki tingkat abnormal tinggi sintesis purin serta kelebihan memproduksi
asam urat. Normalnya tingkat serum urat yaitu 7 mg/dl, namun pada pasien
dengan gout memiliki keabnormalan pada tingkat serumnya yang dapat disebut
hiperurisemia (Tabloski, 2014).

Gout ini terbagi menjadi dua yaitu akut dan kronik. Pada jenis gout akut,
onsetnya muncul secara tiba-tiba dan terjadi pada perhubungan satu sendi atau
beberapa sendiri. gout jenis akut ini paling banyak terjadi di daerah persendian kaki
tetapi juga dapat berlanjut hingga sendi yang lainnya seperti lutut, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, sendi siku tangan dan kaki (Touhy, 2010). Pada gout
kronis, kristal asam piruvat disebabkan oleh kerusakan tulang dan deformitas. Pada
gout kronis kerusakan yang terjadi tidak hanya sebatas pada persendian atau
persambungan antar tulang tetapi juga dapat memengaruhi fungsi organ tubuh yang
terletak dekat dengan persendian bahkan dapat menyebabkan kematian jika tidak
dapat tertangani dengan baik (Bolzetta et al, 2012)

Kejadian gout ini sebagian besar diakibatkan karena faktor genetika (sejarah
keluarga); selain itu juga dapat diakibatkan karena diet purin tinggi seperti jamur,
kerang, daging; obesitas; obat-obatan seperti alkohol, asam asetilsalisilat (ASA),
diuretik, niasin, cyclosporines, dan levodopa. Obat-obatan tersebut perlu dihindari
karena dapat memengaruhi fungsi ginjal sehingga dapat meningkatkan risiko
hiperurisemia (Tabloski, 2014) (Touhy, 2010).

Seperti yang diketahui sebelumnya, bahwa gout merupakan adanya kelebihan


atau penupukan asam urat pada sendi sehingga membuat lansia dengan gout dapat
merasakan nyeri akut. Selain itu juga terjadi peradangan yang membuat area
terasa hangat. Dan dapat juga terlihat bengkak pada sendi, salah satunya sendi
metatarshophalangeal di jempol kaki biasanya yang paling sering tampak dan menjadi
tanda-tanda pertama dari arthritis gout. Selain itu juga dapat terjadi malaise, demam,
bahkan menggigil (Tabloski, 2014).

Kita bisa melihat bahwa keadaan gout ini sangat serius jika dibiarkan sehingga
perlu dilakukan manajemen keperawatan yang sesuai dimulai dari pengkajian hingga
penatalaksanaannya dan evaluasi dari yang telah diberikan kepada klien. Pengkajian
yang perlu dikaji yaitu gaya hidup klien, riwayat kesehatan keluarga, medikasi yang
pernah diberikan, serta faktor risiko lainnya yang dapat memperparah kejadian gout.
Kaji juga terkait nyeri, memar, bengkak yang tampak pada klien. Tes diagnostik juga
perlu dilakukan untuk memperkuat hasil pengkajian, hal-hal yang dapat dilakukan
seperti uji lab, dapat terlihat adanya peningkatan serum asam urat, peningkatan sel
darah putih, peningkatan sedimentasi eritrosit pada fase akut, dan terlihat adanya
sodium urate crystals pada cairan sinovial; selain itu dilakukan X-ray untuk melihat
adanya tophi dan struktur tulang (Schrefer, 2000).

Diagnosis yang mungkin muncul pada klien dengan gout yaitu

1. Nyeri, akut atau kronik


2. Kegagalan mobilitas fisik
3. Intoleransi aktivitas
4. Altered health maintenance

Penatalaksanaan medis untuk pasien dengan gout dapat menggunakan


NSAID, colchicine sebagai antiinflamasi, allopurinol untuk mengurangi sintesis uric
acid, kortikosteroid untuk interartikular dan beberapa interleukin (IL)- inhibitor.
Selain itu, kita sebagai perawat juga perlu memberikan edukasi kepada keluarga dan
klien terkait efek dari obat-obat tersebut, membantu mengarahkan keluarga untuk
menjaga pola hidup lansia terutama dalam diet rendah purin (Touhy, 2010).

6. Pengkajian Sistem Muskuloskeletal

Pengkajian keperawatan pada fungsi muskuloskeletal berfokus pada mengidentifikasi


risiko jatuh, fraktur, dan osteoporosis dengan memperhatikan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi. Pengkajian pada sistem muskuloskeletal dimulai dengan mengobservasi
mobilitas dan aktivitas lansia. Berikut adalah pedoman untuk mengkaji seluruh fungsi
musculoskeletal, risiko jatuh dan osteoporosis pada lansia. (Miller, 2012)

Pertanyaan untuk mengkaji seluruh fungsi Pertanyaan untuk mengkaji Risiko


musculoskeletal (Miller, 2012) Osteoporosis (Miller, 2012)
Apakah anda punya masalah dalam melakukan pertanyaan untuk seluruh lansia
aktivitas sehari-hari karena memiliki
keterbatasan gerak pada bagian sendi?
Apakah anda merasa nyeri atau tidak nyaman Apakah anda memiliki riwayat keluarga
pada bagian sendi? osteoporosis atau pernah mengalami
fraktur (patah tulang)?
Apakah anda merasa seperti kehilangan Apakah anda pernah mengalami fraktur
keseimbangan? (patah tulang) semasa muda? (Jika iya,
beri pertanyaan tambahan misal, waktunya
kapan, tipe fraktur, lokasi fraktur, keadaan
fraktur, pengobatan, dll)
Apakah anda mempunyai masalah saat berjalan? Apakah anda mengkonsumsi suplemen
kalsium atau vitamin D?
Apakah anda menggunakan alat bantu seperti Apakah anda terasa berat dibagian tulang?
walker, tongkat, atau kruk untuk membantu anda
berjalan atau melakukan sesuatu hal?
Pertanyaan untuk mengkaji Risiko Jatuh Apakah anda pernah mendengar dari
(Miller, 2012) perawat atau dokter tentang pencegahan
osteoporosis?
Apakah anda pernah mengalami jatuh beberapa Apakah anda mengkonsumsi obat-obatan
tahun yang lalu? (Jika iya, berikan pertanyaan untuk osteoporosis?
tambahan tentang kondisi dan faktor lingkungan
yang dapat menyebabkan jatuh, missal, lantai
licin, tidak adanya pegangan di tangga, kurang
pencahayaan, tempat tidur, kursi, dan toilet yang
terlalu tinggi)
Apakah anda takut jatuh? (Jika iya, berikan Pertanyaan untuk lansia perempuan
pertanyaan tambahan tentang spesifik rasa
takutnya, misal apa yang anda pikirkan akan
terjadi jika anda jatuh?)
Adakah aktivitas yang ingin anda lakukan, tapi Kapan anda mulai menopause?
tidak bisa anda lakukan karena sulitnya bangun
dan berjalan? (Jika iya, tanyakan tentang
aktivitas spesifik yang ingin dilakukan misal,
berbelanja, menggunakan transportasi umum,
dll)
Adakah aktivitas yang ingin anda lakukan, tapi Apakah anda pernah mengikuti terapi
tidak bisa anda lakukan karena anda takut jatuh? hormone estrogen atau hormone lain? Jika
(Jika iya, tanyakan tentang aktivitas spesifik iya, berikan pertanyaan tambahan
yang ingin dilakukan misal, naik dan turun mengenai tipe terapi, dosis, durasi, dll
tangga, mandi, dll)

Seperti penjelasan diatas, pengkajian sistem muskuloskeletal pada lansia berhubungan


dengan mengidentifikasi risiko osteoporosis dan risiko jatuh. Perawat mengkaji risiko
osteoporosis pada lansia melalui promosi kesehatan dan intervensi seperti mengkaji
keadekuatan intake kalsium, vitamin D, dan latihan menahan beban. Perawat juga dapat
mengidentifikasi faktor risiko merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan dengan
melakukan intervensi gaya hidup. (Miller, 2012). Dalam mengidentifikasi risiko jatuh,
perawat dapat mengamati pola berjalan pasien, misalnya pasien sulit menjaga
keseimbangannya ketika berjalan atau bangun dari duduk. Jika ada kelainan, dapat dicatat
dan selanjutnya memfasilitasi rujukan untuk evaluasi lanjut oleh terapi fisik. (Miller, 2012)
The Hartford Foundation for Geriatric Nursing merekomendasikan penggunaan
Hendrich II Fall Risk Model dalam
pengaturan kelembagaan sebagai alat berbasis
bukti untuk menilai risiko jatuh (Hendrich,
2007 dalam Miller, 2012). Dalam pengkajian
tersebut terdapat delapan faktor risiko
independen, yaitu 1) confusion,
disorientation, impulsivity; 2) symptomatic
depression; 3) altered elimination; 4)
dizziness, vertigo; 5) male sex; 6)
administration of antiepileptics (or dosage
changes or cessation); 7) administration of
benzodiazepines; dan 8) poor performance in
the "Get-Up-and-Go" test of rising from a
seated position. Jika faktor risiko tersebut
tidak ada, pasien mendapat skor 0. Hasil skor total sama dengan 5 atau lebih mengindikasikan
bahwa pasien memiliki risiko tinggi jatuh (Hendrich, 2007 dalam Miller, 2012)

Morse Fall Scale merupakan instrument yang relatif mudah digunakan dan telah
terbukti dapat digunakan dan berlaku di berbagai pengaturan perawatan kesehatan, termasuk
unit acure medis dan bedah,
daerah perawatan jangka panjang,
dan rumah sakit rehabilitasi. (Joint
Commission Resources, 2008).
MFS terdiri dari enam jenis yaitu
riwayat jatuh, diagnosis sekunder,
penggunaan bantuan ambulasi,
terapi intravena, tipe berjalan, dan
status mental. Setiap faktor risiko
pada instrument diberikan skor
yang relatif, tergantung faktor
risiko yang terjadi. Pasien dinilai
ada atau tidak adanya faktor risiko jika memiliki total skor 125. Berdasarkan total skor,
pasien dikategorikan mengalami risiko jatuh rendah (<24), menengah (25-44) dan tinggi
(>45). (Nassar, Helou, & Madi, 2014)

Prosedur Pemeriksaan Fisik pada Sistem Muskuloskeletal (Weber, 2009)


Prosedur Temuan Normal
Inspeksi cara berdiri dan berjalan
Observasi cara berdiri dan berjalan saat klien masuk dan berjalan mengelilingi ruangan
Inspeksi cara berdiri
- Pusat penyokong - Berat disebarkan secara merata
- Stabilitas menahan beban - Mampu berdiri di sebelah kanan / kiri
tumit, jari kaki
- Postur - Tegak
Inspeksi cara berjalan
- Posisi kaki - Jari-jari kaki menunjuk lurus ke depan
- Postur - Tegak
- Langkah - Seimbang kedua sisi
- Ayunan tangan - Ayunan secara
Inspeksi tulang belakang, bahu, dan iliac crest posterior
Dengan klien berdiri, amati dalam posisi tegak. Saat klien membungkuk ke depan untuk
menyentuh jari kaki, stabilkan klien di bagian pinggang, dan evaluasi ROM dari tubuh atas
Inspeksi tulang belakang - cekung serviks, cembung dada, cekung
- Lengkungan lumbar, prosesus tulang belakang sejajar
- Postur - Tegak lurus
- Range of Motion (ROM) yang - ROM penuh
meliputi fleksi, lateral bending,
rotasi, ekstensi
Palpasi tulang belakang, bahu, dan iliac crest posterior
Dengan klien dalam posisi berdiri atau duduk, palpasi otot paravertebral, menggunakan
tekanan moderat dan gerakan menyapu lembut, minta klien untuk mengangkat bahu melawan
tahanan
Palpasi paravertebral
- Kekuatan dan tonus otot - Sama kuat
- Suhu - Hangat
- Sensasi - Tidak nyeri tekan

Palpasi bahu
- Kekuatan dan tonus otot - Mampu mengangkat bahu melawan
- Sensasi tahanan
- Tidak nyeri tekan
Palpasi bahu, skapula, dan panggung
posterior
- Tonjolan tulang
- Ukuran, kekuatan, tonus otot - Lembut & tidak nyeri tekan, tidak
- Suhu bengkak
- Sama ukurannya secara bilateral, sama
kuat
- Hangat ke dingin
Inspeksi kepala, toraks, leher
Dengan klien dalam posisi duduk menghadap pemeriksa, periksa bagian-bagian tubuh. Minta
klien untuk membuka dan menutup mulut untuk mengkaji fungsi sendi temporomandibular
Observasi kepala
- Struktur wajah dan perkembangan - Struktur simetris dan perkembangan
otot otot
- Dapat membuka mulut 2 inchi
- Fungsi sendi temporomandibular

Observasi toraks - Tegak, sedikit kifosis


- Postur

Observasi leher - Full ROM, tidak ada nyeri


- ROM (fleksi, ekstensi, rotasi, lateral
bending)
Palpasi kepala, toraks, leher
Saat memeriksa sendi temporomandibular, palpasi secara bilateral anterior ke tragus telinga
saat klien membuka mulut dan mengatupkan gigi. Minta klien untuk mengubah kepala secara
lateral melawan tahanan
Palpasi sendi temporomandibular
- Fungsi sendi - Pergerakan halus secara bilateral saat
membuka, dengan tanpa klik atau
- Kontur sendi nyeri
- Suhu - Simetris
- Hangat
Palpasi leher (sternokleidomastoid)
- Kekuatan dan tonus otot
- Dapat memutar kepala secara lateral
melawan tahanan tanpa nyeri
Inspeksi ekstremitas atas
Posisikan klien duduk menghadap pemeriksa, dengan ekstremitas atas terbuka. Periksa setiap
sendi dan tentukan ROM. Kaji ROM aktif dan pasif. Lebih mudah bagi klien untuk
melakukan ROM jika pemeriksa menunjukkan gerakan terlebih dahulu
Observasi bahu, siku, pergelangan
tangan, jari
- Struktur tulang - Simetris bilateral
- Tonjolan tulang - ROM Penuh
- Massa otot
- Struktur sendi
- Simetris
- ROM
Palpasi ekstremitas atas
Saat struktur muskuloskeletal dari ekstremitas atas sedang ROM aktif atau pasif, palpasi
tulang, otot, tendon, dan sendi. Kaji kekuatan dan tonus otot
Palpasi lengan (bisep & trisep) - Dapat melenturkan dan memperluas
- Kekuatan dan tonus otot lengan melawan tahanan

Palpasi tangan
- Kekuatan & tonus otot - Pegangan tegas dan sama
Palpasi siku, pergelangan tangan, dan
jari
- Landmark tulang - Halus, tidak nyeri tekan
- Ukuran otot - Teratur dan sama secara bilateral
- Struktur sendi - Simetris dan sama
- Kekuatan - Sama kuat
- Suhu - Hangat
- Sensasi - Tidak nyeri tekan
Minta klien menutup mata selama 20 – 30 - Lengan tetap tanpa menyimpang
detik dengan lengan direntangkan ke depan
tubuh dengan telapak tangan membuka
Inspeksi ekstremitas bawah
Posisikan klien dalam posisi berdiri atau terlentang untuk memeriksa pinggul, dan dalam
posisi duduk dengan kaki menggantung bebas untuk memeriksa lutut, pergelangan kaki. Jika
klien tidak mampu duduk atau berdiri, penilaian dapat dilakukan dalam posisi terlentang. Kaji
ROM aktif dan pasif.
Observasi panggul, lutut, pergelangan
kaki, jari kaki
- Struktur tulang dan landmark tulang - Simetris bilateral dan sama
- Massa otot - Simetris dan sama
- Struktur sendi - Kaki tetap posisi lurus
- Panjang kaki - Panjang kaki bilateral dalam 1 inci
satu sama lain
- ROM - ROM penuh
Palpasi ekstremitas bawah
Saat struktur muskuloskeletal dari ekstremitas bawah akan melalui ROM aktif atau pasif,
palpasi tulang, landmark tulang, otot, dan sendi. Kaji kekuatan dan tonus otot
Palpasi panggul (kuadrisep,
gastrocnemius)
- Landmark tulang - Simetris bilateral dan sama
- Ukuran dan kekuatan otot - Halus, teratur, kuat
- Struktur sendi - Simetris bilateral, kuat
- Suhu - Hangat
- Sensasi - Tidak nyeri tekan

Pengukuran Kekuatan Otot


Kriteria hasil pengukuran kekuatan otot, yaitu:

 Normal (5): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi
dan melawan tahan maksimal.
 Good (4): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan gravitasi dan
melawan tahanan sedang (moderat).
 Fair (3): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi
tanpa tahanan.
 Poor (2): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa melawan
gravitasi.
 Trace (1): tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi.
 Zero (0): kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi.

Gb.1 Cara pengukuran kekuatan otot tangan


Gb. 2 Cara Pengukuran Kekuatan Otot Kaki

Memberikan nilai dari hasil pengukuran kekuatan otot

5555 5555 → Menandakan kekuatan otot penuh (normal),


5555 5555

Menandakan otot pada lengan atas kekuatannya


5544 5544 →
menurun, sedangkan otot pada kaki bagian kanan
4434 4444 mengalami masalah.

Daftar Pustaka:

Arenson, et al. (2009). Reichel’s care of the elderly: clinical aspects of aging. 6th Edition.
New York : Cambridge University Press.

Carlson, D. S & Pfadt, E. (2009). Clinical coach for effective nursing care for older adults.
Philadelphia: F.A David Company.

Kumar, L. D., Karthik, R, Gayathri, N & Sivasudha, T. (2015). Advancement in


contemporary diagnostic and therapeutic approaches for rheumatoid arthritis.
Biomedicine & pharmacotherapy. 79, 52-61

Loue, S & Sajatovic, M. (2008). Encyclopedia of aging and public health. USA: Springer.

Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing; competencies for care. USA: Jones and Bartlett
Publishers.

Nogueira, E., Gomes, A. C., Preto, A., & Paulo, A. C. (2015). Folate-targeted nanoparticles
for rheumatoid arthritis therapy. Nanomedicine: Nanotechnology, biology and
medicine. 12, 1113-1126.

Tabloski, P. A. (2014). Gerontological nursing. 3th Ed. New Jersey: Pearson.


Wan, S. W, et al. (2015). Health-related quality of life and its predictors among patients with
rheumatoid arthritis. Applied nursing research. 30, 176-183.

Joint Commission Resources. (2008). Reducing The Risk Of Patient Harm Resulting From
Falls: Toolkit For Implementing National Patient Safety Goal 9. USA
Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Nassar, N., Helou, N., & Madi, C. (2014). Predicting falls using two instruments (the
Hendrich Fall Risk Model and the Morse Fall Scale) in an acute care setting in
Lebanon. Journal Of Clinical Nursing, 23(11/12), 1620-1629.
doi:10.1111/jocn.12278
Weber, Janet R. (2009). Nurse’s Handbook of Health Assessment. Philadelphia: Wolters
kluwer/ Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai